Salam hangat, minna. Tak terasa sudah 14 tahun sejak pertama kali anak-anak terpilih menginjak dunia digital. Kali ini aku menulis fanfict untuk memperingati hari 8/1 tahun ini. Okay, tidak usah panjang-panjang. Enjoy the story!

Disclaimer: I don't own Digimon – Belongs to Akiyoshi Hongo – BANDAI – TOEI

Happy Digimon 14th Anniversary, Erabareshi Kodomotachi!


Digimon Adventure: Miracle of The Chosen Children

~Ryuki Takaishi~

Chapter 1

Malam Itu..

Hari-hari sekolahku akan segera dimulai. Aku akan kembali menginjak di sebuah lingkungan baru, teman-teman baru, sekolah baru, dan kehidupan baru. Namaku adalah Takeru Takaishi, kebanyakan orang memanggilku dengan nama depan. Orang tuaku memberikan nama itu dengan harapan agar aku dilahirkan menjadi seorang ksatria. Aku sungguh senang ketika mendengar semua itu, bahkan aku berjanji pada mereka untuk mewujudkannya. Namun, semuanya harus terhalang sebelum aku dapat menunjukkan akan mimpi mereka. Beberapa bulan setelah peristiwa Hikarigaoka, Ayah dan Ibuku memutuskan untuk berpisah malam itu. Aku merasakan ketakutan yang amat mendalam, bahkan aku mengingat saat memeluk kakakku Yamato sangat erat. Ia membelai kepalaku dan berusaha menenangkanku. Bagaimanapun suara Ibuku terdengar sangat menyedihkan dari luar sana, sangat jelas terdengar olehku.

"Takeru, apapun yang terjadi. Aku akan selalu berada di sisimu." ujar kakakku malam itu.

"Tapi.. Onii-chan!" bantahku padanya.

Ia menghapus air mataku yang berlinang dan kemudian memberiku senyuman hangatnya. Ia membaringkanku kembali pada tempat tidur, dan memakaikanku selimut tebal. Dengan penuh kasih sayang, ia mendengungkan lagu tidur untukku guna menutupi suara ayah dan ibuku. Aku mendengarkan dengan tenang, suaranya memenuhi seluruh ruangan ini. Perlahan aku terbawa dalam alunan nada pengiring tidur kakakku, dan sekejap aku terlelap dalam alam mimpi.

Keesokan harinya, aku mendapati ruangan itu telah kosong. Kakakku tak berada lagi di sampingku, dan pintu kamar sudah terbuka. Kulihat ruangan itu sudah bertambah sepi, dan bahkan aku tak melihat lagi pakaian atau benda-benda milik kakakku berada di sana. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat, maka aku segera turun dari tempat tidur dan melangkah ke luar. Tiada siapapun lagi yang kutemui, kecuali Ibuku yang sedang memasak sarapan. Dengan langkah kecil yang gontai, aku menghampirinya.

"Ne, Okaa-san.." panggilku.

Ibuku sepertinya terkejut ketika mendengar suaraku. Ia menghentikan dirinya sementara, dan kemudian menatapku. Aku dapat merasakan aura kesedihan tersudut pada raut wajahnya. Saat itu aku masih sangat kecil, tak mengerti bagaimana memahami perasaan orang lain. Aku hanya bertanya dengan hati polosku itu.

"Di mana Onii-chan?"

Ia mendekapku erat. Dapat kurasakan ia menangis ketika memelukku. Aku sungguh terkejut melihat Ibuku tiba-tiba meneteskan air mata seperti ini. Aku selalu melihatnya sebagai sesosok Ibu yang tegar dan penuh semangat. Namun hari itu, ia seperti kehilangan semuanya. Aku hanya dapat terdiam ketika mendengar bahwa Ayahku membawa Kakakku pergi malam itu. Ibuku berkata jika keluarga kami akan berpisah untuk sementara waktu. Aku terperangah, berharap jika itu hanya sebatas hari ini. Namun ketika aku menunggu di depan pintu apartement, tiada satupun yang mengetuk pintu itu hingga matahari terbenam. Aku hampir menangis sampai mendengar langkah kaki Ibuku mendekat.

