Naruto by Masashi Kishimoto. I don't take any material advantage by writing this story.
Alternate Universe. A long chapter. Multi chapter.
Note: Chapter 1 dan 2 yang sudah dipublikasi disunting kembali, kemudian disatukan dengan lanjutannya di dalam satu chapter.
.
—
Hakikat Patetis
—
.
Musik waltz kontemporer mengalun santai di dalam sebuah studio tari rumahan. Ruangan itu tertutup rapat dari luar, jadi bukan perkara bila volume diatur kencang. Dan kalau merambat keluar pun, rasa-rasanya tak masalah. Musik waltz bukanlah tipe musik berisik yang memekakkan telinga sulit diterima oleh kebanyakan orang. Ini adalah tipikal musik yang tenang, yang akan dipilih untuk diputar di dalam lift, agar penumpang di dalamnya tetap kalem menunggu di ruangan sempit bersama banyak orang sampai ke lantai tujuannya.
Haruno Sakura mengusap dahi menggunakan punggung tangan setelah selesai membersihkan studio tarinya. Dia melirik arloji di tangannya. Masih satu jam sampai kelas dansanya dimulai. Waktu untuk mengganti pakaian dan berdandan masih ada. Dia mematikan musik, memastikan penghangat ruangan memang sudah menyala di musim dingin yang kurang lebih enam minggu lagi, mengumpulkan lap-lap dan gagang pel di dalam satu ember berisi air yang sudah kotor, kemudian menyimpannya di kamar mandi belakang. Setelahnya, barulah dia masuk kamar dan merapikan penampilan.
Suara tubrukan dengan lantai kayu samar-samar terdengar sampai ke kamar Sakura. Rupanya sudah ada yang datang. Jika didengar dari suaranya, pendatang barusan baru saja mengganti alas kaki biasa dengan sepatu dansa. Mengingat derapannya lebih tajam, Sakura berasumsi yang datang adalah wanita.
Ada suara derapan lain yang sedikit lebih halus. Ini pasti suara sepatu dansa lelaki. Ternyata pendatangnya ada dua. Seorang lelaki dan wanita. Mungkin Kakashi dan Shizune, pasangan yang ikut kelas ballroom dance yang diprakarsai Sakura untuk latihan first dance saat menikah nanti. Entah mengapa mereka memilih open class seperti ini daripada privat. Barangkali karena Shizune lebih memilih berguru pada kenalan daripada orang lain.
Tubuh Sakura dilapisi kaus setengah lengan dan rok ringan berlipit banyak. Helaian rambut merah mudanya digelung di belakang, termasuk poni-poninya. Wajahnya dipoles pelembap dan bedak tipis. Bibirnya dilapisi lipstik berwarna natural. Kedua mata hijau beningnya menyusuri kondisi tubuhnya melalui pantulan cermin. Senyum yang tersungging di bibirnya menunjukkan bahwa dia berpikir bahwa penampilannya sudah oke.
Sebenarnya dia tak suka jika rambutnya dibeginikan, karena seolah-olah dia tengah memamerkan jidat lebarnya pada orang-orang. Namun, kegiatannya sekarang adalah kegiatan yang memicu keringat. Rambut basah yang menempel di kening bukanlah sesuatu yang bagus lantaran akan menimbulkan jerawat. Baginya, lebih baik punya jidat lebar, daripada jidat lebar yang berjerawat.
"Hai, Sakura," sapaan memasuki telinga Sakura ketika dia masuk studio melalui pintu dari rumahnya. Sekali lagi dia menatap refleksi melalui cermin yang mengisi salah satu sisi ruangan sebelum mengalihkan pandangan pada penyapa.
Sakura mengangguk singkat dan tersenyum. "Halo, Shizune-neesan," pandangannya beralih pada sang lelaki, "dan Kakashi-san. Wah, kalian semakin kompak, ya."
Shizune tertawa kecil. Sakura pasti mengomentari atasannya dan atasan Kakashi yang sama-sama berwarna biru tua. "Ini kebetulan, kok," katanya.
"Justru itulah yang membuat kalian terlihat lebih kompak." Sakura menyeringai jenaka. Ditanggapi dengan tawa yang lebih kencang dari dua lawan bicaranya.
Sakura melangkah menuju pemutar musik untuk mengeceknya. Dia memastikan bahwa alat itu masih berjalan sebaik sebelum dia mematikannya tadi. Gawat jika tiba-tiba rusak. Yang untungnya sama sekali tidak.
Mendengar suara ketukan sepatu pada lantai kayu, Sakura baru ingat bahwa dia bahkan belum memakai sepatu. Alas kaki yang digunakannya masihlah sandal rumahan yang halus karena bulu. Studio ini adalah bagian dari rumahnya, itulah sebabnya dia sering lupa memakai sepatu. Dia mengatakan sesuatu pada Shizune dan Kakashi sebelum mengambilnya. Dan ketika sudah kembali, isi ruangan ini sudah banyak bertambah.
Sepuluh menit sebelum kelas dimulai. Kenop pintu pada kedua kamar ganti menunjukkan warna merah, pertanda bahwa ruangan itu diisi. Semuanya sudah siap ketika arlojinya menunjukkan pukul sembilan tepat. Sakura buru-buru membuka kelasnya setelah semua orang di dalam ruangan berdiri.
"Berhubung hari ini adalah pertemuan pertama, mari kita saling memperkenalkan diri terlebih dahulu." Sakura menatap satu per satu orang yang berdiri di hadapannya. Meskipun studio tari ini sudah berdiri lebih dari dua tahun, orang-orang yang berdiri di sini adalah bagian dari kelas yang baru dibentuk dua sampai tiga minggu yang lalu. Selama ini Sakura memiliki kebijakan, dia baru akan membuka kelasnya bila pendaftar per gelombang sudah lebih dari lima orang. Dan yang ada di ruangan ini justru melompati angka pembatas itu.
"Namaku Haruno Sakura. Silakan panggil aku Sakura saja. Aku adalah satu-satunya guru dansa di sini, sekaligus pemilik Flower Petal Dancing Studio. Mohon bantuannya." Sakura tersenyum manis sebelum membungkuk singkat. Matanya melirik ke seseorang yang berdiri di ujung kanan barisan. "Sekarang bagian kalian yang memperkenalkan diri. Silakan, dimulai dari ujung sana."
Sembilan orang yang berdiri di barisan acak itu memperkenalkan diri secara bergantian. Sakura tahu dia tak akan langsung ingat nama semuanya, dan begitulah kenyataannnya. Yang menempel di benaknya—selain Shizune dan Kakashi yang sudah Sakura kenali sebelum ini—hanyalah orang yang pertama dan terakhir memperkenalkan diri. Rei Gaara dan Miko Shion.
"Oke, berarti jika suatu hari nanti kita bertemu di jalan, kita sudah bisa saling menyapa, ya?" gurau Sakura, meskipun dia sendiri akan agak segan karena lupa nama. Kemudian nada bicaranya berubah menjadi lebih serius ketika mengucap intro menuju kelas dansanya. "Kalian akan dianggap sebagai performer, apa pun tujuan untuk mengikuti kelas ballroom dance di sini. Entah itu untuk kompetisi, mengisi waktu, undangan pernikahan, dan lain-lain. Semuanya sama, performer."
Kata-kata Sakura ditanggapi oleh keheningan dan anggukan-anggukan tanda paham.
"Kita mulai dari pemanasan, ya," kata Sakura sembari mendorong dagunya ke atas. Diikuti oleh rangkaian gerakan pemanasan lainnya.
Setelah selesai, dia meminta lelaki untuk berdiri di sisi kanan, sementara wanita berdiri di sisi kiri. Itu akan memudahkannya untuk memberi petunjuk nanti. Mulai memasuki teknik paling dasar dalam berdansa, Sakura memberi contoh postur tubuh yang baik itu seperti apa. Kebetulan lelaki dan wanita sama. Berdiri tegak, bahu ditarik sedikit ke belakang, dagu lurus, kaki dibuka kurang lebih tiga puluh sentimeter, dan sementara kedua lengan dibuka mendekati sembilan puluh derajat tanpa pegangan.
Dia mengecek posturnya satu per satu, kemudian melanjutkan ke langkah selanjutnya. Beri contoh, cek, lanjut. Seperti itulah putaran kegiatan di setiap langkahnya.
Langkah terakhir secara individu adalah menggerakkan kaki membentuk pola kotak dengan hitungan 1-2-3. Sakura mengeceknya satu per satu sembari menghitung jumlah insan di dalam ruangan. Tiga lelaki dan enam wanita, dirinya tak dihitung. Seharusnya total ada sepuluh orang. Di tengah kebingungannya, Sakura menangkap eksistensi seseorang di sudut ruangan yang sedari tadi terabaikan seluruh indranya.
Sakura menatap sosok lelaki yang berdiri di sudut ruangan sendirian. Dia ingat semua orang yang diberinya instruksi mengenai langkah berdansa, dan dirinya sangat yakin bahwa lelaki di sudut ruangan itu bukanlah salah satu dari kepingan ingatannya. Namun, terlepas dari kelas dansa hari ini, entah kenapa lelaki itu tampak familier di matanya.
Melawan arus, Sakura tak menatap lelaki itu dengan pandangan mendamba seperti yang beberapa wanita lain curi di tengah latihannya sedari tadi. Sakura akui dalam hati bahwa secara fisik lelaki itu memang enak dipandang. Gerak-geriknya tampak tenang, tidak sembrono, sehingga memberi kesan keren. Akan tetapi, yang menonjol baginya bukanlah ketampanan atau kekerenan orang itu. Dia merasa lelaki itu akrab, tetapi bukan dalam artian dekat. Familier, padahal dirinya yakin hari ini adalah kali pertama mereka berjumpa.
Sakura menahan pandangan pada sosok yang tengah membaca buku itu, mencari-cari jawaban dari kefamilieran yang terasa di hatinya. Cukup lama, hingga mungkin lelaki itu secara psikis merasakan bahwa dia tengah diperhatikan. Ketika mata Sakura bertemu dengan mata hitam milik objek atensinya, jantungnya berdebar kencang karena malu telah tertangkap basah. Alih-alih memalingkan pandangan untuk menyelamatkan harga diri, Sakura justru berlagak keren dengan mengulas senyum dan mengikis jarak yang terbentang di antara keduanya.
"Halo, Tuan," sapa Sakura, mencoba tetap tenang walaupun detak jantungnya masih menggila. "Kurasa kau tidak pernah turun ke lantai dansa sedari tadi. Apa kau datang ke sini hanya untuk menunggui seseorang, atau bagaimana?"
Aksi penyelamatan diri dari perasaan malu karena tertangkap basah telah berhasil. Sakura merasa lega setengah mati. Dia bersyukur otaknya mampu menyusun strategi yang membuat memerhatikan lelaki beriris hitam ini terdengar masuk akal dengan cepat.
"Aku datang kemari bukan untuk belajar berdansa. Silakan lanjutkan kelasmu, Nona," jawab lelaki itu dengan nada datar. Setelahnya, dia langsung mengalihkan pandangan pada buku yang dipegangnya tadi.
Sakura menganga tak percaya. Bukankah lelaki ini secara tak langsung meminta untuk tidak diganggu? Itu wajar jika ini adalah tempat umum. Namun, ini adalah kelasnya! Sakura adalah tuan rumahnya di sini! Dan kejadian barusan diperparah oleh lelaki itu yang bertindak tak sopan, seolah-olah tak menghargai Sakura dengan cara langsung kembali membaca.
Sabar, Sakura, batinnya. Sabar.
"Tapi ini adalah studio tari. Kelas berdansa," katanya setelah menghela napas panjang. "Bisakah kau jelaskan apa maksudnya kau datang kemari bukan untuk belajar berdansa? Menunggui seseorang, atau apa?"
"Aku dipaksa datang kemari. Kameraku disita. Dan satu-satunya cara agar kameraku kembali adalah mengikuti kelas dansa di sini." Lelaki itu mendengus kesal, kemudian menegakkan tubuh yang sebelumnya menyandar. Tajam matanya ketika menatap Sakura. "Sekarang, bisakah kita kembali pada urusan masing-masing? Orang-orang di sini lebih suka kau ada di dekat mereka untuk melatih, daripada ada di dekatku untuk berbincang santai."
Kepalan tangan Sakura mengerat. Ini bukanlah pertama kali dia menghadapi seseorang yang terpaksa datang kemari. Namun, sebelumnya tidak ada yang bersikap semenyebalkan lelaki ini. Orang-orang terpaksa yang lain tetap menghargainya sebagai guru, berbanding 180 derajat dengan orang congkak di hadapannya.
Sakura mengatur napas, tak memberi kesempatan pada emosi untuk meledak-ledak. Lebih baik dia tak menganggap eksistensi lelaki ini agar kelasnya bisa berjalan lancar. Toh dia pun tak rugi, bahkan beruntung karena tetap dibayar sebagai guru dansa meskipun lelaki itu hanya numpang berteduh. Namun, sebelum dia memutar tubuh, melintas sebuah rekaman memori di benaknya. Tentang wanita berambut merah yang mendaftarkan seorang lelaki ke kelasnya minggu lalu.
Dia ingat wanita itu mewanti-wanti untuk memaksa lelaki yang didaftarkannya belajar dansa di sini, bukan sekadar setor muka. Wanita itu juga titip pesan, jika orang yang didaftarkannya melawan, katakan saja bahwa dia akan tahu akibatnya. Dan Sakura pun diminta untuk mengabari apabila lelaki itu melawan. Entah mengapa Sakura merasa orang yang dimaksud adalah lelaki ini.
"Kau Uchiha Sasuke?" tanya Sakura. Dia sengaja mengingat nama calon performer yang baru didaftarkan itu supaya lebih mudah menjalankan amanat yang dipegangnya. Dia merutuki diri karena tak terpikir tentang ini sejak awal.
Kali ini, lelaki itu tak hanya menurunkan bukunya, melainkan langsung menutupnya. Dia menatap Sakura dengan alis yang terangkat, tampak curiga. "Siapa kau?" tanyanya sengit.
