"Jadi dua-duanya diterima" Fugaku membolak-balikkan beberapa helai kertas di tangannya. Sambil sesekali mengulas senyum bangga.
Sasuke diterima di dua universitas ternama sekaligus. Kesempatan seperti itu kemungkinannya sangat tipis. Hampir mustahil malah. Tapi tidak bagi seorang dengan IQ di atas rata-rata. Seorang Uchiha, tentunya.
"Bagus. Kalau begitu kau bisa kuliah di perguruan tinggi Konoha"
"Hah?" Sasuke membeo. Lalu mengerinyitkan alisnya tak percaya "Kenapa Tou-san pilih Konoha? Disana kan— "
"— tempat Itachi mengajar" Tukas Fugaku "Itu sebabnya"
"Tidak bisa begitu, Tou-san. Lagipula di Ame juga ada fakultas hukum" Bantah Sasuke sekenanya. Dia hanya tak ingin berada dalam satu ruangan dimana Itachi dosennya, dan dia muridnya. Yah, walaupun Itachi cuma dosen muda tapi tetap saja rasanya akan absurd.
"Konoha punya reputasi perguruang tinggi dengan fakultas hukum terbaik, Sasuke" Fugaku lalu menunjuk-nunjuk wajah Sasuke dengan kertas di tangannya "Jika kau pandai seperti kakakmu, bukan tidak mungkin setelah lulus kau bisa jadi dosen juga seperti dia. Bahkan selain dosen, Itachi tetap bisa menyandang gelar pengacara sebagai pekerjaannya. Dua sekaligus. Dan kurasa kau berpotensi dalam hal itu"
"Kenapa kau tidak menyuruhku memilih dulu?"
"Karena pilihanku adalah yang paling tepat, Sasuke! Bisakah kau berhenti membantah!?"
Sasuke hanya mendecih dalam hati dan mengumpat kebodohannya, harusnya tadi dia tak menunjukkan kedua hasil tesnya, cukup Ame saja. Sial sekali.
Karena keputusan Fugaku selalu bersifat mutlak. Yah, meskipun tak sepenuhnya Sasuke menyesal. Ada beberapa poin yang justru membuatnya suka dengan keputusan itu. Misalnya, dia jadi bisa bertemu dengan kakaknya yang lama tidak ia jumpai itu.
Kakaknya yang baik, tampan, dan nyaris sempurna di matanya.
Apa sih, kenapa tampan harus di sebut juga? Apakah penting sekali?
Oh ya. Tentu saja itu hal yang penting semenjak beberapa tahun yang lalu, Sasuke punya rasa kagum yang tidak biasa terhadap kakaknya. Awalnya memang dia sekedar kagum soal kecerdasan dan bakat Itachi lalu berusaha menirunya. Tapi lama kelamaan rasa tertarik menjadi bumbu pemanis disana. Entah kenapa setiap hal yang Itachi lakukan menimbulkan serangan jantung kecil-kecilan bagi Sasuke. Entah kenapa senyuman dan suara itu sangat..
Sudahlah, simpulkan saja sendiri.
Yang jelas, itu adalah kesalahan yang akan Sasuke kubur rapi. Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Meskipun dia tak bisa menghentikannya seberapapun dia berusaha.
.
.
.
.
.
.
Complex!
Disclaimer : Naruto (c) Masashi Kishimoto
Story by : Alice Amani Neverland
Rated : T
Warning! : ItaSasu with a bit ItaNaru, AU, Incest, Sho-ai, OOC!, Typo(s), EYD tumpeh-tumpeh, dan kesalahan manusiawi lainnya! So, DLDR. No flame loh. Jangan lupa review.
.
.
.
.
.
.
Satu : Sebuah kesan pertama
.
.
.
.
.
.
Perguruan tinggi Konoha, satu dari lima perguruan tinggi terbaik saat itu.
12 fakultas dengan akreditasi A, dan fasilitas asrama gratis bagi mahasiswa dengan domisili jauh. Syaratnya, nilai rata-rata ujian harus diatas 7,8.
Bangunan-bangunannya besar dan berkesan klasik, dengan halaman parkir luas di setiap fakultas, serta lokasinya yang jauh dari perkotaan. Bagi kebanyakan orang tua dan mahasiswa teladan, suasana kampus yang tenang ini sempurna.
