Title: Dilarang Masuk

Authoress: Seer M. Anno

Disclaimer: I own nothing but the story.

Rating: R

Pairing: Giichi Saki/Takumi Hayama

Summary: Naoto tampak aneh dalam seragam Shidou.

Genre: AU. Angst. Pre-slash.

Warnings: Slash, implied non-con, suicide attempt

A/N: Ditulis untuk Kampanye Nyala. Hope you enjoy!


Dilarang Masuk

Seer M. Anno


"Hayama-kun, ada surat untukmu di kotak pos. Percaya tidak, di hari Minggu ada juga yang mengirim surat."

Takumi Hayama tersenyum kecil dan meninggalkan teman sekamarnya, Toshihisa Katakura. Senyuman itu tidak bertahan lama, dan wajahnya sudah berubah mendung ketika dia tiba di 'kotak pos': sekumpulan laci kayu yang dimiliki anak-anak asrama, di mana surat-surat diletakkan.

Takumi menghela napas sambil membuka laci miliknya. Firasatnya semakin memburuk ketika dia melihat tulisan tangan ibunya yang rapi. Dengan jari gemetar, dibukanya surat itu.

Dia merosot ke lantai tak lama kemudian.

Di luar hujan deras.

Sekarang bulan Juni.


"Hei, kau tahu murid baru itu?"

"Cakep, ya? Kelas tiga, kan?"

"Iya."

"Sayang, ya, dia baru pindah sekarang. Sebentar lagi dia lulus."

"Yah, tak apa. Yang penting ada pemandangan indah."

Takumi berjalan melewati sekelompok anak sekelasnya yang sedang sibuk bergosip. Kalau saja ini bukan sekolah berasrama khusus laki-laki, dia takkan kaget. Dia sudah mencapai pintu kelas ketika didengarnya kelanjutan kasak-kusuk itu.

"Matanya bagus, dan kau harus lihat senyumnya!"

"Hush. Suaranya yang rendah itu yang jadi nilai plus paling utama!"

Suara rendah?

Takumi...

Takumi menjerit dan jatuh pingsan.


Ketika Takumi membuka mata, abangnya Naoto sudah berdiri di sampingnya. Dia tampak aneh sekali dalam seragam Shidou yang dipakainya, tetapi Takumi sudah terlalu ketakutan untuk menyadarinya.

"Jangan sentuh aku!"

Naoto buru-buru mengangkat tangan bagai penjahat yang menyerahkan diri. Dia menghela napas dan duduk di tempat tidur adiknya. Takumi beringsut, berusaha berada sejauh mungkin. Sekujur tubuhnya gemetar.

"Takumi..."

Suaranya yang rendah, sama rendahnya seperti ketika dia mulai menyentuh Takumi untuk pertama kalinya...

"Jangan mendekat!" Takumi mengangkat kedua tangannya dalam posisi defensif. "Maafkan aku, maafkan aku..."

Takumi memejamkan matanya kuat-kuat, kedua tangannya masih terkepal di depan wajahnya dan napasnya masih memburu. "Jangan sentuh aku, kumohon..."

Dia tidak mendengar Naoto pergi, namun suara lain akhirnya mencapai pendengarannya.

"Takumi."

Terkejut karena suara tersebut, dia mengangkat kepala dan memberanikan diri untuk membuka mata. Ketua kelasnya, Giichi Saki, sedang duduk di hadapannya. Takumi melihat ke belakangnya dan mendapati Toshihisa di sana, wajahnya sepucat tembok putih tempatnya bersandar. Takumi mengalihkan tatapan dan kembali beradu pandang dengan Saki.

"Kau sudah tenang?" Hanya itu pertanyaannya.

Takumi tidak tahu apakah dia akan pernah tenang lagi, tetapi dia mengangguk. Entah kenapa, dia tidak ingin membuat Saki khawatir. Melihat reaksinya, ketua kelas itu tersenyum kecil dan ikut mengangguk sebelum kembali menoleh pada Toshihisa.

"Katakura, apa dia punya obat yang harus diminum?"

Toshihisa tidak pernah melihat Takumi menenggak obat-obatan, karena Takumi selalu melakukannya kalau dia sendirian. Takumi ingin mengatakan pada Saki ya, dia punya, di tasnya ada sebotol besar obat penenang yang bisa dan selalu diminumnya, terutama kalau bulan Juni, tetapi suaranya seolah tersangkut di tenggorokan. Karenanya, dia hanya menatap kosong sementara Toshihisa menggeleng pada Saki.

"Takumi, kau mau ke UKS?"

Gelengan kepala menjawab pertanyaan Toshihisa. Takumi tidak ingin ke UKS; dia hanya ingin abangnya pergi dari sini.

Shidou seharusnya adalah tempat yang aman.

"Takumi."

Takumi kembali menoleh pada Saki. "Ya?" tanyanya, suaranya serak.

Toshihisa tampak seolah Saki baru saja menang undian jutaan yen. Takumi tahu kenapa: dia tidak pernah berbicara sampai berjam-jam kalau dia baru siuman, bahkan pada Toshihisa yang tidak pernah membuatnya takut.

Permasalahannya adalah Takumi sendiri tidak tahu kenapa dia berbicara.

Saki memang luar biasa.

"Dengar, Takumi," Saki melanjutkan, tidak sadar akan ekspresi takjub Toshihisa di belakangnya. "Aku ingin kau tahu kalau kita semua ada untukmu. Jadi, cerita kalau ada apa-apa. Oke?"

"Oke." Entah kekuatan apa yang membuat Takumi mampu menjawab, tetapi suaranya sudah lebih stabil sekarang.

Toshihisa masih saja ternganga. Dahi Saki berkerut ketika melihatnya. "Katakura, kau kenapa?"

Takumi terkekeh mendengar pertanyaan itu; Naoto sudah berada jauh sekali.


Takumi tidak melihat Naoto sepanjang akhir pekan, tetapi dia terus ketakutan. Bagaimana kalau abangnya itu kembali ke kamarnya? Kalau Saki dan Toshihisa tidak datang, entah bakal jadi apa nasib Takumi saat itu. Oleh karenanya, dia terus mendekat pada Toshihisa. Teman sekamarnya itu tidak keberatan, tetapi Takumi tahu dia sangat menyusahkan. Setiap kali dia mengatakan ini pada Toshihisa, anak itu hanya mengibaskan tangan sambil menawarkan kue yang dibawanya dari rumah.

Sebenarnya dia juga ingin Saki terus berada di dekatnya, entah mengapa, tetapi hal itu jelas mustahil.

Giichi Saki dan Takumi Hayama itu bagaikan langit dan bumi.

Saki jelas langitnya. Langit biru cerah, dengan senyum lebar dan mata yang berbinar jenaka. Belum lagi rambutnya yang cokelat gelap seolah berkilau terkena cahaya matahari. Sifatnya yang santai dan periang membuatnya terlihat seperti angin yang berhembus ke manapun dia mau. Tapi toh anak-anak menghormatinya, respek padanya. Dia anak orang kaya, seperti sebagian besar murid Shidou, tetapi tingkah lakunya biasa saja. Jelaslah dia menjadi buah bibir anak-anak, meski baru kelas satu.

Singkat kata, Saki memang sempurna.

Lalu apakah Takumi? Istilah bumi pun tidak layak disandangnya.

Palung, mungkin. Bagian laut yang paling dalam. Tidak ada sinar matahari yang mencapainya. Hanya beberapa jenis hewan berwujud aneh yang tinggal di sana.

Naoto sudah menguburnya sejauh itu.

Jadi, apakah ini berarti Toshihisa salah satu ikan berwujud aneh yang tinggal di palung?

Pemikiran itu membuat Takumi tersenyum getir. Dia kagum pada temannya. Bukan sekali dua kali Takumi jatuh pingsan atau menyentakkan diri ketika tidak sengaja disentuh. Atau memicu pertengkaran dengan anak lain karena sikapnya yang aneh.

Toshihisa pelindungnya. Seperti Naoto... pada awalnya.

Tapi, yah, Takumi tidak ingin mempertemukan Toshihisa dengan Naoto. Dia tahu kalau Toshihisa sudah bertemu Naoto, dia takkan mau lagi berteman dengan Takumi.

Takumi mengerang. Kenapa abangnya harus terus mengganggunya? Padahal kan—

Hus. Sudahlah. Setidaknya sekarang Naoto tidak ada di kamarnya.

"Takumi, kau mau ikut jalan-jalan?"

Takumi mengangkat kepala dan melihat Toshihisa berdiri di ambang pintu, mengenakan kaos kesukaannya dan senyum lebar di wajah. Takumi mendadak teringat kalau hari itu seluruh kelas akan ikut jalan-jalan ke kota kecil di dekat sekolah. Saki dan Akaike, temannya yang menakutkan itu, sudah mengumumkannya sejak hari Senin lalu.

Takumi sebenarnya tidak mau. Tetapi senyum Toshihisa seolah sudah tertempel di wajahnya, dan Takumi tidak ingin membuatnya kecewa. Karenanya, dia berdiri sambil menyunggingkan senyum kecil.

"Tunggu, aku ganti baju dulu."


Meskipun cuaca mendung, khas bulan Juni (Takumi merinding mengingatnya), semua anak tampak gembira karena bisa keluar dari asrama. Rupanya Saki ingin mentraktir semua anak sekelasnya, dan Takumi melihatnya mewanti-wanti teman-teman sekelas seolah mereka segerombolan anak SD.

"Halo, Hayama."

Takumi menoleh dan melihat Shozou Akaike, teman Saki yang tidak pernah tersenyum, berdiri di sampingnya. Dia mengeluh dalam hati; Akaike selalu membuat bulu kuduknya meremang.

"Halo, Akaike-kun."

"Mana Katakura?"

Takumi juga tidak tahu. Cengiran Toshihisa semakin lebar ketika mereka sudah mendekati kota, dan Takumi sempat melihatnya kabur ke sebuah jalan kecil. Takumi baru saja akan mengikutinya, kalau saja Akaike tidak menyapanya sekarang. Terus terang, dia lebih senang membuntuti Toshihisa daripada terjebak bersama anak ini.

"Mau ikut denganku dan Gii?"

Ajakan itu tidak terdengar hangat, tetapi juga tidak terkesan memaksa. Khas Akaike yang selalu bisa membuat orang patuh padanya. Takumi awalnya tidak mau, tetapi begitu mendengar nama Saki, dia menoleh.

Kelihatannya Akaike menganggap reaksinya sama seperti anggukan kepala, sehingga dia mendadak berjalan pergi. "Ayo, Hayama."

Takumi mengikutinya.


Takumi tidak ingin berharap, tetapi dia merasa ekspresi Saki semakin sumringah ketika melihatnya datang bersama Akaike. Takumi kaget melihatnya duduk di pinggir jalan, tetapi Akaike malah mengomel.

"Sudah kubilang berkali-kali," ujarnya. "Jangan duduk di pinggir jalan."

Saki berlagak tuli, dan justru nyengir pada Takumi. "Hai, Takumi."

"Hai," jawab Takumi malu-malu.

Mereka beradu pandang. Saki memakai kemeja dan celana putih—sekarang Takumi mengerti kenapa Akaike marah-marah—dan rambutnya yang sebahu tampak lebih berantakan dari biasanya. Dia berpakaian seperti seseorang yang akan syuting foto pre-wedding. Pikiran seperti itu membuat wajah Takumi merona.

