Sekuel dari First Spring Last Autumn : The Boy's Letter
Cr :
#judul fic = JYJ song (In Heaven album)
#image = google, owner
#characters = Isayama Hajime-sama
= SO THE STORY BEGINS =
..
..
..
Bells on bob tails ring
Making spirits bright
What fun it is to ride and sing
A sleighing song tonight
Oh, jingle bells, jingle bells
Jingle all the way
Oh, what fun it is to ride
In a one horse open sleigh
Lagu itu menggema di hampir semua distrik dalam dinding. Walau salju tidak henti-hentinya jatuh ke bumi selama beberapa minggu, udara dingin rasanya tidak menjadi penghalang bagi para sisa umat manusia untuk merasakan kehangatan bersama keluarga tercinta.
Salju yang kian menebal belum juga mencair dan udara kian terasa dingin karenanya. Lampu-lampu di sudut jalan dan setiap rumah menjadi satu-satunya harapan bagi para pejalan kaki untuk tetap dapat melihat dalam gelap. Berselimut mantel, ear muffs, syal, boots, dan topi berbulu adalah fashion mode ketika hari bersalju datang seperti sekarang dan mereka terpaksa keluar dari kediaman karena suatu urusan. Sungguh, tidak akan ada yang mau benar-benar bermain pada cuaca sedingin itu, bahkan untuk membukakan pintu sekali pun.
Beruntungnya mereka yang masih memiliki rumah sehingga ada udara hangat yang menguap lewat perapian. Beruntungnya mereka yang memiliki uang sehingga bisa menyantap satu piring kalkun bersama keluarga. Beruntungnya mereka yang memiliki orang tua, setidaknya akan ada yang menghibur atau memeluk mereka di cuaca dingin seperti ini. Sungguh beruntung, karena tidak semua orang di dunia yang kejam dan sempit itu memiliki kesempatan untuk beruntung. Bahkan mungkin tidak beruntung sama sekali.
Levi menjatuhkan pinggulnya pada sebuah anak tangga. Tanpa alas kaki, tanpa syal, tanpa ear muffs, tanpa mantel, apalagi topi berbulu. Berbekal satu helai baju tipis dan celana kain yang menempel pada tubuhnya, Levi berharap akan ada sedikit kehangatan dengan duduk di sana. Ia adalah orang yang tidak beruntung malam itu. Tidak ada kalkun di atas meja, tidak ada kehangatan dari perapian, dan tidak ada orang tua. Ia bahkan tidak tahu siapa orang tuanya.
Levi yang kurus dan malang, kelaparan pada malam dingin nan sunyi tanpa ada seorang pun yang peduli padanya. Orang-orang dewasa yang beruntung hanya melewatinya begitu saja seolah ia tidak ada. Jika pun ada yang melihatnya, mereka akan menganggap Levi kecil akan mati pada beberapa jam kemudian dan bukanlah tanggungjawab mereka untuk menolong si calon mayat.
Masa bodoh.
Levi sudah terbiasa dengan tatapan merendahkan ala bangsawan yang orang-orang itu punya. Lebih baik ia mencoba bertahan pada mengerikannya dingin yang menyerang dan kebiruan di tubuhnya daripada mempedulikan tatapan jahat orang-orang ningrat itu.
Perutnya lapar dan sakit. Di dunia Levi yang begitu gelap, ia hanya bisa berharap kalau ia akan bertahan walau tanpa makan hari itu. Dunia memang tidak bisa adil pada semua yang menghuninya.
Di hari spesial seperti Natal sekarang adalah hari yang harusnya membahagiakan bagi Levi. Hari itu ia berulang tahun untuk umurnya yang ke-7. Entah karena dunia tidak adil atau memang dia yang tidak beruntung, Levi tidak memiliki kalkun ataupun merasakan udara hangat. Ia bahkan tidak memiliki rumah. Tidak ada orang tua, ia bahkan tidak tahu siapa nama dan bagaimana rupa mereka. Yang Levi tahu, ia menghabiskan seluruh hidupnya selama enam tahun di biara. Tepat satu tahun yang lalu biara itu dibakar tanpa ada pemberitahuan sekali pun.
Sudah biasa di dunianya.