Sakura merotasikan kedua bola mata mendengar tanggapan dari lawan bicaranya. Meskipun lelaki ini tak menjawab apa-apa, tetapi gerak-geriknya barusan mengindikasikan sebuah jawaban.
"Kuanggap itu sebagai iya," tanggap Sakura. Dia menekan bibir agar tertahan dari membentuk seringai. Ternyata dia punya cara lain untuk melampiaskan kekesalannya. "Orang yang mendaftarkanmu titip pesan, kalau kau datang hanya untuk setor muka, maka kau akan tahu akibatnya."
Sasuke mendecih. "Dia mana tahu."
"Aku yang akan memberi tahu, tentu saja. Aku punya kontaknya." Kali ini Sakura tak kuasa untuk menekan bibirnya. Terbentuk senyum yang entah seperti apa kelihatannya.
"Dan mengapa ini urusanmu?"
Sakura mengangkat bahu, pura-pura tak acuh. "Bagaimana lagi, ini sudah menjadi amanat yang harus kujalani."
"Sial." Wajah Sasuke memasam.
"Oops, maaf, Sasuke-kun," Sakura berucap dengan nada mengejek yang dibuat sangat implisit, "Aku tidak mengizinkan umpatan di kelasku."
Sasuke bergeming, tak menanggapi apa-apa.
"Mulai sekarang, kau adalah performer." Sakura tersenyum puas. Dia akan menekankan pada Sasuke siapa yang berkuasa di sini sehingga lelaki itu tak seenaknya lagi. Matanya melirik ke arah buku yang masih Sasuke pegang. "Dan tidak ada performer yang memegang buku selama berdansa."
Sasuke semakin menajamkan sorot matanya, tetapi menuruti perintah implisit dari Sakura dengan cara menaruh bukunya. Dia buru-buru melangkah mundur dan melempar tatapan tak suka ketika Sakura menyentuh dagunya.
Sakura tertawa kecil. "Performer memang harus mengangkat dagu, tapi kau mengangkat dagumu terlalu tinggi."
Sasuke mendengus dan menurunkan dagunya. Ketika Sakura menyentuh dagunya yang kedua kali, dia tak menarik diri lagi. Ujung jari telunjuk Sakura mengangkat dagunya lagi sedikit, sepertinya tadi Sasuke menariknya terlalu dalam.
"Bagus. Sekarang tarik pundakmu ke belakang, tapi tubuhmu tetap tegak."
Lagi, Sasuke mengikuti tanpa berkata apa pun. Meskipun Sakura memang menangkap keluhan-keluhan dari bahasa tubuhnya.
"Tunggu, tunggu. Sejak awal masuk studio, kau langsung diam di sini?" tanya Sakura setelah mengingat sesuatu.
"Ya."
"Belum mengikuti kegiatan?"
Sasuke menggeleng.
"Sama sekali?"
"Aa."
"Oh, astaga," desah Sakura. Dia bisa melihat betapa terpaksanya Sasuke melangkahkan kakinya kemari. "Kalau begitu kau perlu pemanasan dulu. Lakukanlah sendiri, aku harus mengecek yang lain. Jika sudah selesai aku akan memberi petunjuk lebih lanjut."
"Pemanasan?"
"Ya, pemanasan seperti olahraga." Sakura memutar tubuh dan melangkah, kemudian menengok ke belakang. "Kau tahu, memutar leher, melipat tangan, melipat lutut kemudian mengangkatnya, dan semacamnya."
Sakura kembali mengecek performer yang lain. Beberapanya sudah mulai melakukan gerakan dengan baik, terutama para lelaki. Ini cukup mengejutkan, karena berdasarkan pengalaman, biasanya lelakilah yang lebih sulit, lantaran antusiasme yang kebanyakan dari mereka miliki untuk hal semacam ini biasanya minim.
Sakura mencoba berdansa dengan mereka satu per satu. Mengoreksi kesalahannya hingga nyaris melenyap, kemudian meminta para wanita secara bergantian berdansa bersama juga. Kecuali bagi orang-orang yang belum lancar secara individu. Dan selama melakukan semua itu, ekor matanya selalu tertuju pada Sasuke. Masih mencari-cari mengapa lelaki itu terasa familier sekaligus mengawasi apakah pemanasannya sudah selesai atau belum.
Dan ternyata sudah. Sakura masih menatap lelaki itu diam-diam. Memastikan apakah dia mau berinisiatif dan memutuskan untuk bergabung dengan yang lain. Hasil pengamatannya adalah negatif. Hal itu membuat Sakura mengembuskan napas berat dan menghampiri Sasuke.
"Apa kau tadi memerhatikan aku saat mencontohkan bagaimana posisi tubuh yang baik?" tanya Sakura.
"Tidak."
Sakura menggertakkan giginya gemas hingga tak sengaja menggigit bagian dalam mulut. Dia mencontohkannya sekali lagi, langsung diikuti oleh Sasuke. Diperbaikinya kesalahan-kesalahan yang lelaki itu lakukan.
"Hitungannya adalah 1-2-3," tutur Sakura selanjutnya, sembari menepuk tangannya tiga kali. "Terapkan itu di hatimu. Buatlah pola kotak dengan gerakan kakimu. Coba langsung praktikan. Kaki kiri dilangkahkan ke depan, itu hitungan pertama. Hitungan kedua, kaki kanan digeser ke depan membentuk siku. Hitungan ketiga, satukan lagi kakimu. Nah, bagus, begitu. Selanjutnya mundur dengan pergerakan yang sama."
Sakura diam dan memerhatikan. Sudut bibir Sakura terangkat, senyumnya ditahan melihat raut muka dan pergerakan Sasuke yang saling berkontradiksi. "Untuk seseorang yang tidak berniat, kau melakukannya dengan sangat baik," komentarnya.
Sasuke mengerang, dan kali ini Sakura benar-benar tak bisa menahan senyumnya. Dia menyentuh perpotongan antara lengan dan bahu Sasuke menggunakan tangan kirinya, membuat lelaki itu langsung menarik diri. "Aw, kau sensitif sekali," kekehnya. "Tenanglah, aku bukan mau macam-macam. Peranku masih guru dansamu."
Sakura mengulangi pergerakannya lagi, ditambah dengan mengangkat lengan kanannya membentuk sudut 90 derajat. Dia meminta Sasuke menaruh tangan kiri di tangan kanannya dan tangan kanan di tulang belikatnya. Diperbaikinya ketika merasakan Sasuke melakukan kesalahan lagi.
Dan ketika posisinya sudah mendekati sempurna, napasnya tertahan begitu saja, tanpa alasan yang dimengerti. Sakura mengangkat dagu dan memandang wajah Sasuke sekali lagi. Benar, lelaki ini memang enak dipandang. Susunan dari mata hitam tajam, hidung bangir, pipi yang proporsional, rahang tegas, dan bibir tipis menayangkan sosok yang rupawan. Kentara sekali bahwa rambut hitam mencuatnya adalah tipikal rambut yang sulit diatur, tapi itu tak membuatnya lebih buruk. Ditambah lagi, dia punya bulu mata yang cantik (ya, cantik). Ah, bahkan Sakura tak punya bulu mata secantik itu. Dan kefamilieran yang dirasa di dalam hatinya semakin memekat.
Sasuke sama sekali tak mau menatap Sakura. Yang ditatapnya adalah objek yang ada di belakang wanita itu. Dan ketika pandangan mereka saling bersinggungan, Sasuke mengernyit tak suka dan berucap sinis, "Apa?"
Sakura menahan diri dari salah tingkah. Dia harap pipi panasnya tak merona merah sekarang. Berdeham untuk tetap tampak keren, Sakura tersenyum penuh percaya diri. "Tidak apa-apa," kilahnya. "Senyum, dong. Jangan seperti grumpy cat begitu. Nanti pasanganmu lari."
"Memang itu tujuanku."
Tawa terlepas dari bibir Sakura. Untung saja Sakura selalu memakai penyegar napas sebelum kelasnya dimulai. Dalam jarak sedekat ini, napas tak sedap bukanlah hal yang bagus bagi pasangan.
"Ugh, aku sangat ingin lari. Tapi amanat yang diberikan padaku melarang. Sayang sekali." Ah, rasanya Sakura mulai menikmati menggoda lelaki itu. Semakin Sasuke memberi respons tak menyenangkan, semakin Sakura ingin terus mengganggunya. "Bergeraklah seperti tadi. Meskipun aku gurunya di sini, tapi tetap saja dalam berdansa, lelaki yang memimpin langkah."
Sasuke mulai membuat pola kotak dari gerakan kakinya. Terlalu cepat.
"Hei, hei, tenang. Dengarkan, 1-2-3, 1-2-3," ujar Sakura. Secara refleks tangan kirinya menepuk bahu Sasuke tiga kali ketika dia berhitung.
"Bagus sekali. Sekarang lakukan gerakan memutar."
"Memutar?"
"Ya, memutar."
"Tidak. Begini saja."
"Ayolah, Sasuke-kun. Demi kameramu," bujuk Sakura.
Seperti termotivasi, Sasuke mencoba bergerak lebih dinamis dengan dorongan Sakura. Yang sebelumnya pola kotak itu hanya diam di satu tempat, kini pola kotak dibentuk sembari memutar. Seperti planet yang berotasi, sekaligus berevolusi.
Sakura melepas tangannya dari Sasuke ketika lelaki itu sudah berada di dalam jangkauan untuk berbaur dengan yang lain. Dia meminta salah satu wanita yang masih belajar individu sedari tadi untuk berpasangan dengan Sasuke. Sakura tak melewatkan tatapan tertajam yang pernah Sasuke lempar untuknya semenjak bertemu, dan Sakura hanya merespons dengan senyum lebar, kemudian mengucapkan, "Demi kameramu," tanpa suara. Dua kata itu bukanlah ancaman, tapi Sakura secara tersirat menggunakannya untuk mengancam. Dia benar-benar menikmati kendalinya saat ini.
Kalau tadi semua berdansa di bawah hitungan 1-2-3, kini naik level menjadi berdansa diiringi musik waltz kontemporer yang baru Sakura putar. Dia tak ikut berdansa kali ini, hanya mengawasi. Karena jumlah wanita lebih banyak dua orang dari jumlah lelaki, Sakura selalu mengingatkan untuk bergantian.
Musik waltz berpaduan dengan ketukan sepatu dansa di lantai. Ah, Sakura baru sadar, belum semuanya menggunakan sepatu dansa. Dia menulis catatan mental untuk memberi tahu sebelum kelasnya selesai. Memakai sepatu dansa untuk latihan bersifat disarankan, bukan harus. Karena sepatu dansa tidak licin seperti alas kaki biasa. Tergantung kenyamanan masing-masing saja. Dia tak akan memaksa karena harga sepatu dansa memang tak murah.
Melihat semuanya sudah mulai menguasai dasar dengan baik adalah hiburan besar bagi Sakura. Akan tetapi, melihat tekukan wajah Sasuke yang semakin dalam adalah hiburan yang jauh lebih besar.
Kelas sudah selesai. Setelah memberi tahu perihal sepatu dansa, Sakura menutup kelasnya. Ada yang langsung membubarkan diri, ada juga yang mengganti pakaian terlebih dahulu. Melihat Sasuke masih ada di sekitar, Sakura memutuskan untuk membunuh rasa penasarannya.
"Hei, Sasuke-kun," meskipun awalnya panggilan itu digunakan untuk menggoda semata, tetapi sekarang terasa sudah menempel di lidahnya, "apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Sasuke mengangkat alis, tampak heran. Dia terdiam sebentar sampai menjawab, "Tidak." Setelahnya dia memutar tubuh dan melangkah menuju pintu keluar. Samar-samar, Sakura mendengar Sasuke menggumam ragu, "... kurasa." Dan itu membuatnya melebarkan kedua mata.
.
—
.
Uchiha Sasuke membuka penutup lensa kameranya ketika memijak persimpangan jalan. Dia mengangkat kameranya sejajar dengan wajah untuk membidik jalanan yang ramai. Satu kali pengambilan gambar rasanya tak cukup, setelah Karin, sepupu menyebalkannya, menyita benda yang sulit lepas dari tangannya ini.
Karin bahkan terlambat mengembalikannya. Sesuai perjanjian, seharusnya kamera ini sudah kembali sejak kemarin. Sepulang dari kelas dansa, Sasuke menunggu kedatangan Karin ke apartemennya sampai malam. Namun, wanita itu tak datang. Saat dihubungi pun ponselnya tak aktif.
Kamera itu baru kembali sekitar pukul tiga tadi. Karin beralasan lupa. Hari ini kantor tempat Sasuke bekerja memiliki acara perayaan ulang tahun perusahaan, bukan jadwal kantoran biasa, sehingga seluruh karyawannya memiliki jadwal pulang yang lebih cepat. Kalau tak pulang lebih cepat, entah kapan dia bisa menyentuh kameranya itu lagi. Atau mungkin Karin akan menitipkannya pada tetangganya, entahlah.
Awalnya Sasuke tak mau meladeni ancaman Karin yang berisi tentang kamera itu tak akan kembali jika Sasuke masih tak mau menjadi pasangan dansanya di pernikahan teman dekat Karin bulan April nanti. Namun, membayangkan kameranya jauh dari tangannya membuatnya mengerang. Alasan tak bisa dansa tak Karin terima, karena dia langsung mendaftarkan Sasuke ke studio tari yang paling dekat dengan lingkungan apartemennya. Flower Petal Dancing Studio.
Sasuke ingat, saat Karin baru mendaftarkan dirinya ke kelas dansa Sakura, wanita itu bilang, "Seharusnya kau berterima kasih padaku! Setidaknya kau akan punya dunia selain laptop-mu."
"Ya, aku punya," balasnya sengit. "Dan itu tak akan bisa kulakukan tanpa kameraku."
Karin memutar bola matanya. "Programmer, fotografi, pekerjaan dan hobimu itu sama-sama membuatmu introvert, tahu. Mungkin tidak untuk orang lain, tapi untukmu, ya, seperti itu. Aku bahkan tak pernah lihat kau bergaul atau hangout. Percayalah, kelas dansa akan menyenangkan!"