Ekspektasi Sasuke cukup tinggi soal hari pertamanya di Konoha.
Hari pertama disini bukan hari pertama sungguhan. Melainkan acara orientasi dan perkenalan lingkungan kampus kepada mahasiswa baru. Tidak ada ospek, sejak dua tahun lalu ditiadakan di perguruan tinggi Konoha. Sebatas acara-acara formal, semacam konferensi untuk perkenalan.
Bagus.
"Uchiha... Sasuke" Dengan teliti—dan tampaknya tanpa melewatkan satu huruf pun— wanita itu membolak-balikkan lembar demi lembar daftar mahasiswa angkatan baru yang bergabung dengan asrama laki-laki.
Well, daripada harus menyewa apartemen sendiri atau malah tinggal di apartemen Itachi, Sasuke lebih memilih asrama. Selain gratis—karena Sasuke adalah calon mahasiswa dengan nilai ujian masuk tertinggi—rasanya lebih efisien, karena letak asrama hanya berjarak tak lebih dari dua ratus meter dari gedung utama fakultas hukum.
Tidak lama berselang, wanita itu tampaknya menemukan nama Sasuke disana. Sasuke menarik nafas lega. Tak sabar untuk meletakkan ransel dan kopor beratnya ke suatu tempat lalu istirahat.
"Ikut aku" Wanita dengan rambut pendek itu beranjak dari meja informasi dan mulai berjalan, yang lalu di ikuti oleh Sasuke secara otomatis. Hampir saja Sasuke menyangka orang ini adalah laki-laki. Jika bukan karena suara khas garisnya, ia benar-benar tampak seperti laki-laki dengan perawakan yang sebegitu—rata.
"Aku Shizune, anggota tim pengawas asrama ini" Ia memperkenalkan diri tanpa menghentikan langkah, mengantarkan Sasuke menuju kamarnya. Sasuke hanya menanggapinya dengan gumaman kecil.
Sedikit terganggu, sebetulnya. Dia bukan satu-satunya mahasiswa baru yang tengah mencari kamar, tapi entah kenapa setiap mata yang menangkap kehadirannya melemparkan pandangan aneh, dan sesekali gerombolan itu tampak berbisik satu sama lain. Cih. Apa yang mengherankan sih disini?—oh iya.
Dia adik Itachi.
Adik, yang tanpa ia harapkan pun akan punya sedikit kemiripan.
"Kau adiknya Itachi-san kan?" Nah saja Sasuke memikirkannya.
"Ya"
Shizune tertawa kecil kemudian. Entah artinya apa. Bagi Sasuke tawa itu terdengar sedikit.. aneh.
"Kenapa?"
"Oh, tidak. Kau adiknya, jadi kau pasti sudah tahu watak orang itu"
"—?"
Watak? Watak yang mana? Watak super duper mempesona itukah? Sasuke begidik saat yang menghiasi bayangannya adalah Itachi yang berperan sebagai dosen ganteng dengan gadis-gadis histeris mengitarinya.
Belum senpat waktu menjawab pertanyaan Sasuke, Shizune telah berhenti diambang pintu setelah melalui dua tangga dan dua koridor panjang.
Sial, lantai tiga.
Dan tanpa lift.
"Yak. 105. Ini kuncimu" Shizune lalu ,menyerahkan sebuah kunci polos pada Sasuke "Ada tiga duplikat kunci setiap kamar. Satu buah ada padaku, dan dua lainnya masing-masing milik kalian"
"Tunggu—" Sasuke menaikkan sebelah alisnya "—kalian?"
Sebelum menjawab, Shizune menghela nafas lagi.
"Sasuke-kun, ini bukan hotel. Jadi biasakan dirimu. Ada satu orang lagi di kamar ini. Dia datang satu jam sebelum kau. Kebetulan dia juga mahasiswa fakulas hukum" Shizune lalu tampak mencari sesuatu diantara lembaran-lembaran kertas di map yang ia bawa.
Sasuke mendecih disana. Tahu begini, lebih baik ia pilih menyewa apartemen sendiri saja—walau uang jajannya harus dipotong setengah.
