Disclamer: Kuroshitsuji punya Yana Toboso

Title: Be My Sacrifise

Genre: Romance, Hurt/Comfort

Rated: T

Warning: AU, OOC, Shou-ai

Ket: Ciel umurnya 18 tahun, Sebastian umurnya 26 tahun


Be My Sacrifise


Kehidupan seorang pemuda berambut biru kelabu itu telah berubah, sekarang dia telah menginjakkan kaki di salah satu universitas ternama di Inggris. Karena keahliannya dalam bermusik dia mengikuti jurusan musik untuk mata kuliahnya, terutama untuk mempelajari piano.

Nama pemuda itu adalah Ciel Phantomhive. Orang-orang yang pernah mengenalnya merasa Ciel sangat berbakat dalam bermusik. Keahlian Ciel dalam mencerna lagu dan membawakannya dalam permainan piano yang menghayutkan membuatnya terlihat istimewa.

Langkah kakinya sudah membawanya ke dalam gedung universitas yang dia masuki. Segera dia menuju ruang administrasi untuk mengurus segala keperluan sekolahnya dan berbicara dengan rektur universitas itu.

"Ciel Phantomhive? Kau masuk kesini sedikit terlambat ya?" tanya Miss Angelica, rektor universitas.

"Iya. Awalnya saya tidak ingin kuliah dulu," jawab Ciel. "Tapi sekarang saya berubah pikiran."

"Baguslah. Kau sudah bisa masuk ke kelasmu. Ikuti saja peta menuju kelasmu." ujar Miss Angelica sambil memberikan selembar kertas pada Ciel. Ciel hanya mengangguk saja dan berjalan meninggalkan ruangan itu.

"Hmm... Ruangan di lantai tiga ya?" gumam Ciel sambil melihat peta itu sambil berjalan menuju kelasnya.

Universitas itu cukup luas dan wajar saja Ciel diberikan peta agar tidak tersesat. Tidak lama sampailah Ciel di sebuah ruangan yang luas dan di dalamnya sudah berkumpul sekitar sembilan orang.

"Ah... Kau Ciel Phantomhive, murid baru itu kan?" tanya seorang wanita berambut hitam panjang yang bernama Michelle. Dialah guru musik di universitas ini. "Silahkan masuk."

Ciel segera masuk ke kelas dan mengenalkan dirinya pada teman sekelasnya yang baru. Setelah itu pelajaran langsung dimulai. Khusus di kelas Ciel hanya calon pemain musik handal yang dilatih jadi muridnya terbilang sedikit.

Miss Michelle mengajar murid-muridnya satu per satu dengan telaten. Di kelas itu juga banyak yang memainkan alat musik yang berbeda. Contohnya, gadis berambut merah muda pendek bernama Sherly yang memainkan biola, pemuda berambut hitam bernama Andrew yang memainkan gitar dan masih banyak lagi.

"Wah permainan piano-mu bagus Ciel." ujar Sherly riang sambil berjalan mendekati Ciel. Ciel hanya tersenyum saja menanggapi ucapan Sherly.

"Kau cukup berbakat juga." tambah Andrew.

"Terima kasih." ujar Ciel.

"Tapi Ciel, kau baru masuk hari ini padahal hari ini adalah hari terakhir Miss Michelle mengajar." jelas Sherly.

"Hari terakhir?" tanya Ciel.

"Iya. Besok Miss akan pergi ke Perancis untuk konser."

"Oh begitu..."

"Tapi uniknya dia masih mau mengajar kita. Padahal kita bisa belajar sendiri." ujar Andrew santai sambil sesekali memetik gitarnya.

"Mungkin Miss ingin bersama murid-muridnya." ujar Ciel.

"Bisa jadi," ujar Sherly. "Besok kita akan kedatangan guru baru."

"Iya."

Hari pertama Ciel berada di universitas ini dia sudah berhubungan baik dengan Sherly si violinist dan Andrew si gitaris. Hubungan yang cukup bersahabat untuk orang baru seperti Ciel. Sherly tipe gadis yang periang dan Andrew tipe pemuda yang cuek dan santai namun perhatian bisa berhubungan baik dengan Ciel.


Keesokannya Ciel datang lebih pagi ke universitas. Hari ini dia ingin bermain piano seorang diri. Di kelasnya ada ruangan khusus untuk bermain piano. Ciel segera melangkahkan kakinya kesana dan memainkan piano itu.

Lagu klasik yang berjudul Moonlight Sonata yang Ciel mainkan. Jari-jarinya bergerak lincah di tuts piano. Nada-nada yang terdengar begitu menenangkan. Ciel juga sangat serius memainkan lagu ciptaan Beethoven itu.