"Tidak untukku," tanggap Sasuke lagi. Dia mendecak melihat Karin mengalungkan kameranya di leher.
"Selama kamera ini ada di tanganku, kau perlu mencari hobimu yang lain, duniamu yang lain. Dan kelas dansa inilah pilihan paling tepat. Sudah, ya. Aku pulang dulu. Dah, Sasuke!" Kemudian Karin buru-buru menutup pintu apartemen sebelum Sasuke bereaksi.
Keheranan melanda Sasuke karena dia tahu Karin punya pacar. Kalau memang pacar Karin tak mau berurusan dengan dansa, sama seperti Sasuke, kenapa Karin tak melakukan strategi yang sama seperti yang diterapkan pada Sasuke untuk pacarnya?
Terserah. Yang penting saat ini kameranya sudah kembali. Meskipun saat mendekati hari kelas dansa selanjutnya nanti, kameranya akan disita lagi, dan baru akan dikembalikan jika Karin tak mendengar laporan macam-macam dari Sakura. Saat ini Sasuke sedang memikirkan bagaimana caranya agar Karin tak dapat menemukan kameranya hingga tak bisa disita sama sekali.
Lampu lalu lintas untuk para penyeberang jalan sudah berwarna hijau. Sasuke melangkahkan kakinya bersama segelintir orang yang menunggu bersamanya di pinggir jalan tadi. Destinasinya adalah salah satu perpustakaan paling lengkap di kota Tokyo. Hanya tinggal dua blok dari tempatnya berpijak saat ini.
Pintu perpustakaan tujuannya sudah ada di depan mata. Sasuke melangkah ke dalam dengan kamera berwarna coklat gelap yang mengalung di lehernya. Beberapa langkah setelah melewati meja administrasi, Sasuke merasa namanya dipanggil. Apakah ada yang mengenalnya di sini?
"Hei, Sasuke-kun!"
Suara itu! Mendengarnya membuat Sasuke malas memutar tubuh karena khawatir dugaannya benar. Ternyata memang benar. Yang memanggilnya barusan adalah Sakura. Guru dansa menyebalkan yang akhir-akhir ini baru ditemuinya.
Wanita itu duduk di balik meja administrasi. Itu mengejutkan mengingat suaranya kencang saat memanggil tadi. Bukankah biasanya pegawai perpustakaan benci suara berisik?
Sakura mengetuk-ngetuk papan peringatan. Telunjuknya mengarah pada gambar kamera yang diberi tanda silang. Oh, tidak. Kamera ini belum sampai satu jam ada di tangannya, dan sekarang harus berpindah tangan lagi?
"Maaf, kali ini aku yang harus menyita kameramu," kata Sakura dengan nada menyesal yang dibuat-buat. Entah mengapa Sasuke merasa bahwa wanita ini memang sengaja menggodanya.
"Padahal kalau kau membawa tasnya tak masalah, lho. Tinggal dimasukkan saja. Tapi aku tak melihat kau membawa tas."
Bagaimana bisa membawa tas jika Karin hanya memberikan kameranya saja? Memang, sih, sejak awal Karin hanya menyita kameranya saja. Tanpa perangkat pelengkap lainnya.
Sasuke mendecak kesal dan melepas kalungan kamera dari lehernya. Dia menyerahkan kamera itu pada Sakura.
"Kau tidak perlu masuk kelas dansa agar kamera ini bisa kembali," kata Sakura. Kemudian dia menyerahkan kartu tebal berwarna kuning terang, dengan angka dua puluh yang tercetak di sana. "Cukup mengembalikan kartu ini saja."
Tak berniat menanggapi apa-apa, Sasuke langsung memutar tubuh dan meninggalkan Sakura. Dia memasuki segmen fotografi. Buku yang dicarinya adalah buku mengenai variasi fotografi yang baru terbit sekitar enam bulan yang lalu. Buku itu sudah habis hampir di semua toko buku yang Sasuke kunjungi. Di beberapa situs online pun sama. Mengingat perpustakaan ini cukup lengkap, Sasuke yakin buku itu sudah ada di sini dan bisa dia pinjam.
Keberuntungan sedang berpihak padanya. Tak butuh waktu lama sampai buku itu ditemukan. Dia meraihnya, membacanya sekilas, kemudian memutar rak buku di sana. Mencari lagi siapa tahu ada buku yang dia butuhkan atau ingin dibacanya. Dan buku yang ada di tangannya kini bertambah menjadi tiga.
Merasa tak membutuhkan apa-apa lagi, Sasuke melangkah menuju meja administrasi. Sebenarnya Sasuke malas, karena akan bertemu Sakura yang mungkin akan menggodanya lagi. Namun, mau bagaimana lagi? Dia tak bisa keluar dengan tiga buku ini jika tak melewati Sakura. Yah, mau tidak mau.
"Kau belum menjadi member di sini, ya?" tanya Sakura tanpa memutus pandangan dari layar komputer.
"Belum."
"Ada fotokopi kartu tanda pengenal?"
Sasuke merogoh sakunya dan mengambil dompet. Fotokopi kartu tanda pengenalnya diberikan pada Sakura.
"Wah, ternyata kau lebih tua dua tahun dariku," kata Sakura setelah melihat tahun lahir Sasuke yang menyatakan bahwa umurnya dua puluh delapan tahun bulan Juli nanti. "Apa aku harus mengganti nama panggilanku padamu?"
Sasuke mendengus. "Apa itu penting?"
Sakura terkekeh. "Ya sudah, kalau begitu aku tetap memanggilmu Sasuke-kun saja, ya."
Sasuke tak menanggapi apa-apa. Dia masih menunggu suara printer yang tengah mencetak kartu anggotanya berhenti. Sakura mengguntingnya menjadi seukuran KTP setelah cetakan selesai.
"Ini kartu anggotamu, dan ini bukunya." Sakura menyerahkan benda-benda yang disebut pada Sasuke. "Waktu peminjamannya adalah satu minggu. Kalau telat dikembalikan, akan ada denda. Silakan."
Sasuke menaruh kartu kuning tebal di atas meja. Suaranya cukup keras hingga Sakura mendesis menenangkan. Sasuke mendengus mendapati tanggapan itu, padahal tadi Sakura memanggil namanya lebih keras daripada suara ketukan kartu.
"Apa?" kata Sakura heran.
"Kameraku."
Sakura membekap mulutnya. "Oh, astaga. Aku lupa. Kau kasihan sekali. Sepertinya kamera itu baru kembali padamu hari ini, dan aku malah lupa mengembalikannya padamu."
"Cepatlah," tekan Sasuke sengit.
"Iya, tenang dulu. Nah, ini dia," kata Sakura sembari menyerahkan kamera yang cukup berat di tangannya. "Senang bertemu denganmu lagi, Sasuke-kun. Dan sampai jumpa lagi."
Dan sampai jumpa lagi. Ah, benar. Setelah ini dia masih harus bertemu dengan Sakura secara rutin sampai kurang lebih tiga bulan ke depan. Mimpi apa dia harus bertemu wanita lain yang sama menyebalkannya dengan Karin? Karin jadi terdengar lebih menyebalkan saat ini. Karena Karinlah yang membuat Sasuke bertemu seseorang semenyebalkan Sakura.
Sasuke boleh saja merutuk. Padahal, saat dia mengembalikan buku dan yang duduk di balik meja bukanlah Sakura, lehernya berputar untuk mencari eksistensi wanita itu tanpa disadarinya. Memang, seseorang yang menyebalkan menanam kesan yang lebih mendalam daripada seseorang yang dinilai baik. Dan sepertinya hal tersebut berlaku pada presensi Sakura di dalam hidup Sasuke. Atau mungkin lebih dari sekadar itu.
.
—
.
Langkah pertama adalah yang tersulit. Kata-kata motivasi tersebut tak bisa lebih Sasuke setujui. Sebenarnya Sasuke lebih memilih menenggelamkan kaki ke dalam sepatu kets kemudian melakukan olahraga lari di minggu pagi, daripada beralas kaki sepatu dansa kemudian berdansa ke sana kemari. Hal tersebut masih berlaku hingga sekarang sekalipun pertemuan kelas dansa kedua sudah tak semenyebalkan yang pertama. Rasanya kelas dansa tak akan pernah menjadi prioritasnya jika tak ada penyitaan kamera.
Sasuke sempat browsing di internet mengenai lelaki yang ikut kelas dansa. Menurut perspektifnya, lelaki yang suka berdansa itu kurang jantan. Ditambah lagi kenyataan bahwa lelaki di kelas dansa Sakura memang lebih sedikit (meskipun hanya berselisih dua orang), menunjukkan bahwa barangkali orang yang memiliki pendapat seperti itu bukanlah dirinya saja. Namun, hasil-hasil dari pencariannya berkata sebaliknya. Tak sedikit orang yang mengatakan bahwa ballroom dance itu keren, baik dilakukan oleh pria maupun wanita. Tidak ada diskriminasi gender dalam masalah ini.
Bukan berarti karena Sasuke merasa dirinya ingin keren sehingga berhenti mengeluh. Hanya saja, hasil pencarian yang menggagalkan persprektifnya cukup untuk membuatnya lega. Setidaknya dia tidak kurang jantan seperti apa yang dia dakwa pada para lelaki yang berdansa. Dan jika suatu hari nanti dia menikah dan mengambil konsep kebarat-baratan seperti tendensi masa kini, mau tidak mau dirinya pun harus bisa berdansa, setidaknya untuk first dance saja.
Pandangannya terhadap dansa sudah tidak semiring sebelumnya. Dan itu cukup untuk membuat mimik mukanya tak lagi memberungut di pertemuan yang ketiga.
Sakura melangkah mendekati pemutar musik. Sebelum menyalakannya, dia meminta perhatian dari semua orang di dalam kelas dansanya sejenak. Telapak tangannya berhenti saling menepuk setelah semua orang menghentikan gerakan. Bibirnya mengulas senyum sebelum berkata, "Saat musik diputar, jika hampir bertabrakan, selalu ingat untuk memberi tanda." Dua detik setelahnya, musik waltz menggema di dalam ruangan tersebut.
Tatapan Sasuke belum terlepas dari Sakura ketika wanita itu melirik ke arahnya. Dia langsung membuang mata dan berdiri kaku di tempatnya berpijak, sementara yang lain sudah mulai berdansa. Beberapa wanita yang mengajaknya untuk berpasangan tak diacuhkan, karena rasanya benar-benar canggung. Sampai akhirnya Sakura memangkas jarak yang terbentang di antara mereka.
"Sasuke-kun," Sasuke menoleh mendengar namanya dipanggil. "Terakhir gerakan memutarmu belum bagus, jadi kau masih harus berlatih."
Sasuke hanya bergeming mendengar teguran halus dari Sakura. Tangan kirinya otomatis diangkat, lengannya dibuka 90 derajat ketika Sakura menyentuh perpotongan lengan dan bahu kanannya. Mereka sudah membentuk posisi dansa yang sesuai. Dan Sasuke menyadari bahwa hanya saat dengan Sakuralah dia tak merasa secanggung itu. Mungkin karena Sakura memang gurunya, atau karena Sakura adalah satu-satunya orang yang pernah berinteraksi banyak dengannya di sini, atau kedua-duanya.
"Searah jarum jam," kata Sakura. Dia menarik napas panjang.
Sasuke baru saja mau menggerakkan kakinya sebelum tubuhnya membeku karena adanya hujan lokal yang membasahi wajahnya. Kedua matanya melebar ketika menyadari bahwa Sakura baru saja bersin. Tepat di wajahnya. Dan hal tersebut terulang sampai dua kali lantaran wanita itu tak sempat menutup mulutnya.
Sakura langsung menarik diri dan membekap mulutnya. Terlambat, desis Sasuke dalam hati. Dia masih menatap Sakura dengan pandangan tak percaya. Ingin dia menyeka wajahnya yang masih terasa basah, tetapi ragu harus menggunakan apa. Tak mungkin menggunakan pakaiannya, bukan? Intensitas pandangan tak percayanya semakin tinggi tatkala melihat Sakura memutar tubuh dan berlari masuk ke dalam rumahnya. Hal tersebut membuat semua orang berhenti berdansa dan melabuhkan pandangan pada Sasuke yang masih berdiri kaku, dengan wajah basah, di tengah-tengah ruangan. Dia sama sekali tak tertarik untuk menjelaskan apa yang terjadi pada orang lain.
Suara pintu yang terbuka kembali memutuskan pandangan orang-orang terhadap Sasuke. Sakura melangkah terbirit-birit dengan sehelai sapu tangan putih di tangannya. Dia mendekati Sasuke kemudian mengernyitkan hidungnya lagi. Sebelum kembali bersin, dia sempat mundur dan menutup mulut menggunakan lengan. Bahu yang terangkat membuat Sasuke berasumsi bahwa Sakura tengah menahan napasnya.
"Astaga, maaf, Sasuke-kun," kata Sakura sembari menyeka wajah Sasuke. Sasuke tak diam. Dia langsung mengambil alih sapu tangan itu dan menyeka wajahnya sendiri. "Yang tadi benar-benar tak terduga, sungguh! Hidungku gatal setiap kali aku dekat—hatcih!"
Kali ini tak kena lagi. Sakura menangkup kedua sisi pipinya sendiri. "Astaga, ini sangat memalukan!" keluhnya pelan. Sepelan-pelannya, suara itu masih menabuh gendang telinga Sasuke.
Hidung Sakura mengerut lagi. Kali ini Sasuke yang antisipasi dengan cara langsung mundur. Sepertinya hidung Sakura sensitif pada sesuatu yang tengah digunakannya sekarang. Benaknya langsung menggagas parfum. Benar, parfum yang digunakannya hari ini berbeda dengan yang dipakainya satu dan dua minggu yang lalu.
Masih menyeka wajahnya yang entah mengapa terus terasa lembap, Sasuke tak tahu harus melakukan apa setelah ini. Yang salah adalah Sakura. Yah, tidak sepenuhnya salahnya karena apa yang terjadi barusan terdorong oleh biologisnya. Namun, yang menanggung canggung adalah keduanya.