"Ah, ini dia. Peraturan-peraturan asrama yang harus kau pelajari. Tidak boleh ada rokok, wanita, benda tajam, alkohol, dan obat-obatan" Shizune menyerahkan sehelai kertas berisi tata krama dan sehelai lagi berisi denah Universitas pada Sasuke "Oh satu lagi. Siapkan pidato untuk peresmian mahasiswa baru besok pagi"
"Pidato?"
"Iya. Kau kan lulus tes dengan Nilai terbaik, jadi kau yang akan mengisi pidato sebagai perwalikan seluruh angkatan baru fakultas hukum"
Lagi, penyesalan itu datang.
"Nah, jam sebelas nanti akan ada acara perkenalan staff pengajar dan unit kegiatan mahasiswa di aula besar. Letaknya cari saja di denahmu, semua ada disana. Dan ini bukan sekedar perkenalan satu fakultas, melainkan keseluruhan. Jadi.. yah. Jangan terlambat" Tambahnya.
Perkenalan staff pengajar? Artinya, Itachi ada disana dong? Tentu saja lah, Sasuke tak ingin melewatkan itu. Natal tahun lalu adalah terakhir kali ia berjumpa dengan Itachi. Meskipun tiga jam lalu Sasuke baru saja berbicara dengannya lewat telepon. Tapi tetap saja, telepon dan bertemu langsung itu berbeda. Apalagi jika sensasinya adalah Itachi yang sebagai calon 'dosen'nya.
"Oke, aku harus mengurus kamar lain. Sudah ya, Sasuke" Satu tepukan singkat di pundak Sasuke sebelum Shizune berjalan meninggalkannya.
Baguslah. Tak tahan dengan pandangan-pandangan penghuni kamar lain—yang entah kenapa tampak mengintimidasi itu—Sasuke segera meraih kenop pintu dan membukanya.
"Permisi, aku penghuni baru kamar in—i" Kalimatnya terjeda saat pemandangan yang 'sangat tidak cocok untuk penglihatannya' itu menyapa. Atau sebut saja, berantakan.
Memang benar ada orang lain disana. Yang tampaknya belum selesai beres-beres karena tas dan barang lainnya masih tercecer tanpa aturan. Cowok berambut pirang-gaya-durian- itu tengah sibuk dengan laptop yang menyala, sambil mengunyah dan sesekali meniup-letuskan balon permen karetnya. Dia baru menyadari kehadiran Sasuke setelah tujuh detik dihabiskan sang Uchiha dengan berdiri diam dan—kesal.
"Oh!" Si pirang meletakkan laptopnya kesembarang tempat, lalu berdiri menghampiri Sasuke "Aku Uzumaki Naruto!" Serunya penuh semangat sambil menjulurkan tangan. Masih mengunyah, tentu saja.
Dengan berat Sasuke menjabar tangan besar itu. Apa-apaan ini, dia harus sekamar dengan bocah abstrak macam Naruto?
"Hn"
"Terus, Namamu?" Plop. Naruto meletuskan permen karetnya lagi. Membuat Sasuke mengerling risih.
"Uchiha Sasuke" Sahutnya datar.
"Nah! Sasuke!" Naruto lalu menepuk punggung Sasuke sok akrab dengan kasarnya "Ada dua tempat tidur, dua lemari, dua meja. Kau mau yang sebelah kanan atau kiri? Ehh tapi aku sudah pakai yang sebelah kanan jadi kau sebelah kiri ya. Ahahaha"
Sasuke mengedarkan pandangannya kesetiap sudut kamar sempit yang—sangat—jauh berbeda dengan suasana rumahnya. Luasnya mungkin hanya seperempat dari kamar Sasuke dan itu masih harus dibagi dua. Ditambah lagi, Sasuke mendapatkan wilayah sisa yang sama sekali tidak strategis—setidaknya dalam kamar itu sendiri.
"Tidak bisa begitu"
"He?" Naruto memiringkan kepalanya
"Seharusnya ada kesepakatan lebih dulu. Kau tidak bisa memutuskan secara sepihak" Tegas Sasuke lalu menurunkan ransel dan kopornya "Aku sebelah kanan"
"Enak saja! Aku datang lebih dulu jadi aku yang berhak memilih!"
