FIC BARU SAYA. SIAPAPUN DIPERKENANKAN UNTUK MAMPIR DAN MEMBACANYA. AMAN BUAT YANG LAGI PUASA. WAHAHAHAHAHAHA. CEKIDOT!

Summary Ch. 1 : Hidupnya sudah mencapai akhir. Penyesalan selalu datang terlambat. Bagaimana jika ia diberikan kesempatan untuk mengulang hidupnya? Untuk memperbaiki semuanya? Hidup, basket dan temannya. Kehadiran sosok misterius akan mengabulkan permintaannya.

Warning : Gaje, abal, OOC akut, typo(s), judulnya gak nyambung, POKOKNYA NGACO DAN OOC.

Pairing : NO PAIRING. FULL FRIENDSHIP.

Rate : T (ketinggian kayaknya, mgkn malah bakal turun)

Genre : SUPRANATURAL AND FRIENDSHIP.


AGAINST TIME

Kuroko no Basuke Milik Fujimaki Tadatoshi-san

Against Time adalah fic buatan UseMyImagination dengan LimitedImagination /dor


Chapter 1


.

.

Harapan adalah kata yang paling ia benci sekarang. Harapan adalah hal terakhir yang baru saja hilang dari dirinya. Harapan adalah omong kosong yang selalu diucapkan oleh orang disekitarnya. Harapan adalah kematian baginya.

Hanya kekosongan yang mengisi tubuhnya. Segala macam pemikiran absolut miliknya kini memudar dimakan waktu. Kepercayaan akan diri sendiri pun sudah lenyap entah sejak kapan. Tak bisa menentang apa yang ditakdirkan untuk dirinya.

Kelopak matanya terbuka setengah memperlihatkan kedua iris matanya yang sepadan warna dengan rambut merah yang terbaring lemas di benda tumpuan kepalanya. Tak ada secercah cahaya di dalam pandangannya—pandangan matanya meredup. Bahkan pemandangan indah di luar jendela saja tidak ingin dilihatnya. Langit-langit ruangan itu dipandangnya dengan tatapan kosong. Kedua manik merah yang sebelumnya sangat penuh dengan kehidupan sekarang seakan berubah mati.

Ya, tubuhnya serasa mati. Jiwanya serasa mati. Dirinya serasa mati. Dirinya memang sedang menunggu kematian menjemput. Mungkin kematian memang harapan terakhirnya.

Ia teringat kata-kata pria berjubah putih yang bicara pada Ayahnya. Saat itu, ia tidak tertidur. Ia masih sadar akan dirinya, namun berpura-pura terlelap. Pria berjubah putih itu berkata,

"Anak anda sudah tidak bisa melakukan kegiatan apapun. Maaf, kami sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi."

Saat itu, emosi sang Ayah memuncak, mencaci maki segerombolan orang di sana. Sang Ayah tak percaya anak kebanggaannya hanya menjadi seonggok daging yang hidup tapi mati. Sampai akhir pun, Sang Ayah tetap memaksakan menaruh harapan besar pada anaknya. Apa lagi yang diharapkan Sang Ayah pada takdir anaknya yang sudah tidak bisa dirubah? Apa maunya sekarang? Anaknya sudah cukup tersiksa namun masih saja dipaksakan padahal anaknya sudah tidak berdaya.

Hatinya serasa tertusuk beratus-ratus jarum saat mendengarnya. Hatinya menjerit tak kuasa menahan amarah. Ia meratapi nasibnya. Ia benci orang yang ada di sekitarnya yang mengatakan semua akan baik-baik saja. Ia tau ia sudah sampai akhirnya. Ia sudah tidak bisa memenuhi ambisinya. Ia sudah tidak bisa menjadi cahaya bagi keluarganya.

Teringat itu, membuat hatinya semakin sakit. Rasanya air mata akan mengalir deras namun kenyataannya wajahnya datar saja, bahkan bisa dibilang tidak terlihat apapun. Ia memejamkan mata menenangkan diri, tetapi hal itu yang muncul dalam pikirannya.

Suara decitan sepatu, suara dentuman bola dengan kecepatan tinggi, bunyi ring yang bergoyang saat bola memasukinya, suara riuh penonton, suara tepukan tangan, suara punggung tangan yang beradu, suara tawaan, suara yang penuh kebanggaan—terngiang di telinganya.

Kenikmatan yang luar biasa.

Kenikmatan yang tak akan pernah dilupakan seumur hidupnya.

Kenikmatan yang masih membuatnya tetap bertahan.

Kenikmatan yang tidak bisa dinikmatinya—lagi.

Ia hanya bisa tersenyum pahit. Tak ada gunanya memikirkan hal-hal yang sudah tak bisa lagi ia alami.

Harapannya memanglah kematian, namun dalam dirinya masih tersimpan sebuah keinginan. Ya, keinginan—keinginan yang sangat besar namun apa daya tubuhnya tak berdaya. Keinginan besar untuk kembali menggenggam benda bulat orange kesukaannya, keinginan untuk memantulkannya ke lantai hingga mengeluarkan bunyi detuman berat yang disukainya, keinginan menggiringnya hingga memasuki bulatan besi itu, keinginan menyerahkan ke orang-orang yang selalu bersama membawanya menuju kemenangan, keinginan untuk kembali merasakan betapa bahagianya memainkan bola orange itu bersama rekan-rekannya.

Andai saja, aku melakukan sesuatu, mungkin kata perpisahan tidak akan terjadi.

Andai saja, aku tidak pernah menolak saat mereka mengajakku bermain.

Andai saja, aku bisa melepaskan belenggu yang ada dalam diriku.

Andai saja, aku tidak menuruti terus kata-kata orang itu.

Andai saja, aku bisa mengaturnya lebih baik.

Andai saja…

Andai saja…

Ya, andai saja…

Aku hanya sangat menyukai basket.

Aku, ya, hanya suka.

Lalu, apakah salah ingin menjadi yang terbaik?

Tidak.

Lalu, kenapa sekarang begini?

Aku ingin main basket.

Aku ingin menggiring bola dan mencetak banyak skor.

Aku ingin main basket.

Sangat ingin.

Terlalu ingin.

Main. Basket.

Bersama mereka lagi.

Rekan yang kemampuannya berkembang pesat.

Rekan terbaikku.

Rekan yang aku hancurkan ikatannya.

Rekan yang terpisah karena diriku.

Semua salahku.

Ia terus mengulang kata-kata yang sama. Kenapa penyesalan selalu datang di saat seperti ini, pikirnya. Ia menertawakan dirinya sendiri.

Ia menyadari kesalahannya. Seandainya, ia bisa mengulang waktu, ia ingin memperbaikinya. Jika ini memang takdirnya, maka setidaknya sebelum ia mengakhiri hidupnya, ia ingin bermain basket bersama rekan terbaiknya. Namun, semua sudah terlambat. Penyesalan pun tidak ada gunanya.

Aku hanya ingin bermain basket, walaupun hanya sekali. Aku mohon. Hanya sekali saja.

Harapan kosong. Seperti katanya, harapan adalah hal konyol baginya sekarang.

Sesaat ia merasakan hembusan angin dari jendela ruangan serba putih itu. Jendelanya terbuka lebar membuat angin sepoi-sepoi menyapa wajah dan helaian rambutnya. Ia menoleh ke arah jendela. Sudut matanya menangkap sesuatu. Matanya membulat melihat sosok yang asing baginya berdiri di samping jendela. Sosok seorang pria? Pria berambut putih seputih salju yang sedang memejamkan mata menikmati hembusan angin. Ia tidak mengenal sosok itu, namun kenapa sosok itu bisa ada di ruangannya? Ia merasakan aura sosok itu berbeda dengan manusia biasa. Auranya sungguh asing—ia tidak mengerti.

Apakah sosok itu adalah Shinigami yang akan menjemputnya? Pikirnya saat itu. Ia sudah tau takdirnya, namun keinginan besar dalam dirinya tak mengijinkan untuk segera pergi dari dunia. Ia masih memiliki keinginan terakhir yang belum bisa dipenuhi.

"Siapa kau?", tanyanya pada sosok itu. Sosok itu menoleh padanya dan menyunggingkan sebuah senyuman menawan.

"Halo,"

Wajahnya tidak menunjukkan apapun namun sosok itu tetap tersenyum padanya.

"Kau tidak dengar? Aku tanya, kau siapa?"

"Aku? Aku—"

Kedua alisnya menaut, kenapa sosok itu malah terdiam? Tetapi,

"—adalah sosok yang akan memberikanmu harapan."

Ia mendelik. Apa? Apa sosok itu mempermainkannya? Mempermainkan orang yang tidak berdaya sepertinya?

"Jangan bercanda. Lebih baik kau keluar dari sini. Aku tidak mau diganggu,"

Sosok itu berdiri tegap, mulai berjalan menuju ranjang tempat ia berbaring. Senyuman masih terpampang di wajah sosok itu.

"Aku tidak bercanda. Jika kau mau melakukannya, aku akan memberikanmu kesempatan sekali lagi."

Kedua alisnya semakin menaut seakan menjadi satu. Di saat ia sedang merasa campur aduk seperti ini, kenapa malah muncul sosok yang menyebalkan. Ia menarik nafas dan menghembuskannya dengan berat hati.

"Huh, memberiku kesempatan? Siapa kau berani bicara begitu?"

"Cara bicaramu tidak berubah. Bukankah kau sedang menyesali dirimu sendiri? Tidak ingin melakukan perubahan?"

"Hidupku sudah ada pada akhirnya, jadi untuk apa?"

Sosok itu memperhatikan seluruh tubuhnya. Wajah sosok itu dipenuhi ekspresi yang sulit untuk dijelaskan. Kemudian, iris mata berwarna hijau air laut itu memandang iris mata merahnya penuh arti.

"Tetapi, bukankah kau punya keinginan terakhir sebelum hidupmu berakhir?"

"Ya, itu benar. Lagipula, apa urusanmu? Aku tidak mengenalmu."

Sosok itu kembali tersenyum seakan cahaya hangat terpancar dari wajah menawannya.

"Ya, kau tidak mengenalku tapi aku mengenalmu."

"?"

Untuk beberapa saat, mereka hanya saling berpandangan. Walaupun begitu, pandangannya penuh dengan tanya kemudian menghela nafas kembali.

"Baiklah, anggap seperti itu," katanya agak malas. Ia sudah tak mau meladeni sosok yang berdiri memandangnya, "—jadi, bisa kau keluar dari sini, segera?"

"Kau tidak ingin main basket?"

DEG.

Saat mendengar kata 'basket' tubuhnya terguncang. Kembali meratapi nasib. Ya, sangat ingin—dalam hatinya berkata demikian namun ia hanya bisa membohongi diri sendiri,

"Apa kau tidak lihat? Tubuhku saat ini?"

"Tentu saja aku bisa melihatnya. Sangat terlihat jelas,"

Sosok itu bicara seakan tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Ia merasa dipermainkan. Apa sosok itu tidak punya rasa sensitif dengan perasaan orang lain? Atau memang sosok itu sengaja menyinggung hatinya? Apa sebenarnya mau sosok itu?

"Kau mau mempermainkanku?" ucapnya penuh penekanan.

"Tidak. Bukankah aku sudah bilang, jika kau mau melakukannya, aku akan memberikanmu kesempatan sekali lagi."

Omong kosong, keluhnya dalam hati. Mana mungkin? Tubuhnya saja tidak bisa digerakkan, bagaimana mungkin ia kembali bermain basket? Hal yang tidak masuk akal.

"Huh? Dengan apa? Sudahlah."

Ia sudah merasa cukup dipermainkan. Kekesalan sudah menumpuk dan terlihat dari ekspresi wajahnya. Ia ingin mengusirnya, namun sebelum itu, ada kata-kata sosok itu yang mengejutkannya.

"—selama kau masih punya jiwa dan keinginan, aku bisa mengabulkannya. Ini hanya masalah waktu kan? Serahkan padaku."

"Apa? Memang kau pikir, kau siapa? Tuhan? Berhenti mempermainkanku."

"Aku bukan Tuhan, tetapi aku bisa melakukannya, karena aku adalah salah satu mahluk ciptaan-Nya yang memiliki kuasa tertentu,"

"Apa itu?" ia merasa bodoh menanyakan itu, tetapi entah kenapa ada suatu rasa penasaran yang menggelitik dalam dirinya. Ia sendiri merasa bingung.

"Aku bisa mengendalikan waktu. Aku adalah waktu itu sendiri. Aku adalah yang biasa kalian sebut dengan—dewa waktu."

"HAH?"

Wajahnya berkerut menunjukkan keheranan. Jangan-jangan sosok itu adalah orang sakit jiwa yang ada di dekat tempat itu. Lebih baik tidak usah ikutan kegilaannya. Di saat seperti ini, ia merasa sial sekali harus bertemu dengan orang gila.

"Pasti kau tidak percaya, terlihat dari wajahmu," lanjut sosok itu setelah melihat reaksinya yang sesuai dugaan.

"Tentu saja."

"Aku bisa berikan bukti tepat di depan matamu. Perhatikan baik-baik."

Sosok itu mengambil sebuah apel yang berada pada meja kecil di samping ranjang ia berbaring. Sosok itu mengangkat apel tinggi-tinggi dengan tangan kiri. Ia memperhatikan baik-baik. Lalu, sosok itu melepaskan genggaman dari buah apel itu sehingga apel tersebut jatuh.

Sosok itu mengangkat sebelah tangan yang bebas dan kemudian menjentikkan jari.

CTAK.

Bunyi jentikan jari lentik sosok itu terasa kencang dan menggema di dadanya. Mendadak suasana berubah. Suara tetesan cairan dalam tabung segiempat yang tergantung dan terhubung dengannya tidak terdengar lagi. Angin sepoi-sepoi tidak terasa. Gordin jendela yang bergerak di hembus angin kaku pada posisi tersibak. Apel yang dijatuhkan berhenti di tengah jalan dan melayang.

Matanya membulat. Ia menoleh ke segala arah. Ini seperti fenomena—ya, benar, fenomena dimana waktu di sekitarnya seakan berhenti. Ya, berhenti.

Sosok itu tersenyum lagi melihat ekpresinya, kemudian menjentikkan jarinya pelan, suara yang ditimbulkan tidak sebesar jentikan sebelumnya.

Tetesan cairan kembali bergerak perlahan, agak lambat. Angin mulai menyapa kembali helaian rambut merahnya pelan dan terasa lembut. Gordin yang tersibak bergerak dengan kecepatan rendah. Apel yang berhenti terjatuh kembali bergerak ke bawah di tarik gravitasi. Semua terasa seperti efek slow motion yang sering diputar di televisi. Semua pergerakan yang terasa sangat lambat itu perlahan bertambah kecepatannya dan,

DUK.

Apel akhirnya jatuh ke lantai.

Matanya membulat sempurna, tak percaya apa yang baru saja dilihatnya. Waktu benar-benar sempat berhenti dan berjalan lagi perlahan lalu kembali seperti semula. Pandangan matanya menunjukkan keheranan sekaligus rasa takjub.

"Sudah percaya?"

"Jadi, kau benar-benar…?"

"Iya. Aku adalah waktu. Aku adalah Sang Dewa Waktu. Banyak orang yang menghayal tentang keberadaanku, ya, mereka benar. Aku memang benar ada."

"Tidak mungkin. Kenapa kau—"

Belum sempat ia bicara, sosok yang mengaku sebagai dewa waktu memotong omongannya dan menanyakan sesuatu hal penting yang menjadi masalah.

"Sekali lagi, apa kau mau melakukannya? Apa kau ingin bermain basket lagi? Bersama mereka."

Secercah harapan yang dianggapnya omong kosong benar-benar datang. Perkataan dewa waktu tentang harapan benar adanya. Ia menemukan harapan terakhirnya selain kematian. Ia merasakan keinginannya makin bergejolak. Ia berteriak.

"MAU. AKU MAU MELAKUKANNYA. AKU INGIN MAIN BASKET DENGAN MEREKA. INI KEINGINAN TERAKHIRKU. APA YANG HARUS AKU LAKUKAN?"

Dewa waktu tersenyum lagi. Senyumannya sungguh membuat ia senang namun bergidik di saat bersamaan. Ia tau segalanya tidak mungkin terasa mudah. Ia tau ia sudah mengatakan hal yang bodoh—berpangku pada hal yang tidak masuk akal. Hal ini membuatnya makin terlihat tidak seperti dirinya yang penuh wibawa dan kalkulatif. Namun, kemungkinan itu ada. Ia yakin tentang itu.

"Apa kau yakin?"

"Ya."

Cahaya di matanya kembali bersinar. Ia menatap sosok dewa waktu dengan pandangan penuh keyakinan—ya, tak ada keraguan sama sekali.

"Baiklah. Aku beri kau satu kesempatan untuk mencobanya."

CTAK.

Bunyi jentikan jari dewa waktu menggema lagi di dadanya dan,

"HAH!"

Sekejab mata, ia terkejut melihat pemandangan di hadapannya. Matanya kembali membulat sempurna. Ia mematung, tidak percaya. Ia memperhatikan seluruh tubuhnya, mengangkat tinggi kedua tangannya—matanya berbinar.

"—bagaimana bisa—tubuhku…"

Tangannya berpindah pada lengan dan perutnya. Ia meremas pakaian yang dipakainya saat itu—sebuah seragam bertulisankan Teikou bernomor empat.

Ia menoleh ke segala arah—melihat ruangan tempat ia berada. Tempat itu—tempat yang sangat familiar di matanya. Keramaian dan suara riuh yang memenuhi gedung. Ia terhenyak dengan suasana yang sangat ia rindukan. Rahang dan tubuhnya bergetar—tangannya mengepal.

Ya, sensasi menggelitik yang sudah lama tak dijumpainya—sekarang sedang ia rasakan.

"AKASHI!"

Seseorang memanggil dan melempar sesuatu ke arahnya. Otaknya dengan cepat memberi sinyal untuk menoleh ke arah asalnya suara. Sebuah benda bergerak cepat ke arahnya. Ia menangkapnya—menangkap benda bulat berwarna orange kesukaannya—bola basket. Jari-jarinya merindukan gradasi permukaan bola itu membuat tubuhnya bergejolak—semangat.

Beberapa orang datang dari arah berlawanan menghampirinya. Ia merasa familiar dengan orang-orang itu dan situasi ini. Ia berusaha mengingatnya lagi—tentu saja, ia mengingatnya. Ia berjalan sambil memantulkan bola ke lantai licin itu. Sepatunya mendecit saat kecepatannya bertambah. Ia berlari menuju tujuan yang jelas.

Beberapa orang mengawalnya bahkan seseorang menghadang jalannya. Entah kenapa ia merasakan suatu firasat tertentu yang tidak ia mengerti. Ia mengurangi kecepatan. Bola masih terpantul di bawah kendalinya. Orang dihadapannya merentangkan kedua tangan berusaha membuatnya tidak bisa lewat dengan mudah. Ia menambah kecepatan dalam jarak dekat dengan orang itu bahkan seakan mau menubruk tubuh orang itu. Orang itu terkejut luar biasa sampai kehilangan keseimbangan saat mendadak ia mundur dengan sigap. Orang itu jatuh terduduk.

"Uwaaah, itu dia. Ankle break‼" suara riuh penonton membuat telinganya geli. Ingin mendengarnya lagi.

Ia berhasil melewati lawan dan terus berlari ke arah yang pasti—sebuah tempat yang harus ia hampiri untuk membuat si bola orange dalam genggamannya dengan sukses melewati besi bulat itu—ring lawan. Sesaat sebelum ia sampai di tempat tujuan, seseorang kembali menghadangnya. Ia bisa melihatnya. Ia tau apa yang harus dilakukannya. Ia dengan cepat melakukan sebuah trik, kembali memundurkan diri kemudian memantulkan bola ke kanan dan ke kiri. Mata lawan terfokus pada bola.

Bola yang memantul kesana dan kesini, berpindah tangan, membuat lawan kebingungan. Sesaat bola berada pada tangan kanannya dan tubuhnya mencondong ke suatu arah, sang lawan menyeringai seakan tau apa langkah selanjutnya. Ia tersenyum lalu melemparkan bola ke sembarang arah.

SHUUT.

Fokus kuat sang lawan ikut teralih pada bola yang mendadak dilempar tak berarah olehnya. Seseorang menangkap bola itu—tidak, tidak ditangkap. Seseorang itu hanya menyenggolnya sebentar dan menekankan sedikit tenaga, membuat bola itu membelok ke arah lain. Penonton heboh melihat kejadian aneh—menurut mereka bola itu mendadak berbelok tanpa alasan.

Bola berpindah lagi. Mata lawan masih fokus pada bola sampai tidak sadar orang yang ia jaga sudah menghilang entah kemana. Orang itu menoleh ke belakang dan mendapatinya sedang menangkap bola yang disenggol pemain berambut biru langit. Bolanya kembali dalam genggamannya. Ia merasakan lagi gradasi permukaan bola. Tubuhnya bereaksi dengan cepat kemudian berlari membawa bola yang dipantulkannya dengan kecepatan dahsyat.

Ia melompat. Beberapa orang dari arah belakang dan depan ikut melompat, namun terlambat. Bola yang digiringnya sukses memasuki tempat seharusnya. Skor dicatat.

PRIIIIIT

"Pertandingan antara Teikou Gakuen dan Heishou Gakuen Selesai. 86 dan 85. Teikou menang."

Penonton berteriak. Orang-orang yang duduk di bench bersuka cita.

Ia memperhatikan semua kejadian yang ada di hadapannya itu. Ia sudah tidak memperdulikan tubuhnya yang penuh keringat dan kelelahan. Ia merasakan kembali memori itu—tubuhnya bergetar. Ia melihat bola yang baru saja digunakannya untuk mencetak sebuah skor penentu menggelinding di bawah kakinya. Ia mengambil bola itu, jari-jarinya gemetar kembali merasakan permukaan kasar bola kulit itu.

"Aku…bermain basket lagi..aku.."

Beberapa orang dengan seragam yang sama menghampirinya.

"Bagus, Syukurlah. Kita menang‼" kata pemuda bersurai kuning sembari terkekeh senang.

"Ya, terima kasih juga pada passing Tetsu yang cukup mencengangkan tadi. Aku saja kaget," pemuda bernomor punggung enam dan berkulit tan juga tak mau kalau berkomentar.

"Akashi-kun melakukan kontak mata denganku. Aku langsung menyadari dan menghampirinya," sahut orang yang berhasil membelokkan arah bola tadi.

"Iya, strategi Akashi sangat bagus tadi nanodayo. Setidaknya, skor penentu berhasil diperoleh karenanya. Iya kan?" ucap pemuda berkacamata.

Semua menoleh ke arahnya. Diam. Bingung melihat pemandangan tak biasa.

"A-Akashi/Akashicchi/Akashi-kun?"

Bertetes-tetes air keluar dari mata membasahi pipinya. Ia tidak bisa menahan rasa rindu ini. Ia tidak bisa menahan gejolak perasaannya saat memegang bola orange itu. Ia merasa sangat bahagia. Ini adalah hari terbaiknya yang kedua selain hari lahirnya. Hari dimana ia kembali merasakan kebahagiaan bermain basket—ya, hari yang menyenangkan.

"Apa kau menangis? Tu-tunggu dulu, apa aku salah lihat?" si pemuda tan menggosok-gosok kelopak matanya.

Sekarang ia tertawa pelan. Semua rekannya kebingungan melihatnya menangis lalu tertawa. Ia tidak pernah tertawa seperti itu, apalagi menangis.

"Tentu saja tidak, Daiki. Hahaha.."

Ia menarik nafas dalam dan tersenyum.

"Hah?"

"Mana mungkin, aku—seorang Akashi Seijuuro menangis hanya karena ini."

Ia—Akashi, tertawa lagi. Rekan-rekannya masih memasang wajah kebingungan. Kata-katanya tidak sejalan dengan penampilannya sekarang.

Pernyataan kemenangan telah diumumkan. Semua pemain saling berhadapan untuk memberi salam terakhir setelah pertandingan.

"Otsukaresamadeshita."

Semua pemain saling menunduk memberi hormat.

.

.

.

"Akachin, mau ikutan?"

"Ikut apa?"

Seseorang bertubuh janggung menghampirinya sambil mengunyah entah apa. Sepertinya, orang ini sejak tadi makan terus bahkan saat berada di bench.

"Kita mau merayakan kemenangan kita hari ini-ssu."

"Kise yang akan traktir kita semua, ahahaha," sahut sembarang si pemuda berkulit gelap sambil tertawa terbahak.

"EEEEHHH~? Aku tidak bilang begitu!"

"Loh, memang Kise-kun akan traktir kita 'kan?" si biru langit angkat bicara dengan nada dan wajah datar.

"Kurokocchi‼"

"Aku sih sebenarnya malas ikutan nanodayo, tapi karena kebetulan aku juga ingin membeli sesuatu, aku terpaksa."

"Dasar Midochin tsundere. Bilang saja memang mau ikutan~"

"Apa?"

Akashi memperhatikan wajah teman-temannya yang mulai bertengkar. Ia tersenyum—bersyukur bisa melihat wajah bodoh teman-temannya lagi. Dulu, ia tidak perduli padahal ia tau teman-temannya selalu mengisi kekosongan dalam hatinya. Saat diajak pergi bermain, pasti Akashi akan menolak dengan alasan tidak sempat atau ada urusan—walaupun sesungguhnya semua itu hanya sebuah kebohongan.

Ia masih memasang senyum tipis sepanjang pertengkaran teman-temannya. Wajahnya menunjukkan kedamaian.

"Jadi, kau ikutan, Akashicchi?"

"Tentu saja, Ryouta, aku terima traktir darimu, " kata Akashi sembari memejamkan mata, mengangguk lalu menyeringai. Yang mengajukan pertanyaan makin cemberut.

"Kalau begitu, ayo berangkat!"

"Kisechin~ nanti belikan aku maiubo ukuran jumbo ya."

"Beli saja sendiri!"

Akashi berjalan diantara teman-temannya yang berisik itu. Kebisingan yang bagi sebagian orang membuat kepala senat-senut tetapi mana mungkin Akashi melewatkan hal ini—kebahagian berkumpul bersama teman—kebahagiaan yang sebelumnya tak pernah dirasakannya dan selalu dianggapnya buang waktu.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.

"EEERGH!"

Akashi merasakan hal aneh dalam tubuhnya. Ia mencengkram dadanya. Kenapa rasanya menyesakkan?

"Akashi, ada apa denganmu?"

Pertanyaan rekannya pun tidak perdulikannya. Ada apa? Kenapa ia merasakan sesuatu mendorongnya. Kekuatannya sangat besar, ia tidak bisa menahannya. Tiba-tiba,

"HAH!"

Sinaran matanya menghilang saat melihat kembali pemandangan yang sama. Pemandangan di ruangan serba putih tempatnya berbaring. Akashi memandangi langit ruangan itu dalam diam sejenak. Kelopak matanya menunduk dan cahaya dari iris merahnya meredup.

"Jadi, itu hanya mimpi?"

Helaan nafas lagi.

Akashi memejamkan mata. Ia merasa sudah melewati batas fantasi yang berlebihan. Ia tau, dirinya tak punya harapan selain kematian. Tidak ada yang lain. Kembali ke masa lalu, huh? Kenapa ia merasa menjadi begitu bodoh sekarang?

"Dewa waktu, huh? Aku bodoh sekali."

Realitas. Ya, saatnya kembali ke realita—realita bahwa tubuhnya tidak bisa lagi bermain basket. Sebaiknya, menyer—

"Bagaimana?"

Seseorang bicara. Akashi menoleh. Kedua alisnya terangkat—terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ia melihat sosok yang mengaku sebagai dewa waktu—yang menurutnya hanya khayalan—berdiri lagi disamping jendela terbuka. Rambut putihnya kembali menari kesana kemari.

"Kau..?"

Sang dewa waktu menoleh pada Akashi dan tersenyum,

"Masih mau melakukannya?"

.

.

.

.

TBC…


Haaai….reader-tachi….akashi lagi nih saya bikin abisan saya gak bisa melepaskan pandangan dr mahluk merah itu sih, ahahaha. pasti pada nanya kenapa gw bikin fic baru lagi? Kepo yaaaah! *SIAPA IH YG KEPO? PEDE! /dor* alasannya adalah,

Pertama, saya emg mau banget bikin fic genre murni friendship.

Kedua, saya mau menghiatuskan sementara beberapa fic romance saya disebabkan bulan ramadhan telah datang. Jadi, ini sebagai pelampiasan. Ini aman dibaca kpn saja, fufufu..

Ketiga, saya gak punya kerjaan jadi mendingan bikin fic. AHAHAHAHA. Sapa tau bisa nahan laper *ELAH, LU NGETIK MALEM AJA*

Bagi yang nunggu fic gw, maaf ya, harus saya hiatuskan. Untuk versi boyfriend dan butler telah dinyatakan hiatus sementara. Body x Soul tetep running. I'm Yours sama Aku, Dia dan - statusnya ragu-ragu *ragu mau hiatus apa gak*. Kiseki sentai hiatus juga karena idenya ngabur dari otak, tenang lagi diinget2 kalo udah inget langsung update.

Tadinya, gw mau update my butler ver tsundere butlernya midochin pas ultahnya tp ternyata saya mendadak sibuk jadi gak lanjut deh itu. kalo fic ini mah udah diketik lama, cm gw edit doang. untuk fic gw yg masih running, sabar saja ya nunggu updatenya.

Ini fic terinspirasi dari fic gw yang Body x Soul sebenernya. Untuk sosok dewa waktunya aja gw pake imagenya si OC gw Shinigami Yuki *Yuki? Lo pindah profesi jd dewa waktu ya? BUKAAAAN* cm disini bakal beda kali namanya. Abisan gw suka dgn chara rambut putih ahaha. Krn mereka bukan manusia dan bersifat netral jadi gw memilih OC dengan rambut putih sama dgn di Body x Soul.

Audah, ini fic kenapa atmosfirnya beda ya? Entahlah. Lalu, gw gak bisa bikin pertandingan yang keren jd maap yak kalo pas-pasan, maklum imajinasi saya terbatas. Uhhuhuu. Daaaan Akashi nya bakal super OOC disini. Ada yg OOC ada yg gak, semoga saja. padahal dulunya ya ini fic mau dijadiin romance *bukan BL tp ya!* tp akhirnya malah banting setir ke friendship. okelah.

Sip, jika ada saran dan kritik mohon disalurkan pada kotak review dibawah, ahahaha. Akan diterima dgn lapang paha(?)/dada/boleh sayap gak? #PLAK#

Sebelumnya, selamat berpuasa bagi yang menjalankan. Lalu—

MIND TO REVIEW?