Author's note:
Akhirnya ikut jugaaaaah.... -ditendang-
Nyohohoho... Ini fic untuk black and white Challenge.
Sebenarnya sih, tempo hari pengen ikut, tapi nggak jadi karena nggak ada ide. Belakangan ada ide, tapi masih nggak yakin bisa sesuai dengan Challenge atau enggak, niatannya bakal di upload dengan atau tanpa Challenge.
Itu karena saya musti melarikan diri dari per-angsty-an Welcome to the Real World! Back to fluffy!! Yeah!! -dilempar-
Pairing: Chibi-SasuXFemNaru!! *evil grin* Mungkin saya ini emang pedofil...
Disclaimer: Naruto and all the characters is belongs to Masashi Kishimoto. And the tittle, "Love isn't blind, it just sees what matters" is belongs to William Curry. Pinjam dulu ya... =)
Black and White Challenge
Set White
Theme for this Chapter: Secret Joy
Aku membuka pintu menuju balkonku.
Akupun melangkah menuju balkon dan bersandar di besi penahannya. Langit berawan, amat gelap. Perkiraan cuaca di TV memang memperkirakan bahwa Konoha akan terus mendung dan hujan selama seminggu ke depan. Tapi aku tak begitu peduli. Hujan seperti apapun tak jadi masalah selama aku ada di rumah. Dan kalaupun tidak sedang berada di rumah, tinggal siapkan payung dan masalah selesai. Hanya orang-orang bodoh saja yang tidak membawa payung di cuaca seperti ini.
Saat mataku jatuh ke jalan yang ada di bawah sana, pandanganku langsung tertuju pada rambut pirang seorang gadis. Rambut pirang yang dikuncir dua dari seorang gadis yang sedang berjalan menuju rumahku.
Hhhh… dia lagi.
Love isn't blind, it just only sees what matters
-Chapter 1-
Namaku Sasuke, Uchiha Sasuke.
Umurku 12 tahun, kelas 6 SD. Warna rambutku hitam, mataku juga berwarna sama. Hampir semua anggota keluarga Uchiha punya ciri khas yang mirip… bukan hampir lagi, sepertinya rambut hitam dan mata onyx memang ciri khas keluarga Uchiha.
Aku anak kedua dari pasangan Uchiha Fugaku dan Uchiha Mikoto. Kakakku bernama Itachi. Aniki adalah tumpuan harapan dari kedua orang tuaku. Mereka berharap banyak dari aniki, dan memang, sejauh ini aniki selalu bisa memenuhi harapan mereka. Aniki berhasil masuk ke SMA Konoha, sekolah paling ternama di Konoha ini. Bukan itu saja, aniki juga selalu mendapat nilai tertinggi di setiap semesternya. Aku tidak tahu kenapa aniki bisa sehebat itu. Satu hal yang pasti, seberapapun besarnya aku berusaha, nilai-nilaiku tidak pernah bisa melampaui nilai-nilainya saat seumurku. Rasanya tidak ada gunanya aku mendapat nilai tertinggi di kelas tapi tidak diakui oleh ayahku sendiri. Meski begitu, aku tidak benci dia. Mungkin aku memang iri padanya… tapi aku tidak benci aniki.
Hanya saja, ada satu hal lagi yang akhir-akhir ini menggangguku.
Ada seorang gadis… Namanya Uzumaki Naru. Rambutnya pirang, matanya biru. Ada tiga garis aneh di masing-masing pipinya. Rambutnya selalu dikuncir dua… setidaknya model itu yang selalu kudapati setiap kali melihatnya. Ia adik kelas aniki. Dan kurasa… ia pacar aniki. Atau mungkin teman dekat aniki. Entahlah, aku kurang tahu. Dan aku juga malas untuk menanyakannya langsung pada aniki. Yang kutahu pasti, ia menyukai aniki. Pipinya yang berwarna karamel pasti memerah kalau ada ia berada di dekat aniki. Mata biru langitnya yang indah tak pernah lepas dari sosok aniki. Bibir pink-nya yang lembut juga selalu tersenyum di depan aniki…
Aku yakin, di sekolah ada lusinan gadis yang mengejar aniki… tapi yang satu ini berbeda. Ia satu-satunya gadis yang aniki biarkan datang ke rumah, bahkan masuk ke dalam kamarnya. Memang, rumahnya hanya beberapa blok dari rumah kami. Tapi tak ada gadis lain yang mendapati perlakuan seperti itu dari aniki, sekalipun itu gadis yang rumahnya berada di sebelah rumah kami. Itulah mengapa aku merasa ia adalah kekasih aniki. Dan itulah mengapa kurasa aku jadi benci… atau setidaknya cemburu. Bukan pada gadis itu, karena ia mengambil aniki… tapi pada aniki yang bisa dengan mudahnya mendapatkan dia.
Ya, saat kusadari, ternyata aku sudah jatuh hati padanya.
Aku sendiri tidak tahu perasaan ini muncul sejak kapan, dan bagaimana. Tapi… itulah yang kurasa. Mungkin ini karena aku sudah muak dengan gadis-gadis di kelasku yang tingkahnya amat mengesalkan. Atau bisa juga karena dia adalah gadis pertama yang berada sedekat ini denganku, tapi tidak mempedulikanku? Entahlah… Harus kuakui, otakku memang aneh. Kenapa malah jatuh cinta pada orang yang jelas-jelas tidak menyukaiku? Tapi aku tidak bisa berhenti, atau tepatnya belum bisa.
Aku berjalan meninggalkan balkonku, melintasi kamarku, dan berniat keluar untuk pergi ke dapur. Saat membuka pintu, ekor kedua mata onyx hitamku langsung bertemu dengan gadis itu. Ia berada di depan pintu kamar aniki yang berada tepat di sebelah kamarku. Sedang berdiri dan menunggu pintu dibukakan.
Aku berjalan ke arahnya… untuk ke dapur, aku memang harus melewati pintu aniki dan menuruni tangga rumah kami. Matanya lalu bertemu pandang denganku. Dan ia tersenyum.
Senyum itu. Senyuman itu yang membuatku menyukainya. Tapi selama ini, senyuman itu hanya ada untuk aniki. Bukan untukku. Dengan jantung berdebar-debar, aku meyakinkan diriku untuk balas tersenyum. Tapi, belum sempat aku membalas senyum itu, pintu aniki terbuka. Perhatiannya teralih pada aniki dan ia segera masuk ke dalam kamarnya. Akupun hanya diam saja, bersikap seolah tak ada apa-apa dan hanya terus berjalan hingga mencapai tangga.
Andai ia tahu… andai ia bisa tahu apa yang kurasakan saat ia tersenyum padaku.
Tapi kalaupun ia tahu, belum tentu ia peduli.
Sore ini hujan.
Aku sedang berjalan pulang dari sekolahku. Hari ini aku memang pulang agak terlambat karena harus piket di kelas sebelum pulang. Tas sekolahku masih menggantung setia di punggungku. Aku berjalan santai dengan menenteng payung biru milikku. Tangan kiri yang tidak memegang payung kumasukkan dalam kantong celanaku. Dengan sneakers putihku, sesekali aku menendang kerikil di jalanan. Melihatnya terlontar di bawah curahan hujan dan memercikkan air di sekitar tempatnya terjatuh. Aku tidak peduli percikan air itu bisa mengotori baju dan celanaku. Yang penting hujan tidak mengganggu gugat tubuhku dan membuatku sakit.
Saat aku sampai ke kerikil ketiga, aku melihat sosok seorang gadis yang amat kukenal tengah berjalan di bawah hujan, berada lebih dari sepuluh meter di depanku.
Rambut pirang panjangnya yang masih berkuncir dua itu terkulai lemas dan basah. Kemeja putih dan rok kotak-kotak cokelatnya juga sudah basah karena air hujan. Begitu pula tas sekolahnya, tas tangan hitam berbentuk kotak pipih, yang masih setia bertengger di tangannya.
Hah. Ternyata masih ada juga orang bodoh seperti dia… sudah kubilang 'kan? Orang yang tidak membawa payung di hari-hari seperti ini hanyalah orang-orang bodoh… terlebih, ia berjalan pelan seakan tak ada hujan di sekitarnya. Seakan warna biru-lah yang bertengger indah di atas sana.
…dasar dobe.
Tanpa sadar aku mempercepat langkahku untuk menyusulnya.
Langkahnya terhenti saat ia menyadari keberadaan payung biru itu di atas rambut pirangnya.
Ia terpaku sejenak dan menatapku dengan mata birunya itu dalam diam. Dari dekat, aku bisa melihat dia memang benar-benar sudah basah, wajahnyapun tidak luput dari sentuhan air hujan. Tapi aku tidak peduli. Aku tetap memegang payung itu dengan agak susah payah… kau lihat itu? Agak. Aku tidak mungkin menunjukkan bahwa aku kesulitan menjaga posisi payung ini. Biar bagaimanapun, gadis di hadapanku ini berumur 16 atau mungkin 17 tahun. Sedangkan aku hanyalah bocah berumur 12 tahun. Aku tidak lebih tinggi darinya… atau dengan berat hati, aku harus mengakui aku memang lebih pendek darinya.
"Chi… Chibi-Itachi!!" serunya, memecah keheningan diantara kami.
"Aku bukan Chibi-Itachi." balasku segera, dengan sedikit emosi.
"Eh? Tapi kalian 'kan mirip? Cuma agak beda di rambut… Rambut Itachi-senpai itu panjang… tidak seperti pantat bebek begini…" katanya sambil memegang rambutku.
"Tidak," aku menepis tangannya, "Aku tidak punya dua keriput yang bertengger di pipiku. Dan rambutku ini bukan pantat bebek, dobe."
"Hei! Dia itu kakakmu, kau tidak boleh menghinanya begitu! Dan jangan panggil aku dobe, teme!"
"Itu bukan urusanmu," balasku, "ambil ini!" Lanjutku sambil menyodorkan pegangan payung itu. Gadis ini refleks menerimanya.
Akupun melepas ranselku dan meletakkannya di atas kepalaku, bersiap pergi dan berlari menuju rumah. Tapi ia menahanku.
"Kita bisa pulang bersama 'kan?" ucapnya.
Pulang dan dipayungi oleh gadis yang kau sukai di sepanjang perjalanan? Maaf saja! Mungkin itu akan menyenangkan, tapi aku tidak rela kalau dia yang harus memegang payung itu selama perjalanan pulang. Sialnya, dengan tinggiku yang seperti ini, aku tidak mungkin terus-terusan memegang payung itu hingga kami sampai ke rumah!
"Tidak. Aku duluan." balasku.
Akupun berlari menembus hujan dengan tas hitamku sebagai satu-satunya pelindung di kepalaku. Meninggalkan ia yang masih terpaku dengan payung biruku.
... cara bodoh untuk meminjamkan payung.
Aku tahu itu.
-
To Be Continued...
-
Words: 1.219 words.
.
.
.
Nggak kelihatan ya, 'secret joy'-nya??
Megu emang bego... =___=
Akhir kata... saya hanya bisa berdoa fic ini bisa selesai tepat waktu! Amin.
Tolong di review kalau tidak keberatan... =)