"Hak kita sama disini"
"Oh tentu tidak" Plop. "Siapa cepat, dia dapat!"
Urat kemarahan Sasuke mulai menegang. Dia tidak bisa tidur di pinggir jendela begitu. Masa sih, setiap pagi dia yang harus pertama 'diserang' sinar matahari? Tidak adil.
"Aku mendapatkan kamar ini lebih dulu. Aku ikut ujian masuk jalur khusus, kau tahu. Jadi secara teknis aku yang lebih dulu ditempatkan disini"
"Tetap saja aku yang duluan datang! Salah sendiri kau telat!" Plop. Permen karet si pirang meletus lagi.
"Baik! Sekarang kita undi saja!"
"Tidak mau!"
"Jangan membuatku marah, Naru—"
"HAH LIMA MENIT LAGI ACARANYA MULAI!" Tiba-tiba Naruto menjerit keluar topik.
Spontan, Sasuke melirik arlojinya.
10.56 AM. Empat menit, malah. Dan Sasuke bahkan belum membereskan barang-barangnya. Atau menyelesaikan perebutan wilayah kamarnya. Atau bahkan tahu lokasi gedung acaranya.
Habislah dia.
Mengesampingkan urusan kamar sejenak, Sasuke mengambil jas almamater dan denah universitas dari ranselnya lalu keluar—dan sedetik sebelum ia meninggalkan pintu, ia menunjuk Naruto yang tampaknya masih sibuk mencari denah miliknya.
"Urusan kita belum selesai"
Kemudian pintu terbanting keras.
"TEMEEEE!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Profesor Yakushi Kabuto, dekan fakultas Biologi" Suara sang pemandu acara menggema diikuti riuh tepukan tangan ribuan peserta yang memenuhi aula raksasa ini—yang malah lebih mirip stadion indoor—menyambut pria berkacamata bulat yang menghampiri mimbar untuk kemudian memberi sambutan singkat.
Sasuke belum terlambat terlalu jauh, sepertinya. Dia masih cukup beruntung mendapatkan kursi di barisan kedua paling depan. Kursi-kursi di bagian belakang—yang berdekatan dengan pintu keluar masuk—justru nyaris terisi penuh. Hanya beberapa kursi yang kedapatan kosong.
Well, kebanyakan memilih duduk di tempat yang mudah untuk keluar—mengingat banyaknya partisipan—untuk sekedar mendapat celah keluar selepas acara nanti tampaknya akan sulit.
Tapi Sasuke tak mempermasalahkan itu. Dia fokus untuk mencari tempat di barisan depan. Alasannya, sudah cukup 'jelas' lah.
Dan di sebelahnya, duduk seorang gadis berambut merah panjang dengan tampang intelek—yang ia harap setidaknya lebih 'waras' dari Naruto.
"Maaf" Sapa Sasuke pada gadis itu "Apa giliran fakultas hukum sudah?"
"Belum" Sahut gadis itu lalu menoleh. Kemudian wajah putihnya mendadak merah semerah udang goreng saus tomat. Mimpi apa dia semalam. Makhluk seganteng Sasuke menegurnya. "B-Baru.. F-Fakultas.. Bio-logi.. kok"
"Oh"
"A-Aku Karin!" Lanjut gadis itu gugup. Tadinya hanya merah, sekarang bulir-bulir keringat bermunculan di dahinya. "Boleh.. Kenalan?"
Sasuke mungkin sudah salah bertanya, ya. Salah orang, lebih tepatnya.
"Ng.. Kau dari—" Ucapan Karin tenggelam oleh tepukan tangan lagi, pertanda pidato sang dekan fakultas biologi itu selesai. Sasuke ikut-ikutan bertepuk tangan, malas menanggapi secara lanjut obrolan barusan. Bukan obrolan sih. Soalnya dia tak pernah tertarik untuk 'ngobrol' dengan orang yang salah.
"Ya. Sekarang untuk jajaran staff fakultas hukum"
Ah, ini dia.