Wajah Sakura tampak benar-benar merah. Sasuke bersumpah dia merasa Sakura tengah menahan tangis karena saking malunya. Wanita itu membungkuk lagi dan mengucap maafnya. Perasaan tak enak merambati sekujur tubuh Sasuke. Sempat dia berpikir untuk mengabaikan permintaan maaf Sakura saja karena merasa yang terjadi barusan bukanlah hal biasa. Namun, kata hati menolak gagasannya mentah-mentah. Maka ketika Sakura mengangkat kembali wajahnya (entah mengapa Sasuke merasa Sakura bersusah payah untuk melakukan itu), Sasuke menggeleng singkat dan berujar, "Tidak apa-apa."
Pupil mata Sakura melebar. "Tapi—"
"Sudah kubilang tidak apa-apa," kata Sasuke, mati-matian berusaha mencairkan es pada suaranya. "Aku perlu ke toilet."
Anggukan Sakura tampak tak pasti. "Hmm, ya, silakan."
Tiga langkah kaki sudah dilakukan, tetapi Sasuke samar-samar masih mendengar, "Ah, Sakura, kau benar-benar memalukan!"
Setelah kembali dari toilet dan membasuh wajah, Sasuke mengeluarkan tangan yang baru saja menggenggam sapu tangan di dalam saku. Sakura tak mendekatinya lagi karena khawatir hal yang sama akan terjadi. Yang wanita itu lakukan adalah meminta Sasuke untuk berpasangan dengan muridnya yang lain selama berlatih (Sasuke tak tahu siapa namanya, satu-satunya nama yang diketahuinya di sini hanyalah nama Sakura). Tanpa sadar, Sasuke mengulum bibir untuk menahan kedutan di setiap sudutnya ketika sadar Sakura berbicara padanya melalui jarak yang cukup jauh. Sekitar dua meter. Wanita itu tak punya kesempatan untuk mengganggunya seperti yang sudah-sudah. Yah, jika meminta berpasangan dansa dengan salah satu wanita di sini tidak masuk kategori mengganggu.
Anehnya, Sasuke merasa kelas dansa benar-benar tak komplit akibat kealpaan gangguan atau godaan Sakura. Pikiran itu berlanjut sampai kelas bubar. Wanita itu menghampirinya lagi dan kembali meminta maaf sambil membungkukkan tubuh. Berbeda dengan yang sebelumnya, kali ini tak ada pipi memerah atau mimik menahan tangis.
Sasuke merogoh saku untuk mengambil sapu tangan Sakura. "Hei, kau!" panggilnya pada Sakura yang tengah membelakanginya. Sempat dia mau memanggil nama Sakura, tetapi lidahnya kelu dan kaku.
Ketika Sasuke menyodorkan sapu tangan, wanita itu mengibaskan kedua tangannya. "Simpan saja dulu, siapa tahu kau nanti rindu padaku," katanya santai, seolah-olah tak memiliki masalah apa pun sebelumnya. Bagi Sasuke, tingkah Sakura barusan hanyalah manifestasi perasaan malunya yang dibentuk menjadi kamuflase berwujud godaan centil.
Malas menghadapi godaan Sakura selanjutnya, Sasuke mendengus dan memutar tubuh ke arah pintu keluar. Sasuke tak sadar bahwa di belakangnya Sakura tertegun dan menahan senyum tersipu. Sama tak sadarnya pada kenyataan bahwa secara tak langsung dia baru saja mengiyakan kata-kata Sakura. Dan ketika sadar pun, dia tak melakukan apa-apa untuk menyangkalnya.
.
—
.
Kesenyapan yang berbaur di udara terasa menggigit. Yang terdengar hanyalah suara embusan napas dan ketukan hak sepatu pada jalan. Sakura merapatkan jaketnya hingga tak ada celah bagi udara untuk menyusup. Sepi dan dingin adalah sebuah paket yang entitas satu sama lainnya saling mendukung.
Menatap langit yang hanya dihiasi sedikit bintang, Sakura menengadah. Di ujung sudut pandangnya, tertangkap sesabit rembulan yang cahayanya tak cukup untuk membantunya menghindar dari terkilir. Dia menarik dagunya kembali dan menghela napas berat. Pegangan pada tas yang tersampir di bahu kanannya seketika mengerat.
Jalan yang akan dimasukinya tampak gelap, karena teras rumah milik kebanyakan orang di jalan ini jauh dari pagar. Intensitas cahaya lampu yang dipasang di teras tak cukup untuk menerobos hingga ke jalan. Ada beberapa rumah yang memasang lampu dengan daya cukup di dekat kotak surat, tetapi bagi Sakura, itu tak membantu sama sekali.
Lampu senter di dalam tasnya diputuskan untuk digunakan. Sakura menekan saklarnya berkali-kali. Sorotan cahaya sama sekali tak memancar menerangi jalan. Mendadak napasnya tertahan di dada. Dia buru-buru memastikan kondisi lampu senter, dan hasil yang didapatnya adalah baterai dari benda itu kehabisan daya. Terbukti dari pendaran cahayanya yang sangat minim, hanya tampak seperti LED pada ponsel yang berkedip setiap kali ada telepon atau pesan masuk.
Opsi terakhir untuk menyelamatkan diri dari kegelapan di jalan ini adalah fitur lampu senter di ponselnya. Memang tidak seterang lampu senter sesungguhnya, tetapi ini masih mending daripada tidak sama sekali. Sakura tidak takut pada kegelapan seperti apa yang orang-orang kira bila melihat aksinya saat ini. Namun, untuk saat ini, atmosfer yang berbaur di sekitarnya seolah-olah menyugestikan untuk takut, entah apa alasannya.
Dia mencoba menenangkan diri sebelum melangkah menjauh dari lampu jalan yang hanya ada di persimpangan. Suara hak sepatunya mengetuk-ngetuk aspal dan menimbulkan gema. Napas leganya mulai terembus ketika dia sudah mampu mengatasi kekhawatirannya.
Namun, itu tak bertahan lama. Lama-kelamaan Sakura sadar bahwa suara derapan langkah lain itu bukanlah gema dari kontak alas kakinya dengan tanah. Ada orang lain yang melangkah di sekitarnya. Sakura semakin panik ketika sadar bahwa suara derap itu akan turut berhenti setiap kali dirinya menghentikan langkah. Dia memutar leher sembari menggigit bibir untuk mendapati eksistensi orang lain. Tidak ada siapa-siapa. Sakura berpikir, siapa pun orang ini, mungkin dia sedang bersembunyi, dan itu sama sekali tak mampu membuatnya lebih tenang. Apakah orang ini sedang menguntitnya?
Sakura memutuskan untuk memperlebar dan mempercepat langkahnya. Jantungnya mengalami sport gila-gilaan tatkala sadar bahwa ketukan sepatu yang bukan miliknya sama-sama menaikkan kecepatan. Rasanya Sakura ingin menangis saat ini juga. Ketenangannya mulai terkumpul kembali ketika kotak surat dari rumahnya mulai tertangkap pandangan. Dia mulai berlari sampai masuk ke dalam rumah dan mengunci segala akses untuk masuk.
Tirai yang menutupi jendela pembatas beranda dan dalam rumah disingkap sedikit untuk memindai keadaan. Tidak ada apa pun yang tampak mencurigakan. Lantas, yang tadi itu apa? Apakah hanya perampok yang sudah berbalik pergi karena calon korbannya sudah menyelamatkan diri? Kalau memang seperti itu, Sakura sudah bisa tenang. Dia mengembuskan napas lega dan kembali menutup tirai rumahnya.
Tiba-tiba ponselnya bergetar singkat. Layar yang masih membuka fitur lampu senter itu segera ditutup. Ada sebuah pesan masuk dari nomor asing. Sakura membukanya, dan isi dari pesan itu cukup untuk membuatnya terkejut dan ketakutan hingga menjatuhkan ponselnya ke lantai. Layarnya pecah.
Aku menemukanmu, Sakura-chan.
.
—
.
Cermin merefleksikan wajah Sakura yang kusut. Matanya berkantung tebal seperti panda. Sorot matanya redup dan selalu waspada. Peranan kosmetik tipis yang dipoles di wajahnya tidak begitu kentara.
Raut muka itu terbentuk karena Sakura yang ketakutan semalaman selama dua hari berturut-tutut sampai tak bisa tidur. Pesan yang diterimanya bukanlah pesan membunuh atau hal setara lainnya. Hanya sebuah pengungkapan bahwa si pengirim pesan telah menemukannya. Namun, entah mengapa intonasi dari pesan tersebut membuatnya bergidik hingga ke tulang punggung. Dia tak bisa membayangkan siapa pengirimnya, tetapi bisa menalar bahwa kata-kata itu lolos dari bibir yang membentuk seringai kejam.
Sakura bukannya berpikir terlalu jauh dan berlebihan. Rasa takut yang dirasakannya adalah hal wajar. Pesan itu diterima setelah dirinya merasa dikuntit oleh seseorang. Jika dipandang sekilas, apa yang terjadi padanya bukanlah sebuah teror. Akan tetapi, bagaimanapun, Sakura tetap merasa dirinya tengah diteror.
Siapa orang itu? Mengapa dia bisa tahu namanya? Apakah itu berarti dia pun mengenalnya? Atau hanya temannya yang iseng? Sakura tak ingat pernah mengenal siapa pun yang berkemungkinan menguntitnya seperti itu, ataupun memiliki teman yang kelewat iseng hingga berniat menakut-nakutinya, sampai kotak memori memutar kenangannya. Kenangan yang menakutkan baginya selagi masih SMA. Kenangan yang dibentuk oleh seseorang bernama—
"Sakura-san?" Tepukan-tepukan pelan terasa di bahu Sakura. "Sakura-san?"
Sakura mengerjapkan kedua matanya. Dia baru tersadar bahwa tempatnya berdiri sekarang adalah studio tari. Samar-samar dia menggeleng untuk kembali mengumpulkan fokus. Napasnya ditarik perlahan-lahan.
"Ah, iya. Kenapa?" tanyanya sembari mengulas senyum.
Lelaki di hadapannya menarik alis keheranan. "Tadi kau sedang mengajariku gerakan, sampai tiba-tiba ... melamun."
Sakura mengulum bibirnya dan merutuki diri. "Maaf, aku—"
"Kau kelihatan tidak sehat, Sakura," kata Shizune sembari menepuk bahu Sakura dari belakang.
Sakura menoleh, kemudian memutar tubuhnya. Dia menggeleng. "Aku baik-baik saja."
"Pikiranmu tidak sedang di sini, ya?" kata Shizune lagi. "Sepertinya kau bahkan tidak sadar bahwa alas kaki yang kaukenakan sekarang adalah sepatu kets, bukan sepatu dansa."
Benarkah? batinnya seraya menunduk dan memastikan. Kedua matanya melebar tak percaya. Bagaimana bisa dia jadi seceroboh itu?
"Sadar, kok. Sepatuku kotor, jadi aku pakai ini dulu," kilahnya sembari menyengir. Padahal yang dilakukannya sekarang adalah sesuatu yang janggal bagi seseorang yang mengerti tari. Ballroom dance membutuhkan sepatu berhak tinggi bagi wanita. Kasusnya bisa disamakan dengan penari balet yang memakai sepatu basket. Pemakaian sepatu kets di saat-saat seperti ini adalah keanehan yang luar biasa. "Aku harap kalian tidak keberatan aku mengenakan sepatu ini."
Dari mimik muka sembilan orang di ruangan ini, tampaknya tak ada satu orang pun yang mempermasalahkan hal itu. Tunggu dulu, sembilan orang? Siapa yang tak hadir? Sakura mengamati setiap orang di dalan ruangan. Ternyata yang tidak ada adalah Uchiha Sasuke. Sakura tersentak dirinya baru menyadari hal tersebut. Padahal, perasaan takutnya sempat berkurang sedikit ketika ingat bahwa hari ini dirinya bisa mengganggu Sasuke seperti yang lalu-lalu.
Sebenarnya absensi Sasuke tidak mengejutkan bagi Sakura. Selain karena lelaki itu adalah satu-satunya orang yang paling tidak berniat, kejadian minggu lalu pun mungkin menjadi salah satu faktor ketidakhadiran Sasuke hari ini. Sakura meringis malu mengingat dirinya tanpa sengaja bersin tepat di hadapan wajah Sasuke. Saat itu Sakura merasa aroma tubuh Sasuke berbeda, mungkin baru ganti parfum, dan raksi itu tak cocok dengan hidungnya. Dan hal tersebut sepertinya membuat Sasuke benar-benar jelu sampai merelakan kameranya tak kembali, walaupun saat itu dia dimaafkan.
Mungkin selepas kelas nanti, Sakura akan mencoba menghubungi kontak wanita berambut merah yang waktu itu Sakura tak ingat namanya. Bisa saja Sasuke tak hadir bukan karena kejadian seminggu lalu. Mungkin melalui wanita itu, Sakura jadi bisa tahu bagaimana kabar Sasuke. Siapa tahu lelaki itu sakit ... Eh, tunggu dulu, sejak kapan Sakura ingin tahu kabar Sasuke? Bukan, bukan, dia hanya ingin mencari alasan Sasuke tak hadir selain masalah bersin, agar tidak tengsin.
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas. Sakura menutup kelas dan meminta maaf pada beberapa orang atas ketidakfokusannya hari ini. Dia tak keluar studio sampai semua orang pulang, seperti yang biasa dia lakukan. Yang tersisa di ruangan itu adalah Shizune dan dirinya. Sebelumnya Sakura melihat wanita berambut hitam pendek itu berbicara pada Kakashi untuk duluan keluar.
"Sakura, kau yakin dirimu baik-baik saja?" tanya Shizune. Sorot matanya menyiratkan rasa khawatir.
Sakura mengangguk mantap dan tersenyum lebar. "Tentu saja. Tadi aku hanya sedikit bingung ... entah karena apa."