Mendadak Akaike mendengus, menyadarkan mereka bahwa ada orang ketiga yang tidak terlalu senang diabaikan. Saki menoleh padanya dan bangkit. Akaike semakin kesal ketika melihatnya membersihkan celana.

"Kasihan orang yang akan mencuci celanamu," gerutunya.

Saki hanya nyengir, dan komentar Akaike sangat lucu sampai-sampai Takumi ikut tersenyum. Saki melihatnya dan matanya membulat. Tidak heran; Saki belum pernah melihatnya tersenyum sebelumnya.

"Bisa senyum juga kau, Takumi," pujinya, dan wajah Takumi seolah terbakar karena malu. Dia menunggu supaya ketua kelasnya itu menepuk-nepuknya atau melakukan hal serupa, karena hampir semua orang yang dikenalnya selalu berusaha menyentuhnya setelah melihatnya tersenyum.

Tetapi baik Saki maupun Akaike sama-sama menjaga jarak, dan Takumi sangat senang karenanya. Mereka akhirnya beranjak pergi dari sana, dan menuju toko pakaian terdekat. Rupanya saudara perempuan Saki akan berulang tahun, dan dia ingin memberikan gadis itu hadiah.

"Shozou, seharusnya Namiko ada di sini."

Akaike mendengus. Meskipun dia sudah melakukannya dua kali dalam rentang waktu singkat, Takumi masih kaget mendengarnya. Akaike selalu tampak kaku sampai-sampai bunyi dengusan itu terdengar seperti bukan dari dirinya. "Kau minta diinterogasi lagi ternyata."

"Yah, setidaknya ada orang yang bisa membantu memilih baju cewek yang bagus," jawab Saki sambil mengangkat beberapa potong baju dari tempat gantungan. Dia memperlihatkannya pada kedua temannya, tetapi matanya tertuju pada Takumi. "Menurutmu sendiri bagaimana, Takumi?"

"Aku suka yang itu," kata Takumi, menunjuk gaun biru muda yang dipegang tangan kiri Saki. Kalau adikmu mirip denganmu, warna itu bagus untuknya. Aku selalu melihatmu seolah bercahaya dalam jas biru muda Shidou.

"Warnanya mirip seragam kita," komentar Akaike, dan Takumi merasa jantungnya berdebar kencang. Dia tidak ingin Akaike tahu alasan mengapa dia memilih gaun itu.

Tetapi baik Saki maupun Akaike tidak berkata apa-apa lagi. Akaike pergi ke restoran segera setelah Saki memilih, meninggalkan Takumi berdua saja dengan ketua kelasnya. Dengan cengiran lebar, Saki membeli gaun tersebut dan meminta supaya benda itu dibungkus kado. Sambil menunggu, dia mendatangi Takumi yang duduk di belakangnya.

"Kau punya saudara, Takumi?" tanyanya ringan.

Takumi mengerjap, bayangan Naoto bertubi-tubi menyerang pikirannya. Naoto yang tersenyum, tawanya yang enak didengar, otaknya yang encer, cerita-ceritanya, pujian yang dilontarkannya pada Takumi, jantungnya yang lemah, dan tangannya.

Tangannya. Tangannya. Tangannya. Tangantangantangantangantangan—

Takumi…

"Takumi?"

Jangan buat curiga Saki-kun. Ini rahasia kita, Takumi.

"Ah. Maaf."

"Kau tidak apa-apa?" Saki tampak khawatir, dan Takumi membenci ekspresi itu. "Kau pucat sekali."

"Aku aku baik-baik saja." Bohong besar. Takumi merasa tubuhnya gemetar hebat, dan Saki tampak kabur dan berkabut. Dia mengerjap dan melihat Naoto, masih mengenakan seragam Shidou, berdiri beberapa meter di belakang Saki. Napasnya tercekat.

Naoto menempelkan telunjuk pada bibirnya. Takumi tahu apa maksudnya. Jangan bilang apa-apa pada anak itu, Takumi.

"Takumi? Takumi, kau tidak apa-apa?"

Suara Saki mampu membuat Takumi kembali bernapas. "Ah. Maaf, Saki-kun."

Saki tampak bingung. "Kenapa kau minta maaf? Apa salahmu?"

Aku sudah menyusahkan. Tetapi tidak ada kata-kata yang bisa keluar dari bibir Takumi. Saki menatapnya terus, menunggu dengan sabar. Takumi tahu Saki ingin supaya dia berbicara, tetapi dia tidak bisa. Tidak sekarang, ketika Naoto berada dekat sekali dengan dirinya. Maka kata-katanya seakan tersangkut di tenggorokan.

"Permisi, Saki-san." Sebuah suara memecahkan kesunyian di antara mereka. Saki dan Takumi menoleh dan melihat pelayan toko memegang bungkusan yang sudah rapi. "Bajunya sudah selesai dibungkus."

"Oh." Saki tampak kikuk, sesuatu yang mengejutkan Takumi. "Oke. Terima kasih, ya."

Setelah mengambil kadonya, mereka meninggalkan toko tersebut. Kesunyian masih menyelimuti keduanya. Takumi tahu dialah yang harus memecahkan kesunyian itu, atau dia bisa kehilangan Saki.

Dia tidak ingin kehilangan Saki.

"Saki-kun, sekarang kita mau ke mana?"

Kedua bahu Saki yang tegang mendadak rileks. "Kita ke kantor pos dulu," ujarnya. Dia memainkan bungkusan di tangannya. "Memang tutup, tapi aku bisa menitip benda ini untuk dikirim hari Senin nanti."

"Oh."

Saki meliriknya, lalu kembali menatap jalan yang mereka tempuh. "Aku menunggu, Takumi."

Takumi menghela napas dan membuka mulutnya. Kemudian dia melakukan kesalahan terbesarnya: menengok ke seberang jalan.

Naoto ada di sana.

Takumi batal berbicara, dan dia tetap membisu sampai mereka kembali ke Shidou.


"Hayama, bisakah kau tidak selalu merusak suasana?"

Takumi berjengit. Teman-teman sekelasnya mengerubunginya, dan Takumi tidak menyukai ekspresi di wajah mereka. Dia mendongak, mencoba mencari jalan keluar, tetapi dia benar-benar dikepung. Saki dan Akaike, dua petinggi kelas yang pasti takkan menyukai kondisi ini, sedang dipanggil ke kantor guru. Sementara itu, Toshihisa sudah kabur ke klub panahan untuk berlatih sedetik setelah guru meninggalkan kelas. Singkat kata, Takumi harus menghadapi mereka sendirian.

"Apa mau kalian?" Takumi memberanikan diri bertanya.

"Kami hanya ingin tanya," ujar salah satu dari mereka, disusul oleh yang lain. "Kenapa kau harus ikut makan-makan Sabtu kemarin? Kau diam saja, jadi Saki repot mengurusimu. Kau cuma merusak suasana."

"Ya!" seru yang lain. "Sebenarnya kau itu kenapa sih?!"

"Kalau tidak bisa berteman, jangan masuk asrama, dong!"

"Sekolah saja di rumah!"

Entah siapa yang memulai, Takumi merasa ada yang mendorongnya. Dia tersentak dan berusaha menjauhkan diri, tetapi ada tangan lain yang menyentuhnya dengan kasar.

"Mungkin kau harus membiasakan diri, Hayama!"

"Betul! Biar kau tidak perlu dipulangkan!"

Teman-temannya kembali mendorong-dorongnya seolah dia bola yang bisa dioper ke mana saja. Takumi tidak mampu melihat lagi; ke manapun dia berusaha menghindar, selalu ada tangan dan cemoohan yang menyambut tubuhnya. Seluruh kelas seolah berputar mengelilingi dirinya, dan dia bahkan tidak mampu menjerit.

Tolong aku!

"Lihat, lihat! Dia sudah mulai terbiasa!"

"Kerja bagus, Hayama! Teruskan!"

Takumi terhuyung, fobia yang dialaminya membuatnya tidak mampu mengenali sekitarnya lagi. Akhirnya dia terjatuh ke lantai kelas yang dingin, membiarkan kegelapan menelan dirinya. Oh, betapa menenangkannya kegelapan itu.


"Mereka semua brengsek, Shozou."

"Mereka akan dihukum, Gii. Tidak boleh ada tindak penindasan di kelas kita."

Takumi mendengar sebelum melihat mereka. Dia tidak ingin membuka matanya, tetapi toh dia melakukannya juga. Tubuhnya memang tidak sekooperatif itu. Dia mengerjap beberapa kali, dan akhirnya dia bisa melihat Saki dan Akaike berdiri di dekat tempat tidurnya. Meskipun mereka berada paling dekat dengannya, Toshihisa-lah yang baru masuk dengan nampan makanan di tangan yang melihat Takumi terlebih dahulu.

"Takumi, kau sudah sadar!"

Baru saat itu Saki dan Akaike melihat Takumi. Tatapan mata cokelat Saki seolah menembus tubuhnya, dan Takumi gemetaran. Toshihisa perlahan mendekati ranjang tempat Takumi berbaring. Dia tidak mengatakan apa-apa, karena dia tahu Takumi tidak ingin berbicara.

Tetapi Saki tidak tahu itu.

"Takumi, kau mau makan?"

Takumi ketakutan melihatnya, meskipun dia tahu itu Giichi Saki dan Giichi Saki sang Ketua Kelas tidak pernah jahat padanya. Toshihisa meraih bahu Saki dan mendorongnya sedikit supaya dia menjauh dari Takumi. Baru setelah itulah Takumi mampu bernapas lega.

"Maafkan aku," akhirnya dia berkata.

Saki seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi disela oleh Akaike. "Makan saja dulu, Hayama."

Takumi tidak mau makan, karena dia tahu dia akan muntah. Tetapi pandangan ketiga teman sekelasnya membuatnya mengalah. Maka dia mengulurkan tangannya pada Toshihisa, yang dengan segera menyodorkan nampan makanan padanya.

"Bagus, Takumi," puji Saki ketika Takumi selesai makan, dan itu cukup untuk menahan makan malam itu dalam perutnya.


"Kudengar kau dikeroyok tadi?"

Takumi mengenal suara itu. Bagaimana tidak, itu suara yang paling menakutkan baginya. Dia mendongak dan melihat Naoto berdiri dalam kamarnya. Meski gelap, Takumi bisa melihat seragam Shidou yang dikenakan abangnya itu, terlepas dari jam malam yang sudah lama berlalu.

Dia kan cerdas. Pasti di sini dia jadi anggota komite kedisiplinan atau anak OSIS yang kerjanya patroli malam-malam.

"Kau... mau apa?" Takumi tidak berani berteriak; dia tahu Toshihisa sedang tidur di seberangnya. Naoto tahu hal ini, karenanya dia justru mendekati ranjang adiknya.

"Aku khawatir sekali," katanya. "Kau adik kesayanganku, dan tidak ada yang boleh menyakitimu."

Takumi berjengit. "Pergi sana!"

"Aku khawatir dan kau mengusirku?" Naoto terdengar marah sekarang, dan Takumi semakin takut. Dia beringsut menjauh, tetapi sia-sia; Naoto justru semakin mendekatinya. "Takumi, kau dikeroyok dan aku hanya ingin melihat keadaanmu."

"Kumohon, pergilah. Nii-san, kumohon."