Satu per satu orang muncul dan mulai menempatkan diri untuk duduk di meja panjang yang terbentang di atas panggung. Sosok yang Sasuke tunggu akhirnya muncul, di barisan paling akhir. Jantungnya berdebar kontan. Entah kenapa. Dan disana, Itachi melemparkan senyuman sejuta watt-nya pada siapa saja. Tentu Itachi tampak sebagai yang paling muda di antara orang-orang disampingnya.
Dan paling seksi.
Berhasil, Itachi menyadari kehadiran Sasuke yang memang tak sulit ditemukan—karena dia duduk di depan. Itachi melambai disana. Membuat Sasuke memalingkan wajahnya yang memanas. Sial.
Tapi kebahagiaan yang begitu sederhana itu menyusup secara manis, menghapuskan hawa kesal yang membebani Sasuke seharian ini.
Kebahagiaan aneh yang sesungguhnya—salah.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tiga setengah jam berlalu, akhirnya acara formal itu selesai. Ribuan mahasiswa berdesakan keluar tanpa peduli soal giliran. Sasuke tak bisa melihat apapun selain punggung-punggung manusia yang bergerombol di depannya. Benci dengan situasi pengap seperti ini, Sasuke kembali duduk di tempatnya, menunggu kerumunan itu selesai sehingga ia bisa keluar tanpa harus membuat kemejanya kusut.
"Sasuke," Satu tepukan di pundak membuat Sasuke terperanjat. Kaget—tapi lumayan senang. Karena yang menepuknya barusan itu adalah Itachi, yang kemudian duduk di samping sang adik dengan santai. "Aku kangen sekali"
Ah, Senyuman sejuta watt plus kalimat sejuta watt—kangen. Sempurna.
Dan, Sasuke tidak pernah menyangka Itachi akan tampak lebih menarik dengan tuksedo hitam lengkap itu.
Tak ada respon dari mulut mahal Sasuke, Itachi kembali bicara untuk membuka obrolan.
"Kau sudah menerima jadwalmu?"
"Hn"
"Aku juga dengar katanya kau yang akan mengisi pidato besok"
"Hn"
"Sudah pikirkan temanya?"
"Hn"
Hening beberapa detik—lalu Itachi tertawa.
"Apanya yang lucu?"
"Nah, akhirnya. Kukira kau lupa masih ada kosa kata selain 'Hn'" Itachi menirukan gumaman Sasuke.
"Tch." Sasuke mendecih sebelum teringat sesuatu, "Kau mengajar mata kuliah apa?"
"Oh," Itachi lalu meraih kertas jadwal di tangan Sasuke dan membukanya pelan. Dia mengetuk beberapa titik disana. "Senin, Kamis, dan Sabtu. Bagianku adalah Pengantar Ilmu Hukum"
"Lalu—"
"—ah, ya. Itu salah satu mata kuliah wajibmu, Sasuke" Seolah membaca pikiran Sasuke, Itachi menjawab pertanyaan yang bahkan belum di ucapkan. "Tapi mungkin kau tidak akan menjumpai aniki-mu ini disana, melainkan orang lain"
Sasuke menaikkan sebelah alisnya tak mengerti. Bukannya tadi Itachi bilang dia mengajar salah satu mata kuliah wajib Sasuke? Yang artinya dia akan menjumpai Itachi di ruangan yang sama kan? Lalu apa maksud dari 'melainkan orang lain' itu?
Itachi justru beranjak dari duduknya sebelum memberi penjelasan lebih lanjut.
"Aku masih meninggalkan banyak tugas. Kau mau mampir ke apartemenku, Sasuke?"
Ya. Ya. Ya. Tentu! Inginnya Sasuke menjawab terang-terangan begitu. Tapi..
"Tidak. Aku tidak mau buang-buang waktu"
"Hm ya sudah kalau begitu—"
"Aniki"
"—?"
"Jadi nantinya, yang akan jadi dosen mata kuliah tadi itu kau atau bukan?"
Tersenyum lagi, Itachi lalu meraih puncak kepala Sasuke dan mengacak rambutnya pelan,
"Sampai jumpa di ruang kuliah, Otouto"
Meski tak sepenuhnya mengerti, rasanya ini lebih dari cukup untuk memenuhi syarat sebuah kesan pertama yang bagus.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Loh, Sasuke? Kenapa baru kembali? Aku sudah disini sejak tadi"
Tak ambil pusing soal pertanyaan Naruto, begitu memasuki kamar, Sasuke langsung membuka jas almamaternya dan mulai merapikan barang-barang. Tak habis pikir, apakah si pirang sudah lupa akan masalah perebutan wilayah kamar itu. Ah tapi biarlah. Lagipula Sasuke juga sudah tak ingin membahasnya lagi.