"Kalau ada apa-apa cerita saja padaku, oke? Siapa tahu aku bisa membantu."
Sakura diam sejenak. Dia menimbang-nimbang akan menceritakan kejadian semalam atau tidak. Dia membuka mulut, kemudian menutupnya lagi rapat-rapat. Apa tujuan orang itu bertindak seperti semalam belum jelas, mungkin lebih baik disimpan sendiri dulu. Dia tak ingin gegabah.
"Ya, kalau ada apa-apa aku akan cerita," tanggap Sakura. "Tapi sekarang baik-baik saja."
Shizune mengangguk mengerti. Dia berpamitan pulang setelahnya. Sakura mengantarnya sampai pintu depan. Ketika Shizune dan Kakashi sudah menghilang dari pandangan, Sakura buru-buru masuk rumah dan mengunci semua pintunya. Paranoidnya mendadak datang lagi tatkala rumahnya sepi.
Mencoba mengalihkan pikiran dari hal-hal yang menakutkan, Sakura mengambil ponselnya. Terlepas dari layarnya yang retak, benda itu masih berfungsi dengan sangat baik, dan Sakura bersyukur karenanya. Dia mengusap layar dan mencari-cari kontak bernama Laporan Sasuke (dia sama sekali lupa nama wanita berhelaian merah itu). Diketiknya kata demi kata untuk dikirim ke kontak tersebut.
Selamat siang. Ini Haruno Sakura, dari FloPe Dancing Studio. Hari ini Uchiha Sasuke tidak menghadiri kelas dan tidak memberi kabar. Bisakah kau memberi tahu apa yang terjadi padanya? Terima kasih.
Alis Sakura bertaut ketika membaca ulang sebelum dikirim. Kalimat kedua terakhir benar-benar tidak penting. Seharusnya dia hanya melapor, bukan menanyakan kabar. Bagaimana bisa Sakura mengetik itu sedari awal? Sakura mengusap wajahnya kasar karena malu sendiri kemudian menghapus kalimat tersebut.
Sebelum menekan tombol kirim, Sakura membacanya sekali lagi. Jika tombol itu ditekan, Sasuke pasti tak akan bisa memegang kameranya lagi selama satu minggu. Sebenarnya itu sama sekali bukan urusan Sakura, tetapi entah mengapa dirinya merasa tidak enak. Apalagi mengingat masalah bersin minggu lalu dan dirinya yang selalu mengganggu lelaki itu (bahkan hari ini pun dia sudah berniat mengganggunya untuk menyisihkan paranoidnya). Bisa saja Sasuke tak mau datang lagi karena Sakura kelewat menyebalkan, bukan?
Memiliki pemikiran seperti itu membuat Sakura menghapus keseluruhan pesannya. Sebelum mengunci ponselnya dan kembali menaruhnya di atas meja, nada dering berbunyi. Layarnya memunculkan susunan angka yang tak dia kenali. Mendadak rasa takut yang sempat terbuang sedikit kembali berintensitas tinggi. Sakura buru-buru mematikan ponselnya setelah menolak panggilan tersebut tanpa berpikir dua kali.
.
—
.
Suara debuman pintu berperan sebagai penutup keributan yang terjadi di apartemen tempat tinggal Sasuke. Lelaki berambut hitam itu mengerang, menatap tas kameranya yang tampak kosong dengan gigi menggertak. Karin baru saja datang dan mengambil isi dari tas tersebut. Perasaan tak rela setiap kali benda itu diambil tak pernah berubah.
Sasuke sama sekali tidak mengerti paradigma yang dimiliki wanita itu. Yang dia pahami hanyalah Karin memiliki teguh yang kuat, sampai-sampai rela menghabiskan waktu dan tenaga datang ke apartemen Sasuke hanya untuk menyita kameranya, kemudian mengembalikannya kembali jika tak menerima laporan aneh-aneh dari Sakura.
Sebenarnya Sasuke memiliki peluang untuk menyembunyikan kameranya dari Karin, mengingat penyitaan benda berlensa itu sudah terjadi lebih dari tiga kali. Otomatis dia hafal sendiri pola kapan Karin akan datang mengambilnya, kemudian mengembalikannya. Bahkan di kali kedua, Sasuke sudah punya kesempatan untuk mengatur strategi agar kameranya tak bisa disita. Namun, dia tetap membiarkan sepupunya itu mengambilnya, kemudian menyesal setelahnya.
Tepat seperti apa yang dirasakannya sekarang. Sasuke juga tak mengerti, tenaga Karin pasti jauh di bawah tenaganya. Terlepas dari kodrat lelaki lebih kuat, Karin bukanlah tipikal wanita yang suka olahraga. Sasuke ingat, saat kuliah, Karin membawa buku-buku tebal di tas selempangnya kemudian berjalan melewati dua blok saja sudah ngos-ngosan. Jika Sasuke berniat melawan, dia bisa menang sampai Karin kapok mengancam. Namun, dia tak melakukan itu. Entah apa alasan jelasnya.
Suara getaran ponsel yang diletakkan di atas meja kayu mengusik ketenangan yang belum berlangsung lama. Sasuke duduk di sofa sebelum menjawab teleponnya. Dari Uchiha Itachi, kakaknya. Tarikan alis sempat terbentuk karena ini bukanlah hal biasa.
"Kabarku baik. Ada apa, Itachi?" kata Sasuke setelah mendengar sapaan dari speaker ponselnya. Meskipun umurnya dan sang kakak terpaut enam tahun, Sasuke jarang memanggil dengan panggilan kakak. Jika Sasuke sudah memanggil menggunakan 'niisan', Itachi pasti langsung curiga ada sesuatu yang Sasuke butuhkan darinya. Hal itu mulai berlaku semenjak Sasuke masuk SMA.
"Mengapa Otousan mau bertemu dengan kita?" Tenggorokan Sasuke terasa mengetat karena menahan nada suaranya. Dia mengatur napas selagi mendengar kata-kata kakaknya. "Aku sudah berusaha berbicara sesopan mungkin ... Baiklah, kapan? ... Besok? Aku ..." Sasuke terdiam sejenak. Menimbang-nimbang apakah dia akan mengungkapkan rutinitas yang mengisi akhir pekannya beberapa minggu terakhir, tetapi pada akhirnya memutuskan untuk merahasiakannya dari Itachi membayangkan kakaknya pasti akan mengolok-olok jika tahu dirinya ikut kelas dansa. Apa pun latar belakangnya. "... tidak bisa hari lain?" Sasuke melirik ke arah tas kameranya dan sapu tangan putih berbordir bunga sakura di salah satu ujungnya. Sepertinya kali ini dia harus merelakan kameranya ada di tangan Karin selama satu minggu. Dia mengeluh dalam hati, tetapi tetap berkata, "Tidak tidak ada apa-apa ... Baiklah. Besok, jam sepuluh ... Ya, aku mengerti."
Panggilan terputus dan suara 'pip' singkat terdengar. Sasuke melempar tatapan pada tas kameranya yang masih tergeletak dengan berantakan di atas meja dan sapu tangan putih di sebelahnya. Padahal dia sengaja menaruhnya di meja agar dia tak lupa dan bisa segera dikembalikan, mengingat kata-kata Sakura soal menyimpan itu agar tidak rindu. Namun, dia harus menelan kata-kata Sakura selama satu minggu lalu.
Pikirannya melayang pada apa yang terjadi esok hari. Terlepas dari penyitaan kamera yang durasinya akan membengkak sampai satu minggu dan sapu tangan Sakura, Sasuke sendiri pun terkejut bahwa dia harap besok dirinya bisa menghadiri kelas dansa saja ... daripada melakukan kegiatan lain sisanya.
.
—
.
Sambil menggigit potongan tomat pada twister-nya, Sasuke melebarkan langkah tanpa ragu. Dia baru saja pulang dari rumah orangtuanya. Pertemuan dengan ayah dan kakaknya bukanlah sebuah pertemuan keluarga yang hangat, tetapi tidak juga dingin. Tak ada pelepas rindu setelah lama sekali tak saling bertemu. Ketika bersua, langsunglah masuk ke acara inti yang sudah direncanakan. Acara yang tak Sasuke duga-duga ternyata berdoa dan membakar dupa untuk mendiang ibunya yang lama sudah tiada.
Sasuke tak pernah melihat ibunya secara langsung. Dia mengenal sosok yang mengandungnya itu melalui lembar-lembar foto. Butuh waktu lama sampai dia mengetahui bahwa hari di saat ibunya meninggal sama persis dengan hari lahirnya. Benar, ibunya meninggal setelah berjuang melahirkan Sasuke. Itulah sebabnya dia tak terlalu suka hari ulang tahun, tepatnya setelah mengetahui kenyataan itu. Bagaimana dia bisa merayakan hari ketika ibunya meninggal, meskipun itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu?
Ponsel Sasuke memberi tahu adanya panggilan masuk. Sasuke menghentikan langkah untuk merogoh ponselnya dari saku. Caller ID menayangkan nama Karin. Mendadak dia merasa pening membayangkan apa yang akan dihadapinya.
"Ada apa, Karin?" kata Sasuke setelah menempelkan ponsel ke telinga.
"Kau sedang di luar, ya?"
"Hn."
"Tadi aku ke apartemenmu, tapi tak ada orang. Jadi kutitipkan kameramu pada tetanggamu, ya! Terima kasih sudah hadir ke kelas dansa empat kali berturut-turut, kau memang sepupu yang baik!"
Sasuke mengernyitkan dahi. Hadir empat kali berturut-turut? Benar, seharusnya hari ini adalah pertemuan keempat. Namun, Sasuke jelas-jelas tidak hadir karena perlu menemui ayahnya dan kakaknya. Tadi Sasuke sempat menghubungi Sakura dengan harapan jika dia mengabari, mungkin kameranya bisa kembali lantaran alasan tak hadirnya sangat jelas. Namun, baru satu kali dering saja langsung ditolak. Dan panggilan selanjutnya tak bisa dilakukan karena ponsel Sakura jadi tidak aktif.
Terlepas dari kabar yang tadinya mau Sasuke sampaikan pada Sakura, apakah wanita itu tidak melapor apa-apa?
Memutuskan untuk tak membahas absensinya, Sasuke hanya mengiyakan sampai Karin memutus hubungan panggilan. Dugaan bahwa Sakura tak melapor apa-apa membuatnya ingin menemui wanita itu. Tumben sekali dia melakukan sesuatu yang menguntungkan Sasuke. Padahal selama mereka saling mengenal, tepatnya empat minggu sampai hari ini, Sakura selalu memberi kesan menyebalkan.
Dan pertemuan yang sempat diniatkannya itu terjadi secara tak sengaja. Hari Rabu sepulang bekerja, ketika otaknya masih dipenuhi bahasa pemrograman C++ dan sebagainya, Sasuke menangkap eksistensi Sakura di balik kaca tebal sebuah kafe makanan manis. Helaian merah mudanya menutupi sebagian wajah yang menunduk, kemudian diangkat bersamaan dengan ditaruhnya sebuah tote bag di atas meja.
Alih-alih menghampirinya dan menanyakan perihal laporan pada Karin, Sasuke justru diam di seberang jalan dan menaruh atensi lebih pada Sakura. Tote bag itu dirogoh dan dikeluarkan semua isinya. Dari kemasannya, Sasuke tahu bahwa tiga benda di atas meja itu adalah semprotan merica. Penasaran menyambanginya. Untuk apa Sakura membeli semprotan merica sebanyak itu? Mungkin untuk perangkat keamanan ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tetapi kenapa harus sampai tiga buah?
Sakura meraih salah satu semprotan merica. Sasuke mendengus menahan tawa ketika mendapati Sakura menyemprotkan isi dari kemasan kaleng itu ke pergelangan tangan dalamnya, menghirupnya, kemudian bersin-bersin sendiri. Konyol. Dan apa yang terjadi barusan mengingatkan Sasuke pada saat-saat Sakura bersin tepat di depan wajahnya. Dengusan menahan tawa berubah menjadi dengusan kesal.
Panik menyambangi Sasuke ketika Sakura menoleh ke arah jendela kaca. Sasuke buru-buru pergi dan berusaha menutupi kehadirannya. Menanyakan perihal laporan pada Karin itu bisa dilakukan saat kelas dansa nanti. Tidak perlu sekarang. Lagi pula rasanya akan canggung juga jika dia menghampiri Sakura. Terdengar sama sekali bukan seperti dirinya.
.
—
.
Sasuke dapat merasakan penjagaan jarak yang Sakura lakukan. Wanita itu masih memberinya petunjuk, tetapi itu dilakukan bukan dalam jarak yang normal. Sakura lebih mengeraskan suaranya—bukan dalam artian membentak—setiap kali bicara dengan Sasuke, karena dia berusaha agar suaranya menerobos jarak satu meter atau lebih dan suara alunan musik yang menggema di dalam ruangan.
"Sasuke-kun, tolong berpasangan dengan Tenten-san," kata Sakura dengan volume suara tinggi. Sasuke melempar tatapan bertanya karena dia tak kenal siapa pun di dalam ruangan ini selain Sakura. Barangkali merasa tak enak menunjuk-nunjuk, Sakura berjalan melewatinya lalu menepuk bahu Tenten untuk memberi indikasi. Ketika jarak mereka dekat, Sakura sempat bersin lebih dari satu kali, tetapi tak sampai menyembur seperti apa yang terjadi tempo hari.
Tiba-tiba Sasuke teringat soal melihat Sakura bersin ketika menghirup semprotan merica. Sasuke jadi ingin tahu, apakah parfumnya mengandung bau merica sehingga membuat Sakura bersin? Memang, fakta bahwa Sakura bersin karena aroma parfumnya belum terbukti. Namun, itu mungkin saja karena wanita itu tak tampak seperti seseorang yang terkena flu saat kejadian bersin terjadi.
Sebelum berpasangan dengan Tenten, Sasuke menoleh ke arah kanan. Dia menarik napasnya panjang-panjang. Aroma yang menyeruak ke dalam hidungnya sama sekali tak mengandung merica atau apa pun yang membuat hidung gatal. Sasuke jadi ragu akan gagasannya soal Sakura bersin karena parfumnya. Lantas, apa masalah sebenarnya?