Kesabaran Naoto habis. "Dasar tak tahu diuntung!" serunya sebelum membanting Takumi ke kasur. "Kau terus saja menggodaku, bahkan di sini! Belum cukup kata-kata Kaachan kepadamu, hah?!"

"Lepaskan..."

"Ingatkah kau, Takumi? 'Kamu bukan anakku'! Kau ingat kata Kaachan yang itu, ya kan, Takumi?"

Takumi hampir tak mampu bernapas. Dia menggerakkan kepalanya sedikit dan melihat punggung Toshihisa di ranjang seberang. Anak itu tampak damai sekali dalam tidurnya.

"Ayolah, Takumi," Naoto berbisik, matanya ikut menatap Toshihisa. "Jangan menyusahkan teman-temanmu terus. Menurut saja padaku."

Toshihisa berbalik, dan dia bukan Toshihisa.

Itu Giichi Saki.

Keberanian Takumi kembali, dan dia menjerit.


Gii paling benci dibangunkan, apalagi tengah malam buta begini, dan Shozou tahu itu. Maka dia hanya menggeliat dan mengerang laksana cacing terkena garam ketika merasakan ada tangan yang mengguncang-guncang bahunya.

"Lima menit lagi, Sho—"

"Hayama pingsan lagi."

Begitu nama tersebut merasuk ke alam bawah sadarnya, Gii langsung terbangun. Shozou menatapnya dari tempatnya berlutut di samping ranjang Gii. "Apa kaubilang?"

"Katakura barusan kemari," Shozou menyahut sambil berdiri. Nadanya terdengar tegang. "Dia terbangun ketika Hayama jatuh dari tempat tidurnya ke lantai."

"Aku segera ke sana." Karena tidak terbiasa dibangunkan tiba-tiba, Gii merasa pusing ketika kakinya menjejak lantai. Shozou memeganginya sampai fokusnya kembali.

"Gii, kau harus tahu kenapa aku sampai harus membangunkanmu."

"Kau berencana menanganinya sendiri?" Gii langsung kesal. Mentang-mentang anak komite kedisiplinan, Shozou ini! Gii kan bertanggungjawab atas anak-anak sekelasnya!

Yah, tetapi urusannya dengan Takumi Hayama memang agak bias, kalau boleh jujur.

"Kau terkenal menyebalkan kalau dibangunkan seperti tadi," Shozou berkata terus terang. "Tapi bukan itu masalahnya."

Gii sudah mengenakan sandal dan jaket. Hujan di luar membuat udara lebih dingin dari biasanya. "Jadi apa masalahnya?"

"Katakura mendengarnya memanggil namamu sebelum pingsan. Ada kemungkinan dia mengira Katakura itu kau saking paniknya."

Gii seketika melesat ke kamar 421. Dia bahkan tidak lagi berhenti untuk mengetuk pintunya.

"Katakura?"

Anak yang dipanggil mendongak, kelegaan menyapu ekspresinya. "Ah, Saki," katanya. "Maaf sudah mengganggumu dan Akaike."

Gii hanya mengangkat bahu dan mendekati ranjang tempat Takumi berbaring. Dia berlutut di sampingnya. "Kenapa dia, Katakura?"

"Aku tidak tahu, Saki. Aku sedang tidur, tiba-tiba dia menjerit lalu jatuh ke lantai."

"Dia... memanggil namaku?" Beranikah aku berharap?

"Ya," jawab Katakura. Dia menguap sejenak, dan Gii maklum. Pasti sulit menghadapi Takumi pada saat seperti ini. "Tetapi dia menatapku sebentar sebelum melakukannya. Akaike bilang itu mungkin karena dia kira aku itu kau. Padahal kita ini sama sekali tidak mirip."

Gii tersenyum kecil atas usaha Katakura untuk mencairkan suasana, lalu kembali menatap Takumi. Kau kenapa, Takumi?

"Perlu kupanggil perawat sekolah?"

"Dia pasti bakal ingin Takumi masuk UKS," sahut Gii. "Sebaiknya jangan. Kelihatannya dia lebih tenang sekarang."

Katakura mengerti. Dia tahu akan lebih baik jika Takumi tetap berada dalam ruangan yang dikenalnya. Namun bukan berarti dia tidak bisa membantu. "Saki, bisakah dia absen kelas selama beberapa hari?"

"Tentu saja. Itu bisa kuatur." Gii mendesah. "Tetapi kalau kau ingin dia absen lebih dari dua hari, dia perlu diperiksa juga supaya izin sakitnya tetap valid. Kalau tidak, Shozou bisa-bisa membunuh kita berdua."

"Oke." Katakura tertawa kecil. "Kau mau tidur di sini, Saki? Mungkin dia bisa lebih tenang kalau melihatmu saat bangun nanti."

"Terimakasih, Katakura."

"Sama-sama. Dan Saki, sebaiknya kau periksa ini. Mungkin ada yang bisa kita lakukan."

Di tangan Toshihisa Katakura terdapat sebuah alat perekam suara.


"Kau mau absen juga, Gii?"

"Selamat pagi juga untukmu, Shozou. Dan ya, aku mau absen juga. Setidaknya sampai Takumi bangun."

Shozou masih tampak kurang senang, tetapi Gii tahu dia sudah melunak. "Ya sudah, nanti akan kuberitahu tugas hari ini. Tapi awas kau, jangan macam-macam mentang-mentang aku mengizinkanmu absen sehari. Bagaimana Hayama?"

Gii melirik pada alat perekam milik Katakura, dan suasana hatinya langsung memburuk. "Shozou, kau anak komite kedisiplinan, kan? Apa itu artinya kau tahu barang-barang yang dibawa para murid?"

"Kukira kau sudah tahu itu. Kenapa memangnya?"

"Menurutmu, apa Takumi punya obat-obatan atau semacamnya?"

Shozou tampak curiga. Di kepalanya mungkin terbayang narkoba atau semacamnya. "Apa maksudmu?"

Gii ingin memperdengarkan rekaman Katakura, tetapi urung. Dia tahu Shozou akan melaporkannya ke pihak guru, dan Gii tidak ingin Takumi semakin terbebani. Shozou memang sahabatnya, tetapi dia punya prinsip yang tidak bisa digoyahkan. Gii tahu hal seperti ini takkan mungkin disembunyikan seseorang seperti Shozou Akaike.

"Mungkin ada obat yang bisa membantunya," jawab Gii akhirnya.

Shozou jelas tidak mempercayainya, tetapi dia tidak bertanya lebih lanjut. Keduanya menoleh pada Takumi yang masih tertidur. Wajahnya tampak damai sekali, mengingatkan Gii pada suatu saat ketika dia pertama jatuh cinta pada seorang anak laki-laki pemain biola. Itu membuatnya tersenyum.

"Coba geledah tasnya," Shozou memutuskan lamunan Gii. "Aku tahu sebaiknya kita tidak sembarangan mengecek tas orang, maka akan kubicarakan dengan perawat sekolah supaya kau punya izin untuk memeriksa obat yang dibawanya."

"Aku tidak yakin itu akan cepat," ujar Gii skeptis.

"Kau bisa juga mengajaknya bicara, Gii. Itu lebih baik lagi," jawab Shozou datar. "Masa cara itu tidak terpikirkan olehmu?"

Kemudian dia berbalik dan melangkah ke luar kamar.


Ketika Takumi terbangun, matahari sudah bersinar tinggi di langit. Awalnya dia bingung kenapa kamarnya terang sekali, namun jam yang ditaruh Toshihisa di meja memberinya pengertian.

Sekarang sudah jam satu siang.

Sial, aku bolos kelas kalau begini. Dia ingin menangis ketika ingatan kejadian kemarin kembali berputar dalam pikirannya. Naoto sudah merusak segalanya.

"Takumi?"

Takumi terlonjak ketika melihat Saki keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk melingkari leher. "Saki-kun, kau sedang apa di sini?"

Saki malah nyengir kuda. "Ikut bolos kelas bersamamu."

Takumi geleng-geleng kepala melihat sikap ketua kelasnya. Saki selalu bisa menghiburnya. "Kenapa kau bolos?"

Apa bolosnya dirimu ada hubungannya dengan kejadian kemarin? Apa Saki-kun sudah bertemu Nii-san?

Saki mengangkat bahu, tetapi Takumi tidak menyerah.

"Kau ketua kelas, apa kata anak-anak nanti?"

"Kenapa aku harus peduli pada mereka?" sergah Saki. Dia sudah kelihatan agak kesal, dan Takumi tahu itu karena rongrongannya. "Kalau mereka mengeroyokmu seperti itu, harusnya mereka bersyukur aku tidak muncul hari ini."

"Saki-kun—"

"Begini, Takumi. Mereka harus diberi pelajaran. Shozou dan Katakura sudah melaporkan kejadian kemarin pada guru-guru, dan kita tunggu saja akan seperti apa hasilnya."

Takumi malah menjadi semakin takut. "Kenapa kau biarkan mereka mengadu?"

"Aku tidak bisa membiarkan mereka memperlakukanmu seperti itu, Takumi. Mereka keterlaluan."

Ironisnya, rasa takut dalam diri Takumi membuatnya berani menentang salah satu orang yang paling dia percaya. "Apa-apaan kau?!" teriaknya sambil berdiri. Saki lebih tinggi darinya, tetapi Takumi tidak peduli. "Kau tidak mengerti, Saki-kun! Kalau mereka diadukan, pasti mereka akan lebih senang mengerjaiku! Aku sudah—"

Teriakan Takumi tertahan ketika dia merasa kedua lengan Saki meraih dan memeluknya. Takumi membeku seketika karena kaget.

"Ssst, Takumi. Tenangkan dirimu."

Takumi mulai gemetaran, padahal pelukan Saki terasa hangat sekali. Dia mengangkat kepala dari bahu Saki, dan matanya melebar.

Naoto berdiri di belakang Saki, dan dia tampak marah. Dia mulai berkata-kata, dan meskipun tidak ada suara yang keluar, Takumi bisa membaca gerak bibirnya. Beraninya kau membiarkan dirimu disentuh orang lain sementara aku tidak bisa!

Takumi mulai berjuang melepaskan diri, tetapi tenaganya tidak banyak setelah lama tertidur. Semakin dia berusaha, semakin erat pelukan Saki. Takumi menyukai kehangatan itu, tetapi mata Naoto di belakangnya lebih menakutkan.

"Lepaskan aku, Saki-kun," pintanya lemah. Pikirannya terus memutar kehidupannya di rumah, tentang kedua orangtuanya yang tidak peduli, kamarnya yang besar namun dingin, dan Naoto.

Naoto. Tersenyum pada Takumi. Menggerayangi tubuh kecil Takumi. Memuji nilai Takumi yang bagus. Melepaskan baju Takumi. Bermain bersama Takumi. Membelikan permen setelah Takumi berjanji untuk menyimpan rahasia. Di hadapan ibu mereka, Takumi kecil dibilang menggoda. Seduktif. Cabul. Menakutkan untuk ukuran anak kelas dua sekolah dasar.

Naoto.

Nii-san, apa aku yang salah?

Tangan Saki mendadak mengelus rambut Takumi, memutuskan lamunannya. Dia akhirnya menurut dan mendudukkan Takumi di tempat tidurnya sendiri. "Sudah tenang?" tanyanya.

Takumi melihat berkeliling dan Naoto sudah tidak ada lagi di situ. Dia menghela napas. "Terimakasih, Saki-kun."

"Kau mau makan?"

Takumi tidak mau, tetapi mendadak terdengar bunyi keroncongan mencurigakan dari arah perut ketua kelasnya. Mau tidak mau keduanya terkekeh. Takumi kaget juga suasana hatinya bisa membaik secepat itu.

"Yah, aku memang gampang lapar," Saki mengakui. "Jadi, kau mau makan atau tidak? Ayo, sekalian jalan-jalan."

Takumi akhirnya mengangguk dan berdiri. "Aku ganti baju dulu."


"Kau makan terus, Saki-kun."

Saki tertawa sambil menggigit rotinya yang keenam. Takumi takjub melihatnya. "Aku memang terkenal gampang lapar dan susah kenyang."

"Dua mangkuk sup dan enam roti, Saki-kun," ujarnya tidak percaya.

Saki hanya nyengir. Takumi masih terperangah. Bukan karena sekarang Saki sudah membuka bungkusan roti berikutnya, tetapi karena anak itu mau duduk bersamanya di rumput dekat asrama mereka. Seolah-olah mereka sepasang teman dekat, dan bukannya ketua kelas yang populer dan anak aneh yang tidak tahan disentuh.

Apa ini artinya langit sudah mendekati palung?

"Ah, sial!" Saki berseru mendadak, mulutnya masih penuh rotinya yang ketujuh. "Ini sebenarnya kubelikan untuk Shozou! Aku sudah janji!"

Mau tidak mau Takumi tertawa melihatnya. "Kau harus ganti, Saki-kun. Akaike-kun takkan senang."

"Dia sudah kesal dari kemarin karena rotinya kumakan," Saki menyahut, melambaikan bungkusan roti yang sudah kosong. "Percaya tidak, Takumi, anak galak itu sukanya roti stroberi. Manis, ya?"

Takumi terheran-heran. Akaike selalu tampak kaku dan dingin di hadapannya, jadi Takumi tidak bisa membayangkan anak itu memiliki sisi manis. Tampaknya Saki juga menyadarinya, karena kemudian dia tertawa.

"Tidak kebayang, kan? Tunggu sampai kau melihatnya sendiri. Aku bahkan harus menyembunyikan rotiku sendiri." Ketua kelas itu nyengir. "Aku kan juga suka."

"Sebaiknya kau ganti, Saki-kun."

"Kau benar." Saki berdiri. "Kau mau ikut ke kantin, Takumi?"

Takumi merasa nyaman sekali duduk di sana, jadi dia menggeleng. "Aku di sini saja."

Saki mengangkat alis, tetapi mengangguk. "Aku akan kembali sebentar lagi," ujarnya. "Tunggu di sini, ya. Kau mau kubelikan juga?"

"Tidak usah, Saki-kun." Kau sudah memberiku dua kali makanku sehari, lengkap dengan tiga bungkus roti. Gila juga kalau aku minta lagi.

Dalam sekejap Saki sudah lenyap. Takumi memperhatikannya masuk ke dalam asrama sampai pintu ditutup. Setelahnya, dia menengadah, merasakan angin hangat mengenai wajahnya.

Hari ini cerah, dan Takumi senang. Hujan mengingatkannya pada Naoto.

"Takumi, kau senang bersama Saki-kun?"

Takumi terlonjak. Baru saja dia senang sedikit. Naoto menghampiri dan duduk di sampingnya. "Kenapa kau di sini?"

Naoto mengangkat bahu. "Aku ingin menengokmu, tapi kau malah di sini. Sibuk berasyik-masyuk dengan ketua kelasmu."

"Jangan mendekat." Takumi memperingatkan. "Dan itu bukan urusanmu, Nii-san."

Naoto merapikan seragamnya sebelum menjawab. "Itu urusanku, Takumi. Kau adik kesayanganku. Saki-kun takkan pernah bisa merebutnya."

Takumi tidak mampu menjawab. Dia tahu jika dia berusaha menjauh, Naoto hanya akan semakin keras kepala. "Nii-san," bisiknya, "sudahlah."

"Anak itu menyukaimu, Takumi!" Naoto berseru kesal, dan tangannya dengan cepat mencengkeram bahu adiknya. "Tidak boleh ada yang mengambilmu dariku!"

Takumi membiarkan dirinya diguncang-guncang sampai mendadak Naoto melepaskannya. Tubuhnya lemas dalam ketakutan, dan Takumi merosot ke rumput. Naoto berdiri di hadapannya, kepalanya menghalangi sinar matahari, seolah menahan Takumi dalam kegelapan. "Takumi, aku akan menunggumu."

"Nii-san..."

Naoto sedang berjalan pergi ketika mendengarnya. "Takumi, tanggal berapa besok?"

Takumi semakin gemetar ketika tahu jawabannya. Naoto berhenti berjalan dan menatapnya lurus-lurus. Semua orang bilang Naoto dan Takumi mirip sekali kalau sedang menatap seperti itu.

"Jangan lupa. Kutunggu kau, Takumi."


Takumi tidak banyak berbicara ketika Gii kembali dari kantin, roti untuk Shozou dalam kantung jas birunya. Ketika ditanya, dia hanya mengangkat bahu dan mengatakan dia masih capek. Gii mengerti, tetapi dia juga khawatir.

"Kau mau ke UKS?"

Takumi tampak mempertimbangkan usulan itu, tetapi akhirnya dia menggeleng. "Tidak usah. Aku akan istirahat sebentar, lalu aku mau buat PR untuk hari ini."

"Bagus sekali. Begitu dong," puji Gii, berusaha mencerahkan suasana.

Takumi menyunggingkan senyum kecil, membuat Gii lega melihatnya. "Saki-kun, terimakasih, ya."

Gii hendak menepuk bahunya, tetapi untungnya dia teringat sebelum tangannya bergerak. "Sama-sama, Takumi."

"Kalau anak lain yang sakit seperti aku, apa kau akan memperlakukan mereka dengan cara yang sama?"

Mereka bukan anak laki-laki kecil pemain biola yang dengan siapa aku jatuh cinta, Takumi. Tetapi Gii tidak mau menakuti Takumi kalau dia menjawab seperti itu. Bagaimanapun juga, Takumi masih rapuh, dan Gii juga tidak bisa terlalu menekannya, apalagi karena mereka baru saling mengenal di Shidou.

"Ya, mungkin." Begitu jawabnya akhirnya.

Takumi mengerjap dan Gii menangkap ekspresi sedih dalam wajahnya. Dia ingin sekali menciumnya.

Tetapi disentuh pun Takumi tidak bisa.

Kenapa pula aku harus jatuh cinta pada anak ini?

Gii juga tidak tahu jawabannya, dan mereka akhirnya diam seribu bahasa sampai mereka tiba di depan kamar Takumi. "Aku harus ke kamarku dulu," ujarnya dengan berat hati. "Shozou pasti sudah di sana dengan PRku. Kau tidak apa-apa kutinggal sendiri?"

"Aku akan baik-baik saja," sahut Takumi. "Lagipula, Akaike-kun pasti ingin rotinya kembali."

Gii tertawa mendengarnya. Dia senang Takumi mau mencoba bercanda. "Kau benar juga. Tapi kalau Katakura tidak keberatan, bolehkah aku tidur di kamarmu malam ini?"

Takumi memucat, dan Gii sadar pertanyaannya itu tidak pantas. "Ah, maafkan aku, Takumi," ujarnya cepat-cepat. "Aku sembarangan bicara. Maaf, Takumi."

Anak itu terus terdiam sehingga Gii terus meminta maaf, hingga tiba-tiba dia berbicara. "Tidak apa, Saki-kun. Jangan repot-repot."

Kau tidak merepotkan sama sekali! Aku justru ingin menghabiskan waktu bersamamu! Gii sangat ingin mengeluarkan kata-kata itu dari dalam dirinya, tetapi Takumi tampak sedih dan Gii tidak mau semakin membebaninya. Akhirnya, dia hanya menghela napas panjang.

"Baiklah, Takumi. Sampai nanti. Beritahu aku atau Katakura kalau ada apa-apa."

Takumi seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi. Gii tersenyum kecil padanya, lalu pergi.

Kakinya terasa berat, dan dia bertekad untuk mengunjungi Takumi malam itu, terlepas dari Takumi mau atau tidak.

Apa salahnya mengecek keadaan orang yang kita cintai?


Malam itu, lama setelah Saki berkunjung secara mendadak—kunjungan ketua kelas, katanya—dan Toshihisa sudah tertidur, Takumi duduk di ranjangnya. Kata-kata Naoto bergaung di kepalanya.

Kutunggu kau, Takumi.

Dia keluar dari tempat tidurnya dan berjingkat-jingkat masuk ke kamar mandi. Setelah menyalakan air keran untuk menyamarkan suara, dia menangis sejadi-jadinya.

Nii-san, kurasa aku jatuh cinta. Kenapa kau harus merebutnya dariku?

Siapa pula yang akan sayang padamu, Takumi?, pikirannya membalas, mengulang kata-kata yang pernah dilontarkan Naoto. Air mata Takumi semakin deras mengalir.

Aku kemari untuk menyadarkanmu, Takumi, suara Naoto masih bergema di pikirannya. Hanya aku yang menyayangimu sebagaimana mestinya. Kau mulai delusional, Takumi. Sudah kubilang, Kaachan selalu benar. Dia bilang jangan masuk asrama, seharusnya kau percaya apa katanya. Bukannya membangkang seperti ini.

"Maafkan aku, Nii-san," bisiknya.

Tapi tak apa. Ingat, aku selalu menunggumu.

Takumi terisak beberapa kali, lalu mematikan keran. Dia berdiri dan langsung menatap cermin. Matanya merah dan bengkak, rambut hitamnya berantakan, dan wajahnya menyedihkan. Tubuhnya kurus kecil, dan secara keseluruhan dia tidak ada apa-apanya dibandingkan Saki-kun.

"Kau benar, Nii-san."

Dia melangkah keluar dari kamar mandi. Toshihisa masih tertidur di tempat tidurnya. Takumi lega sekali. Dia duduk di meja belajarnya dan mengambil secarik kertas dan pensil.

Setelah selesai menulis, Takumi membuka pintu lemari pakaiannya dan mengambil tasnya yang paling tersembunyi. Obatnya ada di sana, jauh dari pengawasan Toshihisa dan Akaike.

Dan Saki. Terutama Saki.

Takumi mengambil segenggam besar tablet-tablet itu dari botolnya dan menenggaknya dengan air. Sebelum obat itu sempat bereaksi, buru-buru ditutupnya lemari dan membaringkan diri.

Harusnya cukup, Nii-san. Harusnya cukup.

Aku di sini, Takumi.

Takumi membiarkan kegelapan mengambilnya. Dia tahu Naoto sudah menanti. Meski ketakutan, dia tahu abangnya ada benarnya. Hanya Naoto yang sayang padanya, walaupun Takumi membencinya karena apa yang sudah diperbuatnya.

Takumi mengerjap dan akhirnya melihat Naoto yang sedang tersenyum lebar. Dia tampak seperti Naoto yang dulu; penyelamat Takumi yang diabaikan kedua orangtuanya. Tetapi Takumi melihat sorot aneh di matanya, sorot yang selalu dilihatnya ketika Naoto melepaskan pakaian Takumi dengan kasar, atau ketika Takumi menangis kesakitan sementara darah mengucur di antara kaki kecilnya.

"Kemari, Takumi."

Kali ini, Naoto tidak lagi mengenakan seragam Shidou, dan Takumi lega melihatnya. Seragam Shidou mengingatkannya pada seseorang yang populer dan baik sekali.

Seorang representasi langit biru yang cerah dan mustahil diraih.

Takumi duduk di atas ranjang dan meraih tangan abangnya. Sekujur tubuhnya gemetar, dan bukan karena dinginnya hujan di luar.

Sekarang tanggal 15 Juni, jam satu dini hari.


Shozou Akaike sudah berteman dengan Gii sejak mereka masih memakai popok, tetapi baru kali ini dia melihatnya menangis. Ralat: baru kali ini dia melihatnya tersedu-sedu seperti itu. Merasa kikuk, dia akhirnya menawarkan saputangan supaya Gii bisa menyeka wajahnya yang basah dan beringus.

"Benarkah itu, Shozou?"

"Ya." Shozou tidak dapat menyembunyikan kesedihan dalam suaranya. "Hayama mencoba bunuh diri dengan menenggak terlalu banyak obat penenang. Dia sudah dipindahkan ke rumah sakit, tetapi dia masih koma sekarang."

Gii menyeka pipinya yang basah, tetapi air matanya terus mengalir. "Sudah kautemui Katakura?" tanyanya, terdengar agak geram. "Apa katanya?"

"Katakura terlalu lelah kemarin," Shozou menjawab setenang mungkin. Pada saat seperti ini, kepala dingin sangat dibutuhkan. "Dia masuk tim inti panahan. Singkat kata, dia tidak menyadari apa yang Hayama lakukan."

"Seharusnya dia sadar," Gii menggeram. "Buat apa dia jadi teman sekamarnya?!"

"Hei, Gii, tenangkan dirimu." Shozou buru-buru menahan Gii yang bersiap lari ke luar. "Bukan begini caranya."

"Katakura harus bertanggung jawab, Shozou!"

"Dia sedang mempertanggungjawabkan itu," sahut Shozou cepat. "Kau kira hanya kau yang kaget? Yang berhak marah? Hayama bahkan belum tahu perasaanmu!"

Gii tersentak seakan ditampar, tetapi Shozou belum selesai. "Ini bukan salah siapa-siapa, Gii. Asal kau tahu saja, Katakura juga masih shock sekarang. Dia terpaksa absen hari ini dan tinggal di UKS. Jadi kalau kau berani merongrongnya, kau akan berhadapan denganku."

Gii tercengang menatapnya, tetapi Shozou tahu dia sudah lebih tenang. Mereka mungkin bersahabat, tetapi Shozou tidak bisa membiarkan Gii menyalahkan orang lain secara sembarangan.

"Oh, Takumi," bisiknya sendu. Shozou ikut sedih melihatnya. "Rasanya kemarin kau senang sekali."

"Kudengar kalian bersantai di halaman asrama. Bagaimana dia?"

Gii terdiam sejenak, matanya menerawang. "Dia... tertawa beberapa kali, Shozou. Aku senang mendengarnya."

Pastinya. "Ada perubahan sikap secara mendadak kemarin? Mungkin kita bisa tahu alasannya melakukan ini."

"Aku meninggalkannya sebentar untuk membeli roti untukmu. Saat aku kembali, dia jauh lebih pendiam. Waktu aku datang kemarin malam, dia juga masih begitu. Kukira dia hanya kecapekan."

"Aku mengerti." Shozou harus menemui guru-guru untuk membicarakan masalah ini. Dari suratnya untuk Katakura, Hayama mengatakan supaya orangtuanya tidak diberitahu. Itu hal gila, memang, tetapi Shozou memiliki firasat bahwa dia harus menaatinya. Dia juga tahu dia harus mendiskusikan hal ini terlebih dahulu, dan emosi Gii masih terlalu labil untuk bisa menemaninya. Maka dia melakukan apa yang dia bisa sekarang.

"Gii, ini untukmu."

Mata Gii membulat ketika mengambil surat dari tangan sahabatnya. "Ini..."

"Kurasa Hayama mulai percaya padamu," ujar Shozou kering, lalu pergi dari kamar mereka.


Saki-kun yang baik,

Begitu kau membaca surat ini, kemungkinan besar aku sudah tidak ada lagi di dunia. Jangan khawatir, karena ketua kelas tidak boleh hanya mengkhawatirkan satu anak saja. Dan jangan juga kau menyalahkan Toshihisa; aku malah bersyukur dia tidak bangun sama sekali.

Saki-kun, aku tahu, sebagai ketua kelas kau wajib memberitahu kedua orangtuaku tentang kondisiku sekarang. Kumohon, jangan lakukan itu, setidaknya jangan hari ini. Tanggal 15 Juni adalah tanggal yang sangat penting bagi mereka, dan aku tahu tidak ada lagi yang bisa mengganggu mereka pada saat itu. Bahkan aku sekalipun.

Jadi, kumohon, jangan beritahu mereka, ya?

Saki-kun, terimakasih atas kesenangan kemarin. Aku makan banyak dan tertawa bersamamu; itu semua luar biasa. Jangan makan rotinya Akaike-kun terus, ya, kasihan dia. Jangan-jangan dia galak karena kau makan terus jatahnya.

Saki-kun, jaga dirimu.

Takumi

Gii tahu Takumi menangis ketika menulis, karena air matanya melunturkan beberapa bagian surat itu. Dia sendiri merasa air matanya kembali.

Hari ini tanggal 15 Juni.

Gii tersentak dan bangkit. Buru-buru dikeluarkannya perekam suara Katakura dan diputarnya bagian yang selalu membuatnya bingung.

"Kumohon, pergilah. Nii-san, kumohon."

Gii tidak pernah tahu Takumi punya abang, apalagi abangnya ternyata anak Shidou juga. Tetapi bagian itu tetap saja aneh baginya. Sebuah ide muncul di kepalanya, dan dia melesat ke luar.

Kakinya baru berhenti ketika dilihatnya ruang administrasi. "Permisi," ujarnya sambil masuk. Dia segera mendatangi petugas administrasi yang sedang duduk di belakang mejanya.

"Apa yang bisa saya bantu?" Petugas itu mengerenyitkan dahi, berusaha mengingat-ingat. "Kamu Giichi Saki, kan? Ketua kelas 1-D?"

"Ya," jawab Gii. "Boleh saya lihat daftar nama murid tahun ini?"

"Tentu saja."

Tak lama kemudian, Gii sudah berkutat di meja terdekat, membaca nama-nama murid yang disusun secara abjad, lengkap dengan biodata singkat seperti alamat dan tanggal lahir.

Kelas satu, kelas dua, kelas tiga.

Tidak ada Hayama yang lain.

"Ini sudah termasuk murid baru?" Gii bertanya, untuk jaga-jaga. Kalau tidak salah, Takumi pernah pingsan di dekat anak-anak yang sibuk membicarakan seorang murid baru.

Petugas itu mengangguk, tersenyum kecil. "Hanya ada satu anak baru, Ayumu Sawashiro, di kelas 3-A. Baru masuk, sudah terkenal. Matanya bagus sekali, kau pasti sudah melihatnya, Saki-san."

"Oh, begitu," Gii menjawab basa-basi. Dikembalikannya daftar nama pada petugas muda itu. "Terima kasih atas bantuannya."

"Sama-sama."

Gii melangkah keluar seolah melayang. Siapakah 'Nii-san' yang menakutkan ini?

Langkahnya terhenti. Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya.

Gii kembali berlari, kali ini menuju telepon asrama.


Entah dengan kekuatan apa, Shozou berhasil membujuk para guru untuk tidak memberitahu kedua orangtua Hayama. Dia memperlihatkan surat Hayama untuk Katakura supaya meyakinkan. Mereka akhirnya setuju untuk menunda pemberitahuan tersebut dengan syarat Shozou-lah yang harus bertanggung jawab jika sesuatu terjadi pada Hayama. Wali kelas mereka awalnya sanksi, tetapi setelah membaca surat Hayama, dia hanya mengangkat bahu.

"Hubungan Hayama-kun dengan orangtuanya memang kurang baik. Kalau kondisinya berubah, baru kita beritahu keluarganya. Akaike-kun, guru-guru yang lain benar. Kamu harus bertanggung jawab atas keputusan ini."

"Baik, Sensei." Shozou tahu keputusannya itu gila. Tetapi wajah ketakutan Hayama terbayang di kepalanya ketika dia berbicara dengan para guru. Pasti ada alasannya Hayama tidak ingin kedua orangtuanya tahu. Dia bukan tipe anak yang melakukan ini untuk cari perhatian.

Kepada anak-anak di kelas, dia memberitahu bahwa baik Hayama, Gii, maupun Katakura sama-sama sedang sakit dan tidak mampu mengikuti pelajaran hari itu. Dia juga memperhatikan bagaimana teman-teman sekelasnya mengkhawatirkan Gii, menyinggung Katakura sedikit, namun sama sekali tidak menyebut-nyebut Hayama.

Pantas saja Hayama menderita begini, batinnya.

Setelah kelas usai, Shozou pergi ke UKS. Katakura masih ada di sana, namun dia sudah berjalan-jalan. Wajahnya masih agak pucat, tetapi dia memaksa pergi ke rumah sakit untuk menengok Hayama. Ketika perawat sekolah mengizinkannya, dengan segera keduanya pergi ke kamar masing-masing untuk mengganti baju.

Kamar Shozou kosong, dan dia agak curiga. Mana Gii? Jangan-jangan dia makan lagi. Dia kan selalu makan kalau stres. Namun sebelum Shozou keluar untuk mencarinya, dia mendengar seseorang memanggilnya.

"Akaike," panggil Katakura. "Ayo, cepat. Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu."

Shozou melihat keseriusan dalam wajah pucat itu, dan dia mengangguk. Dia bisa mencari Gii nanti. Atau barangkali dia ke rumah sakit? Bisa jadi. Hanya ada satu rumah sakit di dekat Shidou, dan semua anak tahu itu.

Ketika mereka sudah berada di jalanan sepi yang mengarah ke rumah sakit, dia bertanya. "Ada apa?"

"Waktu kau masih di kelas, Saki meneleponku. Katanya dia ingin aku menyampaikan pesan ini juga untukmu, karena dia tahu kau takkan ikut bolos kelas."

"Apa katanya?"

"Dia... mau ke rumahnya Takumi."

Shozou sudah berteman dengan Gii sejak mereka berdua masih memakai popok, tetapi baru kali ini anak itu bisa membuatnya terbengong-bengong seperti sekarang.


Seorang perempuan berpakaian hitam membukakan pintu ketika Gii sudah mengetuknya selama beberapa menit. Awalnya dia hampir menyerah; mungkin memang tidak ada orang di rumah.

"Maaf, saya tidak mendengar pintunya diketuk."

"Tak apa," jawab Gii sopan. Perempuan ini mengingatkannya pada Takumi, mungkin dari tarikan wajahnya. "Saya Giichi Saki dari SMA Shidou."

Wajah perempuan itu justru menggelap. Apa jangan-jangan mereka sudah tahu apa yang diperbuat Takumi? "Oh, Saki-kun, mari masuk."

Rumah Takumi tidak kecil, namun juga tidak besar. Gii dipersilahkan untuk duduk di ruang tamu sementara ibu Takumi pergi ke dapur untuk menyiapkan teh. Gii tidak keberatan; dengan demikian dia bisa melihat berkeliling. Satu hal mengenai ruang tamu itu terasa janggal baginya. Hampir tidak ada foto Takumi di sana, kecuali satu fotonya ketika dia masih kecil dan duduk di pangkuan seorang anak laki-laki yang lebih tua. Itu pasti abangnya, batin Gii. Tetapi, selain itu, tidak ada lagi fotonya, seolah Takumi hanya orang asing yang tidak tinggal di sana.

Sebaliknya, foto abang Takumi ada banyak. Yah, rata-rata foto yang dipajang adalah foto-foto kedua orangtuanya, tetapi jumlah fotonya lebih banyak dibandingkan foto Takumi yang hanya satu. Dalam beberapa di antaranya, abang Takumi sedang memegang piala dengan senyum lebar di wajah.

"Itu Naoto, abangnya Takumi."

Gii tersentak kaget dan menoleh. Ibu Takumi sudah kembali dengan nampan teh di tangan. "Silakan minum dulu, Saki-kun. Apa sesuatu terjadi pada Takumi sampai kamu harus kemari?"

Gii tergoda untuk memberitahukan segalanya pada perempuan ini, tetapi surat Takumi mengurungkan niatnya. Selain itu, dia sadar usaha Shozou mempengaruhi guru-guru berhasil, dan dia tidak mau mengacaukannya sekarang.

"Saya ketua kelasnya," Gii mulai menjelaskan, menggunakan cerita yang dikarangnya dalam perjalanan ke tempat ini. "Ini memang kunjungan yang wajib saya lakukan untuk mengetahui keadaan keluarga teman-teman saya."

Ibu Takumi tampak agak terkejut. "Bukankah itu tugas wali kelas?"

"Seharusnya begitu, tetapi kebetulan wali kelas kami berhalangan untuk datang hari ini, jadi saya sendirian." Gii memasang senyuman terbaiknya, berharap ibu Takumi bisa percaya. Biasanya senyum itu selalu berhasil, terutama pada kaum hawa, entah berapapun usianya.

Usahanya berhasil. Perempuan itu mengangguk padanya. "Oh, begitu. Yah, memang ada baiknya kunjungan seperti ini dilakukan, Saki-kun. Takumi juga bukan anak yang... mudah untuk ditangani."

Bagus. Arah pembicaraan sudah tepat. "Mudah seperti apa, ya, Hayama-san?"

"Kamu ketua kelas. Kamu pasti sudah sering berurusan dengannya."

"Ya, terkadang dia memang terlibat masalah," Gii mengakui setelah terdiam sejenak. "Tetapi akan lebih baik jika saya mendengar bagaimana perilakunya di rumah."

"Takumi anak baik. Dia pendiam kalau di rumah, tetapi cukup rajin dan tidak pernah mau merepotkan orangtuanya. Dia lebih suka menyelesaikan masalahnya sendiri."

"Anda dekat dengannya, Hayama-san?"

"Tidak ada di antara kami yang dekat dengannya. Atau bisa benar-benar dekat padanya," jawab perempuan itu. Dia tampak sedih sekali. "Kami berusaha untuk mendekatinya sejak... yah, sejak dia beranjak remaja. Tetapi dia memang tertutup."

Gii sadar ada sesuatu yang tidak dikatakan kepadanya, dan perasaannya mengatakan itu ada hubungannya dengan anak laki-laki yang memangku Takumi di foto itu. "Bahkan dengan abangnya?"

Hayama-san tampak kalut. "Kami tidak membicarakan Naoto lagi, terutama pada Takumi."

"Mengapa demikian?" Gii menatap foto itu. "Kelihatannya mereka dekat sekali di sini."

"Mereka memang dekat waktu Takumi masih kecil," Hayama-san akhirnya berkata. Dia terdiam agak lama setelahnya, seolah berusaha menyusun kata-kata. "Naoto sakit-sakitan, jadi aku dan suamiku lebih memfokuskan diri padanya. Takumi... dia tumbuh sendiri."

Gii mendengarkan.

"Takumi sehat walafiat, jadi aku tidak terlalu mengkhawatirkannya. Naoto selalu jadi prioritas utama. Mungkin karena itu kami tidak pernah bisa dekat."

"Apakah Takumi dan abangnya masih dekat sampai sekarang?"

"Kamu tidak tahu, Saki-kun?" Hayama-san menatapnya tidak percaya, seolah Gii mendadak berkepala tiga. "Dia juga tertutup di sekolah, ya?"

"Salah satu alasan saya kemari adalah untuk mengetahui seperti apa latar belakang Takumi, Hayama-san." Mau tidak mau Gii harus sedikit mengatakan kejujuran. "Takumi memiliki sedikit... kesulitan beradaptasi, jadi saya berpikir kunjungan ini bisa membantunya."

"Aku mengerti." Hayama-san menutup matanya sejenak. "Dia tidak lagi dekat dengan Naoto sejak kelas lima SD. Naoto kami kirimkan ke rumah sakit pada saat itu. Penyakitnya sudah... parah."

"Dulunya mereka dekat?"

"Ya." Seulas senyum kecil tersungging di bibir perempuan itu. "Naoto selalu berusaha menyadarkan kedua orangtuanya bahwa mereka punya dua anak, bukan hanya satu. Takumi cerdas, dan Naoto sering menceritakan pada kami tentang nilai-nilainya yang bagus, atau kalau dia berhasil menyelesaikan satu lagu dengan biolanya. Aku harus mengakui hanya Naoto yang menghubungkan kami dengannya."

Dan Anda tidak mencoba mendekatinya lagi sekarang? "Bisakah saya bicara dengan Naoto-san? Mungkin Takumi membutuhkan barang atau surat dari rumah untuk membuatnya betah di asrama."

Air mata mendadak mengalir di wajah Hayama-san, tetapi seulas senyum kecil tersungging di bibirnya. "Aku senang sekali mendengar Takumi kangen abangnya. Tetapi, Saki-kun, hari ini adalah dua tahun peringatan meninggalnya Naoto. Kami baru saja akan pergi ke kuburannya tadi ketika kamu datang, dan kuharap dia sudah datang ke sana lebih dulu." Dia terdiam sejenak. "Aku akan menitipkan sesuatu untuknya, Saki-kun. Takumi pasti akan menyukainya, dan ini pertanda baik. Aku yakin Naoto juga akan senang di atas sana."

Gii menelan ludah, menahan diri untuk tidak menyindir atau marah atau keduanya. Dia bisa melihat bahwa Naoto Hayama lebih penting dari apapun. Bahkan adiknya sendiri, yang sekarang sedang menderita di rumah sakit.

Hari ini tanggal 15 Juni. Sudah dua tahun sejak Naoto Hayama wafat.


'Sesuatu' yang dimaksud Hayama-san ternyata adalah sebuah kaset video. Gii memainkan benda itu di tangannya selama dia berada dalam perjalanan kembali ke Shidou, otaknya terus berputar mencari jawaban.

Takumi jelas tidak merindukan abangnya, dan Gii tahu dia harus mengembalikan benda ini tanpa diketahuinya. Beruntung Hayama-san juga mau merahasiakan 'kunjungan' Gii, dengan alasan tidak mau membuat Takumi semakin jengah. Mereka memang sama sekali tidak dekat.

Keluarga yang aneh, batin Gii. Keluarga macam apa yang menyayangi satu anak dan mengabaikan satunya sampai tidak sadar bahwa hal itu sangat menyakitkan?

Ketika mobil melewati rumah sakit tempat Takumi dirawat, Gii menyuruh supirnya berhenti. Dengan cepat dia memasukkan kaset video itu ke dalam tasnya lalu keluar. Dia tidak boleh membuang waktu lagi.

"Permisi," katanya pada resepsionis. "Di mana kamar Takumi Hayama? Saya teman sekolahnya."

Setelah mendapatkan nomor kamar yang dituju, dia melesat ke sana dan mendapati kedua temannya masih berada di sana. Katakura, yang duduk menghadap pintu, melihatnya duluan.

"Saki!"

Baru saat itulah Shozou menengok padanya. Wajahnya tampak galak seperti biasa, tetapi Gii bisa melihat gurat kelelahan dari sana. Gii melirik pada Katakura dan melihatnya masih agak pucat. Dia merasa tidak enak karena sudah menuduh Katakura yang tidak-tidak; anak itu sudah cukup menanggung akibatnya.

"Halo, Katakura. Maaf, Shozou," sapanya sambil mendekati ranjang tempat Takumi berbaring. "Bagaimana dia?"

"Stabil. Entah bagaimana, dia berhasil bertahan sampai sekarang," Shozou menjawab kaku. Gii menarik kursi di samping ranjang dan meraih tangan Takumi.

"Hai, Takumi-kun," panggilnya lembut.

Tangan Takumi dingin, tetapi ketika Gii memegangnya, terasa sedikit gerakan. Aku yakin kau pasti masih mau hidup. Gii merasa air matanya kembali, dan dia mencium tangan pucat itu.

"Kembalilah, Takumi." Dia sudah menangis sekarang, air matanya menetes ke tangan Takumi. Aku belum bilang aku sudah jatuh cinta padamu sejak kita masih kecil. Maafkan aku, seharusnya aku menemukanmu lebih cepat. Seharusnya aku bisa melacakmu tepat setelah aku pertama melihatmu di konser biola itu. Jadi kau takkan terluka, setidaknya tidak separah ini.

Baik Katakura maupun Shozou sama-sama membiarkan Gii larut dalam kesedihannya. Tetapi setelah agak lama, Gii merasakan sebuah tangan memegang bahunya.

"Apa ini, Gii?"

Tangan Shozou yang satunya sedang memegang kaset video milik keluarga Takumi. Gii menghela napas.

"Kita harus melihatnya. Bisakah kita meminjam ruangan dengan pemutar video?"


Takumi ingin sekali pergi. Dia ingin sekali pergi dari tempat ini, meskipun sekarang dia sedang berada dalam kamarnya sendiri. Dia tahu dia takkan bisa pergi, setidaknya tidak jauh-jauh. Hujan deras di luar jelas akan menahannya.

"Takumi, adikku sayang."

Suara Naoto terdengar lembut, tetapi justru suaranya yang seperti itulah yang paling menakutkan. Takumi tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia mengigit bibir dan beringsut sejauh mungkin di atas tempat tidurnya. Punggungnya akhirnya mengenai tembok yang dingin. Naoto terus mendekat, dan Takumi tahu dia terpojok.

"Takumi-kun sayang," Naoto memanggil lembut dan duduk di ranjangnya. "Aku selalu teringat padamu setiap kali hujan seperti ini. Ingatkah ketika kau mencoba lari, Takumi?"

Jelas dia ingat. Takumi ingat kakinya yang kecil telanjang, menginjak jalanan yang basah dan licin. Darah mengalir di antara kedua kakinya. Rambutnya yang berantakan, wajahnya yang lebam terbentur dinding kamar ketika dia melawan. Naoto yang jauh lebih besar dan lebih cepat berhasil menangkap dan menyeretnya pulang. Naoto pula yang mengobati luka-lukanya, kebingungan karena Takumi tidak berhenti berdarah.

"Kalau saja kau tidak melawan." Tangan Naoto merayap perlahan menuju tubuh adiknya, dan Takumi mulai kesulitan bernapas karena ketakutan yang amat sangat. "Kau mempersulit semuanya, adikku sayang."

Takumi bergeser sedikit, berusaha mencari jalan keluar. Naoto tidak membiarkannya.

"Kau ada di sini karena keinginanmu sendiri, Takumi. Dan percayalah, pilihanmu ini benar. Aku akan selalu mencintaimu."

Takumi mengerjap beberapa kali, berusaha menyingkirkan air mata yang menghalangi pandangannya. Dia mengepalkan kedua tangan, dan mendadak salah satunya terasa hangat. Seolah ada yang menggenggamnya. Entah bagaimana, itu memberinya keberanian.

"Kau sakit, Nii-san. Kau sakit jiwa."

Naoto tersenyum lemah. "Aku hanya menyayangimu, Takumi. Kalau itu memang merusak diriku, maka jadilah demikian."

Tangan kanan Takumi semakin hangat, dan Takumi menjadi semakin berani. "Biarkan itu merusakmu, Nii-san, tapi hal itu tidak boleh menyentuhku."

Naoto tampak marah sekarang. "Kau adik yang kurang ajar," geramnya. Suaranya tampak aneh sekarang, seolah-olah ada orang lain yang mengisi suaranya. "Aku selalu melakukan yang terbaik untukmu, tetapi kau malah... malah..."

Kedua tangan Naoto sudah mencengkeram bahu Takumi, dan satunya mulai meraih bagian bawah kausnya—

"Jangan sentuh Takumi."

Keduanya terlonjak. Takumi melihat reaksi abangnya sebagai caranya melepaskan diri. Dia bergeser sejauh mungkin dari Naoto, namun entah mengapa tidak mampu keluar dari tempat tidurnya.

"Jangan sentuh dia." Suara dari pintu terdengar semakin jelas, dan akhirnya benda itu terbuka. Takumi tercengang melihat Saki melangkah masuk.

"Kau siapa?" Naoto berdiri. Dia meninggal dalam usia sembilan belas tahun, tiga tahun lebih tua dari usia Takumi saat ini, dan dia sekepala lebih tinggi dari Saki. Akan tetapi Saki tetap tenang melihatnya, sesuatu yang mengejutkan Takumi.

"Aku temannya."

"Kau punya teman, Takumi?" Naoto bertanya tajam. "Bukankah kau disentuh saja tidak bisa?"

Saki tampak marah. Takumi tidak tahu kepada siapa amarah itu ditujukan. "Aku ingin membawanya pulang."

"Ini rumahnya."

Sejak empat tahun neraka itu, batin Takumi, ini bukan rumahku lagi. Tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Takumi kembali merasakan kehangatan di tangannya, dan dia memberanikan dirinya.

"Saki-kun."

Ketua kelasnya itu menoleh padanya dan mengulurkan tangan. "Ayo, Takumi."

"Beraninya kau!" teriak Naoto, tetapi sesuatu seolah menahan dirinya. "Takumi adikku yang kusayangi, kau tidak boleh menyentuhnya! Dia milikku! Hanya aku yang sayang padanya!"

Tangan Saki tetap terulur. Takumi menatapnya, rasa takut merambat dalam dirinya. Kalau dia meraih tangan itu, artinya dia membiarkan dirinya disentuh. Artinya dia memperbolehkan Saki melihat dirinya yang sesungguhnya, dirinya yang terluka dan menderita. Artinya dia harus menceritakan tentang Naoto.

Maukah kau membuat langit itu menjadi mendung?

Takumi mulai menangis.


Perawat rumah sakit sangat sedih melihat tiga orang anak berantakan menunggui seorang anak yang berusaha bunuh diri. Dua di antaranya terus berbicara pada anak yang masih koma itu, sementara yang satunya sibuk memainkan kaset video di tangannya.

Dua anak yang berbicara itu tampak ganjil, seolah mereka sedang bermain peran. Yang satu mengubah suaranya, sehingga terdengar seperti pemuda yang marah-marah. Satunya memakai suaranya yang biasa, namun terdengar berwibawa. Perawat itu tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tetapi dia tahu sebaiknya dia tidak bertanya. Lagipula, dia tahu bahwa seringkali pasien yang koma bisa mendengar suara orang di sekitarnya, dan apa yang mereka lakukan tidak salah.

"Kau dilarang masuk, Naoto-san," ujar si anak berwibawa. Suaranya terdengar ketika sang perawat masuk untuk memeriksa si pasien malang. "Ayo, Takumi. Kita pulang."

Anak yang satunya, Naoto-san, hendak berbicara, namun terdiam ketika melihat perawat itu. Setelah perawat itu selesai, barulah dia kembali berbicara.

"Pergilah, Takumi."


"Kau dilarang masuk, Naoto-san."

Tangan Saki masih terulur. Hujan masih turun, tetapi sudah mulai reda. Naoto menatapnya tajam dari sisi tempat tidur, tetapi tidak bergerak.

"Ayo, Takumi. Kita pulang."

Kedua tangan Takumi sudah hangat sekarang. Aku tidak punya rumah, dia ingin berkata, tetapi dia tidak yakin Saki akan suka mendengarnya. Ketua kelasnya itu tersenyum ketika Naoto mendadak berbicara.

"Pergilah, Takumi."

Naoto terdengar pasrah, dan Takumi membulatkan tekad. Air mata masih mengalir di wajahnya ketika Saki menyambut tangannya yang gemetar.

Takumi terangkat dari palung dan terbang menuju ke langit biru cerah.


"Terima kasih banyak, Katakura."

"Tolong jangan buat aku jadi orang itu lagi," ujar Katakura jengah, mempererat genggamannya pada tangan Takumi. Kemampuannya menirukan suara ternyata punya sisi buruk juga. "Kalau dia memang menyakiti Takumi, mengerikan sekali."

Baik Gii maupun Shozou setuju. Shozou tidak ingin Katakura jadi sakit betulan setelah semua ini, maka dia memaksa kembali ke asrama. Gii sendiri ingin tetap di rumah sakit, dan ketika dia memperlihatkan surat ijin keluar untuk sehari penuh, Shozou terpaksa setuju. Tak lama kemudian, dia dan Katakura sudah berjalan meninggalkan rumah sakit.

"Akaike, apa menurutmu Takumi akan sembuh?"

Shozou bukan seorang optimis, tetapi saat itu dia menatap ke langit gelap tanpa bintang dan mengangguk.

"Hayama lebih kuat dari yang kita kira, Katakura. Gii selalu bilang begitu."


Ironi adalah ketika kau setengah mati berusaha untuk tetap bangun sampai orang yang kaucintai siuman, hanya untuk kehilangan momen itu ketika kau pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka.

"Takumi?"

Kedua mata Takumi melebar ketika melihat siapa yang memanggil namanya. Seperti déjà vu, Gii melangkah keluar dari kamar mandi dengan muka basah dan handuk kecil di leher. Siapa yang percaya kalau itu kejadian kemarin? Rasanya sudah lama sekali.

"Takumi?" panggilnya sekali lagi, hanya untuk memastikan dia tidak salah lihat. Begitu dia yakin dengan apa yang dilihatnya, dengan segera dia memanggil dokter malam yang berjaga.

Takumi tampak ketakutan ketika tim medis menghampirinya, tetapi Gii berusaha menenangkannya. "Tidak apa-apa, Takumi."

Yang dipanggil mendadak mengulurkan tangan, dan Gii meraihnya dengan senang hati. Takumi tampak lega dan tangannya terasa lebih hangat. Gii harus menahan diri untuk tidak mencium tangan tersebut seperti yang dilakukannya sebelumnya. Dia tahu keberanian Takumi ini juga disebabkan oleh obat-obatan yang diterimanya, tetapi dia tidak keberatan.

Maka dia hanya tersenyum.

Kau akan baik-baik saja.


Takumi harus tinggal di rumah sakit selama empat hari. Gii, Shozou, dan Katakura menjenguk setiap hari. Meski tampak kaku seperti biasa, Shozou prihatin karena tidak ada lagi anak sekelas mereka yang menaruh perhatian pada 'Hayama yang sedang sakit'. Ketika dia mengutarakannya pada Gii, sahabatnya itu meyakinkannya dengan mengatakan bahwa Takumi sendiri tidak keberatan.

Kedua orangtua Takumi juga sudah diberitahu, meskipun tidak secara detail. Shozou beralasan supaya tidak membuat mereka panik, ada baiknya mereka menjenguk putra mereka dulu.

Tetapi mereka tidak datang. Ibu Takumi, yang menerima telepon dari sekolah, mengatakan bahwa ayah Takumi baru saja berangkat ke luar negeri, sehingga hanya ibunya yang akan datang nanti. Sayangnya, kata-katanya janji manis semata. Gii tidak memberitahu Takumi soal ini, dan meminta yang lain untuk melakukan hal yang sama. Kecuali ditanya langsung oleh Takumi, Gii bakal tutup mulut terus.

Hari ini, sehari sebelum Takumi pulang dari rumah sakit, Gii meminjam ruangan audiovisual untuk dirinya sendiri. Ruangan itu adalah satu-satunya ruangan dengan pemutar video di Shidou. Gii ingin memutar ulang video yang dititipkan kepadanya.

Ibu Takumi menjadi narator di video itu, memperkenalkan Naoto terlebih dahulu, yang sedang membaca. Naoto-lah yang menyuruh ibunya untuk memperkenalkan Takumi juga.

"Oh! Hahaha, maafkan aku, Naoto sayang! Bagaimana caranya aku bisa sampai lupa? Ini adik Naoto, Takumi. Ayo senyum ke kamera, Takumi-kun."

Gii tidak pernah tahu ada orang tua yang sebegitu mudahnya melupakan anak, meskipun dia hanya bercanda. Takumi bahkan ada di ruangan yang sama dengan mereka!

Video berjalan terus, memperlihatkan Naoto yang sibuk bermain kejar-kejaran dengan Takumi. Ibu mereka terus mewanti Naoto untuk tidak memforsir diri, lalu menjelaskan kondisi jantungnya yang lemah. Takumi tidak disebut sama sekali. Di menit ketujuh, Takumi terjatuh dan Naoto tersandung sebelum ikut jatuh menimpa tubuhnya.

"Naoto! Hati-hati! Kamu tidak apa-apa, sayang?"

Gii tidak tahu kenapa dia memaksa diri menonton video ini, padahal baik dia maupun Shozou dan Katakura sama-sama tidak tahan melihatnya. Ketiganya tidak menonton video ini sampai selesai, karena Shozou keluar dan Katakura sudah tampak seperti ingin muntah. Gii sendiri sudah berurai air mata di menit kesepuluh saat dia menghentikan videonya. Mereka bahkan belum setengah jalan.

Yah, sebenarnya dia tahu kenapa, dia hanya tidak ingin memikirkannya. Dengan begini, dia tahu seperti apa Takumi sebenarnya. Dalam lubuk hatinya, Gii tidak ingin mengubah bayangannya mengenai Takumi dari anak lelaki kecil pemain biola yang dicintainya menjadi remaja aneh yang selalu ketakutan ketika disentuh.

Tapi dia harus tahu hal ini. Dia tahu Takumi perlu ditolong. Dan mungkin Gii satu-satunya orang yang bersedia menolongnya.

Ibu Takumi membantu putra sulungnya bangun, dan bercuap-cuap bangga ketika melihat Naoto menolong adiknya berdiri. Adegan kembali berubah, dan Takumi sudah sedikit lebih tua. Mungkin usianya delapan tahun saat itu. Meski begitu, dia tetap terlihat kecil untuk anak seusianya.

Keduanya sedang berada di ruang makan bersama ibu mereka, dan video penuh dengan suara perempuan itu memperkenalkan makanan yang dimasaknya.

"Hari ini Naoto ulang tahun! Selamat ulang tahun, Naoto!"

Naoto berseri-seri, dan dia mencium pipi kedua orangtuanya. Ketika dia mengarahkan pipi pada Takumi, anak itu refleks menjauh.

"Takumi! Ayo cium abangmu!"

Shozou tidak tahan melihat bagian ini ketika mereka menontonnya pertama kali di rumah sakit, sehingga dia langsung keluar ruangan. Gii tidak pernah melihatnya shock seperti itu. Dia juga teringat Katakura yang tetap duduk di tempatnya, meski keduanya tahu dia juga ingin keluar. Dia tahu teman-temannya mampu melihat betapa menderita Takumi berada di dekat orang yang melukainya.

Takumi tampak pucat, tetapi akhirnya dia mencium pipi Naoto. Abangnya itu tersenyum dan memeluknya, tak peduli pada ekspresi kaget Takumi yang bercampur dengan ketakutan, atau bagaimana dia meronta sedikit minta dilepaskan. Ibu Takumi tidak berkomentar apa-apa, hanya tertawa melihatnya.

"Lihat! Mereka lucu sekali, kan? Takumi memang agak pemalu, tapi itu membuatnya semakin manis!"

Gii menghentikan video sejenak. Dia merasa mual melihat betapa egoisnya keluarga itu. Dia ingin berhenti menonton, tetapi alih-alih berbuat demikian, dia justru menekan tombol play.

Naoto dan Takumi terus bermain bersama. Mereka tampak seperti kakak-beradik biasa, kadang bertengkar karena hal kecil. Tetapi Gii lebih jeli. Dia bisa melihat ibu mereka terus meributkan Naoto bahkan ketika Takumi-lah yang terluka, dan bagaimana Takumi seringkali berjengit saat disentuh. Reaksi Takumi ini selalu luput dari perhatian ibunya, dan Gii bertanya-tanya apakah ibunya sebuta itu.

Gii juga bisa melihat Naoto adalah abang yang baik. Inilah yang membuatnya bingung. Sepanjang video, dia berusaha membuat ibu mereka memperhatikan Takumi. Ketika ibu mereka sibuk memujinya, dialah yang menolong Takumi berdiri atau menemaninya bermain. Mengingat suara Takumi yang memelas dalam rekaman Katakura, Gii seperti melihat dua sisi manusia yang berbeda seratus delapan puluh derajat.

Adegan terakhir video itu dimulai dengan alunan biola. Gii tidak ingat judulnya, tetapi dia mengenalinya sebagai lagu yang dimainkan Takumi ketika konser. Lagu yang membuat Gii jatuh cinta padanya, padahal keduanya masih berusia sebelas tahun saat itu.

Tidak ada suara ibu Takumi di sini, jadi Gii merasa bahwa Naoto merekam adegan ini sendirian. Gii melihatnya duduk di ranjang, dengan Takumi di sebelahnya, berdiri sambil memainkan biolanya. Terkadang ada kesalahan, tetapi Naoto tetap mendengarkan dengan khidmat.

"Bagus sekali, Takumi!"

Gii melihat wajah Takumi memerah, tetapi dia tersenyum kecil. Apa yang dikatakannya setelah itu membuat Gii ingin menangis.

"Nii-san, menurutmu mereka akan menyukainya?"

"Tentu saja!" Naoto tertawa. "Ini lagu yang kaulatih untuk konser, jelas Touchan dan Kaachan akan suka!"

"Mereka tidak pernah benar-benar menyukainya. Mereka tidak peduli apa yang kulakukan."

"Dengar, Takumi, kau sendiri tahu aku sering keluar masuk rumah sakit. Gara-gara itu mereka lebih sibuk padaku. Tapi aku yakin mereka juga sayang padamu."

Takumi masih merengut. Jelas dia tidak percaya. Sorot mata Naoto tampak aneh ketika memandangnya. Dia menepuk kasur.

"Kemari, Takumi. Kau harus tahu tidak ada lagi yang sayang padamu seperti aku menyayangimu."

Gii tersentak, dan tidak hanya dia yang melakukannya. Takumi menyentakkan diri dari tangan abangnya yang hendak menyentuhnya.

"Aku... aku harus pergi, Nii-san."

"Kenapa? Sudah sore, Takumi. Kau mau ke mana?"

Wajah Takumi pucat, dan dia segera menjauh dari abangnya. "A-aku mau pergi sebentar."

"Hei, Takumi! Kembali!"

Gerakan Takumi menghantam kamera dan benda itu terjatuh. Video itu usai begitu saja, meninggalkan Gii yang masih terperangah.

Takumi...


Ketika Takumi pulang dari rumah sakit, tidak ada yang berubah. Selain Toshihisa, Saki, dan Akaike, tidak ada yang kelihatan peduli. Takumi bersyukur karenanya; dia lebih senang seperti itu. Dia tidak peduli akan tatapan teman-teman sekelasnya ketika dia melewati mereka dalam perjalanan menuju kamarnya, atau fakta bahwa tidak ada yang menanyakan keadaannya.

Baik Toshihisa maupun Saki sama-sama tidak membahas surat yang ditinggalkan untuk mereka. Meski begitu, jelas mereka menuruti isinya, karena kedua orangtuanya tidak datang menengoknya sama sekali. Takumi lega sekaligus sedih. Lega karena dia tidak mau menghadapi suasana yang kikuk dengan orangtuanya, tapi sedih karena... yah...

Setelah dua tahun, Naoto masih lebih penting daripadanya. Tapi apa yang bisa Takumi harapkan? Seharusnya dia sudah terbiasa setelah bertahun-tahun menjalaninya!

Lamunan Takumi terpotong ketika terdengar ketukan di pintu kamar. Tidak mungkin Toshihisa; anak itu pasti masih di kelas dan dia tidak mungkin mengetuk pintu kamarnya sendiri. Meskipun heran karena sekarang masih jam pelajaran, Takumi tetap membukakan pintu. Ketakutan mulai merambatinya, jangan-jangan Naoto—

"Hai, Takumi."

Ketakutan Takumi berubah menjadi keheranan. "Oh, halo, Saki-kun. Kau ngapain di sini?"

"Ssst! Aku bilang ijin ke WC, tapi aku ingin menengokmu sebentar."

"Kau berjalan dari kelas ke asrama? Tanpa ketahuan?" Gedung sekolah dan asrama terpisah dan terbuka, sehingga perjuangan Saki sulit dibayangkan oleh Takumi. Dia mungkin ketua kelas, tetapi dia juga masih anak SMA. Takumi tidak ingin Saki terlibat masalah karena dirinya.

"Bukan berjalan, tetapi menyelinap." Saki menggaruk kepalanya. "Harus jago ngumpet-ngumpet kalau kau punya teman seperti Shozou."

Takumi tersenyum mendengarnya. "Aku takkan kemana-mana, Saki-kun. Dokter menyuruhku istirahat penuh hari ini. Kau bisa saja mengunjungiku setelah makan malam."

"Sudah, sudah. Ini untukmu."

Saki memegang sebuah kotak kecil di tangannya. Takumi tidak bisa membaca abjad Latin sepenuhnya, tetapi dia mengenali kata 'Belgia' pada kemasannya. "Cokelat?"

"Yap. Dikirimi sepupuku dari sana. Kau harus coba, Takumi. Rasanya luar biasa."

Takumi menerimanya dengan perasaan campur aduk. Dia senang, tetapi juga gugup. Dia tidak bodoh; dia tahu Saki menaruh perhatian lebih padanya. Hanya saja Takumi belum siap untuk itu. Kasihan Saki kalau begini terus.

Saki sepertinya agak berbeda dalam menginterpretasikan reaksinya. "Tak apa, Takumi. Aku tidak meracuninya, kok."

"Aku tidak bilang begitu," sanggah Takumi, wajahnya memerah. Dia menunduk, tidak mampu menatap mata Saki, sehingga dia memusatkan pandangannya pada kotak di tangannya. "Aku hanya..."

"Sudahlah, aku hanya bercanda. Anggap saja hadiah kepulanganmu ke Shidou."

Takumi sebenarnya tahu dia hanya bercanda. Dia hanya terlalu gugup hari ini. "Terima kasih banyak, Saki-kun."

"Sama-sama." Saki hendak beranjak pergi ketika sesuatu terlintas di pikirannya. "Oh, Takumi?"

"Ya?"

"Kalau aku jadi ketua kelas tahun depan, kau wakilnya, ya? Shozou mau fokus di komite kedisiplinan."

Sebelum Takumi sempat menjawab, Saki sudah berlari meninggalkannya. Masih terkaget-kaget, dia masuk kembali dalam kamarnya.

Saki memintanya jadi wakil ketua kelas. Apa kata anak-anak nanti? Tetapi pikiran lain, yang jauh lebih mendebarkan, merasuk dalam otaknya.

Ketua kelas selalu sekamar dengan wakilnya.

Takumi membayangkan dirinya sekamar dengan Saki, lengkap dengan segala macam tingkah lakunya. Hobinya makan. Gayanya yang santai. Wibawanya di depan kelas. Perhatiannya pada Takumi selama ini.

Dan Takumi tertawa. Dia tidak tahu apa yang lucu, tetapi bayangan itu membuatnya bahagia. Dia tahu tahun kedua takkan berjalan mulus, apalagi jika dia betulan jadi wakil ketua kelas, tetapi kali ini dia tidak peduli.

Takumi merosot ke lantai, punggungnya masih menempel pada pintu. Tetapi kali ini dia tidak menangis atau ketakutan. Dia masih tertawa.

Dia tahu dia tidak boleh terlalu gembira, karena kesedihan akan datang lebih cepat kalau dia seperti ini, tetapi dia tidak peduli. Dia hanya ingin tertawa, meluapkan segenap kehangatan yang dirasakannya dari ketua kelasnya selama ini.

Sekarang bulan Juni.

Langitnya cerah, dan Takumi berenang keluar dari palung tempatnya bersembunyi untuk berjalan di bawahnya. Bersama matahari yang hangat, sehangat seorang anak lelaki bernama Giichi Saki.

Naoto berada jauh sekali, dan dia jelas tidak sedang mengenakan seragam Shidou sekarang.

FIN.


A/N: Ini sebenarnya campur-campur antara film, manga, dan novel. Untuk penggambaran karakternya, aku lebih condong ke filmnya yang versi DaiMao (because they are my spirit animal XD). Tapi untuk latar waktu dan detail ceritanya ngambil beberapa bagian dari novel dan manganya. Ini bisa dilihat sebagai prekuel Takumi-kun.

Gii nggak terlalu pushy dan agak perasa di sini, ya? Aslinya di kelas satu, Takumi sama dia ga pernah ngomong. Gii baru menemukan cinta pertamanya, tapi ternyata Takumi-nya... ya gitu. Jadi dia memutuskan untuk tidak terlalu memaksa Takumi. Kasihan, ya? Soal perasa, Gii di film versi Dai memang cenderung begitu juga. Lebih emosional. Tapi versi santainya banyak ke Gii versi Kei/manga juga sih ya. Well, intinya campur-campur. Semoga jatuhnya ga terlalu aneh/OOC.

Oh ya, berhubung cerita ini dibuat pertama kali tahun 90an, yang ada cuma kaset video. Makanya belum ada HP dan sebangsanya.

Hope you enjoyed your read!