Tiba-tiba terdengar langkah seseorang. Ciel langsung menghentikan permainan pianonya dan melirik ke arah jendela, melihat siapa yang datang. Dan muncullah sosok seorang pemuda yang asing bagi Ciel.

Pemuda yang memakai jas hitam dan rambutnya juga hitam. Pemuda itu memasuki ruang musik dimana Ciel juga berada disana. Dan akhirnya pandangan mata mereka bertemu. Merah dan biru.

"Ternyata sudah ada yang datang lebih dulu." ujar pemuda itu. Ciel beranjak dari ruangan itu dan segera menghampiri sosok pemuda itu. Pemuda itu tampak menaruh berkas-berkas dan segera berlalu dari hadapan Ciel.

"Hei..." panggil Ciel dan pemuda itu menoleh ke arahnya.

"Nanti kita akan bertemu lagi."

"Eh?"

Dan sosok pemuda itu sudah tidak ada di hadapan Ciel. Ciel memang sedikit bingung dengan ucapan pemuda itu, tapi dia tidak memusingkannya dan kembali melanjutkan permainan pianonya.

.

.

.

Akhirnya sudah dimulai jam masuk kuliah dan semua murid sudah berkumpul. Mereka menanti kedatangan guru baru itu. Sherly hanya sesekali main biola miliknya, Andrew dan teman-teman band miliknya hanya berlatih sebentar, sedangkan Ciel hanya duduk termenung saja.

Pikirannya seperti melayang mengingat pertemuannya dengan pemuda misterius itu. Seperti ada sesuatu yang menarik perhatian Ciel mengenai pemuda itu.

Kriet!

Terdengar suara pintu dibuka, semua murid langsung duduk di kursi mereka masing-masing dan masuklah sosok seorang pemuda. Betapa terkejutnya Ciel bahwa sosok seorang pemuda yang mungkin adalah guru mereka itu adalah pemuda yang dilihatnya tadi.

"Selamat pagi semua, saya Sebastian Michaelis. Guru baru yang menggantikan Miss Michelle." ujar Sebastian.

Para mahasiswi disini kebanyakan hampir terpesona dengan wajah Sebastian yang keren itu. Kalau para mahasiswa tidak terlalu memusingkannya, begitu juga dengan Ciel. Tapi Ciel merasa sedikit aneh, saat pandangan matanya bertemu lagi dengan Sebastian. Tatapan mata Sebastian berbeda jika melihat teman-temannya.

"Sekarang kita mulai saja pelajaran seperti biasa." ujar Sebastian.

Akhirnya semua murid murid bergabung memainkan alat musik masing-masing. Layaknya orkestra semua murid jurusan musik ini memainkan lagu dengan nada yang indah. Sherly dan Merin yang adalah violinist di kelas mereka mengadakan duet saat memainkan lagu The Unfinished Symphony karya Schubert. Nada-nada yang terdengar mengalun begitu indah.

Setelah duet mengesankan dari Sherly dan Merin, giliran Andrew, Ryan, Harry, James dan Karen yang latihan. Mereka adalah band aliran pop, mereka memainkan lagu ciptaan mereka sendiri. Lalu Lucia yang adalah pemain sexophone dan Ann yang seorang penyanyi jazz yang kemudian latihan, mereka adalah duet maut yang sangat hebat. Ciel juga tidak kalah dengan teman-temannya.

Sebastian juga merasa tidak perlu mengajari terlalu jauh murid-muridnya, toh mereka semua sudah lancar di bidang masing-masing. Kelas mereka ini khusus mengantarkan mereka jalan menuju panggung hiburan di bidang musik. Dan tugas Sebastian hanya mengawasi mereka saja.

Saat Ciel memainkan kembali lagu Beethoven semua orang yang ada di ruangan itu terdiam. Mereka menikmati permainan piano Ciel. Sebastian memperhatikan Ciel dengan jeli, orb merah miliknya tidak bisa lepas dari sosok Ciel. Saat Ciel selesai memainkan lagu itu semua bertepuk tangan.

"Wah... Hebat sekali." ujar Karen riang.

"Ciel, kamu hebat." seru Andrew dan Ryan.

Ciel hanya tersenyum mendengar pujian teman-temannya yang tentu semuanya lebih tua dari umurnya. Kebanyakan mereka semua berumur 20 tahun keatas, terutama Lucia yang paling tua berumur 29 tahun.

"Wah... Untuk ukuran anak sepertimu kau hebat juga." puji Sebastian.

"Terima kasih Mister Michaelis." ujar Ciel.