"Sasuke, soal yang tadi," Naruto menggaruk pipinya. "Aku minta maaf ya"
Sasuke menoleh takjub.
Orang itu, barusan meminta maaf?
"Tadi aku sedang kesal, jadi teriak-teriak begitu. Harusnya kita jadi teman yang baik karena kita rekan sekamar. Maaf atas kesan buruknya"
"Tidak apa-apa"
"Baguslah kalau begitu!" Menyimpulkan jawaban Sasuke sebagai konfirmasi bahwa dia dimaafkan, Naruto lalu melompat dan menyalakan laptopnya enteng.
"—Naruto?"
"Apa?"
"Jadi.. Kau sudah setuju kalau kita tukar tempat?"
"Tidak"
"..."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"...Dan sebagai penerus generasi mahasiswa hukum yang berkompeten, kami bertanggung jawab penuh atas kehormatan menjadi bagian dari keluarga besar perguruan tinggi Konoha, juga bagian dari masa depan yang berperan dalam pembentukan sistem hukum yang lebih baik. Dengan segala hormat, saya, Uchiha Sasuke mewakili seluruh rekan angkatan ke seratus empat puluh tiga fakultas hukum. Terima kasih" Sasuke membungkukkan badan, mengakhiri pidato singkatnya dalam upacara peresmian mahasiswa baru. Bukan main, sambutan yang ia terima lebih dari sekedar tepukan tangan, melainkan diantaranya siulan-siulan heboh yang asalnya dari kubu fakultas hukum, tentu saja.
Well, satu yang berani maju, kebanggaan milik bersama. Begitu.
Tidak buruk sih. Lagian Sasuke cukup menikmati sensasi glorious barusan.
Hari kedua, adalah hari pertama yang sesungguhnya. Yah, walaupun fakultas lain sudah memulai aktivitas perkuliahan, fakultas hukum masih menggunakan hari ini sebagai sosialisasi tambahan. Sekedar pengisian kartu rencana studi, perkenalan ruangan, perpustakaan, tata tertib fakultas, dan sebagainya.
Para mahasiswa baru yang telah menerima jadwal, untuk pertama kalinya memasuki ruang kuliah utama yang luas, bersih, dengan langit-langit yang tinggi, serta jumlah kursi yang tidak sedikit—dengan formasi berundak-undak seperti bioskop—terpusat pada white board besar yang tak hanya berfungsi sebagai papan tulis, tapi juga digunakan untuk memproyeksikan materi kuliah langsung dari laptop masing-masing pengajar.
Satu per satu dosen memasuki ruangan setiap 45 menit. Bukan untuk memberikan kuliah—karena ini masih masa sosialisasi—melainkan sekedar perkenalan lebih dekat mengenai jenis mata kuliah yang mereka ampu, atau mungkin mengenai mereka sendiri.
Kali ini Sasuke duduk di bagian tengah. Disamping kanannya, duduk seorang laki-laki bersurai coklat sepunggung dengan perangai yang tenang. Dan disamping kirinya, laki-laki berambut merah dengan mata yang tajam, juga tampaknya bukan orang yang banyak bicara.
Sementara Naruto sedang menguap malas di barisan paling belakang.
Ah, posisi yang cukup sempurna bagi Sasuke. Damai dan tenang.
Tenang, karena kedua-partner-duduk-di-baris-yang-sama itu kelihatan setipe dengan Sasuke—tidak mempedulikan urusan orang lain.
Setelah dosen ketiga dengan perkenalan mata kuliah ilmu negara itu selesai, jeda mengisi ruangan untuk sesaat. Sasuke hanya mempelajari buku panduan mahasiswa dengan tenang sementara yang lainnya sibuk membicarakan pemikiran satu sama lain tentang dosen-dosen yang akan menjadi pengajar mereka. Yang sepertinya tidak penting.
