Teruntuk rombongan sohib ngeselin tapi ngangenin yang menganggapku sinting tapi tetap bertahan...
Terutama Star Prince, orang pertama yang menyelamatkanku dari kuncian toilet dan kolam kesepian...
Ini semua salah dia.
Serius.
Aku berani bersumpah demi bulu ketek Orochimaru.
.
.
.
Disclaimer : Hak cipta Naruto tentu saja milik Masashi Kishimoto. Saya hanya meminjam beberapa aspek dari karya luar biasa itu dan memadukannya dengan ide absurd yang ada di otak bebal ini.
Warning inside!
Enjoy Please~!
.
.
.
All of Me
"Prolog"
Aku bukan tipe anak yang mudah mengingat orang-orang yang baru ditemuinya. Kerabat Ayah dan Ibu saja aku masih sering lupa. (Pengecualian Paman Obito yang memang numpang tinggal di rumah kami). Meski lupa namanya, tapi aku ingat dia.
Hari pertama sekolah, dia memakai baju dan topi prajurit. Anaknya berisik dan tidak bisa diam. Saat sesi perkenalan, dia bilang ingin jadi Power Ranger Merah. Konyol sekali.
Keesokan harinya, kami diperkenankan membawa binatang peliharaan. (Tadinya aku ingin bawa Paman Obito, karena keluarga kami memeliharanya di rumah. Tapi tidak jadi, saat sensei bilang dia tidak terhitung sebagai binatang). Saat yang lain membawa kucing, kelinci, hamster, dan binatang menggemaskan lainnya, anak itu bawa sekotak penuh serangga. Kana-sensei langsung melompat ke atas meja begitu melihat kecoak di sana. Jeritan dari anak lain membuat sifat usilnya keluar, dia membuka kotak itu dan membebaskan semua peliharaannya.
Aku bersumpah aku hanya berteriak kaget. Karena anak laki-laki keren sepertiku tidak mungkin menjerit.
Hari kelima, anak-anak mulai saling mengenal. Yang suka ini berkumpul dengan sekawannya. Yang suka itu juga berkumpul dengan sekawannya. Anak itu bergabung dengan anak laki-laki lainnya dalam permainan sepak bola. Aku cukup takjub dengan kelincahan badan setengah gembulnya. Tendangannya juga cukup kuat. Dalam dua hari saja, ia sudah direbutkan oleh anak laki-laki. Menentukan siapa yang paling pantas untuk jadi teman setimnya.
Ketika seragam sudah dibagikan, aku benar-benar terkejut. Anak usil yang jago manjat pohon jambu belakang sekolah itu memiliki rambut hampir menyentuh bahu dan berwarna nyentrik—merah muda. Dia tidak lagi memakai baju prajurit melainkan...rok. Ya, ROK!
Melihat bagaimana calon-calon atlet sepak bola di sana menganga, aku yakin mereka sama kagetnya denganku.
Anak itu perempuan!
Kelas satu SD, kami sekelas lagi. Namanya Haruno Sakura, akhirnya aku ingat. Dia cukup ekstrem untuk ukuran anak perempuan. Lebih sering bercengkrama dengan anak laki-laki di kelas kami—pengecualian aku yang memang jarang bicara pada siapapun—daripada dengan anak perempuan. Tapi, ketika anak yang paling nakal mengganggu anak perempuan, dia langsung turun tangan.
Berapa kali mereka diseret ke ruang guru karena berkelahi? Aku lelah menghitung.
Suatu hari sebelum bel masuk, Sakura keluar kelas. Anak nakal di kelas kami mengikutinya. Saat dia kembali dengan seringai lebar, aku curiga. Mungkinkah dia melakukan sesuatu pada Sakura?
Guru masuk, aku tetap melirik ke arah pintu. Satu menit...lima menit...hingga setengah jam berlalu, tidak ada tanda-tanda Sakura kembali. Guru bertanya-tanya ke mana anak itu. Izin keluar, aku langsung berlari ke kamar mandi sekolah. Seingatku, dia punya kebiasaan selalu ke kamar mandi setiap istirahat. (Jangan menatapku begitu, aku tidak mengintipnya, sumpah!)
Aku mendengar sesenggukan dari satu bilik kamar mandi. Dikunci dari luar! Begitu pintu terbuka, benar saja dugaanku. Sakura sedang menangis, meringkuk di pojok. Tangisnya semakin kencang begitu sadar pintu telah terbuka. Mungkin karena ketakutan, dia langsung memelukku saat itu. Tangisnya tidak berhenti sampai lima menit setelahnya.
Aku sadar. Mungkin sikapnya mirip anak laki-laki. Mungkin dia memang dibilang sangar. Mungkin dia memang senang bermain sepak bola. Mungkin dia memang benci memakai rok. Mungkin rambutnya memang agak berantakan. Tapi, dia tetap seorang anak perempuan yang bisa menangis ketika terkunci di dalam kamar mandi.
Itu pertama kalinya aku pikir...dia anak yang menggemaskan.
Sejak saat itu, dia selalu menggangguku. Entah itu sedang belajar, istirahat, maupun pulang sekolah. Dia juga sering memaksa untuk menginap di rumahku, bermain katanya. Ya, kami berteman.
Semua orang yang tahu kedekatan ini selalu bergurau bahwa kami akan menikah suatu hari nanti. Apalagi saat kelas 5 SD ada pementasan Drama, ketika aku dan dia menjadi pasangan Cinderella dan Pangeran. Mereka bilang kami pasangan yang sempurna. Tapi, kami selalu menggeleng dan bilang kami bersahabat. Terkadang dia bahkan mengungkit bahwa dia tidak mungkin suka dengan sahabatnya, terlebih yang imut sepertiku ini.
Halah. Dia bilang aku imut padahal dia sendiri lebih imut, apalagi kalau sedang ngambek, ingin es krim, gemas dengan kelinci, atau gabungan ketiganya.
Sempat terlintas keinginan untuk melanjutkan sekolah yang sama. Tapi, Ayah dipindah tugaskan sehingga mau tak mau kami harus pindah rumah. Seminggu penuh dia ngambek, menolak berbicara denganku. Ujian lewat, disambung pembagian ijazah, kami tidak bertatap muka—lebih tepatnya dia menghindar.
Hari perpisahan dilaksanakan, kami bertemu di taman belakang. Banyak yang kami bicarakan. Hari yang terlewati selama tidak bertatap muka. Keresahan untuk ke depannya. Kekecewaan karena akan berpisah. Perjanjian agar selalu bertukar kabar. Dengan senyuman, kami berpisah.
Tiga tahun berlalu, Ayah bilang kami akan kembali ke kampung halaman. Sakura benar-benar senang mendengar kabar ini. Kami berencana masuk ke SMA yang sama. Terbayang sudah hari-hari penuh tawa seperti dulu. Aku tidak sabar untuk kembali bertemu dengan sahabat kecilku. Banyak sekali pertanyaan yang mampir di kepalaku.
Apakah Sakura masih lebih tinggi dariku?
Apakah Sakura masih suka buah ceri?
Apakah Sakura masih takut laba-laba?
Apakah Sakura masih jago main bola?
Apakah Sakura masih jahil?
Ataukah Sakura sudah berubah?
Kembali ke kamar lama, aku senang bukan main. Bahkan aku tidak keberatan mengikik seperti orang gila. Aku rindu kamarku. Rumahku. Kota ini. Sakura. Aku tak sabar untuk segera bertemu dengannya!
Aku tunggu di Markas Persembunyian 3, Sasuke! See ya!
Itu pesan terakhir dari Sakura. Pagi-pagi sekali, aku sudah siap memakai setelan olahraga. Markas Persembunyian 3 yang Sakura maksud adalah sebuah taman tertutup dekat lintasan tempat kami biasa lari pagi bersama.
"Wah, anak Ibu sudah tampan!" sambut Ibuku di ruang keluarga. Ayah sudah tidak ada—pasti berangkat kerja. Aku tersenyum dan mencium pipinya. "Mau ke mana?"
"Kencan, Bu!" jawaban datang dari belakangku. Itachi sedang bersidekap, menyeringai padaku. "Dengan Sakura, pastinya."
Ibu mulai mengeluarkan suara aneh, aku mendengus kecil menanggapinya.
"Bukan kencan, kami Cuma sahabat! Ingat!" tukasku, mulai lelah karena Itachi tidak habis-habisnya menggoda.
"Persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu pasti menumbuhkan perasaan lebih, Sasuke! Kau tahu—"
Aku melengos. Sekarang waktunya bertemu Sakura. Aku tidak punya waktu untuk mendengar omong kosong Itachi. Aku akan buktikan padanya, bahwa perempuan dan laki-laki bisa bersahabat, tidak akan terganggu dengan masalah pubertas seseorang!
Lalu, di bawah pohon Sakura yang sedang mekar, kami bertemu.
Dia menghampiriku.
Rambutnya sebahu, ia memakai bandana merah.
Senyumnya tidak selebar dulu, lebih imut—manis sekali.
Kulit agak matang karena keseringan main layangan itu terlihat lebih bersih.
Tingginya tidak melampauiku, tapi terlihat ideal dengan porsi badannya.
Dia...cantik.
Saat dia memelukku dan bilang betapa ia rindu, lanjut berbicara panjang lebar soal perubahan kota ini selama aku pergi, aku tahu dia tidak berubah.
Aku yang berubah.
Terutama detak jantungku.