Pemerintah yang merasa dirinya adalah Tuhan membakar biara itu dengan alasan yang tidak berperikemanusiaan. Demi sebuah wisma pemerintahan, para elit berperut buncit itu tidak ragu untuk membakar satu biara beserta dua puluh anak yatim-piatu di dalamnya. Demi Tuhan, mereka bahkan belum menginjak usia delapan tahun saat semuanya terjadi. Juga ada lima suster dan satu pendeta Katolik yang menjadi korban saat itu. Mereka dibakar hidup-hidup karena monarki yang berkuasa tidak menghendaki adanya agama lain dalam dinding mereka.
Levi menjadi satu-satunya yang selamat dari peristiwa itu. Beruntung, karena ia saat itu diminta seorang suster untuk pergi membeli sebuah roti. Saat ia kembali ke biara, hanya kobaran api yang ia lihat. Levi yang mungil hanya bisa meratapi nasib dengan satu potong roti di tangannya ketika pembakaran itu masih berlangsung.
Ke mana lagi ia harus pergi bergantung? Ia tidak tahu.
Setelah hari mengerikan itu terjadi, sebuah ide berputar di kepalanya tanpa henti. Haruskah ia mempercayai semua ide-ide sang suster dan pendeta yang telah membesarkannya hingga saat itu -teori-teori dan dongeng mereka mengenai Sang Pencipta atau Sang Maha Welas Asih-?
Cih. Apa buktinya?
Sang Welas Asih malah membiarkan semua orang dibakar hidup-hidup. Apa salah mereka hingga mereka merasakan apa yang seharusnya orang-orang jahat rasakan?
Kembali ke dunia Levi di mana ia sudah berusia 7 tahun hari itu.
Ia masih memegangi perutnya yang sakit. Di hari spesial itu bukan kado sweater hangat atau mobil-mobilan yang ia dapat, melainkan amukan massa. Para pedagang memergokinya tengah mencuri satu apel untuk makanannya di hari itu dan terjadilah, penyerangan terhadap kaum minoritas nan kumuh seperti Levi. Di pukul hingga biru, diludahi, ditendang, hingga dijambak. Semuanya bukanlah hal yang baru ia rasakan siang itu. Satu apel untuk mengisi perut tidak pernah ia dapatkan akhirnya. Haruskah ia kembali ke bawah tanah dan mencari katak untuk dimakan –lagi-? Tidak. Ia sudah dua hari berturut-turut memakan katak itu dan tubuhnya yang mungil tidak akan sanggup menahan racun dari katak tersebut lebih banyak lagi. Ia hanya ingin mengganti menu makannya hari itu dengan satu apel agar ia bisa bertahan hidup dan memakan katak lagi keesokkan harinya. Namun apa mau dikata? Levi hanya bisa mengelus perutnya seperti sekarang, mencoba memberi pengertian pada organ-organ pencernaan.
Levi menatap kakinya yang pucat karena udara dingin dengan tatapan tanpa emosi. Ia sudah memiliki tatapan datar itu sejak kecil. Pengalaman hidupnya yang pahit membuat ia sulit berekspresi bahkan ketika ia dipukul sekali pun. Ia mengangkat kepalanya dan melihat ke atas, mencoba memperkirakan kapan salju akan berhenti turun. Tidak bisakah langit berbaik hati padanya -walau hanya sehari saja- agar tidak menciptakan kedinginan seperti sekarang?
Langit tidak memberikan jawaban.
Levi berganti arah pandang dan menatap nanar rumah-rumah hangat di sekelilingnya. Di pupil biru keabuan yang tengah meredup, ia mendapati sebuah pemandangan yang begitu normal -bagi mereka yang beruntung. Di pupilnya ia menangkap satu rumah dengan banyak jendela dan bercat merah –dan cukup besar juga- mengumbarkan isi kegiatan orang-orang yang ada di dalamnya. Ia dapat melihat seorang remaja pirang sedang berkumpul bersama ayah dan ibunya.
Si pirang itu berumur jauh lebih tua. Dengan potongan rambut yang begitu rapi dan senyum lebar yang mengembang di bibirnya, Levi tahu benar kalau anak itu adalah anak yang sangat beruntung. Levi pun yakin bahwa anak itu tidak mungkin menyantap katak beracun seperti dirinya walau hanya sekali.
Levi hanya bisa memandang dingin kehangatan itu. Bagaimanapun, tidak mungkin calon mayat seperti dirinya akan memperoleh kasih sayang seperti yang didapat si remaja pirang tersebut.