"Dia anak yang sangat berbakat, aku tahu itu." ujar Lucia ramah.

"Kau benar." tambah Ann.

Akhirnya mereka semua melanjutkan latihan masing-masing dan tentu Sebastian mengawasi mereka. Sebastian kembali menatap Ciel, dan kali ini pandangan mata mereka bertemu. Sebastian hanya tersenyum saja, senyum yang sedikit mencurigakan.

'Ada apa dengan Mister Michaelis? Dari tadi menatapku terus?' batin Ciel heran.

Tapi Ciel tidak ingin memusingkan tingkah gurunya itu. Mungkin hanya kebetulan saja. Ciel hanya berpikir positif saja, padahal dia tidak tahu apa yang sebenarnya Sebastian inginkan.


Hari sudah menjelang sore. Cahaya kemerahan terlihat indah di langit London ini. Tapi Ciel belum pulang. Dia masih saja berada di ruangan dia berlatih piano. Hanya tinggal dia sendiri disana. Ciel kembali memainkan lagu itu. Entah apa yang membuatnya merasa nyaman mendengarnya.

"Kau rajin juga ya." ujar seseorang.

Suara orang itu mengagetkan Ciel. Ciel langsung menoleh ke arah orang itu dan ternyata dia adalah Sebastian.

"Mister Michaelis, anda mengagetkan saja." ujar Ciel. Dia sampai berhenti memainkan piano. Sebastian berjalan mendekati Ciel hingga berada di hadapan Ciel.

"Lanjutkan."

"Eh? Apanya?"

"Permainanmu. Kau belum selesai kan?"

"Hmm... Karena anda mengagetkan saya, saya jadi tidak konsen."

Ciel langsung membuang muka dari Sebastian, berusaha menyembunyikan kekesalannya. Tapi Sebastian langsung bertatapan dengan Ciel. Jarak wajah mereka sangat dekat. Ciel terkejut karena Sebastian tiba-tiba berada di hadapannya dalam jarak dekat.

"Kalau tidak ada saya, kau akan konsen?" tanya Sebastian.

Ciel tidak sanggup menjawab pertanyaan Sebastian. Sungguh Ciel merasa jantungnya bisa keluar kapan saja. Wajah Sebastian terlalu dekat sampai hembusan nafasnya bisa terasa. Cukup membuat Ciel merasa geli. Entah kenapa ada yang aneh, Ciel merasa jantungnya tidak bisa berhenti berdetak kencang.

"Haha... Maafkan aku, kau sampai ketakutan begitu." ujar Sebastian sambil tertawa pelan. Ciel makin kesal karena tingkah aneh gurunya itu. Untung saja dia masih bisa menahan emosinya. Ciel segera beranjak dari tempat itu dan berjalan meninggalkan Sebastian.

"Lho? Kau mau kemana?" tanya Sebastian.

"Aku mau pulang." jawab Ciel.

Sebastian tiba-tiba menyeringai melihat kepergian Ciel. Entah apa yang dipikirkannya, yang pasti dia merasa tertarik dengan Ciel.

.

.

.

Ciel berjalan pelan menuju apartemennya. Langkah kakinya terus membawanya berjalan. Pikiran Ciel tersita untuk mengingat Sebastian, apalagi dari peristiwa tadi. Wajah Ciel tiba-tiba menjadi merah.

'Duh... Apa yang kupikirkan?' batin Ciel menjerit.

Tingkah Sebastian tadi cukup mengejutkannya, bisa dibilang terlalu mengejutkan. Ciel hanya melamun saja di jalan karena memikirkan hal itu. Ciel tidak melihat arah lalu lintas dan langsung menyebrang saja. Tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil yang cukup keras.

"Awas..." ujar pengendara mobil itu sambil tetap membunyikan klakson mobilnya. Ciel akhirnya tersadar dari lamunannya dan mata birunya membesar, jarak mobil itu sudah dekat dengannya.

Ciel hanya pasrah saja dan dia tahu dia bisa saja tewas di tempat. Tapi tiba-tiba dia merasa aneh, ada sosok hitam yang tiba-tiba berada di atasnya dan langsung menggendong tubuhnya. Dan Ciel selamat dari kejadian itu. Ciel masih menutup matanya karena takut.

"Kau bisa membuka matamu." ujar seseorang. Ciel menuruti perkataan orang itu, perlahan mata birunya membuka dan betapa terkejutnya sosok yang menyelamatkannya adalah Sebastian.

"Mister Michaelis?" tanya Ciel heran.

"Cukup Sebastian saja, Ciel." ujar Sebastian.

"A... aku..."

"Iya. Tadi kau hampir tertabrak mobil. Sekarang kau sudah selamat."

Ciel bisa bernafas lega. Dia tidak jadi tewas hari ini. Tapi yang membuat Ciel bingung bagaimana Sebastian bisa tahu dimana dirinya dan kenapa lagi-lagi jarak wajahnya dan Sebastian cukup dekat. Ternyata saat Ciel melihat ke bawah, dia masih berada di gendongan Sebastian.

"Huwaa... Turunkan aku..." ujar Ciel kesal dan malu.

Sebastian tetap menggendong Ciel ala bridal style. Hal itu membuat banyak perhatian dari orang-orang. Wajah Ciel langsung memerah karena malu.

"Aku tidak akan menurunkanmu, Hime-sama." goda Sebastian.

"Apa maksudmu?" Ciel mulai marah dan Sebastian langsung menurunkannya. Untung Ciel tidak jatuh karena Sebastian menurunkannya dengan tiba-tiba. Ciel menatap ke arah Sebastian. "Kenapa kau ada disini?"

"Karena aku mengikutimu." ujar Sebastian.

"Kenapa mengikutiku?"

Sebastian tidak menjawab pertanyaan Ciel, hanya tersenyum saja ke arahnya. Ciel malah makin bingung dengan tingkah gurunya itu.

"Kau tahu hari sudah hampir malam dan untuk pemuda imut berwajah perempuan sepertimu akan berbahaya jika jalan sendirian." ujar Sebastian.

Ciel tampaknya tidak sadar dengan ucapan Sebastian yang mengatakannya seperti perempuan. Yang dia bingungkan adalah mau-maunya Sebastian menolongnya.

"Memangnya kau kira aku perempuan?" tanya Ciel mulai kesal.

"Haha... Tampang luarmu seperti itu." jawab Sebastian.

"Huh..."

Ciel kembali berjalan meninggalkan Sebastian menuju apartemennya. Sebastian tidak mencegahnya atau apa, tapi yang dia lakukan hanya menyeringai tiap kali Ciel bergerak menjauh darinya.


Keesokannya semua murid kelas musik sudah mulai latihan. Suasana masih terasa hening tapi langsung berubah 180 derajat ketika Sherly datang. Dia heboh dengan selebaran yang dibawanya. Suaranya paling keras diantara teman-teman sekelasnya, bahkan Karen yang vokalis saja suaranya tidak sekeras dia.

"Teman-teman... Ada kabar baru..." ujar Sherly heboh.

"Kabar baru?" tanya Ryan.

"Iya. Kamu lihat saja." Sherly memberikan selebaran kertas itu pada Ryan kemudian pada teman-teman sekelasnya.

"Pertunjukkan musik?" tanya Ciel.

"Iya. Pertunjukkan ini ada di museum London. Kita ikut ya?"

"Sepertinya menarik." ujar Lucia.

"Iya kan?" tanya Sherly. "Kita semua ikut."

"Haruskah?" tanya Andrew malas.

"Kamu ini harus keluar rumah dong, jangan berlatih gitar terus di rumah." ujar Sherly sambil berkacak pinggang.

"Baiklah..."

Tiba-tiba Sebastian sudah masuk ke dalam kelas. Semua murid yang tadi heboh membicarakan tentang pertunjukkan itu langsung duduk rapi.

"Kalian tidak usah formal begitu," ujar Sebastian. "Memangnya kalian membicarakan apa?"

"Ini." Sherly langsung memberikan Sebastian selebaran tentang pertunjukkan musik itu. Sebastian melihat dengan seksama.

"Bagus. Kalian ikut saja."

"Hore..." Sherly langsung bersorak senang. "Baiklah kita semua ikut. Ayo kita latihan."

Sherly memang senang jika ada pertunjukkan musik di jalanan atau di tempat tertentu seperti ini. Dia ingin membuat banyak orang menyukai musik yang dibawakan biolanya. Akhirnya semuanya latihan untuk pertunjukkan musik yang digelar satu minggu lagi.

"Aku akan konfirmasi bahwa kalian semua ikut pertunjukkan." ujar Sebastian.

"Ok..." ujar semua murid kompak.

Akhirnya murid-murid mulai latihan kembali. Tidak ada masalah untuk masalah band, yang jadi masalah mungkin hanya kostum. Kalau yang lain masih bingung memilih lagu.

"Wah... Enaknya kita bawakan lagu apa?" tanya Merin.

"Hmm... Lagu yang biasa saja." jawab Sherly.

"Boleh juga."