Kalau tadi yang dihirupnya adalah raksi parfumnya sendiri, kini yang menyeruak ke dalam hidungnya adalah bau gosong. Sasuke menatap sekeliling, semuanya tampak tengah membersutkan hidung karena menghidu bau yang tak menyenangkan. Sasuke menatap seseorang dengan rambut perak berantakan tengah menepuk bahu Sakura, kemudian bertanya, "Sakura, kau mencium bau gosong? Apa kau sedang memasak sebelumnya atau apa?"
Kedua mata Sakura membelalak. "NASI!" pekiknya. Tanpa tedeng aling-aling, Sakura berlari dan membuka pintu yang membatasi studio dengan rumahnya. Asap kelabu menyeruak ke dalam studio seketika. Beberapa orang terbatuk-batuk, membekap mulut dan hidungnya menggunakan tangan. Ada seorang lelaki yang berinisiatif membuka pintu yang menyambungkan dengan lingkungan luar.
Sakura kembali sembari mengibas-ngibaskan tangan di udara. Dia membungkukkan tubuh dan mengucap maaf berkali-kali. Sasuke tidak menanggapi apa-apa, tidak seperti beberapa orang lainnya yang mengucap 'lain kali hati-hati' dan sebagainya. Yang dilakukannya hanyalah bersyukur dalam hati rumah ini tak sampai terbakar.
Kelas dibubarkan karena suasana sudah tidak kondusif. Padahal, masih ada setengah jam durasi yang tersisa. Sasuke sengaja menempatkan diri di antrean paling akhir untuk mengganti pakaian. Biasanya dia cuek soal pakaian. Apa yang dipakainya kemari adalah apa yang akan dikenakannya saat pulang nanti. Namun, kali ini dia perlu mengulur waktu sampai bisa memiliki kesempatan untuk berbicara pada Sakura.
Bagiannya untuk mengganti pakaian sudah tiba. Setelah selesai, dia memutar kenop dan menarik pintu. Satu-satunya orang yang mengisi ruangan ini selain dirinya adalah Sakura. Wanita itu tengah membelakanginya. Namun, Sasuke dapat melihat ekspresinya dari pantulan cermin yang Sakura hadapi. Sasuke baru menyadari bahwa wajah Sakura lebih kuyu. Dia ingat raut muka Sakura seringnya penuh senyum dan semangat, apalagi ketika tengah menggodanya. Sama sekali tidak seperti ini.
"Sakura," panggil Sasuke.
Sasuke dapat menangkap dua mata beriris hijau yang melebar dari refleksi cermin. "Hah? Kau memanggilku apa?"
"Sa-ku-ra," ucap Sasuke, diberi jeda per silabel. "Itu memang namamu, bukan?"
Sakura memutar tubuhnya dan memandang Sasuke tanpa perantara. Salah satu alisnya tertarik ke atas. "Iya, itu memang namaku. Tapi selama ini kau tidak pernah memanggil namaku. Caramu memanggilku pasti 'hei, kau!' atau semacam itu."
Sasuke bergeming. Dia menyadari bahwa kuyu yang melanda wajah Sakura mulai memias sedikit demi sedikit. Di detik ini, Sasuke baru sadar bahwa hari ini Sakura tak menggodanya sama sekali.
"Hei, kau," kata Sasuke dengan nada datar. "Puas?"
Sakura mengerucutkan bibir dan menyilang kedua tangan di depan dada. "Kau ini menyebalkan, ya."
Sasuke tak menanggapi apa-apa. Dia melakukan kalkulasi apakah yang mau dikatakannya termasuk penting atau tidak. Namun, sudah terlanjur sampai di sini. Penting ataupun tidak, Sasuke akan tetap melontarkannya. Dia mengangkat bahu. "Mau makan bersama? Kutraktir."
Sasuke tak melewatkan keterkejutan yang melintangi wajah Sakura. Kemudian dia tertawa. "Apa aku baru saja mendengar kau mengajakku makan dan akan mentraktirku, atau aku salah?"
"Tergantung kau lebih suka yang mana."
"Ada apa ini?" Dahi Sakura mengernyit dan menatap Sasuke dengan pandangan curiga. "Kau merusak barangku atau sesuatu, ya, sehingga berniat membayarnya lewat traktir makan?"
Sasuke mendengus. "Anggap saja ini ucapan terima kasihku karena kau tidak melaporkan apa-apa soal aku yang tak hadir minggu lalu."
"Oh, itu bukan apa-apa." Ekspresi curiga telah bertransisi dengan senyum. "Aku lihat kamera itu tampak seperti benda kesayanganmu, jadi, yah, sedikit rahasia kecil kurasa bukan masalah. Hmm ... bisa dianggap juga itu permintaan maafku soal bersin dua minggu lalu." Sakura menunduk dan menggigit bibirnya tampak malu.
"Waktu itu kau tidak terlihat sedang flu," kata Sasuke. Walaupun dia sudah punya asumsi soal alasan Sakura bersin, dirinya tetap merasa perlu untuk memastikannya sendiri.
"Memang tidak," tanggapnya. Dia menggaruk tengkuknya ragu, tampak menimbang-nimbang mau melanjutkan kata-katanya atau tidak. Sementara Sasuke masih menunggu Sakura bicara. "Errr ... itu ... jangan tersinggung, ya? Sepertinya aku bersin karena aku alergi pada sesuatu dalam parfummu. Seharusnya aku mengatakan ini sejak awal, tapi ... kau tidak perlu khawatir akan tertular, karena itu bukan bersin yang disebabkan oleh penyakit."
"Oh." Sasuke mengangguk mengerti. Dugaannya tepat. "Jadi, mau atau tidak?"
"Tentu saja aku mau! Apalagi ditraktir," kekehnya. "Lagi pula nasiku gosong."
Sasuke buru-buru merogoh sakunya dan menarik isinya. "Hei, kau," katanya ketika Sakura membalikkan tubuh.
Sakura menoleh dan mencibir. "Apa?!"
Salah satu sudut bibir Sasuke berkedut. Sepertinya Sakura benar-benar sebal bila dipanggil begitu. Dia melempar sapu tangan putih yang dua minggu lalu Sakura pinjamkan untuk menghapus semburan bersinnya. "Ini kukembalikan."
Sakura menangkapnya ketika kain itu melayang di depan wajah. Kemudian dia bersin. "Sapu tangannya tercampur baumu," katanya sembari menggosok hidung. Dia menjauhkan sapu tangan itu dari wajah. "Omong-omong, ayo masuk dulu, Sasuke-kun. Tunggu di dalam. Eh, kau tidak keberatan, 'kan, kalau aku ganti baju dulu?"
"Hn."
Sakura tampak tak memahami tanggapan ambigu dari Sasuke. Namun, dia langsung mengangguk senang ketika mendapati Sasuke mengikuti langkahnya melewati pintu pembatas rumah dan studio.
Dalam diam, Sasuke membayangkan Sakura mungkin akan sering bersin selama perjalanan nanti. Dan hal tersebut membuatnya menulis catatan mental untuk tak menggunakan parfum yang ini lagi.
.
—
.
Mengingat Sasuke menunggu di luar, Sakura tidak banyak berpikir ketika berganti pakaian. Musim dingin sudah berlalu dan dia bisa keluar tanpa jaket tebal. Dia meraih pleasant top merah marun yang berada di atas salah satu tumpukan pakaiannya. Atasan tersebut dipadukan dengan celana tiga per empat berwarna krem. Sebelum melangkah ke rak sepatu, dia melepas cepolan rambutnya terlebih dahulu. Helaian merah muda itu disisirnya hingga jatuh, diikat satu membentuk ekor kuda, dan poninya dibuat menutupi dahi.
Dia meraih tas selempang kecil dan mengaitkannya di bahu setelah diisi semprotan merica, masker, sapu tangan, dan barang-barang pribadi pada umumnya. Flat shoes dijepit menggunakan ibu jari dan jari telunjuk sebelum membuka pintu kamar. Matanya langsung memindai keberadaan Sasuke. Lelaki itu tengah berdiri di depan rak kaca berisi tropi dan piagam penghargaan yang pernah Sakura terima atas prestasinya. Mendadak Sakura merasa malu secara janggal.
Terlalu ragu untuk memanggil Sasuke menggunakan nama, Sakura sengaja menggertakkan kakinya pada lantai. Sesuai dugaan, Sasuke langsung berbalik ke arahnya. Sakura mengulas senyum gugup dan memangkas jarak yang terbentang di antara mereka. Namun, jaraknya tidak terlalu dekat untuk menghindari bersin.
"Yuk," kata Sakura. "Maaf, ya, kau jadi menunggu."
Entah hanya perasaannya saja, tetapi dia merasa Sasuke menahan pandangan padanya cukup lama. Seperti tengah meneliti. Kemudian, lelaki itu menggeleng. "Tidak apa-apa."
Sakura melempar flat shoes-nya ke lantai dan menenggelamkan kakinya ke sana. Dia membungkuk sedikit untuk memperbaiki bagian sepatu yang belum membungkus kakinya dengan tepat.
"Ke mana?" tanya Sakura sembari berjalan mendekati pintu keluar.
Sasuke mengangkat bahu. "Kau yang tentukan tempat."
"Aku?" Mata Sakura melebar. "Kau tidak takut aku mengajakmu ke restoran yang mahal?" katanya dengan selipan intonasi bercanda.
"Kalau uangku tidak cukup, kau juga akan ikut mencuci piring di sana sebagai bayarannya."
Sakura refleks tertawa. Masih dengan bentangan senyum bekas tawanya, dia buru-buru bicara, "Yah, itu tak akan terjadi. Restoran-restoran di distrik Jinbocho tidak masuk kategori restoran mahal, bukan?"
"Kau mau makan kari?" Sasuke memasukkan kedua tangan ke dalam saku. Dia langsung bisa menebak apa yang ingin Sakura makan karena distrik tersebut menang terkenal oleh karinya, selain tempat percetakan dan toko buku.
Sakura memutar tubuh untuk mengunci pintu rumahnya. "Yup. Tadinya aku mau memasaknya sendiri, tapi berhubung kau mengajak aku makan, ya sudah," ucapnya sembari menatap punggung Sasuke yang keluar melewati pagar duluan.
Tiba-tiba angin berembus dari depan Sakura. Dia langsung menahan napas sebentar karena gatal menyeruak di hidungnya. Namun, gatalnya tak cukup untuk membuat bersin. Sakura bersyukur sekaligus kesal, karena gagal bersin adalah sesuatu yang tidak enak.
Sasuke tampaknya memahami kondisi Sakura yang memang tak bisa berdekatan dengannya. Entahlah, atau mungkin Sasuke memang tipikal orang yang menjaga jarak dengan seseorang yang belum begitu dikenalinya. Sakura menebak seperti itu berdasarkan ingatannya saat pertemuan kelas dansa yang pertama. Lelaki itu pasti langsung merengut kesal setiap kali Sakura menyentuhnya. Hal tersebut membuat Sakura mengulum bibir menahan senyumnya.
"Kau kelihatannya orang yang cukup pendiam," komentar Sakura tiba-tiba.
"Ah."
Sakura mengernyitkan dahi. Cuma begitu saja tanggapannya? Yah, hal tersebut mengiyakan kata-katanya barusan.
Keduanya masih terus menjejak bumi. Mereka seolah-olah sudah membuat kesepakatan tanpa suara untuk berjalan kaki. Sakura tak keberatan, karena jarak dari rumahnya ke distrik Jinbocho memang tidak terlalu jauh. Dan tampaknya Sasuke juga begitu.
Jalan dalam diam membuat Sakura merasa tersekap di dalam dinding-dinding rasa canggung. Sesekali dia melirik ke arah Sasuke. Dia ingin sekali bicara pada lelaki itu. Toh dia pun memang cukup pandai dalam urusan membuka obrolan. Terlebih, ada banyak hal yang ingin Sakura tanyakan pada Sasuke. Namun, mengingat tanggapan lelaki itu sebelumnya membuat Sakura ragu. Disimpannya kata-kata yang mau diucap entah sampai kapan.
Sekali lagi, Sakura melirik ke arah Sasuke yang berjalan di sisinya—terdapat jarak yang cukup jauh bagi dua orang yang tengah berjalan bersama—dan dia tersentak ketika matanya bertemu pandang dengan mata Sasuke yang sempat membulat terkejut juga. Sakura otomatis berpaling. Dia merasa jantungnya berdegup kencang dan memompa darah lebih banyak ke wajahnya. Panas.
Apa itu tadi? batinnya. Kemudian dia menggeleng samar untuk menetralkan pikirannya.
Setelah kejadian barusan, Sakura tak berani melirik ke arah Sasuke lagi. Kali ini ada hal yang berseliweran di dalam benaknya. Sasuke yang mengajaknya makan adalah sesuatu yang sulit dipercaya. Apalagi, Sakura sempat berpikir bahwa Sasuke benar-benar sebal padanya. Dia jadi berpikir bahwa kamera milik Sasuke itu berharga sekali, sampai-sampai mengajak dirinya makan untuk membalas budi Sakura yang tak mengadukan absensi Sasuke.
Bahu Sasuke dan bahu Sakura saling bersinggungan ketika menunggu lampu penyeberangan bagi pejalan kaki berubah menjadi hijau. Sakura tak bisa menjauh karena sekitarnya pun dihimpit orang banyak. Dia lekas membekap hidungnya dan merogoh tas selempang untuk meraih sesuatu.
"Sasuke-kun, jangan tersinggung, ya?" kata Sakura setelah masker berada di tangannya.
Sasuke menoleh dan menarik sebelah alis, tampak heran. "Hn?"
"Sepertinya aku perlu memakai masker." Tangan Sakura yang bebas mengibaskan masker agar Sasuke bisa melihatnya. Dia mengamati mimik muka Sasuke. Tak ada gurat tersinggung sama sekali. Yang lelaki itu lakukan hanyalah mengangkat bahu tampak tak acuh.
"Hn."
Sakura tersenyum jenaka. "Kalau mau dekat-dekat denganku, mungkin kau perlu mengganti parfummu." Dia nyaris tergelak ketika lelaki itu membeliak dan berjalan lebih cepat hingga meninggalkan Sakura jauh di belakang ketika menyeberang.
Mereka baru berjalan bersebelahan lagi ketika sudah berpijak di atas tanah distrik Jinbocho. Sakura berjalan lebih dulu ke restoran pilihannya. Restoran kari yang level pedasnya bisa diatur. Sasuke mengikuti di belakang sampai keduanya masuk dan memesan makanan. Pesanan mereka sama-sama kari ayam dengan level pedas paling rendah.
"Kau tidak suka pedas tapi mau makan kari?" tanya Sasuke dengan sebelah alis terangkat. Ekspresi wajah lelaki itu menyiratkan bahwa dia memiliki kesan aneh terhadap Sakura.
"Apa gunanya level pedas jika yang tidak suka pedas tak bisa makan kari?" dengus Sakura. "Kau juga sama-sama pesan dengan level terendah."
Tampak menyadari kebenaran dari kata-kata Sakura, Sasuke tak menanggapi lagi.
Sakura melepas masker dan menarik napas panjang. Aroma parfum Sasuke tak sampai ke hidungnya. Dia menopang dagu menggunakan dua tangan dan melempar pandangan ke luar jendela. Ada banyak orang yang berlalu-lalang dan masuk-keluar dari toko buku. Sakura jadi ingat bahwa sudah lama sekali semenjak dia terakhir ke sini untuk membeli buku. Itu terjadi lama sebelum perpustakaan tempatnya bekerja memiliki stok buku yang begitu lengkap. Sekarang, jika dia ingin membaca, tentu saja tinggal mencari di perpustakaan.
Tatapan Sakura beralih pada Sasuke yang sama-sama melirik ke luar. Tiba-tiba dia jadi ingat bahwa dia tak punya kontak Sasuke, sementara dia membutuhkannya untuk berbagi informasi soal kelas. Dia memanggil Sasuke sampai lelaki itu mengalihkan pandangan.
"Boleh kupinta nomor ponselmu?" tanyanya sambil menaruh ponsel berlayar pecahnya di atas meja. Dia menangkap tatapan Sasuke yang tertahan pada benda itu cukup lama. "Habisnya nomor yang kupunya bukan nomormu, tapi atas namamu."
Sasuke tak menjawab. Yang lelaki itu lakukan adalah merogoh ponsel dari saku dan mengalihkan pandangan ke sana. Sakura nyaris tersinggung karena Sasuke mengabaikannya jika saja ponsel yang ditaruh di atas meja tidak berkedip. Di garis notifikasi, terdapat pemberitahuan tentang masuknya telepon masuk dari nomor yang diblokir. Itulah sebabnya tak ada dering, karena ponselnya otomatis menolak, tetapi tetap memberi pemberitahuan.
Tiba-tiba tubuhnya bergetar ketakutan. Nomor yang pernah dia blokir hanyalah nomor-nomor mencurigakan semenjak kejadian penguntitan waktu itu. Padahal Sakura sempat tenang karena nomor-nomor itu tak pernah mengontaknya lagi, meskipun rasa takut masih menempel mengingat pesan berisi 'aku menemukanmu'.
"Ponselmu kenapa?" tanya Sasuke, memecah rasa takut Sakura.
"Kenapa apa?" Sakura mengernyit. Asumsinya Sasuke baru saja mempertanyakan soal layarnya yang pecah.
"Teleponku tidak masuk, padahal aktif."
"Hm?"
"Tadi kau bilang kau meminta nomor ponselku. Aku menghubungimu agar nomor ponselku masuk. Tapi ditolak."
Sakura melebarkan mata dan mengusap layar ponselnya. "Kau barusan menghubungi nomorku?"
"Hn."
"Eh, tunggu." Mata hijau Sakura menatap susunan angka di layarnya lekat-lekat. Tangannya memutar dan menyodorkan ponsel pada Sasuke. "Ini nomormu?"
"Ya."
Sakura terperangah. "Ah, ternyata aku salah blokir! Ya ampun, Sasuke-kun, ternyata ini nomormu, ya? Kupikir nomor siapa."
"Siapa?"
"Bukan siapa-siapa." Sakura mengibaskan tangannya. Dia sedikit terkejut Sasuke bertanya demikian. Hatinya masih diliputi ketidaksiapan untuk bercerita mengenai masalah penguntitan pada siapa pun. "Minggu lalu kau menghubungiku?"
"Aku mau mengabari soal ketidakhadiranku. Tapi setelah dihubungi nomormu langsung tidak aktif."
"Maaf, kupikir kau siapa. Habisnya tidak ada di daftar kontak, sih." Sakura mengulas senyum meminta maklum. "Aku agak takut pada nomor yang tidak dikenal."
Sasuke mendecak. Sorot matanya tampak meremehkan dan membuat Sakura memurungkan wajah secara refleks. "Itu sudah risikomu."
"Risiko apa?"
"Nomormu dipublikasikan secara umum sebagai contact person studiomu, bukan?"
Bahu Sakura menegak. Bagaimana mungkin hal tersebut tak terpikir olehnya? Barangkali penguntit waktu itu pun memperoleh nomor ponselnya dari sana.
"Iya, sih. Tapi ... begitulah."
Sakura merasakan Sasuke hendak membuka mulutnya lagi. Namun, mulut lelaki itu terkatup kembali ketika nasi dan kari yang mengepul ditaruh di atas meja mereka.
.
—
.
"Itadakimasu!" Suara nyaring Sakura menabuh gendang telinga Sasuke. Dia berasumsi bahwa ucapan itu sengaja diucap keras-keras karena wanita itu senang tengah ditraktir.
Sasuke menyendok nasi yang sudah dilumuri kari. Tenggorokannya terasa terbakar ketika makanan tersebut lewat. Makanan ini masih terasa pedas meskipun pesanannya adalah level pedas terendah. Bagaimana kadar bakar level-level yang lebih tinggi?
Dia melirik Sakura yang pipinya tampak memerah. Beberapa kali dia mendapati wanita itu meraih gelas dan meneguk isinya, tetapi tak sampai habis. Dia jelas-jelas kelihatan kepedasan. Sakura bahkan sampai menggosok hidung dan mendesis ketika makanannya sudah habis. Tiba-tiba Sasuke merasa menang setelah melihatnya.
Belum berniat beranjak karena makanan belum tercerna sempurna di perut, mereka tenggelam di dalam keheningan. Cukup bertahan lama sampai suara Sakura memecah kelengangan.
"Sasuke-kun, kau punya kakak atau adik perempuan?" katanya.
Sasuke mengernyit tak mengerti. Pertanyaan tersebut biasanya lolos dari bibir seorang teman. Dan dia belum menentukan apakah Sakura termasuk temannya atau bukan. Meski begitu, jawaban tetap dia berikan. "Aku punya kakak laki-laki."
"Oh." Sakura mengangguk. Entah mengapa Sasuke merasa menangkap raut kecewa. "Misalnya kau punya, lalu mereka dikuntit orang, apa yang akan kau lakukan sebagai kakak atau adik lelakinya?" Wanita itu menggigit bibirnya, tampak ragu. "... atau misalnya ... mmm ... pacar, mungkin?"
Sasuke bergeming. Bukan karena tak tahu harus menjawab apa, tetapi dia bertanya-tanya dalam hati mengapa Sakura menanyakan hal tersebut.
"Kau tahu, 'kan, di Tokyo memang sudah beberapa kali terdengar kasus penguntitan," tambah Sakura lagi.
Jawaban dari pertanyaan yang Sasuke tanyakan pada diri sendiri sudah berada di genggaman. Hal tersebut didapatnya dari obrolan mereka yang sengaja Sasuke kait-kaitkan.
"Kau dikuntit?"
Wajah Sakura menayangkan ekspresi terkejut. "Kenapa kau berpikiran seperti itu?"
"Kau takut pada nomor ponsel asing dan memblokirnya."
"Aku tidak tahu." Wanita itu menunduk. Dari tangan yang bergerak di bawah meja, Sasuke menebak bahwa Sakura tengah memilin pakaiannya. Wajahnya terangkat lagi, mengulas mimik ceria. "Omong-omong, terima kasih traktirnya, ya! Kapan-kapan izinkan aku mentraktirmu."
Sasuke langsung paham bahwa Sakura hendak mengalihkan pembicaraan. Dari gerak-geriknya, dia yakin sembilan puluh sembilan persen bahwa Sakura memang mengalami sendiri penguntitan tersebut. Tiba-tiba Sasuke merasa tak enak hati.
"Oh, iya, beberapa hari yang lalu kau lewat kafe White Crystalline tidak? Rasa-rasanya aku melihatmu."
Kafe White Crystalline? Kafe makanan manis yang waktu itu! Jika Sasuke gagal menjaga imej, dia pasti sudah membuka mulutnya karena terkejut. Sial, ternyata dia kelihatan tatkala memerhatikan Sakura yang tengah memainkan semprotan merica saat itu.
"Itu jalur pulang kerja." Sasuke mencoba untuk tetap tenang. Berhasil. Sepertinya Sakura pikir Sasuke hanya lewat, dan tak sadar bahwa dia memerhatikannya waktu itu.
"Tapi waktu itu aku tidak melihatmu membawa kamera." Mimik muka Sakura menyiratkan pertanyaan. "Tadinya aku mau menyapamu, tapi aku sedang ada di dalam kafe."
"Aku bukan fotografer."
"Oh! Fotografi itu hobi, ya? Terus pekerjaanmu?"
"Programmer di suatu perusahaan."
Sakura tampak takjub. "Wah, keren!"
Geming Sasuke lakukan. Baginya, tidak sekeren itu jika sudah mengingat serentetan bahasa pemrograman yang membuat kepalanya sangat sakit.
Otak Sasuke memutuskan untuk memunculkan masalah penguntitan tadi. Dia tahu Sakura tak mau membahasnya, maka dirinya mencari jalan lain untuk memastikan tebakannya. Dipikirkannya cara yang paling mulus dan implisit untuk menguak rasa penasarannya. Tak sampai lima menit hingga dia menggenggam strategi.
"Kau kerja di perpustakaan yang waktu itu?"
"Hu-um." Sakura mengangguk. "Kenapa?"
"Pulang pukul berapa?"
Sasuke tak melewatkan keterkejutan yang melintang di wajah Sakura. "Kalau aku kebagian shift dari pagi, aku pulang pukul lima sore. Kalau shift siang, aku pulang pukul delapan." Entah hanya perasaan Sasuke saja, tetapi dia merasa wajah Sakura memucat. "Besok ... shift-ku siang."
"Tadi kau bilang mau mentraktirku makan."
"Mm-hm."
Sasuke mengatur napasnya. Mendadak kegugupan menyusup ke dalam tubuh melalui seluruh pori-pori yang dimilikinya. Sasuke adalah tipikal orang yang pandai menyembunyikan ekspresi, maka tenanglah yang masih terpasang di wajah sekalipun gugup yang mendera begitu tak terperi. Dia menghela udara banyak-banyak sebelum berkata, "Bagaimana kalau besok? Di rumahmu, kau yang memasak."
"E-eh?" Dahi Sakura mengernyit sedalam-dalamnya. Kedua tangannya terangkat dan menutup mulut yang menganga. Namun, itu hanya terjadi sekejap karena mungkin Sakura merasa tak enak pada Sasuke telah bereaksi seperti itu. Bahu wanita itu naik-turun dengan cara yang tak natural. Sepertinya napasnya tengah diatur. "Tapi aku pulang malam."
"Kalau kau keberatan, lain kali saja."
Embusan napas panjang terlepas dari hidung Sasuke. Kini dia mengutuki kata-kata yang diucapnya tadi. Sekarang dia yang merasa malu sendiri. Mungkin Sakura pun akan curiga padanya.
"Mmm ... memangnya kau sendiri tidak keberatan baru makan semalam itu?" Sakura menghindari menatap mata Sasuke. Wanita itu tampak gugup.
Sasuke mengangkat bahu. Dia bahkan sering tanpa sadar melewatkan makan malam saking lelahnya pulang kerja.
"Jadi ... besok kau akan menjemputku atau ... a-atau bagaimana?"
Dia setuju?
Lidah Sasuke terasa terbelit. Setelah dipikir-pikir lagi, mengapa dia sampai mau melakukan ini demi mengupas rasa penasarannya? Namun, nasi sudah menjadi bubur. Setelah Sakura setuju, akan sangat janggal bila Sasuke yang justru membatalkan. Tangan Sasuke meremas kain yang melapisi lutut untuk menyalurkan kegugupan. "Aku jemput. Pukul delapan."
Sakura mengangguk ragu. "Pukul delapan."
Sasuke sama sekali tak mengerti apa yang terjadi padanya. Dia bahkan mengantarkan Sakura sampai ke rumahnya. Entah apa yang mendorong hatinya untuk berniatan melindungi wanita ini. Dan dia baru saja sadar bahwa ini adalah pertama kalinya dia melakukan sesuatu begitu banyak bagi seorang wanita menyebalkan yang baru dikenalnya selama lima minggu ...
.
—
.
"Ya ampun, Ino. Kalau kau tadi tidak ke meja administrasi tepat waktu, mungkin kau akan terjebak di perpustakaan sampai besok." Sakura membenarkan posisi poni bolong yang nyaris mengekspos jidat lebarnya. Dia melirik ke belakang. Petugas perpustakaan yang lain baru saja mengunci pintu kaca.
Yamanaka Ino menggertakkan kaki pada tanah. Wanita berambut pirang panjang itu membeliak dan memeluk buku tebal pinjamannya di dada erat-erat. "Kita bermusuhan selamanya kalau kau benar-benar lupa aku ada di dalam."
Sakura tertawa kencang menanggapi kata-kata sahabat sedari SMA-nya sekaligus pelanggan perpustakaan terakhir hari ini. "Wah, aku menyesal tadi tidak pura-pura lupa."