"Takeru, kamu sedang apa?" tanya Ibuku ketika menemukanku.

"Okaa-san." panggilku. "Mengapa mereka belum juga kembali?"

Ibuku terdiam. Ia kemudian menuntun tanganku untuk berdiri. Dengan mata yang sembab, ia kembali menjelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi. Ia mengatakan jika keluarga kami sudah tak dapat bersatu kembali. Keadaan sudah menjadi semakin buruk sejak terakhir kali Ibuku mencoba untuk berbicara. Ia pun berkata jika Ayahku dan Onii-chan tak akan kembali lagi ke rumah. Betapa hatiku hancur ketika mendengarnya. Saat itu aku tak pernah mengerti mengapa mereka memisahkan aku dan Onii-chan, yang kurasakan hanyalah rasa benci, dan emosi yang berlebihan.

Setelah makan malam, yang kulakukan hanyalah menangis semalaman di kamarku. Aku terbiasa tidur dengan Onii-chan, ia selalu memberikan suatu kenyamanan untukku. Terkadang ia bernyanyi, bercerita, atau bahkan mengobrol denganku sampai aku tertidur. Bagiku, ia adalah seorang kakak yang selalu kuinginkan. Tak peduli bagaimana cerahnya hari itu, atau sebanyak apapun permainan yang kumiliki. Onii-chan selalu mengetahui apa yang terbaik untuk kulakukan. Bahkan ia bersedia memberikan ice cream-nya ketika aku tak menyukai milikku.

Waktu kian cepat berlalu, beberapa tahun setelah berpisahnya keluarga kami dan aku sudah bisa menerima perginya Onii-chan. Pada suatu hari saat aku baru pulang sekolah, Ibuku mengatakan jika aku mendapat surat dari seseorang. Setelah aku berganti pakaian, aku duduk di ruang tengah bersama Ibuku dan membaca surat itu. Tak kusangka jika Onii-chan yang akan mengirimnya, rupanya ia masih mengingat aku dan Ibu. Aku sangat senang ketika mengetahui kabar kakakku baik-baik saja, dan ia pun sudah menginjak kelas 5 SD. Namun bagian paling menarik dari surat itu adalah, ia mengajakku untuk pergi ke perkemahan musim panas sekolahnya. Tentu aku sangat senang, ia mengatakan kalau perkemahannya akan dimulai pada tanggal 1 Agustus. Untuk itu aku memohon sebaik-baiknya pada Ibuku supaya mengizinkanku pergi. Dengan satu senyuman indah, Ibuku berkata aku dapat pergi ke perkemahan itu. Bahkan ia pun mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk bekal dan pakaian.

Hari yang kutunggu akhirnya tiba, dan aku masih terpejam dalam tidurku. Kurasakan seseorang memanggil-manggil namaku, suara itu tidaklah asing. Aku merasa pernah mendengar suara itu, dan aku sangat yakin itu bukanlah suara Ibuku. Ketika aku membuka mata, aku melihat sosok yang sudah jauh lebih tinggi dari terakhir kali aku melihatnya. Namun raut wajahnya itu tak dapat membuat aku melupakan siapa dirinya. Tanpa mengucapkan apapun, seketika aku memeluknya erat.

"Hai, Takeru." sapa kakakku.

"Onii-chan.."

Tak lama kemudian, ia memintaku untuk segera bersiap. Sementara ia dan Ibuku sedang berbincang ditemani oleh teh hangat. Tak kusangka jika hari ini akan tiba, bagaimanapun seseorang yang tengah duduk di sana itu adalah kakakku pada malam itu. Seusai mandi dan berganti pakaian, aku menemui mereka di ruang tengah sambil membawa tas ransel yang telah dipersiapkan oleh Ibuku. Aku sempat berbincang sebentar sebelum akhirnya kami berdua berdiri di depan pintu apartement dan pamit pergi. Tak lupa Ibuku selalu mengingatkan kami untuk berhati-hati. Dengan kupakai topi hijau itu, kami menuju perjalanan yang tak dapat terlupakan. Sebuah perkemahan musim panas yang menghantarkan kami menuju petualangan menyelamatkan sisi lain dunia.