"Habiskan makanmu, sayang," ujar seorang perempuan berambut coklat di dalam rumah hangat itu.
"Baik, bu," jawab si remaja pirang.
Baru saja hendak menyuapi dirinya dengan satu sendok sup kentang yang hangat, bocah pirang itu melihat ke luar jendela dan mendapati ada satu anak kecil yang sedang duduk sendiri tidak jauh dari sana.
Remaja pirang itu terdiam memandangi anak berambut hitam yang malang.
"Erwin Smith, ayo habiskan makananmu."
"Baik, bu. Oh iya, boleh aku bertanya, bu?"
Di luar rumah yang hangat, Levi masih meringkuk. Ia mendekap lututnya erat-erat, mencoba menahan rasa sakit, lapar, dan kedinginan yang mendera dirinya. Rasanya mata kecil Levi saat itu sudah hampir menyerah untuk tetap terbuka dan terjaga. Ketika mata itu makin terasa berat, ia mendengar sebuah suara di dekatnya.
"Ini?"
Mata Levi sedikit melebar. Ia melirik ke arah samping kanan dan mendapati ada satu kotak yang diulurkan padanya.
Levi mendongak ke atas, mencoba mencari tahu siapa yang memberikan kotak itu.
"Ini untukmu. Makanlah. Cuaca sedang amat sangat dingin," ujar si remaja berambut pirang yang diketahui bernama Erwin Smith. Dia bicara dengan begitu lembut disertai dengan satu simpul senyum yang amat tulus.
Setelah terdiam cukup lama, Levi menerima kotak itu dan membuka isinya. Levi terkejut bukan main saat ia mendapati isi kotak itu yang begitu spesial. Di kotak itu ia melihat sebuah roti, sup kentang, irisan daging kalkun, coklat, dan apel. Kotak itu merupakan kado pertama dalam seumur hidupnya, baik untuk Natal atau ulang tahun –terserah ia mau menyebut yang mana. Levi merasa sangat senang saat menerima kado itu walau ia masih tidak percaya. Matanya masih terpaku pada isi kotak itu yang terlihat hangat dan nikmat. Ekspresinya masih datar walau hatinya tidak berhenti berkata 'terima kasih' pada si remaja pirang.
Tiba-tiba, remaja pirang itu memakaikan syal hijaunya ke leher Levi. Setelah itu, Erwin memakaikan sepasang sepatu pada kedua kaki kecil yang ada di depannya. Syukurlah, sepatu itu cukup di kaki si bocah berambut hitam.
"Ini untukmu juga. Sampai nanti, ya? Aku masuk dulu." Erwin melangkah pulang menuju rumahnya sementara Levi hanya terdiam memandangi bocah pirang tersebut.
Malam itu, seorang malaikat berambut pirang telah menyelamatkan satu nyawa yang akan menjadi harapan umat manusia nantinya.
..
..
..
Seorang pria Perancis dengan fisik menyerupai adam dari Spanyol membuka matanya sedikit demi sedikit. Pupil biru yang terlampau kecil sepertinya masih ingin terus berselimut kelopak matanya yang cenderung menghitam. Yah, pria itu juga sebenarnya tidak sengaja untuk kembali tersadar setelah beberapa jam tertidur di kantornya.
Kepalanya masih terasa berat dan ia merasa sangat kotor. Entahlah, insomnianya belakangan ini cukup parah. Ia bahkan tidak memerlukan kopi untuk membuatnya sadar selama lebih dari dua puluh jam.
'Suara itu…. ada apa sebenarnya?' gumamnya saat ia sadar. Ia terbangun dari mimpinya karena kegaduhan di luar sana.
Kantornya memang dekat sekali dengan jendela yang dapat menatap ke halaman dalam kastil. Sebenarnya tempat itu adalah tempat yang bagus untuk melihat pemandangan ke luar saat siang hari atau saat musim semi datang. Sayangnya, hari itu adalah awal Februari dan cuaca masih terasa cukup dingin.
Sang pria bangkit dari kursi kerjanya dan memandang ke jendela. Jauh di luar jendelanya ia melihat beberapa partner dan anak buah yang berlarian kesana-kemari, sibuk dengan urusan masing-masing. Ada api unggun menyala membara di tengah halaman itu dan demi apapun, mereka tidak terlihat seperti sedang berkemping atau apa. Bodoh sekali jika mengadakan kemping sedangkan jarak antara tenda dan kastil hanya beberapa meter.
Merasa heran dengan kawan-kawannya yang ada di luar sana, pria bertubuh tegap itu memutuskan untuk mencari tahu sendiri.
'Mengganggu saja, malam-malam begini,' pikirnya agak jengkel.
Di halaman...
"Oh, Leviiii…!" seorang berkacamata menyapa pria bertubuh tegap itu dengan penuh sukacita -seperti biasanya- dari kejauhan.
Yang disapa hanya terus berjalan dengan membawa ekspresi ketidaksukaannya. Yah, ekspresi itu memang ekspresinya sehari-hari, tapi saat itu ia memang tidak suka dengan kegaduhan tak berarti.
"Oi mata empat, ada apa ini?" tanya si pria itu setelah berhadapan dengan perempuan yang menyapanya barusan. Di samping perempuan itu ada seorang tinggi berambut pirang dengan kumis tipis.
"Besok Lucy dan Emily akan datang. Kita sedang melakukan persiapan untuk menyambut mereka!"
"Lucy? Istri Erwin?" Levi bertanya untuk menegaskan.
"Dan Emily, putri pertamanya," tambah Hanji dengan satu telunjuk diangkat ke atas.
Levi menghembuskan nafas panjang. "Lalu? Persiapan apa?" tanya Levi lagi.
"Emily itu alergi debu. Aku tidak tega kalau harus melihatnya bersin-bersin sepanjang waktu. Jadi karena itulah, aku berinisiatif untuk menyuruh semuanya membersihkan kastil. Yah, maaf Levi aku tidak membangunkanmu untuk berpartisipasi. Kau sudah beberapa hari tidak tidur, jadi rasanya tidak tega untuk membangunkanmu tadi."
Levi kembali menghembuskan nafasnya, kali ini lebih kencang. Matanya juga berpendar ke sekeliling.
Hanji terdiam sejenak memandangi Levi.
"Cieee… prajurit terkuat umat manusia benar-benar kuat, ya?! Maksudku semakin kuat!"
Levi melirik Hanji dengan tatapan 'apa maksudmu' miliknya.
"Lihatlah Levi sekarang! Kini ia telah menjadi umat manusia terkuat seutuhnya! Ia bisa bertahan hanya dengan kemeja tipis di udara dingin seperti sekarang! Padahal rasanya baru kemarin ia merengek seperti bayi karena kedinginan." Hanji tertawa sendiri.
Levi memperhatikan perempuan yang ia nilai 'paling tidak normal' itu. "Apa maksudmu? Kau yang aneh, mata empat. Cuaca hangat seperti sekarang kau bilang dingin? Kau mabuk, huh?"
"Hangat?! Levi, kau benar-benar merasa hangat?! Tidak salah?" Hanji tiba-tiba bertanya dengan mimik serius.
"Tch. Ada apa memangnya? Wajar saja kan aku keluar hanya dengan kemeja? Udara hangat sekali sekarang."
Hanji dan Mike saling bertatapan heran.
"Levi, apa kau sakit?" Hanji bertanya sembari memegang kening pria pemarah di depannya.
"Apaan sih?!"
Ketika Hanji melepas tangannya, ia melihat lagi ke arah Mike dengan wajah heran yang lebih-lebih dari sebelumnya.
"Suhu tubuhmu juga normal, Lev. Aneh sekali."
"Apanya yang aneh, huh? Memangnya berapa derajat celcius sekarang?"
Hanji dan Mike masih menatap Levi tidak percaya. "Suhu ruangan mencapai minus lima derajat celcius dan suhu di sini mencapai minus delapan derajat celcius, Levi."
Levi terkejut bukan main. "Jangan mempermainkanku, kacamata…."
"Lev, lihat sekelilingmu," potong Hanji.
Levi sedikit demi sedikit menggerakkan bola matanya. Butuh sekian sekon bagi Levi agar menyadari kalau perkataan Hanji memang ada benarnya. Semua anggota Pasukan Pengintai yang ikut membantu bersih-bersih berpakaian ala fashion musim dingin. Tebalnya sandang yang menempel menandakan kalau cuaca saat itu memang sangat dingin. Hanji dan Mike pun hingga menggunakan syal, topi dan ear muffs.
Jika semuanya merasa kedinginan, mengapa tidak dengan Levi?