Duo violinist itu sudah menetapkan lagu yang akan mereka bawakan, sekarang giliran Lucia, Ann dan Ciel yang masih bingung menetapkan lagu yang akan mereka bawakan.

"Aku bingung kira-kira lagu apa yang cocok." ujar Ciel.

"Hmm... Kau mau main solo, Ciel?" tanya Lucia.

"Sepertinya. Kan kau duet dengan Ann."

"Sexophone bisa juga digabungkan dengan piano."

"Hmm... masalahnya adalah lagunya."

"Aku tahu..." ujar Ann tiba-tiba. "Lagu yang waktu itu Ciel mainkan saja."

"Itu tidak ada nyanyian." ujar Ciel.

"Oh iya..."

"Lagu jazz ciptaanmu saja, kami berdua akan mengiringimu." usul Lucia.

"Benar juga ya." ujar Ann senang.

"Baiklah. Kita latihan saja." ujar Ciel.

"Ok..." ujar Lucia dan Ann bersamaan.

Akhirnya mereka bertiga berlatih dengan lagu jazz. Tidak butuh waktu lama Ciel sudah lumayan menguasai nada-nada lagu itu, hanya butuh penyesuaian saja. Semuanya bersemangat berlatih demi pertunjukkan musik itu.


Sebastian telah selesai mengurus masalah pertunjukkan itu. Dia kembali berjalan menuju universitas itu dan masuk ke kelas. Dia melihat semua murid-murid berlatih dengan serius. Tapi pandangan matanya langsung terfokus pada Ciel. Sebastian memperhatikan jari-jari Ciel yang bergerak lincah di tuts piano untuk mengiringi lagu jazz, sangat indah.

"Kalian semua bersemangat ya." ujar Sebastian.

"Tentu saja, Mister Michaelis!" seru Sherly.

"Baguslah... Jangan mengecewakan penonton nanti."

"Iya."

Mereka kembali melanjutkan latihan mereka. Sebastian tetap memperhatikan semuanya, terutama Ciel. Lagi-lagi pandangan mata Ciel dan Sebastian bertemu. Sebastian hanya tersenyum saja dan entah kenapa Ciel merasa ada yang berbeda dengannya, jantungnya berdetak tidak karuan.

'Lebih baik aku konsen latihan saja.' batin Ciel.

Kemudian Ciel kembali latihan bersama Lucia dan Ann. Mereka semua berlatih hingga hari pun sudah menjelang sore.

.

.

.

"Kau tidak pulang, Ciel?" tanya Lucia. "Kan sudah sore..."

"Tidak apa-apa. Aku masih mau latihan." jawab Ciel.

"Baiklah."

"Besok perlihatkan hasil latihanmu ya." ujar Ann semangat.

"Ok."

Lalu Ann dan Lucia meninggalkan Ciel sendiri di ruang musik. Ciel segera memainkan piano dengan lagu jazz tadi. Dia memang sudah bisa menyesuaikan diri dengan lagunya, hanya saja terkadang dia lupa dengan beberapa nada.

"Ah... aku lupa." gumam Ciel pelan. Tangannya hanya menekan tuts piano dengan sembarangan. Dia hanya berdiam diri di hadapan piano itu.

"Lagi-lagi kau pulang sore." ujar Sebastian. Ciel langsung menoleh ke arah Sebastian dan Sebastian berjalan perlahan mendekatinya.

"Aku kan memang mau latihan." ujar Ciel.

"Kau bisa lagu jazz itu kan?"

"Bisa. Cuma lupa di beberapa bagian saja."

"Oh begitu. Tapi aku yakin kau bisa."

Ciel hanya tersenyum saja menanggapi ucapan Sebastian itu dan meneruskan permainan pianonya, sedikit-sedikit dia sudah mengingat di bagian yang dia lupakan tadi.

"Pokoknya saat pertunjukkan nanti kau harus bisa." ujar Sebastian.

"Tidak kau beritahu aku juga tahu." ujar Ciel langsung.

"Kalau berhasil akan ada kejutan menantimu."

"Kejutan?"

"Lihat saja nanti."

Sebastian berjalan meninggalkan Ciel sendiri di ruang musik. Ciel bingung dengan ucapan Sebastian. Kejutan katanya? Ciel tidak memperdulikan hal itu dan tetap kembali berlatih. Sedangkan Sebastian yang berada di depan pintu ruang musik hanya memperhatikan Ciel dari luar.

"Kau memang menarik Ciel." gumam Sebastian.

TBC

A/N: Lagi-lagi aku publish fic multichap.

Semoga fic yang ini lebih baik dari yang kemarin.

Ditunggu reviewnya...^^