Namun, semua itu kini sudah menjadi sebuah kenangan manis. Aku dapat mengenangnya sesaat ketika kurasakan membutuhkannya. Seiring berjalan waktu, aku tak mendengar apapun lagi tentang Dunia Digital. Bahkan ketika aku bertanya pada Koushiro-san, seseorang yang menjadi panutan anak-anak terpilih. Ia berkata kalau Dunia Digital kini sudah kembali normal, tiada satu hal yang mengganggu perantara dimensi dengan dunia kami. Aku tentu sungguh senang mendengarnya, aku tak perlu khawatir dengan Patamon yang kini berada di Dunia Digital. Ah ya, sepertinya aku belum mengatakan hal ini. Tiga tahun lalu, kami berencana mengirimkan kembali semua digimon menuju dunia asal mereka atas pesan dari Gennai. Kami semua tidak setuju pada awalnya, karena tentu saja kami telah terbiasa hidup dengan mereka. Salah satunya Daisuke-kun, ia menolak jika harus mengembalikan Veemon ke Dunia Digital. Namun beberapa dari kami adalah yang pernah meninggalkan digimon dan Dunia Digital untuk waktu yang cukup lama. Bahkan, aku melihat seperti ada beban pada Hikari. Namun keputusan adalah keputusan, kami beranggapan jika ini adalah hal terbaik bagi para digimon.

Setelah berpisahnya kami dengan para digimon, masa SMP ku dimulai. Tak seperti sebelumnya, aku berbeda sekolah dengan Hikari-chan dan Daisuke-kun. Bahkan setelah aku berbincang dengan mereka menggunakan email, mereka pun menghadiri sekolah yang berbeda. Hikari berada di SMP yang sama dengan Taichi. Sedangkan aku berada di tempat yang cukup jauh darisana. Kami jarang sekali bertatap muka, dikarenakan kehidupan sekolah kami menjadi semakin rumit dan tak memungkinkan untuk bertemu. Namun terkadang aku masih menghubungi mereka melalui telepon. Tahun terakhir di SMP, sekolahku menjadi sangat sibuk. Ingin rasanya aku menghubungi teman-temanku, namun sepertinya mereka pun sedang merasakan hal yang sama. Maka, pada akhirnya aku menghabiskan tahun terakhir di SMP tanpa mengetahui kabar mereka.

Ujian akhir pun dimulai, yang kurasakan waktu itu adalah gugup. Bahkan sebelum bel berbunyi pun, aku sudah membayangkan yang tidak-tidak dengan kertas soal di hadapanku itu. Namun, akupun mengingat jika hari itu serempak seluruh Jepang mengadakan ujian akhir. Aku jadi terheran apa Hikari dan Daisuke juga sedang gugup menanti ujian akhir ini. Kuharap mereka dapat melakukannya dengan baik, dan kita akan merayakan kelulusan bersama.

Hari di mana penantian kami selama jenjang SMP akhirnya tiba, aku lulus dengan nilai yang cukup baik. Bahkan Ibuku mengucapkan selamat dan bangga terhadapku. Kulihat senyum bahagia pun terurai dari semua teman-temanku. Tak sedikit dari mereka yang mengambil gambar kelulusan bersama, berbincang mengenai hari itu, dan saling bertanya tentang akan melanjutkan SMA di mana. Di saat aku sedang mengobrol dengan beberapa teman perempuan dari kelasku, seseorang menyentuh bahuku. Aku menoleh, dan menemukan teman sebangku-ku tengah tersenyum lebar.

"Yo, Takaishi-san!" sapanya. Ia yang memakai gakuran hitam persis sepertiku, dengan kacamata, dan rambut cokelat. Matanya yang berwarna cokelat gelap itu mengingatkanku pada Daisuke.

"Ah, Hiro-kun. Selamat atas kelulusanmu." ucapku antuasias. Mungkin hari ini akan menjadi hari dengan banyak ucapan selamat.

"Kau juga, selamat untukmu. Ngomong-ngomong, ada yang ingin kubicarakan."

"Tentu, apa itu?"

Sempat terdengar hembusan napasnya sebelum kembali berkata. Ia memasukan kedua tangannya ke saku celana sembari bersender pada dinding.

"Uhm, ano.. Terimakasih telah menjadi temanku, Takaishi-san."

Aku menatapnya bingung. Sungguh aku tak pernah merasa memilih-milih siapa temanku. Namun daripada aku bertanya hal yang tidak-tidak, maka aku pun tersenyum dan mengatakan jika aku senang telah mengenalnya. Menurutku ia adalah orang yang baik, dan mengetahui apa yang harus dilakukan.

"Sepertinya ini adalah terakhir kalinya kita bertemu." ujarnya dengan nada yang terdengar sedikit lirih.

"Eh?! Hiro-kun, mengapa?"

"Karena, orang tua ku akan segera dipindahkan ke Amerika. Jadi aku akan melanjutkan SMA di sana."

"Sou ka.." timpalku. "Setidaknya kita sudah saling bertukar alamat email, jadi kita masih dapat saling berkirim kabar."

"Kau benar, namun aku akan berusaha untuk datang berkunjung ke Jepang ketika liburan." kata Hiro. Ia kemudian membungkuk dan berlalu sambil melambaikan tangan.

Aku membalas lambaian tangannya, dan menatap ia menghilang di kerumunan orang-orang. Hari itu adalah hari yang sangat cerah, tepat setelah upacara pelepasan dan kelulusan murid. Aku berjalan menuju stasiun kereta, dan pulang. Tak perlu aku lama menunggu di atas peron, sebuah gerbong kereta telah tiba dan membuka-kan pintunya. Hari itu, aku tiba di rumah lebih cepat dari biasanya. Sepertinya Ibuku sedang berada di rumah hari itu. Benar saja, suara percikan air di dapur menandakan ia tengah berada di sana.

"Aku pulang.." ucapku.

Minggu liburan pun berakhir, dengan atau tanpa kabar teman-temanku. Bahkan aku tak menerima satupun email dari Hiro, mungkin saja ia sedang sibuk. Pagi ini aku terbangun di dalam kamarku yang sepi seperti biasanya, tak ada seseorang yang membangunkanku dengan suara khas nan ringan itu. Jika kuingat lagi, sudah tiga tahun lamanya ia tak bersamaku. Terkadang aku ingin mengetahui keadaan Patamon di Dunia Digital. Pasti telah banyak cerita sejak terakhir kali kami berbincang.

Satu kemeja putih, lengkap dengan gakuran berwarna hitam telah tergantung di sana. Jika Patamon melihatku dengan seragam itu, mungkin ia akan mengatakan banyak sekali hal. Bahkan sebelum kepulangannya, ia memintaku untuk memakai seragam sekolah. Seperti yang sudah kuduga, ia terlihat sangat senang dan juga tampak kagum. Bukannya aku terlalu percaya diri atau apa, namun sepertinya itu adalah salah satu hal yang ia nantikan. Tidak heran, aku sering berpapasan dengan mereka yang memakai seragam ini ketika aku masih duduk di bangku SD. Akupun masih mengingat apa yang ditanyakannya padaku...

"Takeruu, mengapa kau tak memakai pakaian seperti mereka?"

"Itu untuk mereka yang sudah duduk di bangku SMP atau SMA, teman." jawabku. "Suatu hari nanti, akupun akan memakainya."

"Benarkah?" tanya Patamon. "Takeru! Aku ingin melihatmu dalam seragam itu!"

Setelah itu, sudah satu tahun sejak keinginan Patamon terngiang di telingaku. Kembali pada hari terakhir di SD Odaiba, hari itu jatuh pada musim saat bunga sakura berguguran. Aku datang ke sekolah bersama Onii-chan, juga Hikari yang datang bersama Taichi-san. Ah, sebenarnya tidak asing jika mereka yang mengantar. Sejak keduanya adalah alumnus di sekolah ini. Daisuke-kun datang bersama ayahnya, Iori bersama kakeknya, dan Miyako-san, ia bersama Ibunya.

Hari itu, semua digimon ikut bersama kami. Bahkan mereka yang mengejekku di kelas dengan mengatakan semua itu hanya sebuah khayalan, kini melihat sebuah hal nyata. Pada awalnya mereka menganggap aku hanya terlalu banyak menonton TV dan bermain game. Namun setidaknya, mereka percaya setelah Patamon memperkenalkan dirinya. Tidak satu atau dua yang terbata-bata mengatakan 'bi-bisa.. benda itu bisa bicara!'. Memang terlihat sedikit usil, namun tak ada salahnya jika mereka mengetahui Dunia Digital bukanlah hanya sebuah khayalan.

Kepuasan hatiku berujung ketika malam sebelum kepulangan mereka menuju Dunia Digital, aku dan Patamon menghabiskan malam itu saling bercerita tentang banyak hal. Bahkan kami sempat berbagi banyak rahasia, yang pasti akan terjaga. Di suatu keheningan, tiba-tiba perhatian Patamon teralih pada seragam baruku. Seragam itu mirip sekali dengan yang dimiliki Onii-chan. Jas yang berwarna hijau dengan kemeja berwarna putih. Ia kemudian menatapku dan tersenyum.

"Takeru, aku ingin kau memakai itu untuk besok!"

"Seragamku? Mengapa teman?" tanyaku sedikit heran.

"Jika itu adalah hal terakhir yang kulihat darimu, seragam sekolah itu adalah yang kuinginkan."

Maka, saat keesokan hari. Aku memakai seragam sekolah baruku menuju Hikarigaoka. Patamon terlihat sangat bahagia ketika aku memakai jas berwarna hijau itu, ia mengatakan jika aku terlihat gagah. Bagaimanapun tetap saja, aku tak dapat menyangkal jika akupun menyukai seragam itu. Bahkan tak hanya dirinya, Hikari pun menatap bingung aku dalam seragam sekolah. Kebetulan, itu pun adalah kali pertama ia melihatku. Berbeda dengan Daisuke, ia tertawa terbahak-bahak ketika melihatku sampai dengan seragam di hari libur.

Namun, aku tak menyangka jika hari itu akan menjadi cukup sulit. Walaupun kami telah menganggap ini adalah hal terbaik, dan para digimon kami akan baik-baik saja. Tetapi kau tak dapat membohongi suatu perasaan. Bermula pada tanggal 1 Agustus saat perkemahan musim panas, dan kami sempat terpisah untuk waktu yang cukup lama, dan kemudian kami dipertemukan kembali. Entah mengapa, sulit rasanya mengucapkan selamat tinggal. Kulihat Hikari-chan sudah tak dapat menahan dirinya, ia yang semula berkata akan baik-baik saja, namun kini kesedihan yang terurai dalam air matanya tak terbendung kembali. Ia memberikan pelukan terakhir untuk Tailmon. Bahkan Daisuke, Iori, Miyako-san, dan Ichijouji, mereka pun tak ingin menjadikan hari itu adalah kenangan yang singkat. Kini yang kupikirkan, mereka hanya pergi untuk sesaat dan pada suatu hari kami akan bertemu kembali. Namun, aku tersadar jika hal itu hanya sebuah dorongan untuk tidak terlalu memikirkan ini dalam kesedihan. Saat itu juga, sebuah cahaya terang mengelilingi mereka.

"Jaga dirimu baik-baik, Takeru.." ucap Patamon.