"Setelah ini dosen pengantar ilmu hukum"
"Itachi-san kan? Ehh, aku kok jadi takut begini"
Telinga Sasuke yang sensitif—terutama jika ada yang menyebut soal Itachi—menangkap pembicaraan gadis-gadis yang duduk di belakangnya. Mau tidak mau Sasuke harus ikut mendengarkan.
Takut, katanya? Takut yang seperti apa sih?
Tanpa menoleh, Sasuke menyimak kelanjutan dialog itu.
"Jadi kau sudah dengar soal dia juga?"
"Iya. Banyak senior yang membicarakan Itachi-san. Katanya dia dosen killer paling tak kenal ampun disini"
"Ha, yang kudengar dari Deidara-san juga begitu. Dia pernah mengalaminya sendiri malah. Kekejaman si gagak hitam"
"Benarkah!? Bagaimana ceritanya?"
"Dia pernah ketahuan mengantuk saat jam kuliah. Kau tahu apa yang Itachi-san lakukan? Memberinya nilai akhir C. Deidara-san harus mengulang satu semester lagi sampai akhirnya dia naik tingkat"
"HAH!? Gila! Cuma gara-gara mengantuk? Bisa mati kita!"
Killer? Tanpa ampun?
Mereka pasti salah. Atau sedang melucu. Sasuke tak bisa menelan bulat-bulat apa yang ia dengar barusan. Barangkali, yang dimaksud dua gadis itu adalah Itachi yang lain. Bukan Itachi Uchiha. Bukan kakaknya yang pasrah, penyayang, dan selalu menuruti kemauan adiknya itu.
Bisa jadi mereka sedang mengerjai Sasuke dengan sengaja. Mengingat Sasuke adalah adik kandung Itachi.
Pasti begitu.
Senyap spontan menggantikan bising saat seseorang memasuki ruangan—yang memang sudah dingin itu—dengan bekunya.
Dan jika Sasuke boleh menambahkan, dengan segala pesonanya juga.
Seorang Uchiha Itachi.
Atmosfir aneh mendadak membuat Sasuke merinding. Sekompak itukah mereka berniat mengerjai Sasuke sampai-sampai seluruh isi ruangan turut bersikap diam dan tegang, seolah-olah rumor tentang kekejaman gagak hitam itu benar.
Sungguh, jika mereka sedang melucu, ini sama sekali tidak lucu.
"Selamat siang" Suara datar Itachi menggema sempurna. Tanpa ada suara lain sedikitpun. Sedikitpun. "Aku Uchiha Itachi, dosen anda untuk mata kuliah pengantar ilmu hukum. Mungkin ada yang sudah mengenalku—"
Gulp.
Sasuke menoleh. Apa dia baru saja mendengar rekan di samping kanannya menelan ludah? Yang benar saja?
"—yang kuanggap itu sebagai permulaan yang bagus. Karena artinya anda sudah mengerti tentang sistem yang kuterapkan." Itachi melangkah, menciptakan suara ketukan sepatu yang tak kalah menggema di tengah hening, mendekati komplek barisan depan dan terus berjalan. "Untuk permulaan, aku akan menjawab pertanyaan yang mungkin ingin anda ajukan. Silakan angkat tangan bagi yang hendak bertanya"
Lagi-lagi sepi. Beda dengan dosen-dosen sebelumnya yang ramai tanya jawab, tak ada seorangpun saat ini yang bahkan berani menatap Itachi.
Sekali lagi, yang benar saja?
Tapi mungkin mereka cuma canggung. Harus ada seseorang yang cukup dewasa untuk memulai dan mencairkan suasana. Sasuke lalu mengangkat tangan dengan entengnya.
"Aniki, ada berapa—"
BRAKK!
Seisi ruangan terlonjak. Beberapa diantaranya mengelus dada karena jantungnya nyaris melompat keluar. Tak terkecuali Sasuke, yang memang menjadi pusat perhatian saat itu—
—karena Itachi menggebrak mejanya. Keras.
"Siapa yang kau panggil aniki, Uchiha?" Ucap Itachi dengan nada mengancam dan tatapan tajam menusuk.
Sasuke membatu dengan mata terbelalak dan rahang yang hampir jatuh disana.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued
