Disclaimer : I do own this plot, but not the character
.
.
NOT WITH ME
An IchiRuki Fanfiction
Genre : Angst/Romance / Action / Tragedy (maybe)
Rated : M (for save)
Author : Nakki Desinta
Date Created: September 13, 2012
.
.
.
Wanita berwajah sendu itu menatap si pemilik mata berwarna hazel yang berdiri di depannya. Pria tinggi tegap berumur 29 tahun, rambutnya yang sewarna dengan cahaya matahari memberikan kesan cerah ke sorot mata yang ia tujukan hanya pada wanita di hadapannya. Cinta dan sayang tergambar jelas di mata cerah itu, mengirim rasa iri pada siapapun yang melihatnya, tidak peduli pria atau wanita.
Kuchiki Rukia, sang kekasih dari pria tersebut hanya bisa menatap dengan mata yang perlahan berair, mengalirkan airmata sedih, sesal dan tidak percaya yang dia sendiri tidak berani untuk mengakuinya. Dia tidak ingin percaya dengan segala kesadaran yang ia miliki, bahwa suatu hari nanti ia akan mengalami hari ini dalam hidupnya.
Rukia menggeleng cepat, mengusir sesak di dadanya, mengenyahkan kecewa yang terus memintanya untuk memaki pria di depannya. Akal sehatnya ingin menyerapah, menghujat sepuas nafsu dalam dirinya, namun hatinya meneriakkan cinta yang tidak mungkin ia sangkal.
"Kau benar-benar akan pergi?" bisiknya dengan suara purau, bergetar hebat seiring air mata yang terus menetes.
Pria berambut orange menyala itu memperpendek jarak di antara mereka, dan tangannya -yang berbentuk berkat latihan senjata di batalyon tiap hari- terjulur ragu hendak meraih wajah putih bersih dan tak bernoda milik Rukia, ia merasa harus menyampaikan rasa sayangnya, jika tidak ia akan menyesal di setiap helaan napasnya.
Telapak tangannya yang kasar serta kapalan akibat terlalu banyak mengokang senjata serta memegang peluru dan granat, terulur menyentuh kulit halus Rukia. Dia hampir tidak bisa merasakannya, tidak bisa merasakan air mata di pipi Rukia akibat kulit di telapak tangannya menebal. Tidak jarang kenyataan ini membuatnya berpikir untuk berhenti dari pekerjaannya saat ini. Ia sangat ingin bisa merasakan sepenuhnya kelembutan wanita ini, seluruh tentang Rukia adalah kehausan tersendiri untuknya.
"Maafkan aku, Rukia..." hanya kalimat itu yang mampu terhembus dari bibirnya. Getaran di bibir pria itu membuat Rukia mengalihkan pandangan dari mata hazelnya, melihat bibir yang biasa membasuh bibirnya untuk menyampaikan rindu dan segala rasa posesif pemiliknya.
Rukia kembali meneteskan air mata, bulir air itu terasa asin di sudut bibirnya saat merembes masuk ke celah bibirnya, membuatnya mengecap kembali kesedihan yang mendalam.
"Tapi kenapa harus sekarang, Ichigo?" gumam Rukia menuntut kesediaan pria ini untuk tinggal.
"Ini tugas untuk negara, Rukia..." Ichigo menurunkan pandangannya, tidak berani membiarkan Rukia melihat bahwa kedudukan Rukia masih di bawah kepentingan negaranya, walalupun sesungguhnya dia menempatkan Rukia di atas apapun dalam hidupnya.
"Kau mengorbankan pernikahan kita untuk tugas negara? Pernikahan kita kurang dari 12 jam lagi, Ichigo. Kau mau membuat keluarga kita malu? Terlebih lagi, aku... aku... aku takut kau tidak kembali..." isak Rukia menjadi, dia menutup wajahnya, tidak mampu membayangkan apa yang ia takutkan. Ichigo pergi ke medan perang di daerah perbatasan, dan tidak mau Ichigo berada dalam bahaya, tidak ingin.
"Rukia..." suara berat Ichigo menyapa telinga Rukia, membuat wanita itu menengadah menurunkan tangannya, menatap penuh-penuh wajah kukuh itu. "Kau tahu resiko ini sejak pertama kali kita sepakat untuk bersama. Sejak awal, seluruh pengabdianku untuk negara, tapi jangan pernah ragu akan cintaku. Semua hanya untukmu, Rukia. Karena itu aku mohon yakinlah padaku."
Ichigo menghilangkan jarak di antara mereka dan mengecup dahi Rukia lama, mengekspresikan rasa cintanya.
"Aku tahu, tapi aku tidak pernah siap! Kau memintaku siap untuk mengusung jenazahmu yang tertutup bendera? Kau berharap aku bisa berlapang dada melihat tubuhmu masuk ke liang kubur? Kau meminta hal yang tidak bisa aku wujudkan, Ichigo. Aku tidak bisa..." cecar Rukia, dan mengalungkan tangan mungilnya di pinggang Ichigo, membiarkan tangisnya pecah di dadanya. Kesedihan, ketakutan, semuanya bercampur dalam hatinya membawa kengerian yang lebih mendalam ke dada kecilnya yang sudah luar biasa sesak.
"Maafkan aku telah membuatmu merasakan semua ini. Sungguh, maafkan aku..." gumam Ichigo seraya membelai puncak kepala Rukia, merasakan dan meresapi lembutnya helai-helai rambut Rukia yang kusut di antara jemarinya. Dia mengerti dengan baik semua ketakutan Rukia, kekhawatiran Rukia adalah hal nyata yang tidak bisa ia sangkal. Dia bukan manusia kebal yang tidak takut mati, tapi sekalipun ia sendiri takut untuk menghadapi maut yang setiap saat mengintai di medan perang, ia masih jauh lebih takut melihat tangis Rukia, melihat Rukia terus berduka untuknya.
"Tinggallah..." pinta Rukia seraya menjauh dari Ichigo, berusaha mencari sorot mata penuh kasih sayang itu.
"Rukia, aku tidak bisa, besok aku..."
"Jika kau tidak mau, aku akan loncat dari sini," ancam Rukia, dan dengan cepat Ichigo berdiri membentengi Rukia, berdiri di antara wanita bertubuh mungil itu dengan pembatas beranda kamar yang berada di lantai tiga.
Ichigo tahu resiko melompat dari lantai tiga, tinggal pilih mana yang digunakan untuk mendarat, jika kepala, maka tidak akan ada ampun untuk dapat bertahan, dan tidak akan membayangkan kemungkinan terburuk.
Rumah besar keluarga Kuchiki terdiri dari empat lantai yang masing-masing lantai tinggi mencapai dua meter, dan jika Rukia melompat dari lantai tiga, sama saja Rukia merelakan dirinya terhempas ke tanah dengan jarak lebih dari lima meter. Ichigo tidak mungkin membiarkan hal itu terjadi selama ia bernapas.
"Rukia, ku mohon. Jangan hadapkan aku pada hal yang lebih sulit lagi, ini tugas dan aku..."
"Kau bela negaramu, dan membiarkanku. Memangnya apa yang negara berikan padamu?" desak Rukia frustasi, dan air matanya berderai lebih parah, namun kekerasan dalam wajah Ichigo membuatnya sadar dalam waktu yang sama kalau apa yang ia lakukan tidak akan berakibat pada apapun, tidak akan merubah keputusannya, tapi ia tidak bisa menahan diri. Rukia maju dan mendaratkan kepalan tangannya di dada Ichigo. "Apa yang diberikan negara padamu? Apa negara memperhatikanmu? Kau berjasa, tapi yang mereka berikan hanya medali. Kau berjuang hingga menteskan darah, dan mereka hanya mengucapkan terima kasih padamu! Kau-"
"Rukia-"
"Apa? Apa yang mereka berikan? Apakah negara juga mencintaimu seperti aku? Apa mereka rela memberikan segalanya untukmu? Aku rela menentang Kakakku saat tidak mengizinkanku bersamamu, aku bisa meninggalkan semuanya untuk bisa bersamamu. Aku setia, dan bergantung padamu, tapi negara tidak akan pernah seperti aku. Apa mereka akan tetap menghormatimu jika kau sudah tua nanti? Mereka akan mencari prajurit lain untuk menggantikanmu, Ichigo. Aku! Hanya aku yang bisa merawatmu jika kau tidak mampu berjuang lagi di medan perang. Hanya aku ya-"
"RUKIA!"
Seketika Rukia terdiam, matanya membulat sempurna, sehingga matanya terkesan terlalu besar dari ukuran normal. Dia kaget, mendengar namanya disebut dengan nada setinggi itu oleh Ichigo. Ichigo tidak pernah bicara kasar padanya sekalipun pria itu dididik dengan cara tegas, serta penuh disiplin. Ichigo tidak pernah berteriak padanya semarah apapun dia, Ichigo selalu lembut, tidak pernah membentaknya.
Seketika pria tinggi itu menyesali tingkahnya yang sudah lepas kendali, tatapannya melemah saat melihat wajah terkejut Rukia.
"Tidak ada yang bisa ku bandingkan antara dirimu dengan tanggungjawabku pada negara. Aku bangga bisa memperjuangkan negaraku sendiri agar tetap utuh, dan aku bersumpah akan melakukan hal yang sama untuk kita berdua. Karena itu aku mohon mengertilah..." Ichigo sudah kehabisan seluruh kata-kata untuk meyakinkan Rukia. Dia juga ingin tinggal dan selalu berada di sisi wanita yang ia cintai, namun tidak semua keinginan harus terwujud, ada kalanya mengalah akan menghasilkan hal yang lebih baik.
"Aku tidak bisa mengharapkan negara ini untuk memberi lebih padaku, aku hanya berharap kau bisa berbangga padaku sebagai seorang tentara yang membela negaranya. Tuhan akan mendengar kita, dan memberikan kebahagiaan pada kita sebagai balasan dari semuanya," tutur Ichigo yang kembali bersuara lembut, dia meremas bahu ringkih Rukia dan kembali membawa Rukia masuk dalam pelukannya, membagi hangat tubuh di malam dingin menjelang detik-detik kepergian Ichigo menuju medan perang di daerah perbatasan.
"Negara ini kekurangan jiwa-jiwa besar yang rela berjuang tanpa pamrih. Bukan jiwa yang mengatasnamakan negara demi kepentingan sendiri, namun jiwa yang bisa saling bergandeng tangan untuk membangun serpihan negara yang terserak karena keegoisan para pemimpin yang tidak bertanggungjawab. Kau mengerti hal itu. Bahkan kakakmu ikut mendorong para menteri untuk kembali ke landasan dasar negara, untuk terus memperjuangkan diplomasi dengan ke negara-negara lain."
Ichigo menarik napas panjang untuk meresapi wangi rambut Rukia yang begitu menyejukkan hatinya, dan menghembuskannya perlahan, seiring helaan napasnya ketenangan memenuhi rongga dadanya.
"Aku mau kau tetap tinggal," desis Rukia di dada Ichigo, airmatanya perlahan berhenti menetes, lelah terus meminta tapi tidak pernah didengar.
"Maaf, Rukia. Aku tidak bisa, aku dan anggota lain harus berangkat. Besok kami akan-"
"Malam ini!" potong Rukia seraya mengambil satu langkah mundur, mata violet gelapnya menangkap mata hazel Ichigo, memberi pesan menyerah dan gencatan senjata.
"Tinggallah malam ini, dan aku akan biarkan kau pergi besok..." lanjut Rukia dengan rahang mengeras mengadu gigi, melampiaskan kepedihannya.
Detik kemudian Ichigo tersenyum, awalnya hanya menarik sudut bibir, lalu menular keseluruh wajah dan matanya, dia tersenyum begitu lebar hingga matanya berbinar, dan tanpa ragu lagi dia meraih wajah Rukia, mendaratkan kecupan ringan di kedua pipi Rukia sambil bergumam, "Terima kasih, kau wanita tegar dan kuat. Pernikahan ini... aku berjanji akan menebusnya begitu pulang dari tugas ini."
"Kau harus," tandas Rukia, sebelum merelakan bibir merah yang tak berpoles lipstik miliknya disentuh Ichigo.
Ichigo mengecup lembut bibir Rukia, namun ia kembali dan menekan lebih menuntut untuk kedua kalinya. Rukia tidak memberikan banyak reaksi, dia pasrah pada Ichigo yang perlahan menuntunnya pada ciuman panas yang dipenuhi dahaga kasih sayang untuk dipenuhi. Ichigo mengatup bibir bawah Rukia, meminta izin untuk mengeksplorasi lebih jauh ke dalam, dan saat Rukia mengerangkan gairahnya, Ichigo mendorong lidahnya masuk, menyapa lidah Rukia dan menyesap madu yang akan selalu ia rindukan selama berada dalam masa tugasnya nanti.
Mereka berciuman seperti tidak akan ada hari esok, menjauh dan kembali bersatu dalam deraan yang terus menuntut untuk merasakan kulit serta hangat tubuh satu sama lain. Tangan saling memeluk erat, tidak merelakan jarak satu sentipun hadir di antara mereka. Kecupan Ichigo turun ke leher Rukia, jatuh pada lekuk leher yang merupakan salah satu titik paling sensitif dari tubuh wanita bangsawan Kuchiki itu. Erangan lain lolos dari mulutnya saat Ichigo meninggalkan kiss mark di bagian dalam lehernya.
"Haruskah aku berhenti sekarang?" bisik Ichigo di kulit Rukia.
"Terlambat..." gumam Rukia yang kemudian menyusupkan tangannya di rambut potongan khas tentara miliknya, rambut pendek itu menusuk telapak tangannya, tapi ia menyukainya.
Ichigo kembali menegakkan badan, dan menjilat daun telinga Rukia, membawa wanita itu pada tingkatan gairah yang lain. Detik kemudian yang mampu Rukia rasakan adalah tangan kekar Ichigo yang menggendongnya dan membawa mereka berdua ke tempat tidur tanpa sedetikpun melepaskan ciuman mereka, dan sisa kisah selanjutnya adalah malam panjang yang mereka bagi dalam cumbu, sentuhan kulit dan puncak kenikmatan yang tidak bisa tergantikan dengan kenikmatan lain.
"Aku mencintaimu, Rukia..." bisik Ichigo begitu mencapai puncak kepuasan yang diraih tubuh dan jiwanya saat menyebarkan benih-benihnya pada Rukia, membuat wanita itu menangis bahagia dan memeluknya begitu erat.
"Aku juga mencintaimu, Ichigo..." jawab Rukia, dan mereka tertidur di bawah selimut yang sama, tidak mempedulikan peluh dan wangi senggama yang menguar dari tubuh masing-masing, mereka hanya ingin merasakan kehadiran satu sama lain selama mungkin.
.
.
.
Hiruk pikuk bandara sempat mengacaukan konsentrasi Rukia yang tengah melihat tanda yang mungkin bisa mengantarnya ke tempat keberangkatan pesawat tentara nasional ke pulau perbatasan. Kakinya memacu cepat mengikuti panah yang bertuliskan pesawat tentara nasional, dan seketika ia berhenti, napasnya terengah saat melihat kumpulan tentara berseragam serba cokelat lengkap dengan topi, mereka tengah berbaris rapi menerima pengarahan dari jendral utama.
Rukia bersyukur ia masih bisa mengejar, karena tadi pagi, begitu ia membuka mata, ia mendapati tempat di sisinya kosong dan dingin, pertanda penghuninya telah lama pergi. Dia bergergas berpakaian, dan meminta sopir keluarga untuk mengejar waktu menuju bandara. Syukurlah ia masih sempat, ia tidak bisa membiarkan Ichigo pergi tanpa pamit padanya, ia ingin melihat wajah pria itu dalam balutan seragamnya. Seragam tentara nasional kebanggaannya.
"Sekian, dan selamat bertugas!"
"Siap, Pak!"
Ichigo berdiri di ujung barisan sebagai tentara paling tinggi, begitu ia balik kanan, matanya langsung menemukan Rukia di antara barisan keluarga lain yang melepas kepergian rekan sejawatnya. Ichigo tidak lantas menghampiri Rukia, dia hanya melangkah dua kali hingga berada satu garis lurus dengan Rukia. Dia tersenyum, namun Rukia tidak bisa melihat jelas matanya yang ternaungi topi dengan logo berwarna emas itu.
"Ichi-"
Langkah Rukia yang hendak mendekat tertahan oleh petugas keamanan bandara yang memang membatasi orang lain dengan satuan tentara nasional.
"Maaf, Nona. Hanya jarak ini yang diperkenankan," kata sang petugas datar.
"Kenapa kau pergi tanpa pamit?" protes Rukia marah, tidak ambil pusing dengan tangan petugas bandara yang membatasinya.
"Aku tidak ingin membangunkanmu, kau terlihat begitu nyenyak," jawab Ichigo lantang, tapi lalu ia tersenyum lebar sampai gigi putihnya terlihat jelas sekalipun dari jarak lima meter.
"Hati-hati." Kalimat itu terlontar begitu saja dari Rukia, hatinya meneriakkan kesedihan, tapi ia tidak akan menyuarakannya, dia akan tegar seperti janjinya semalam saat berada dalam dekapan Ichigo. Ia melihat Ichigo mengangguk dalam.
"Aku janji,..." Ichigo merogoh saku celananya, dan detik kemudian ia melemparkan sesuatu ke arah Rukia, untungnya Rukia cukup tanggap dan tangan cekatannya menangkap benda yang dilempar Ichigo tepat waktu.
"Aku titip! Kalau aku kembali kau harus kembalikan padaku ya!" lanjut Ichigo yang kemudian menegakkan tubuhnya, sikap sempurna seorang prajurit dan ia memberikan hormatnya pada Rukia.
Wanita Kuchiki itu tidak mampu lagi menahan air matanya, dan bulir itu menetes bersamaan dengan senyum tulus yang terukir di wajahnya.
"Kau harus kembali!" jawab Rukia yang membalas salam hormat Ichigo, dan Ichigopun membalikkan badan, meninggalkan wanita itu.
Ichigo meniti tangga yang mengantarkannya ke lapangan tempat pesawat parkir. Dia adalah prajurit unggulan yang selalu mencetak prestasi di setiap tugas-tugasnya, dia kebanggaan pimpinannya, kebanggan keluarga, putra kebanggaan bangsa dan negara, namun dia ingin juga menangis menunjukkan kelemahannya karena telah membiarkan wanita yang ia cintai ditinggal tepat di hari dimana seharusnya pernikahan mereka dilangsungkan, tapi keteguhan hati prajuritnya menentang itu.
Aku akan kembali! Itulah janji Ichigo dalam hatinya.
.
.
.
"Kau siap menanggung semuanya?"
Rukia hanya mampu menunduk saat dirinya berada di sidang keluarga besar karena telah mempermalukan seluruh keluarga besar bangsawan yang selalu menorehkan prestasi, jasa serta kebanggaan sejak nama besar Kuchiki dilahirkan. Tapi sekarang, Rukia yang tidak lain adalah adik angkat, yang sesungguhnya adalah anggota luar dari keluarga ini, telah mencorengkan noda tak terhapuskan karena mendadak membatalkan pernikahannya karena sang mempelai pria tidak bisa hadir.
"Jawab aku, Rukia," desak Kuchiki Byakuya yang bersuara sedingin es kutub, matanya memicing memperhatikan Rukia yang masih menyembunyikan wajahnya.
"Rukia?"
"Jangan memaksa, Bya! Kau tahu Rukia tidak akan berani menjawabmu!" celetuk Kouga yang membelai-belai rambut merahnya.
Rukia yang mendengar pelecehan yang terlalu jelas itu langsung menegakkan tubuh. Dia bukannya tidak berani menjawab, dia hanya tidak ingin lebih mempermalukan satu-satunya orang yang ia hormati dalam keluarga dengan membantahnya. Kuchiki Byakuya adalah sosok kakak (angkat) yang selalu mengayominya, memberitahunya batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam keluarga jika ingin tetap mereka melihatnya sebagai anggota keluarga.
"Aku bangga membatalkan pernikahanku karena Ichigo bertugas untuk negara, bukan karena alasan konyol yang bisa ditertawakan," sahut Rukia yang hanya rela menatap kakaknya. Rukia berdiri dari sofa, melihat satu persatu wajah para petinggi anggota keluarga, namun matanya kembali lagi pada Byakuya selaku pimpinan tertinggi keluarga. Wanita kurus itu membungkukkan badan memberi hormat begitu mendalam. "Maaf telah memalukan semuanya," ucapnya seraya kembali menegakkan badan, dan dengan begitu ia melangkah menuju pintu. Dia tidak peduli saat Kouga kembali bergumam memojokkannya.
"Begitulah kalau mengangkat adik dari tempat kumuh, kelakukannya tetap saja kumuh!"
"Jaga ucapanmu, Kouga!" geram Byakuya seraya menatap saudaranya itu dengan sorot mata tajam.
Kouga hanya menggaruk kepalanya, tidak mengerti dengan rasa sayang saudaranya yang terlalu besar pada perempuan rendah dari tempat tak layak itu. Sejak awal proses adopsi dia tidak pernah setuju dengan keputusan Byakuya, tapi karena Byakuya adalah kepala keluarga, ia tidak bisa banyak protes atau proses pengucuran dana keluarga padanya akan dipersulit.
"Terserahlah!" gumam Kouga yang lalu menyusul Rukia keluar dari ruang rapat keluarga.
Byakuya tetap mempertahankan sikap dingin dan tak berekspresinya, namun saat semua anggota keluarga keluar dari ruangan, dia menghela napas yang sedari tadi ia tahan. Wajahnya memucat dengan cepat, dan tubuhnya terhempas penuh lelah ke sofa.
"Aku tidak pernah bisa memperkirakan jalan pikiran Rukia," gumamnya sambil memijat pangkal hidungnya, pening menyerangnya seketika. "Rukia tegar, tapi ketegarannya membuatku takut untuk menanyakan kesanggupannya untuk bertahan. Entah mengapa aku takut ia akan terluka jika aku bertanya."
Byakuya melihat foto Hisana yang terpajang di meja yang berisi belasan foto keluarga. Hisana yang lembut dan baik hati, wanita yang memiliki wajah sama persisi dengan Rukia, namun garis lemah dan dewasa di wajah itu jauh lebih nyata dari Rukia. Hisana adalah istri Byakuya yang tidak pernah menemui Rukia secara langsung, wanita itu mengakui telah meninggalkan adiknya dan menjelang kematiannya ia berpesan untuk mencari Rukia. Namun Byakuya tidak pernah menyangka akan mengalami begitu banyak pertentangan agar bisa memasukkan Rukia dalam keluarga besar. Sekarang, setelah semua orang mengakui kemampuan Rukia yang telah menguasai tata krama keluarga bangsawan, mengenyam pendidikan tinggi, hingga berhasil memimpin perusahaan besar di bawah naungan keluarga Kuchiki, hanya satu kesalahan saja dari adiknya itu, seperti menghapuskan semua usaha dan kerjakerasnya selama ini.
"Apa yang harus aku lakukan padanya, Hisana?" gumam Byakuya yang kembali menghela napas berat.
.
.
.
Rukia memasuki kamarnya. Gelap menyelimutinya seketika ketika ia menutup pintu di belakangnya. Dia sengaja tidak menyalakan lampu atau penerangan lain, dia ingin berada dalam kegelapan dan kesendirian ini beberapa waktu. Berada dalam sidang keluarga adalah mimpi buruk untuknya, memberi sensai ngeri yang tidak pernah bisa ia bandingkan. Mata yang memandang rendah bahkan cenderung jijik, bercampur dengan kebencian atas kehadirannya. Tuduhan yang ditujukan untuknya pada akhirnya hanya akan menyebabkannya menelan kepahitan dan minta maaf atas kesalahan yang ia sendiri tidak mengerti dimana letak salahnya.
"Beri aku kekuatan, Ichigo..." gumam Rukia. Punggungnya perlahan merosot turun dari daun pintu, tangan kecilnya meraih benda di saku roknya, dan dengan sisa-sisa ketegarannya ia menggenggam benda itu begitu erat ke dadanya, tidak ingin kehilangan.
Cincin pertunangan yang mereka ikrarkan tanpa disaksikan siapapun berada di tangannya. Ichigo menitipkannya kembali, meminta Rukia untuk tetap bersabar dan menunggunya kembali, jika pada waktunya nanti mereka bertemu lagi maka kebahagiaan itu akan menghampiri mereka dengan sendirinya.
Harapan, cinta dan cita-cita itu selalu ada, selalu hidup dalam hati Kuchiki Rukia.
.
.
.
Tenda dan barak yang mereka dirikan satu bulan lalu telah berubah warna dan menyatu dengan warna alam, sewarna dengan para prajurit dan pejuang yang menghuninya. Gudang senjata mereka berada dalam barak berwarna hijau yang selalu berada dalam kondisi tertutup rapat dengan pengamanan khusus. Sementara beberapa perajurit berkeliling untuk berpatroli di sekeliling posko, tim strategi sedang berdiskusi di salah satu barak.
"Kita tinggal melumpuhkan mereka di desa ini," ucap Tsukishima yang menunjuk sebuah tempat di peta yang ia bentangkan setengah jam lalu di meja diskusi mereka. Pria dengan bekas luka di sisi mata kirinya itu adalah perwira menengah dengan pangkat mayor yang khusus diturunkan dalam misi ini untuk memberi advis mengenai strategi perang. Kebanyakan peperangan yang berada dalam kendali pria berambut hitam kelam dengan mata cokelat ini selalu meraih kemenangan dalam waktu singkat, namun peperangan kali ini membutuhkan waktu lebih dari rekor-rekor yang pernah ia ukir sebelumnya. Dia tenang dan nyaris tanpa ekspresi, bahkan tidak pernah menguarkan aura kemarahan, sedih, atau menyesal sedikitpun ketika mendapatkan berita terburuk dengan anggotanya.
Ichigo memperhatikan perwira yang berada satu tingkat di bawahnya itu, kagum sekaligus ngeri dengan pembawaan pria itu, tapi ia percayakan semua strategi pada pria itu, dan dia berharap pertarungan besok di desa Hueco Mundo adalah pertarungan terakhir yang akan mereka menangkan. Selain desa tersebut adalah bagian paling berat dari semua titik yang harus mereka taklukan, desa itu adalah penentu keberhasilan mereka memenuhi misi ini.
Tuhan, dengar dan kabulkanlah do'a kami hari ini, gumam Ichigo dalam hati.
"Bagaimana dengan sisa anggota kita?" tanya Ichigo begitu melihat titik-titik yang harus diisi dengan formasi penyerangan.
"Lapor, Komandan!"
Mata hazel itu beralih dari meja diskusi ke seseorang yang maju dari barisan luar diskusi, tangan kanannya terangkat memberi hormat, tapi tidak pernah mencapai posisi yang seharusnya. Pria bertubuh kecil dengan sebaris nama bertuliskan Yamada Hanatarou di dada kanan seragamnya itu tidak memiliki telapak tangan, dia kehilangan sebelah telapak tangannya saat berusaha mengebom barak musuh dengan granat dalam misi sebelumnya setahun lalu, dan ia berada di bawah kepemimpinan Ichigo saat itu. Pangkal tangan yang hilang masih berada dalam balutan perban tebal. Ichigo yang tiap kali melihatnya selalu merasa sakit, turut menyesal telah lengah memperingatkan anak buahnya itu saat menjalankan misinya. Segala hal yang terjadi pada anggota dalam misi adalah sepenuhnya tanggungjawab sang pimpinan. Namun Hanatarou tidak pernah sekalipun menyalahkan Ichigo, hal ini pula yang membuatnya salut dengan sersannya ini.
Peperangan. Semua harus rela kehilangan, bahkan nyawa sendiri sekalipun. Semua demi tumpah darah negeri! Demi pengabdian pada negeri yang dicintai.
"Silahkan, Sersan Hanatarou!" ucap Ichigo kalem.
"Jumlah awal prajurit yang ikut ada 40 orang, setelah penyerangan ke beberapa desa sebelum ini anggota yang tersisa masih 38 orang, namun saat penyerangan di desa Xcution kemarin kita kehilangan anggota paling banyak, sepuluh orang gugur, dan sekarang anggota kita tinggal 28 orang."
Ichigo terdiam sejenak, memikirkan jumlah tempat yang harus ia konsentrasikan ada tujuh titik melihat dari penjelasan Tsukishima, dan semua tempat harus memiliki personil untuk bisa mengepung musuh dengan sempurna, tapi anggotanya hanya tersisa dua puluh delapan orang. Ini adalah misi terberat yang membuatnya telah kehilangan banyak prajurit. Tim intel telah menyampaikan betapa lihai, licik, dan kuatnya musuh di perbatasan, tapi ia tidak menyangka harus mengorbankan begini banyak jiwa.
"Bagian pangan menyampaikan bahwa sisa stock hanya untuk bertahan dua hari."
"Kenapa bisa?" sergah Ichigo tidak sabar, karena anggotanya tidak bisa berperang dalam kondisi lapar.
"Siap, Komandan! Kita membawa stock untuk tiga minggu, sudah menyadangkan stock untuk satu minggu lebih lama dari perkiraan awal, tapi sekarang sudah satu bulan, dan suplai baru tertunda dalam perjalanan laut, kondisi laut berbadai dan ombak tinggi," jelas Hanatarou.
"Jadi misi harus selesai besok," gumam Ichigo, jauh lebih untuk dirinya sendiri. Otaknya berpikir keras dan melihat bolak balik antara Hanatarou dengan peta strategi mereka.
"Kami selalu mendukung Anda, Kolonel Kurosaki! Anda komando kami, dan kami akan menjalankan perintah Anda!" Stark selaku pemimpin tim satu yang sekarang hanya tersisa enam orang ikut andil dalam diskusi alot ini. Pria berambut gelombang itu menatap pempimpin tim yang lain, wajah mereka dipenuhi keyakinan yang tak tergoyahkan. Berada di bawah komando Ichigo dalam tiga misi terakhir, cukup membuat mereka yakin bahwa Kolonel Ichigo adalah komando yang tepat dan benar, bukan sekedar pemimpin yang baik.
"Bagus! Kalau begitu seluruh tim akan dibagi menjadi tujuh."
Raut wajah tanya memenuhi pemimpin kelima tim, karena dengan membagi tim menjadi tujuh, mereka membutuhkan dua orang lagi pemimpin tim.
"Tim satu sampai lima dipimpin oleh pemimpin yang ada, sedangkan tim enam akan dikomando oleh Mayor Tsukishima, dan tim tujuh akan aku pimpin langsung."
"Siap! Interupsi, Kolonel Kurosaki!" Hantarou mengangkat tangannya, meminta izin untuk bicara.
"Diterima!" jawab Ichigo tegas.
"Siap, Komandan! Saya mengajukan diri memimpin tim tujuh!" ucap Hanatarou dengan memberi hormat sebelum melengkapi kalimatnya.
Ichigo menyeringai lebar, matanya memicing menatap Hantarou dari sudut sinis, bahkan dalam kondisi penerangan tenda yang remang, semua bisa melihat mata Kolonel mereka berkilat cepat, sinis dan merendahkan, kemudian ia mendesis hina sambil berkata, "Sersan Yamada... kau pikir aku tidak sanggup memimpin langsung di medan perang?"
"Siap, Komandan! Saya tidak pernah meragukan kepemimpinan Komandan!" sahut Hanatarou kembali dengan suara lantang, dia tahu komandannya tidak akan menganggap dirinya berani merendahkan pemimpin yang justru sangat ia hormati.
"Stark, berikan Kira, Iba, dan Omaeda!" perintah Ichigo sambil kembali melihat peta di meja diskusi.
"Siap, Komandan! Saya akan memberikan Kokuto sebagai pengganti Omaeda!" sahut Stark.
"Aku tidak butuh anggota sehebat Kokuto, dia dibutuhkan di garis depan. Cukup berikan aku tiga orang itu, dan kau, Sersan Yamada!" Ichigo menaikkan dagunya menunjuk Hanatarou yang hampir tidak terlihat karena tubuh tidak terlalu tingginya. Sejak awal Ichigo sendiri bertanya-tanya mengapa prajurit sepertinya bisa lolos seleksi masuk kemiliteran, tetapi dedikasi Hanatarou untuk negaranya tidak bisa diragukan, sehingga Ichigo tidak pernah berpikir untuk memutasikannya ke koordinator lain.
"Siap, Komandan!" Hanatarou meluruskan pandangannya, kembali memberi hormat dengan tangan buntungnya.
"Kau ikut dalam tim tujuh. Siapkan mental dan fisik, pastikan kau bisa menarik pelatuk senapan! Aku tidak butuh prajurit lembek untuk menjatuhkan lawan!" tandas Ichigo.
Hantarou yang mendengar perkataan kasar Ichigo, bukannya sakit hati, malah tersenyum lebar dan menegakkan sikap badannya. "Siap, Komandan!" dia memberi salut lagi untuk Kolonelnya, tidak menyangka bisa mendapat kehormatan lagi untuk berada langsung di bawah komando Kolonel Kurosaki, mengingat pangkatnya sekarang hanya seorang Sersan dan diberi tanggungjawab sebagai penginventaris perangkat perang di markas.
"Pertemuan selesai! Kembali ke barak dan tenda masing-masing, kita akan beraksi jam tiga dini hari. Siapkan diri!"
"SIAP KOMANDAN!"
Seluruh anggota keluar dari tim setelah Ichigo membalas hormat mereka. Tinggal Ichigo berada dalam barak, melihat kembali peta buta di depannya, dan kembali menganalisa strategi yang akan ia gunakan.
Besok adalah hari penentu, dan desa Hueco Mundo sudah seharusnya punya negari ini, tidak seharusnya direbut negara tetangga yang tidak bertanggung jawab. Hidup di daerah perbatasan adalah neraka sendiri bagi mereka yang belum bisa mempertahankan bendera negerinya sendiri untuk berdiri. Karena itu Ichigo bertekad untuk membuang neraka itu dan menjadikan daerah perbatasan adalah daerah yang pantas dan tepat untuk ditinggali.
.
.
.
"Rukia, kau terlalu banyak bengong akhir-akhir ini."
Rukia tersentak dari lamunannya, matanya yang menerawang menatap langit biru di atasnya beralih pada sosok wanita bertubuh sintal dengan rambut panjang bergelombang yang indah. Rangiku, atau biasa ia panggil Ran, tengah berdiri santai di ambang pintu ruangannya, sebelah tangannya memegang document keeper tebal, sementara tangan yang lain ia istirahatkan di pinggang, bergaya bak super model.
"Ada dokumen penting apa?" tanya Rukia yang kemudian menjauh dari beranda ruangannya, duduk di kursi berlapis kulit hitam kelas tinggi, menyamankan diri dan menunggu Ran duduk di kursi seberangnya. Dia menerima dengan cepat document keeper cokleat yang begitu ia buka, menampangkan judul laporan keuangan PT Kuchiki Textile.
"Dokumen itu tidak terlalu penting! Yang penting justru menghilangkan sikap bengongmu itu! Sadar tidak sih, kau tambah pucat akhir-akhir ini?!" lanjut Ran, menarik kursi di seberang meja Rukia, dan duduk dengan santainya, dia tidak sama sekali menunjukkan penghormatan untuk Direktris di hadapannya. Mereka teman sejak SMA, dan sekarang Ran bekerja sebagai sekretarisnya, jadi mengenali Rukia bukanlah hal sulit untuknya.
"Margin masih mencapai 30%, ku pikir bisa meningkat bulan ini. Model baru sudah diluncurkan, kan?" ucap Rukia sambil menganalisa barisan angka di laporannya.
"Jangan mengalihkan pembicaraan!" sergah Ran seraya meraih document keeper dan menutupnya rapat-rapat, jari-jari lentik dengan cat kuku warna ungu mengilat sengaja ia istirahatkan di atasnya, dan matanya mengerjap dua kali sebelum menatap sahabatnya dalam-dalam, menuntut kejujuran dari pemilik mata violet gelap itu.
"Aku tidak-"
"Jangan bohong! Semua tertulis di wajahmu, Rukia! Kau perlu ke dokter, khususnya psikiater. Sejak Ichigo pergi kau seperti kehilangan semangat hidupmu. Padahal ini bukan kali pertama Kolonel berprestasi itu pergi meninggalkanmu untuk tugas kenegaraan," cerocos Ran tanpa mengindahkan sama sekali sikap tidak enak pemilik rambut hitam pendek itu.
Rukia tersenyum lemah untuk meyakinkan sahabatnya, tapi senyumnya tidak pernah sampai ke pancaran cahaya matanya, karena itu Ran bisa dengan cepat menyimpulkan bahwa sahabatnya sama sekali tidak baik, tidak sehat secara fisik dan kejiwaan.
"Tidak ada kabar sama sekali dari Ichigo."
Akhirnya kalimat pengakuan itu terlontar. Hal itu yang Rukia butuhkan, membagi bebannya dengan orang lain, karena itu Ran meraih tangan Rukia, meremasnya perlahan, dan miris sekali merasakan tangan Rukia begitu kecil berada dalam genggamannya, entah tangannya yang tambah besar atau memang jemari Rukia yang semakin kurus.
Ran ingin meyakinkan sahabatnya bahwa mereka bisa terus bersama dan saling menopang. Sehingga Rukia tidak perlu ragu untuk membagi sedikit cerita yang mungkin bisa mengurangi kepenatan dalam benaknya. Ran tersenyum tulus untuk Rukia.
Rukia merasakan beban berat di hatinya sedikit terangkat mendapati sikap lembut Ran. Sontak ia condong dan mengistirahatkan kepalanya di atas meja, merasa begitu lelah.
"Satu bulan sudah terlewat dan tidak ada satu kalimatpun yang aku dengar tentangnya. Misi yang ia lakukanpun belum ada kabar sama sekali di kementrian. Kakak tidak bisa mengakses lebih dalam ke militer, semua berita tentang misi Ichigo dijaga ketat. Aku mulai cemas, Ran. Dia tidak pernah menjalankan tugasnya selama ini..." tutur Rukia berat, seberat beban di hatinya, memikirkan Ichigo telah menambah tua umurnya berpuluh-puluh tahun, mencemaskan pria itu, memikirkan apakah ia terluka atau tidak, berdo'a sepanjang malam, meminta Tuhan untuk tetap mejaganya dari keburukan macam apapun.
Ran membelai rambut Rukia. "Dia akan kembali, kau jangan cemas seperti ini. Selama mereka tidak memberikan kabar apa-apa, yakinlah bahwa kekasihmu akan baik-baik saja. Masa' pria berbadan kekar sepertinya kalah? Aku tidak akan percaya, dia saja bisa mengalahkan Chad dalam gulat profesional, jadi tidak mungkin dia kalah dengan mudah!"
Mau tidak mau Rukia tersenyum, dia tidak pernah menyangka kalau Ran akan mengungkit hal adu gulat Ichigo dengan pacaranya itu, padahal jelas-jelas waktu itu Ran hanya bercanda menantang Ichigo yang lebih kecil dari Chad untuk melawan Chad. Tapi Ichigo menang dengan strategi, bukan sekedar mengandalkan fisik. Karena itu Rukia percaya pada kata-kata Ran, yakin bahwa Ichigo baik-baik saja. Ichigo tidak akan mudah dikalahkan!
"Kalau begitu kita makan sekarang?"
Rukia menegakkan punggungnya, dan kepalanya menggeleng cepat.
"Kenapa?" Ran hampir melompat dari kursinya, tidak terima kehilangan santapan gratis siang ini, dan lebih tidak terima melihat Rukia semakin kehilangan cadangan lemak di tubuhnya.
"Aku tidak enak badan seharian ini, tidak bisa makan selain roti selai." Rukia menunjukkan wajah menyesalnya, tapi Ran bersikeras dan menarik Rukia bangun dari kursinya.
"Kau harus makan! Kalau perlu aku paksa. Kau sudah kurus, jangan sampai mereka bilang bangsawan Kuchiki tidak sanggup memberi makan keluarganya karena sudah jatuh miskin!" sela Ran yang langsung menarik Rukia keluar dari ruangan direktur utama, dan Rukia yang memang berbadan kecil hanya bisa menurut mengikuti kemana sahabatnya menuntun.
Cepatlah kembali, Ichigo.
.
.
.
"Seluruh tim monitor!" ucap Ichigo di earphone handy talkynya, menunggu respon dari semua tim yang telah menyebar sejak lima menit lalu. Mereka sudah memasuki desa Hueco Mundo dari arah yang sudah ditentukan saat diskusi semalam.
"Tim satu siap di posisi!" jawab Stark.
"Tim dua siap!"
"Tima tiga siap!"
"Tim empat siap!"
"Tim lima siap!"
"Tim enam siap!" suara datar Tsukishima menutup laporan semua pimpinan unit tim.
Ichigo melihat titik tempatnya berada, dan setelah menerima laporan yang bercampur dengan suara gesekan ilalang, rumput dan alam, ia kembali meneliti kondisi desa Hueco Mundo yang sudah di kuasai oleh orang-orang dari Fullbring. Orang barbar itu menggunakan senjata dan tangan mereka memerintah para warga, bahkan mereka mengumpulkan beberapa warga di tengah lapangan untuk mereka siksa sebagai bahan tertawaan.
"Sialan!" Ichigo menoleh, Omaeda mengadu giginya sementara tangan besarnya bersiap di pelatuk senapan laras panjangnya.
"Jaga emosimu, Prajurit!" geram Ichigo memperingatkan, matanya menusuk dalam pada pria berbadan tambun itu.
"Mereka menyiksa wanita dan anak-anak, tidak bisa dimaafkan, Komandan!" sahut Omaeda dalam bisikan amarah.
"Tim Tujuh monitor!" suara Tsukishima sampai di telinga Ichigo
"Masuk!" sahut Ichigo.
"Mereka tiba, ada di titik dua puluh enam, dua truck berada dekat tim satu, sandera bersama mereka!" lanjut Tsukishima, dan Ichigo mengerti dengan sebutan mereka dari Tsukishima. Mereka adalah pasukan tambahan Fullbring yang sudah diperkirakan akan datang untuk menambah personil dan salah satu di antaranya adalah Kugo yang merupakan pimpinan tertinggi militer Fullbring. Sandera yang mereka bawa sudah pasti warga yang menghilang dari beberapa desa yang sudah mereka tangani.
Tidak heran jika Fullbring menjadikan Hueco Mundo sebagai sasaran terakhir. Desa Hueco Mundo adalah desa kecil namun bernilai besar karena memiliki tambang emas terbesar di dunia, karena itu tidak heran banyak negara yang mengincar, terutama Fullbring yang merupakan negara perbatasan terdekat dari desa ini. Hueco Mundo hanya terdiri dari 20 kepala keluarga, dan data yang mereka miliki, dari 76 orang seluruh penghuni desa, sekarang tinggal sekitar 50 orang karena setiap harinya ada yang mati karena kekejaman para tentara Fullbring.
"Hanatarou!"
"Siap, Komandan!"
Sersan dengan tangan cacat itu telah bersiap dengan senapannya, tangan kiri yang masih utuh ia gunakan sebagai pengeksekusi senapan, wajah sendunya berubah keras penuh semangat dan ketetapan untuk menuruti pimpinan dan membela negaranya.
"Seperti yang aku sampaikan sebelum berangkat tadi. Kau lindungi aku! Kira ambil sisi kiri, sementara Iba ambil sisi kanan. Terakhir kau Omaeda, siap di sini sebagai cadangan terakhir serangan. Aku tidak bisa bertaruh membiarkan semua unit maju, harus ada lapisan serangan kedua, dan senjatamu memiliki amunisi paling banyak. Omaeda, tanganmu cekatan, tapi badanmu lambat bergerak di medan, kau paham kelebihan dan kekuranganmu sendiri?" desis Ichigo, memperhatikan prajurit dengan pipi penuh itu.
"Siap, Komandan!" kata Omaeda penuh keyakinan.
"Kau memegang senjatakin Full Automatic Rifle, bisa menembak 50 peluru dalam satu menit. Jatuhkan sebanyak mungkin musuh, kami bergantung padamu!"
"Siap, Komandan!"
"Semua unit, maju dalam aba-aba!"
Ichigo membenarkan posisi senapan di tangannya, menunggu para targetnya berada di titik yang sama sehingga memudahkan mereka untuk menjatuhkan mereka. Dia bisa merasakan ketegangan dari helanaan napasnya sendiri, bahkan dia yakin anggotanya yang lain juga merasakan tegang yang sama, dan ini adalah misi penting untuk negara mereka.
Mata hazelnya memicing saat membidik dari selongsong target senapannya, ini akan menjadi pertarungan besar dalam seluruh misi-misinya.
Mobil para anggota Fullbring parkir di halaman rumah warga, seragam garis merah hitam mereka mencolok di antara para warga yang menggunakan baju lusuh dan berwarna pudar. Seorang anggota dari mereka menerobo masuk ke rumah warga, menodongkan senapan mereka dan menyeringai penuh kemenangan saat berteriak masuk dan meneror penghuni rumah.
"Keluar! Berikan kami makan & minum!" teriak seorang prajurit Fullbring sambil menendang keluar seorang warga, tubuh ringkih tinggal tulang pria paruh baya itu terhempas ke tanah halaman rumahnya, mata sayunya memohon pengampunan dari orang-orang kejam di hadapannya.
"Mana keluargamu yang lain, Pak Tua?" tanya seorang yang duduk di kap mobil jeep dengan revolver di tangannya, terhunus tanpa belas kasih ke pria tua tadi.
"M-M-Mereka pergi ke lokasi tambang dari kemarin sore, tapi belum kembali," gagap Pak Tua yang ketakutan setengah mati melihat nyawanya tinggal diujung tarikan pelatuk si pemimpin.
Pempimpin yang bernama Kugo itu tertawa sinis, di penerangan seminim ini pun mereka bisa melihat kesombongan pria bertubuh kekar itu.
"Sialan!" Stark mengumpat dari tempat persembunyiannya, matanya menatap penuh-penuh pada Kugo, mengincar nyawa orang kejam itu.
"Bawa ke sini wanita itu!" seru Kugo pada seseorang di belakang mobil yang ia duduki.
Detik kemudian suara teriakan wanita mendekati mereka, itu berteriak kesakitan saat salah satu tentara Fullbring menyeretnya dengan menarik rambut panjangnya yang berwarna merah, kepedihan dan sakit di wajahnya terlihat jelas, dan saat wanita itu sepenuhnya muncul di hadapan pria paruh baya tadi wanita itu menangis lebih keras.
"Ayah..." rintih wanita tadi penuh iba.
"Riruka..." keluh pria tadi, tidak tega melihat anaknya yang menerima luka di sekujur badannya. Wajahnya lebam dan bengkak, bahkan jejak darah terlihat dari luka di pelipis hingga mengalir ke leher putih pucatnya. Bajunya koyak di tempat yang tidak semestinya, membuat pria ini langsung tahu bagaimana anaknya telah diperlakukan, dilecehkan sebagai pemuas nafsu bejat mereka.
"Kau bilang mereka pergi ke tambang? Apa kau mau berbohong, Pak Tua? Kau mau mati sekarang juga, hah?" Kugo mengarahkan revolvernya tepat ke kepala pria tadi.
"Jangan, jangan tembak Ayah! Ja-"
Dor!
Riruka jatuh ke tahan seketika, kakinya kehilangan tenaganya yang tersisa saat melihat Ayahnya terkapar bersimbah darah, kepalanya ditembus peluru dari jarak dekat hingga pria itu tidak sampai meregang nyawa, langsung menghadapi kematiannya di detik yang sama.
"AYAH!" pekikan lirih Riruka membahana ke sekeliling hutan yang melindungi desa Hueco Mundo, jeritannya yang sarat dengan duka membuat para kelelawar dan burung yang beristirahat di pohon-pohon berkoak keras bersamanya, ikut menyuarakan kesedihannya.
"Bajingan! Kalian bukan manusia! Iblis!"
"Jaga mulutmu, Pelacur!" Riruka terlempar beberapa meter saat sebuah tangan menghantam pipinya keras.
.
.
.
Dor!
Mata cokelat Tsukishima melihat dengan jelas pembantaian di seberangnya, dia sampai harus mengepalkan telapak tangannya untuk menahan kemarahan yang terbangun seketika dalam dirinya. Dia melihat wanita bernama Riruka itu menjeritkan kepergian ayahnya, tangisnya pecah dan mau tidak mau ia merasa begitu iba melihat wanita itu, hingga ia ingin membantai orang bernama Kugo itu di saat yang sama.
"Komandan!" geram Tsukishima tidak mampu bersabar lagi saat melihat wanita bernama Riruka itu dipukul hingga jatuh ke tanah.
"Tahan, Tsukishima!" jawab Ichigo yang ikut merasakan hatinya mengkerut sakit melihat pemandangan sadis penyiksaan di hadapannya.
"Fullbring brengsek!" umpat Kira yang berada di belakang Ichigo.
.
.
.
"Bawa mereka ke sini!" perintah Kugo sambil menembakkan senapannya ke udara, memberi aba-aba pada anak buahnya.
"Ini yang harus kalian terima karena militer kalian sudah berani membantai anggotaku! Kau pikir aku akan tinggal diam? Satu anak buahku yang mereka habisi, maka sepuluh nyawa akan aku hilangkan sebagai gantinya!" gelak Kugo penuh kebanggaan, dia tertawa begitu keras melihat air mata wanita jalang di hadapannya kembali menetes.
"Menangislah! Sembahlah aku, minta kebebasanmu! Aku akan berikan begitu kau sampai di neraka!" lanjut Kugo seraya mengarahkan revolvernya ke arah Riruka, dan dia menembak kaki kanan Riruka tepat saat sepuluh orang warga Hueco Mundo digiring ke hadapannya. Tangan setiap warga diikat, dan mata mereka ditutup kain.
Riruka berteriak kesakitan saat peluru bersarang di betisnya, dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangisnya keluar lagi, wanita ini tidak rela terlihat lemah lagi di hadapan para penyiksa ini. Dia harus kuat, dan harus melawan.
"Lihatlah orang-orang tak berguna ini!" seru Kugo sambil menunjuk barisan di depannya. "Menambang emas dengan tangan mereka. Cih! Mereka pikir siapa mereka? Tempat sebagus ini seharusnya diberikan kepada kami, negara Fullbring! Bukan Soul Society yang tak becus mengatur negaranya sendiri!" serapah Kugo yang kemudian menembak mati seorang di antara barisan warga, tubuh itu limbung dengan cepat, menemui malaikat maut.
.
.
.
Stark tidak bisa melihat pembantaian di depannya, tapi ia harus mengikuti komandannya. Dia mengerti Kolonel Ichigo sedang menunggu semua pemetaan musuh masuk dalam jangkauan mereka, dan memastikan warga sipil sudah terlihat keseluruhan, sehingga mereka tidak akan salah serang dan ikut membantai warga sipil. Orang-orang Fullbring yang masih berada dalam mobil truck militer mereka turun satu persatu saat pimpinan mereka memberi kode untuk berkumpul dan menonton aksi kejamnya.
Orang-orang itu tertawa keras melihat tontonan sadis di hadapan mereka.
Stark menaikkan senapannya tepat ke arah kepala Kugo, tapi kemudian ia mendengar perintah dari Kolonel Ichigo.
"Stark, selamatkan warga yang ada di truck. Bawa mereka ke tempat aman."
"Siap!"
Stark menegakkan punggungnya, namun masih dalam posisi bergerilya. Wajahnya yang gelap akibat melawan alam menghadap kepada anak buahnya, memerintahkan mereka untuk bergerak perlahan. Mereka adalah unit yang berada dalam jangkauan terdekat dengan dua unit truck yang di parkir berjarak sepuluh meter dari tempat penyiksaan, dan semua seperti prediksi Kolonel Ichigo bahwa mereka akan membawa sandera. Jalan akses yang mereka pilih pun tepat, tidak salah jika orang seperti Kolonel Ichigo yang memimpin misi gerilya seperti ini.
Kokuto mengangguk pada Stark yang mengisyaratkannya untuk maju lebih dulu. Pria bermata satu itu menghunus senapannya, dengan mata memindai sekitar, mencari keberadaan musuh, dan hanya dia yang menggunakan senapan dengan peredam, sehingga tidak akan menarik perhatian musuh. Pria tinggi itu menyusup ke bagian belakang truck yang lolos dari pengawasan tentara Fullbring, ada puluhan warga dari desa-desa lain yang sudah berhasil mereka bebaskan. Tidak heran mereka sedikit sekali menemukan warga di desa-desa sebelumnya, karena tentara Fullbring sudah menculik mereka.
Jari kurus kokuto terangkat ke mulut, memberi kode pada para warga sipil untuk tetap diam, sementara ia melangkah ke kanan truck, dan menemukan seorang tentara Fullbring sedang melihat lurus ke depan, dan dia menembaknya tepat saat orang itu menoleh ke belakang, tidak sempat berteriak memanggil temannya, namun peluru yang menembus kepala si tentara mengundang tentara lain.
"Siapa?"
Sontak Kokuto berdiri merapat ke badan truck, dan dengan cepat berguling hingga berada di bawah truck. Matanya jeli memperhatikan kaki yang mendekat ke mayat yang tergeletak di depannya.
"Hei!" tentara itu berjongkok di sebelah mayat rekannya setelah mengarahkan senjatanya ke belakang, memeriksa temannya yang sudah tak bernyawa lagi.
Kokuto tidak melewatkan kesempatan ini, dan dengan satu kali tembak ia menumbangkan prajurit Fullbring tersebut. Matanya mungkin tinggal satu yang berfungsi normal, tapi jangan pernah meragukan kecepatan dan ketepatannya dalam membidik target.
Prajurit berbadan tinggi itu keluar dari persembunyiannya, kembali mencari keberadaan ancaman lain, sementara Stark dan tiga orang rekannya yang lain terbagi dalam dua tim dan melepaskan para sandera. Tidak banyak orang yang ditinggalkan tentara Fullbring untuk menjaga para sandera yang keseluruhan berjumlah lima puluh orang.
Jalur evakuasi telah mereka periksa, dan segera saja dua orang lain anggota tim Stark mengawal sandera menyeberangi sungai yang mengantar mereka ke desa sebelah yang jauh lebih aman. Stark kembali ke tempat Kokuto, bersiap untuk menghancurkan truck yang tidak hanya mengangkut sandera tapi juga cadangan persenjataan tentara Fullbring.
"Lapor, Komandan!" bisik Stark.
"Masuk!" sahut Kolonel Ichigo cepat.
"Sandera aman. Dua truck berisi senjata siap diledakkan!" lapor Stark sambil melihat kanan kiri.
.
.
.
Ichigo melihat Kugo yang kembali mengarahkan revolvernya pada warga sipil lain yang masih berdiri tegak, namun ketakutan dan rintih meminta belas kasihan terdengar jelas dari mulut mereka. Tidak hanya pria, di antara para sandera itu ada anak-anak dan wanita. Ichigo tidak bisa meresikokan lebih lama lagi warga yang tersisa sebagai pengalih perhatian untuk menyelamatkan sandera lain yang masih berada dalam truck.
"Lapor, Komandan!" Ichigo tersentak mendengar suara berat Stark dari earphone di telinganya.
"Masuk!"
"Sandera aman. Dua truck berisi senjata siap diledakkan!"
Satu beban dari pundaknya terlepas, dan dengan begitu ia beralih pada rencana kedua.
"Semua unit bersiap, bidik musuh yang berada paling dekat dengan sandera di halaman. Stark, siap dengan granat!"
"Siap!" seluruh pimpinan unit menjawabnya, dan dia melihat kesiapan masing-masing anggotanya.
Ichigo menaikkan senapannya, membidik tepat di kepala Kugo. Semua unit menahan napas menunggu tembakan pertama dari Ichigo. Mata sang pemimpin hanya berupa garis lurus saat membidik target, dan dia menarik napas sebelum jari telunjuknya menarik pelatuk dan suara tembakan bergema di seluruh hutan.
"SIALAN!"
Tembakan Ichigo meleset hanya melukai sisi kiri kepala Kugo karena pria sadis itu menoleh ke arah lain tepat di saat Ichigo melancarkan tembakannya.
"Musuh!" teriak Kugo keras, tapi tidak cukup cepat karena satu demi satu unitnya tumbang.
"Maju!" pekik Ichigo.
.
.
.
"BRENGSEK!" umpat Kugo yang langsung melompat dan bersembunyi di balik mobil jeepnya. Dia melihat puluhan orang dengan seragam hijau loreng mengepungnya, dan dengan cepat anggota militernya habis.
Dia meraih sesuatu dari sakunya, dan menekan tombol merah sebagai tanda permintaan pertolongan tambahan anggota saat darurat. Kemudian ia mengambil revolvernya, mengisi kembali hingga ia siap untuk kembali baku hantam.
.
.
.
Kira mengambil tempat di kiri, tepat seperti arahan Ichigo, dan Iba menyerang di sisi kanan. Anggota Fullbring tangguh dan dua kali dari jumlah tentara yang mereka miliki.
Namun mereka cukup terbantu dengan keberadaan Omaeda yang meng-cover belakang mereka.
Hanatarou bersembunyi di balik dinding rumah warga, sementara Ichigo berdiri di depannya.
"Stark! Ledakkan sekarang!" perintah Ichigo, dan detik kemudian mereka mendengar dua ledakan besar, warna merah api menyala menerangi peperangan dan hutan gelap di sekeliling mereka, asap hitam membumbung tinggi bersama jilatan api yang tiada henti.
"KURANG AJAR!"
Ichigo mendapati Kugo, sang pemimpin militer Fullbring bersembunyi di belakang jeep, tapi tidak cukup cekatan karena kemarahannya menguar sehingga Ichigo bisa mengetahui keberadaannya. Tangan Ichigo terangkat, dan peluru melesat tepat ke arah Kugo, tapi pria itu masih beruntung karena peluru Ichigo menghantam badan jeep.
"Sial!" umpat Ichigo, dan sebagai balasannya ia menerima tiga kali tembakan dari Kugo, segera saja ia berbalik dan berlindung di balik tembok.
"Hanatarou! Cover!" perintah Ichigo yang langsung menembakkan isi senapannya untuk menumbangkan beberapa tentara Fullbring yang bersembunyi di balik jeep-jeep mereka, menembak tanpa ampun. Ichigo tidak perlu menunggu persetujuan Hanatarou atas perintahnya, kerena di detik ia maju, Hanatarou yang telah melatih tangan kirinya lebih keras dari siapapun dalam batalyon, mengekornya dan menembak mati ancaman yang mengintainya.
Ichigo merunduk dan menegakkan badan berkali-kali sambil menembak Kugo tanpa ampun. Jantungnya memacu cepat, adrenalin, ketakutan, semangat untuk menjatuhkan lawan, semua bercampur dalam tubuhnya, membuatnya terengah saat melihat sekelilingnya yang berubah menjadi lautan api, bahkan satu granat lagi meledakkan jeep yang tersisa.
"MATI KALIAN!" pekik Kugo saat berdiri tegak dan balas melancarkan isi senapannya ke tempat Ichigo bersembunyi.
"Sial!" umpat Ichigo seraya mengganti isi senapannya yang kosong. "Dia terlalu tangguh!" bisik Ichigo yang merapatkan punggung ke dinding rumah lain, merasa begitu kesal tidak bisa langsung menjatuhkan orang itu.
"Kira! Iba!"
"Siap!" jawab keduanya cepat.
Ichigo melihat mereka berdua sedang berjuang menumbangkan lawan masing-masing.
"Maju dan han-"
Mata hazel Ichigo membulat penuh ketakutan saat melihat sebuah mobil tank besar menerobos masuk medan perang, bendera Fullbring berkibar di puncak tank, dan senapan otomatis menembakkan ratusan peluru dalam satu waktu ke arah para tentaranya.
"HA HA HA! MATI KALIAN! JANGAN ANGGAP REMEH FULLBRING!" gelak Kugo tanpa menurunkan tangannya dari senapan, dia tertawa begitu keras melihat darah tentara nasional Soul Society tertumpah dan menganak sungai bersama darah anak buahnya.
"Semua unit, MUNDUR!" pekik Ichigo, namun terlambat karena belum sempat para anggotnya menyelamatkan diri, mereka jatuh terjerembab di tanah terkena muntahan peluru tank.
"IBLIS!" pekik Ichigo. Kebencian dan kemarahan memenuhi akal sehatnya, jantungnya bergerak liar di balik tulang rusuknya, tidak meminta akal sehat sama sekali untuk menenangkannya.
"STARK! Granat tank, SEKARANG!" perintah Ichigo yang kemudian maju dan menembak Kugo tanpa ampun, dia behasil membuat pria bertubuh besar itu terpojok kehabisan amunisi.
Tidak ada jawaban dari Stark, tapi Ichigo mendengar dentuman keras saat kaleng-kaleng tank terhempas di tanah, hanya lempengan kecil yang tak berarti, granat tidak cukup untuk menghancurkan tank sebesar itu.
Ichigo memindai sekeliling sementara Hanatarou di belakangnya terus menembak Kugo, menggantikannya untuk dua detik yang begitu berharga. Dalam keremangan cahaya dini hari, Ichigo menemukan rudal dan selongsongnya teronggok di bagian dalam jeep Kugo.
"Kira! Di belakangku!" seru Ichigo yang kemudian berbalik menuju jeep Kugo yang berjarak lima meter darinya.
Tank terus menembak membabi buta, menjatuhkan setiap orang yang ada, bagian dinding jeep-jeep cekung terkena hantaman pelurunya. Ichgo melihat satu granat lagi mendarat di badan tank, tapi hanya mampu menghentikan lima detik serangan tank.
Kau sudah cukup berusaha Stark! Aku tahu kau sudah tidak punya granat lagi tersisa.
Ichigo meraih rudal dan selongsongnya, menurunkannya cepat, namun tidak cukup cepat, dan Kira ternyata tidak cukup untuk melindunginya. Saat ia hampir mendarat di tanah, sebuah peluru menembus bahu kanannya, sontak Ichigo limbung. Rudal dan selongsongnya terlepas dari tangannya, rudal menggelinding ke bawah jeep.
"Komandan!" pekik Kira yang bergegas mendekat tanpa meringankan serangannya sedikitpun.
Ichigo memberi senyum meyakinkan untuk timnya, bahwa ia baik-baik saja, tidak ada yang khusus dengan luka tembak di bahu, ia masih bisa menggerakkan tangan kirinya. Kira menembak ke seorang prajurit Fullbring yang mengincar Ichigo, prajurit itu lumpuh cepat saat Kira menembak dadanya.
"Rudal!" desis Ichigo yang merangkak ke bagian bawah jeep, mengambil rudal yang akan menghancurkan mesin pembunuh Fullbring, hanya ini harapan satu-satunya untuk mengurangi jumlah nyawa yang akan menjadi korban.
"Iba!" Kira meminta bantuan Iba saat prajurit yang mengincar mereka semakin banyak.
Hanatarou kehabisan amunisi, dia melihat sekeliling, mencari senjata yang mungkin bisa ia gunakan.
Ichigo berhasil mengambil rudal, namun saat ia keluar dari kolong jeep, ia mendapati Kira tertembus peluru tepat di kaki kirinya, sontak prajurit yang bertugas melindunginya itu terjerembab di tanah.
"Tsukishima!" hela Ichigo dalam deraan rasa sakitnya, dia berharap Tsukishima bisa menggantikannya memimpin pasukan saat ia sudah terpojok seperti ini.
"Kami kehilangan kontak dengan Mayor Tsukishima, Kolonel!" jawab seorang anggota tim enam.
"SIAL!" umpat Ichigo yang menarik napas panjang-panjang, memperpanjang pertahanannya yang tersisa.
Ichigo melihat sekelilingnya, kondisi semakin mencekam, dan pasukannya hampir kehabisan waktu, tenaga, terlebih lagi amunisi. Ini harus cepat di selesaikan.
"Kau masih bisa bertahan, Kira?" tanya Ichigo, membantu Kira berdiri tegak, dan Kira mengangguk dalam, memaksa kakinya tetap berdiri tegak sekalipun denyut sakit tak kenal ampun menderanya. Dia tidak akan kalah, itu janjinya pada diri sendiri, dan tidak akan membiarkan komandannya kecewa dengan sikap cengengnya. Dia prajurit dan sudah siap untuk semua jenis rasa sakit.
"Bagus!" Ichigo menarik napas. "Tinggal berapa pelurumu?" tanya Ichigo sambil mengecek senapannya sendiri.
"Kurang dari sepuluh," jawab Kira.
"Apapun yang terjadi kita harus menang!" kecam Ichigo seraya menutup kembali selonsong senapannya, pelurunya tinggal tiga, bukan kondisi yang baik untuk seseorang di medan perang. Mereka sebenarnya bisa menang, tapi dia tidak pernah menyangka akan ada tank yang dikirim Fullbring untuk melawan balik. Mesin pembunuh itu harus dihancurkan.
Hanatarou terpaksa mundur saat Kugo berbalik menyerangnya, entah dari mana pria itu kembali mendapatkan senapan setelah kehabisan amunisi.
Ichigo menoleh ke arah Hanatarou yang berlari mengendap-endap di dekat tumpukan karung beras warga Hueco Mundo, pria bertubuh kecil itu mengambil sebatang bambu runcing, membidik Kugo dan berhasil melukai kaki pria itu saat bambu melambung melewati tumpukan karung beras, tepat ke arah pemimpin militer berseragam merah hitam itu.
"Kau hebat, Hanatarou!" puji Ichigo yang kemudian melemparkan senapannya ke arah Hanatarou saat pria kecil itu menoleh karena mendengar pujian untuknya. Dia menangkap senapan dari Ichigo, membuat semua orang terbengong melihat aksinya.
"Tinggal tiga, pastikan kau menghabisinya!" pekik Ichigo sebelum kembali berkonsentrasi pada rudalnya.
"Ini akan menghancurkan benda sialan itu!" bisik Ichigo, dan kemudian Kira mengerti mengapa komandan tertingginya memberikan senapannya untuk Hanatarou. Tugas melindungi komandan sepenuhnya menjadi tanggungjawabnya.
Ichigo memosisikan selongsong rudalnya di kap jeep, memasang rudal dengan cepat dan mengunci targetnya.
"Mati kalian!" umpat Ichigo seraya melepaskan tembakannya. Jejak asap rudal melesat mengabutkan pandangannya, rudal bergerak secepat kilat, dan meledakkan badan tank hingga hancur berkeping-keping. Lempengan tank terbang ke udara, bersama api yang menjilat-jilat di sekitarnya, mengirim hawa panas ke seluruh hutan. Nyala peperangan yang menyadarkan seluruh penghuni hutan bahwa perjuangan ini belum berakhir, atau justru baru dimulai?
Ichigo berteriak penuh kemenangan, tidak peduli dengan panas yang membakar di udara menyesakkan napasnya, dia telah berhasil menghancurkan mesin pembunuh dan pasukannya bisa kembali menyerang tanpa cemas diintai barisan tembakan peluru.
Euphoria keberhasilan menjatuhkan tank, membuat Ichigo melompat dari persembunyiannnya, bahkan Kira sendiri ikut terbawa kesenangan yang ditularkan komandannya. Dia tersenyum melihat perjuangan komandannya, dan mereka tinggal selangkah la-
"Komandan!" jerit Hanatarou. Mata Sersan itu membelalak melihat seorang prajurit Fullbring mengarahkan senapannya ke arah Ichigo. Ichigo hanya menoleh sesaat, dan detik kemudian dia mendapati suara tembakan senapan, peluru menerobos asap kepulan dari ledakan tank tepat menujunya dan dia tahu dia tidak akan lolos. Di detik ia bergerak menghempaskan diri ke tanah, justru seseorang menerobos jarak antara dirinya dengan peluru dengan tembakan mulus untuk menumbangkan sang lawan dalam satu kali bidik.
"Sersan Hana-" Belum selesai kalimat Ichigo terlontar, dia melihat badan kecil itu terhempas di tanah yang bercampur merahnya darah.
Ichigo berlari dan menyeret Hanatarou ke tempat persembunyiannya, memeriksa luka yang diderita Sersan Hanatrou.
"Komandan..." bisik Hanatarou dalam helaan napas terputus-putus.
"Simpan tenagamu!" suruh Ichigo yang tidak mempedulikan sakit di bahunya saat menopang badan Hanatarou.
"A-Aku tahu ini medan perang penuh kehormatan, dan aku bangga bisa melindungimu, Kolonel. Aku tahu aku tidak akan selamat, pel-pelurunya tepat kena jantungku," lanjut Hanatarou yang berusaha membagi napasnya untuk jantungnya yang sudah bolong.
"Kau Sersan terbaik yang aku punya! Bertahanlah, kau pasti selamat!" kata Ichigo seraya menekan luka di dada Hanatarou yang terus mengeluarkan darah. Sementara Ichigo terus berusaha mengurangi jumlah pendarahan, Kira melindungi mereka dari terpaan serangan Kugo yang menembak membabi buta sambil tertawa seperti orang gila.
"Pe-per-pertahankan negara kesatuan Soul Society, Kolonel. Aku h-hanya m-mampu berjuang sam-sampai di sini." Detik kemudian Hantarou menghembuskan napas terakhirnya, matanya tertutup dalam kedamaian. Ichigo berusaha keras menahan gemuruh kesedihan di dadanya, dia kehilangan satu lagi prajurit terbaiknya di medan perang, satu lagi seorang baik yang berjuang demi negaranya harus gugur. Peperangan kali ini banyak sekali merenggut korban dari militer, dia merasa begitu sedih tidak bisa menjaga anak buahnya. Desakan air mata menggumpal di pelupuk air matanya.
Ichigo mengangkat tangannya, memberi hormat, dan akhirnya tidak bisa menahan air mata yang memaksa untuk menetes. "Selamat jalan!" desis ichigo, dan membaringkan Hanatarou sepenuhnya di tanah, dia meraih senapannya yang telah ia berikan pada Hanatarou. Sisa amunisinya tinggal dua, dan dia harus menumbangkan Kugo untuk bisa menang dari peperangan ini hanya dengan dua kali tembakan.
"Kira!"
Kira mengerti isyarat Ichigo dan mengikuti komandannya yang mendekat ke tumpukan beras yang menjadi pembatas dengan musuh utama mereka.
"Iblis itu harus mati!" geram Ichigo seraya melangkah maju, percaya bahwa Kira akan melindunginya.
"Tsukishima, terserah kau dengar atau tidak! Pimpin sisa penyerangan, aku harus membuat Kugo bertekuk lutut! Stark!"
"Siap!" sahut Stark dengan suara terengah-engah.
"Bersihkan sisanya, kau harus bawa jenazah Hanatarou menuju barak!"
"Siap, Komandan!" jawab Stark yang mau tidak mau ikut merasa kehilangan karena salah satu sabahatnya yang paling ceria telah gugur di tempat terhormat, tempat kebanggaan sebagai seorang prajurit negara.
Ichigo mengerti posisi mereka kembali kuat sekarang, dan jumlah tentara Fullbring yang tersisa tidaklah banyak dan jika mereka tidak bisa dikalahkan, mereka pasti akan mundur begitu dia berhasil melumpukan Kugo.
"Apa kau tidak sedih orang harus mati karena melindungimu?" cemooh Kugo yang kembali menembakkan senapannya.
"Tutup mulutmu!"
"Kau yang seharusnya tutup mulut Kolonel Kurosaki yang terhormat! Apa kau senang berada di bawah perintah Yamamoto? Si Tua berpikiran kolot yang rela menghukum mati timnya sendiri untuk menutupi kesalahannya?"
Ichigo pernah mendengar cerita tentang Kugo, seorang pemberontak dari militer Soul Society yang sengaja bergabung dengan Fullbring yang merupakan musuh utama dan negara yang paling suka mengoblok-oblok kesatuan negara Soul Society. Dendam yang disimpan Kugo untuk negara yang telah membesarkannya adalah rahasia umum, karena itu dia tidak heran jika orang ini mampu bersikap layaknya binatang untuk menyiksa orang tak bersalah.
Ichigo mengintip dari celah tumpukan karung, melihat Kugo tengah mengisi kembali senapannya, tapi pria berambut hitam itu tidak menyadari bahwa celah di antara karung cukup untuk disisipkan moncong senapan, dan Ichigo siap menembakkan sisa pelurunya dengan keyakinan akan mengenai Kugo sekalipun ia tidak membidiknya.
"Saat dia tumbang, maju Kira. Aku sudah kehabisan peluru!"
Kira mengangguk dalam.
Kolonel berambut orange menyala itu menyiapkan jarinya di pelatuk senapannya, dia menariknya tanpa pikir panjang saat hatinya mengatakan untuk menariknya. Dua kali sekaligus, hingga senapannya kosong dalam satu waktu.
"Argh!" Kugo berteriak kesakitan, dan Kira berlari keluar dari persembunyiannya, namun di detik yang sama sebuah granat melambung di langit, detik berlalu saat Ichigo ikut keluar dari persembunyiannya, sepersekian detik lebih lambat dari Kira.
Kira menembak Kugo yang sudah terkapar di tanah, ternyata telah bermandikan darahnya sendiri, tembakan Kolonel Kurosaki telah mengenai tepat kepala Kugo.
"Komandan! Kita berhasil, kita men-"
DUAR!
Kira merunduk, melindungi kepalanya sendiri saat mendengar suara ledakan yang disusul dengan hujan beras di seluruh medan peperangan.
"KOMANDAN!" jerit Kira seraya berlari menghampiri puing-puing ledakan.
.
.
.
"Ya, Tuhan!"
Rukia terlonjak dari meja kerjanya saat merasakan sakit yang amat sangat di ulu hatinya, dan dengan cepat turun ke perut. Dadanya sesak seketika, kepalanya berdenyut hebat hingga seperti mau pecah. Rukia berusaha meraih telepon di mejanya, tapi sekujur tubuhnya gemetar menahan sakit dan mual yang tiba-tiba menyerang.
Entah mengapa dalam keadaan seperti ini, Rukia justru merasa begitu cemas pada Ichigo. Sekalipun tubuhnya lemah seperti ini hanya Ichigo yang tiba-tiba menerobos masuk ke otaknya yang sudah dipenuhi pekerjaan & frustasi karena rasa sakit. Dia memaksa dirinya untuk kuat, hingga tangan kurusnya berhasil menekan tiga angka di tombol teleponnya, dia terdiam dalam siksaan rasa sakit saat menunggu orang di seberangnya menerima panggilannya.
"Ran, perutku sakit..." keluh Rukia dalam suara bergetar, dan saat itu juga pandangannya gelap.
.
.
.
"Ran, perutku sakit..." suara lemah Rukia menyapa telinga Rangiku, dan segera saja wanita berbadan sintal itu terlonjak dari kursinya, dari konsentrasinya menyusun jadwal Rukia untuk dua bulan ke depan.
"Tahan, Rukia..." kata Ran yang langsung menutup telepon, jari lentiknya menekan telepon memanggil ambulans.
Dia berhambur cepat ke ruangan Rukia, mata indahnya terbuka sempurna mendapati pimpinannya tergeletak tak sadarkan diri di lantai.
"Hisagi!" pekik Ran yang mengingat pria terdekat dari ruangan Rukia. Hisagi sebagai General Admin di perusahaan adalah orang terdekat dari ruangan Rukia, karena itu pria itu langsung masuk begitu mendengar namanya di sebut. Pria dengan tato angka 69 di salah satu pipinya itu bergegas menunduk dan meraih tubuh mungil Rukia dalam gendongannya.
Ran mengambil ponsel dari saku rok spannya, menanyakan security apakah mobil ambulans sudah tiba, dan mereka mengatakan sudah melihat mobil ambulans mendekat, karena itu ia langsung berlari ke arah lift, menekan tombol berkali-kali, berharap tidak ada yang menggunakan lift di lantai-lantai lain. Hisagi tidak tega melihat wajah pucat Rukia, napasnya yang tidak teratur, bahkan dalam gendongannya ia seperti tengah membawa sebuah bantal guling, tidak ada bobot sama sekali yang ia rasakan dari Rukia, bahkan panas dari tubuh wanita terhormat ini tidak ia rasakan sama sekali.
"Ayo!" Ran meraih bahu Hisagi dan mengarahkannya untuk segera masuk. Lantai dalam lift menyala satu persatu, menunjukkan lantai yang mereka turuni, dan mereka tidak harus menunggu lama, tidak harus transit di lantai lain, karena lift langsung turun menuju lobby utama.
Security sudah mengkondisikan ambulans untuk siap mengangkut, sementara kereta tempat tidur sudah menunggu di depan lift. Hisagi membaringkan direktrisnya, dan ikut mendorong kereta menuju mobil. Ran menyusul masuk ambulans saat Rukia sudah di dalam ambulans, dan seorang petugas medis langsung memasang masker di hidung Rukia, mengalirkan oksigen untuk melancarkan napas Rukia yang terputus-putus.
"Tolong kabari Presdir Kuchiki!" seru Ran sebelum pintu ambulans ditutup petugas rumah sakit.
"Baik!" sahut Hisagi, karyawan terbaik itu berlari menuju front office meminta untuk disambungkan ke ponsel kepala keluarga Kuchiki itu.
Petugas front office, Hinamori, yang merupakan teman akrabnya terlihat ikut panik saat menekan barisan angka dari layar komputernya.
"Aku sudah cemas sejak kemarin, wajah Ibu Rukia sangat pucat," kata Hinamori sambil menunggu telepon tersambung.
"Dia tertekan sejak keluarganya memaksa mencari calon suami lain."
"Ya, ini sudah menjadi rahasia umum," celetuk Hinamori yang kembali terdiam menunggu jawaban, dan tepat di nada tunggu ketiga suara berat Kuchiki Byakuya menyapanya. Nada sombong dan tidak suka diganggu dalam suaranya begitu kental.
"Maaf mengganggu Presdir Kuchiki, saya sambungkan dengan General Admin Hisagi," tutur Hinamori seraya mengalihkan telepon kepada Hisagi.
"Presdir, Ibu Kuchiki pingsan, sekarang sedang dibawa menuju rumah sakit terdekat," jelas Hisagi yang lalu terdiam menunggu respon, namun detik berlalu dan tidak ada satupun suara.
"Presdir?" sapa Hisagi lagi hendak memastikan bahwa pesannya diterima dengan baik, bahwa sambungan teleponnya tidak terputus.
.
.
.
To Be Continued
.
.
.
Author Cuap-cuap:
Dear Guys, long time no see.
Saya kembali dengan pair IchiRuki (kembali ke akar).
Sudah lama sekali saya tidak menulis, rasanya kaku sekali.
Ini Angst pertama saya, seperti biasa saya bereksperimen dengan berbagai genre. Tadinya saya ingin mem-post fiction ini sebagai fic collab dengan Icchy, tapi saya putuskan fiction untuk collab pakai fiction yang satu lagi saja. #sembah sujud sama Icchy
Fiction ini hanya two shots jadi saya tidak akan membuat readers lama menunggu, saya akan update dua minggu dari sekarang (mudah2an tidak terlalu lama). Yah... saya hanya ingin memberi jeda pada bacaan yang rencananya mau dibuat one shot, tapi kepanjangan, sampai 15ribuan kata. Jadi lebih baik saya buat jadi dua chapter ya.
Please review, khususnya tentang gaya penulisan saya yang sepertinya bergeser. #plakked! Authornya sendiri nggak nyadar.
Maaf untuk segala kekurangan, dan typo(s) yang pastinya tak terhitung jumlahnya.
Sampai jumpa di chap 2 ya.
Salam hangat,
:-:-:Nakki:-:-:
13 September 2012