"Kau juga.. Patamon.."

"Takeru, selamat tinggal.."

Cahaya itu kemudian menghilang, sekaligus membawa para digimon kami menuju dunia mereka. Angin segar berhembus seketika, seakan memberi pesan jika semua akan baik-baik saja. Dengan bantuan semangat dari Taichi-san, kakakku, Sora-san, Mimi-san, Koushiro-san, dan Jyou-san juga, kami mulai dapat berdiri dan melangkahkan kaki. Sepertinya memang Patamon tak lagi hinggap di kepalaku, namun rasanya menjadi semakin berat.

Hari itu kami berencana untuk menghibur diri. Aku, Onii-chan, Hikari, Taichi-san dan Daisuke pergi ke tempat arena bermain. Sementara kami menghabiskan hari, semangatku perlahan mulai pulih. Waktu terus bergulir sampai pada akhirnya kami kelelahan bermain. Langit yang semula terang benderang kini telah terganti malam. Saat itu juga, adalah terakhir kali aku bertemu Hikari. Selanjutnya, kami hanya memberi kabar melalui telepon ataupun email. Begitupun dengan Daisuke, terkadang ketika aku meneleponnya ia tak ada di rumah.


Hal ini berlanjut sampai tiga tahun kemudian...

Pagi ini aku telah bersiap untuk pergi sekolah, hari ini adalah hari pertama. Kuharap aku tak akan terlambat, karena perlu kereta untuk mencapai sekolahku. Setelah menghabiskan sepotong roti yang dipanggang oleh Ibuku, aku beranjak pergi. Hal pertama yang kutemukan pagi itu adalah, Miyako-san dan Iori-kun. Seperti halnya hari pertama ketika aku pindah ke SD Odaiba, mereka menyapaku tepat di lift apartement. Entah mengapa, aku merasakan seperti kembali ke hari itu.

"Ohayo!" sapa Miyako dengan semangat.

"Takeru-san, ohayo!" ucap Iori-kun, kini ia sudah kelas 2 SMP.

Aku pun menyapa mereka dengan senang hati. Kami meninggalkan apartement bersama-sama, dan berpisah di persimpangan jalan. Miyako-san dan Iori-kun bersekolah di tempat yang berdekatan. Tadinya akupun ingin bersekolah di sana, namun Ibuku mengatakan jika aku akan bersekolah di tempat berbeda. Suatu tempat yang memerlukan kereta untuk menjangkaunya.

Aku sudah menggenggam sebuah karcis yang akan kugunakan untuk masuk, dan kurasa aku bukanlah satu-satunya anak dengan seragam sekolah ini. Kulihat beberapa juga memakai seragam dan atribut yang sama. Aku berjalan mengikuti beberapa rombongan, dan berakhir di satu peron. Di sana terdapat beberapa kursi tunggu, namun sayang sekali sudah penuh oleh orang-orang. Jadi aku terpaksa menunggu sambil berdiri. Pagi itu terlihat sangat ramai, aku menyusuri stasiun kereta yang cukup luas itu dengan pandanganku.

Satu per satu kuperhatikan orang yang berlalu-lalang di koridor. Sesaat kemudian, mataku terhenti pada seorang perempuan yang sedang duduk di salah satu kursi stasiun. Ia memiliki rambut coklat dengan potongan se-bahu, bagian kanan rambutnya dijepit dengan jepitan berwarna pink, ia sepertinya kini sudah lebih tinggi, dan juga tubuhnya sudah berkembang layaknya para remaja. Ia juga memakai seragam yang jika kuperhatikan adalah seragam dari sekolahku. Tiba-tiba, aku menyadari jika ia pun menatapku. Maka aku cepat-cepat membuang muka dan bersikap seolah tak ada apa-apa. Aku tak berani menoleh kembali, karena aku merasakan seperti ia memperhatikanku.

Tak lama setelah aku mencoba mengusir pikiran itu, kereta yang kutunggu akhirnya tiba...