Ino mencubit pipi Sakura dan menyentil dahi lebarnya keras-keras. "Dasar Jidat!"
"Hei!" Sakura membalas dengan cara menginjak bagian belakang sepatu Ino. Kemudian keduanya tertawa.
Sakura menengadah dan memandang langit malam. Polusi cahaya membuat sinar rembulan dan titik bintang tampak memias. Dia menghentikan langkahnya, membiarkan Ino berjalan duluan di depan. Diliriknya arloji yang membungkus pergelangan tangannya. Pukul delapan lebih sepuluh. Dia menarik napas panjang dan mencoba menyembunyikan panik dari Ino.
"Sakura!" Ino memutar tubuh dan mengentak tanah. "Kau membuatku bicara sendi—eh, ada cowok ganteng!"
Dasar Ino. Lihat lelaki tampan selalu bisa memadamkan amarahnya. Sakura mendecak. "Ino, kau punya Sai."
"Memangnya aku bilang aku akan selingkuh?" Ino menyilangkan tangan di depan dada.
Ya, Sakura tahu, kendatipun Ino menaruh atensi pada lelaki tampan, wanita itu tak akan pernah selingkuh dari kekasihnya. "Terserah."
Sakura melirik arlojinya lagi. Dia meraba saku roknya untuk memastikan bahwa ponselnya masih di sana. Dan memang masih ada di sana. Lantas mengapa dia tak merasakan getaran tanda pesan atau panggilan masuk? Apakah Sasuke lupa?
Belum sempat Sakura merogoh saku dan meraih ponselnya, Ino lebih dulu berkata, "Eh, cowok itu memerhatikanmu, lho." Sakura melempar tatapan bertanya pada Ino. Wanita itu sedang memasang wajah iri sekaligus menggoda. Sakura tak tahu mana yang dominan dan mana yang resesif. "Arah jam dua."
Sakura langsung memalingkan wajah pada navigasi yang Ino indikasikan. Di arah jam dua dari tubuhnya, berdiri seorang lelaki berambut hitam yang menyampirkan jasnya (atau jaket? Sakura tak bisa melihat begitu jelas) di bahu. Kemeja biru tua yang dipakainya tampak seperti berwarna hitam. Sakura jelas tahu siapa yang berdiri di sana. "Oh, itu Sasuke-kun." Tanpa sadar bibirnya tersenyum lepas. Ternyata lelaki itu tak lupa. "Ino, aku duluan, ya!"
Sakura merasa pergelangan tangannya digenggam erat ketika dia memijak langkah ketiga. "Sasuke-kun?" Suara Ino yang penuh intonasi pertanyaan dan penekanan menabuh gendang telinganya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Ino mengangkat alis. "Akrab sekali. Siapa dia, Sakura? Kau berutang cerita padaku!"
Sakura melirik ke arah Sasuke yang masih menunggunya. Hatinya merasa tak enak, mungkin Sasuke sudah menunggu dari tadi. Rasanya tak sopan jika lelaki itu harus menunggu lebih lama lagi. Dia meminta Ino melepas tangannya melalui raut muka. "Mmm ... Sabtu kita jadi jalan, 'kan?"
"Tentu saja!"
Sakura mengembuskan napas lega ketika Ino melepas pegangannya. "Aku cerita Sabtu, oke? Sekarang aku pergi dulu. Dah!" Dia melangkah mundur sembari melambaikan tangannya pada Ino. Dia bersyukur Ino tak menggodanya atau apa pun seperti yang diduganya. Karena bila itu terjadi, dia akan malu sekali pada Sasuke.
"Hai," sapa Sakura ketika Sasuke sudah berada di dalam jangkauan suaranya.
"Hn."
Sakura menghirup udara banyak-banyak. "Aku tidak bersin! Kau memang mau dekat-dekat denganku, ya?" godanya sembari tertawa geli.
Tawa Sakura semakin lepas ketika Sasuke mengerang dan langsung meninggalkannya. Sakura langsung membekap mulut dan menyusul Sasuke.
"Kuharap kau tidak keberatan makan makanan tadi pagi," kata Sakura. "Itu baru, kok. Aku sengaja memasaknya tadi pagi agar tidak terlalu malam. Jadi nanti tinggal dihangatkan."
"Hn."
Sakura mengerucutkan bibir. "Kenapa, sih, tanggapanmu selalu gumaman singkat begitu? Ambigu, tahu!"
"Tidak apa-apa."
"Tidak apa-apa makanan tadi pagi atau tidak apa-apa bergumam singkat?"
"Dua-duanya."
Sakura mengernyit tak mengerti. "Oh ... oke."
Kelengangan membungkus lingkungan mereka selama masih di perjalanan. Kali ini Sakura bingung pada dirinya sendiri karena tak mampu membuka pembicaraan. Lagi pula apa yang dirasakannya benar-benar canggung. Sasuke bukanlah siapa-siapanya. Eksistensi lelaki itu dalam kehidupannya hanyalah sebagai murid di kelas dansanya. Dan hal tersebut membuatnya masih menganga, tak memercayai bahwa dia sedang melangkah bersama Sasuke menuju ke rumahnya untuk makan malam. Sama sekali tidak terdengar seperti guru dan murid di kelas dansa, bukan?
Rapalan doa Sakura dalam hati berisi tentang betapa dia berharap Sasuke tak mendengar debaran jantungnya yang menggila. Ada dorongan-dorongan yang tak dia pahami untuk melirik ke arah Sasuke. Namun, mengingat kejadian kemarin, Sakura terus berusaha untuk menepis pikiran tersebut. Dia takut perasaan malu itu muncul lagi hingga pipinya memerah. Sekalipun sinar bulan tak akan cukup terang untuk memantulkan ronaan di wajahnya.
Kakinya mendadak berhenti melangkah di persimpangan menuju jalan sepi. Jalan di mana dia merasa diikuti waktu itu. Jalan yang gelap karena rumah-rumah dan cahayanya menjorok ke belakang, sepi karena mungkin orang-orang di sini sudah pulang kerja duluan. Secara refleks dia meremas kain yang melapisi lengan Sasuke. Tangannya yang bebas masuk ke dalam tas dan menggenggam semprotan merica erat-erat.
"Kau kenapa?" tanya Sasuke ketika merasakan tarikan di lengannya.
Sakura mendadak gugup. Remasannya justru semakin kuat. "Uh ... aku hanya takut jalan sepi."
Sasuke menatap Sakura dengan pandangan tak percaya. "Penakut."
"Uh-huh. Cewek. Kami takut segala hal," kilah Sakura sembari melepas sengir. Kemudian dia melangkah lagi. "Yuk, sebelum semakin malam."
Telinga Sakura menjadi lebih sensitif. Dia menangkap suara derap langkah selain miliknya dan Sasuke. Pegangannya semakin erat lagi. Dia menoleh ragu-ragu ke belakang dan tak menemukan siapa-siapa.
"Kau dengar suara lain?" kata Sakura dengan nada gemetar.
Sasuke diam. Entah mengapa Sakura merasa Sasuke tengah mempertimbangkan jawaban. "Tidak."
"Masa?"
"Hn. Kau terlalu paranoid. Jadi sugestimu aneh-aneh."
Sakura meneguk ludahnya. "Yah, mungkin kau benar."
Kemudian keduanya melangkah lagi. Suara derapan kaki lain itu terdengar kembali. Sakura langsung merinding. Suaranya seolah-olah sengaja dibuat keras untuk menerornya. Dia menoleh ke sekelilingnya lagi, semprotan merica sudah siap dikeluarkan kapan saja. Kali ini dia yakin sekali bahwa Sasuke mendengar langkah kaki tadi.
"Sasuke-kun," bisiknya lirih.
Lelaki itu masih tampak tenang setenang-tenangnya. Sakura harap ketenangan itu dapat menular padanya barang sedikit saja. "Itu bukan apa-apa. Rumahmu sudah dekat."
Menyadari kebenaran dalam kata-kata Sasuke, Sakura langsung melebarkan langkahnya. Ternyata tenangnya memang dapat menular melalui kata-kata, walaupun hanya sedikit. Ketika sudah berada di depan pagar rumahnya, dia mendengar Sasuke berdeham. Dagunya diangkat untuk menatap wajah lelaki yang lebih tinggi darinya itu. Tatapan dari mata hitam itu tertuju pada remasan tangannya di kemeja Sasuke. Seketika perasaan takutnya mengalami transisi dengan rasa malu.
"Maaf," ucap Sakura gugup. Dia melepas tangannya dan membenarkan kusut. Dan sekarang dia tahu pakaian yang disampir di bahu Sasuke tadi adalah jas, bukan jaket.
Sakura melangkah ke dalam rumah, diikuti Sasuke di belakangnya. Sempat dia berniat untuk mengunci pintu, tetapi khawatir Sasuke akan berpikir aneh-aneh. Apa-apaan seorang wanita mengunci pintu rumahnya ketika ada lelaki yang bukan siapa-siapanya di dalam rumah? Itu terdengar tidak etis.
"Oh, iya. Di sini tidak ada meja makan. Jadi, paling-paling kita makan di meja tamu. Tidak apa-apa?" ucap Sakura.
Sasuke sama sekali tak menunjukkan bahwa dia bermasalah dengan hal tersebut. Dan itu membuat Sakura tersenyum.
"Duduklah di sini." Sakura menunjuk meja tamunya. "Aku hangatkan makanan dulu, ya!" Kemudian wanita itu melangkah ke dapur. Tak lama, karena kurang dari sepuluh menit dia sudah kembali lagi ke ruang tamu. Ditaruhnya piring-piring dan mangkuk-mangkuk itu di sana. Kemudian Sakura melangkah ke dapur lagi untuk mengambil minum.
"Maaf, ya. Makannya jadi tidak nyaman," kata Sakura.
Lagi-lagi Sasuke sama sekali tak memperlihatkan pertanda bahwa dia keberatan.
Mereka makan dalam keheningan. Sebelumnya, Sakura sempat menyalakan televisi agar atmosfer yang bebaur di udara tidak terlalu lengang. Ekor mata Sakura melirik ke arah jam dinding. Pukul sembilan lebih lima. Tiba-tiba tubuhnya bergetar karena malu akan eksistensi Sasuke di sini.
"Kau sering mengalami hal seperti tadi?" tanya Sasuke tiba-tiba setelah keduanya selesai makan.
Sakura langsung menggigit bibirnya. Ekspresi wajahnya pucat. "Bukan sering, tapi ... aku pertama kali merasa diikuti begitu saat hari Jumat dua minggu yang lalu. Waktu itu aku shift siang juga. Senin sampai Jumat selanjutnya aku shift pagi dan tak ada yang mengikutiku lagi. Meskipun sudah berhenti, tapi aku tetap merasa takut. Dan tadi ... terjadi lagi. Entah mengapa aku berpikir penguntit ini hanya akan bertindak begitu jika aku pulang malam."
"Jadi benar kau dikuntit?"
Sakura meremas kain yang melapisi lututnya. "Aku tidak tahu ... tapi kejadian tadi saja sudah menakutkan."
Ekor mata Sakura melirik ke arah jam dinding lagi. Sepuluh menit sudah terlalui semenjak dia pertama kali melirik ke sana. Tiba-tiba Sakura baru saja sadar bahwa dia membagi masalah yang akhir-akhir ini membuatnya kalut pada Sasuke. Lelaki itu adalah orang pertama yang tahu. Entah dari mana Sakura menemukan kepercayaan untuk melakukan hal tersebut. Bahkan pada Shizune dan Ino saja dia masih menutupinya.
"Omong-omong, makanannya masih enak, 'kan, meskipun itu masakan tadi pagi yang dihangatkan?" tanya Sakura. Selain ingin mengalihkan pembicaraan, hatinya pun mendesak untuk menanyakan opini Sasuke mengenai masakannya. Meskipun Sakura tak begitu yakin akan mendapat jawaban yang menyenangkan jika mengingat tabiat lelaki itu.
"Ya."
"Ya apa?"
Sasuke mengalihkan pandangan dari Sakura. "Enak."
Sakura takjub sendiri mendengar jawaban Sasuke. Hatinya menghangat begitu saja. "Benarkah?"
"Hn."
Bibir Sakura terlalu bandel bila diajak kompromi untuk menahan senyum. Tanpa sadar, pikiran mengenai seorang lelaki masih ada di dalam rumahnya selarut ini menghilang seketika, digantikan oleh perasaan nyaman karena keberadaan Sasuke di sisinya.
Sasuke menggerakkan tangan hingga kemeja yang menutupi arlojinya merosot. Sakura sudah menduga apa yang akan Sasuke katakan. Dan dugaannya tepat.
"Ini sudah larut. Sebaiknya aku pulang."
Sakura mengangguk. Dia turut berdiri ketika Sasuke berdiri. Lelaki itu mengucap terima kasih atas masakan yang sudah dibuatnya. Kemudian keduanya melangkah ke luar rumah. Mengenyampingkan rasa takutnya, Sakura mengantar Sasuke sampai ke luar pagar.
"Tempat tinggalmu jauh?" tanya Sakura. Dia jadi berpikir ke mana-mana. Kekhawatiran mengenai Sasuke yang berjalan sendiri malam-malam di jalan ini timbul di hatinya. Dia menyilang jari di belakang punggung dan berharap Sasuke akan baik-baik saja.
"Tidak. Dua puluh menit dari sini."
"Hm ... oke."
Meskipun Sasuke sudah siap untuk pergi dari rumahnya, Sakura masih merasa nyaman dan aman selagi lelaki itu masih ada di dekatnya. Rasanya Sakura ingin merasa seperti ini terus. Dia ingat saat di jalan tadi, ada Sasuke yang meredam rasa panik dan takutnya. Bahkan, karena eksistensi lelaki itu di dalam rumahnya, dia tak lagi cemas mengenai pintu yang tidak dikunci. Dia harap perasaan nyaman dan aman ini bukanlah entitas yang interim. Kalau boleh, dia berangan ini akan menjadi sesuatu yang permanen. Dengan segenap keraguan, kegugupan, dan getaran kecil di dalam tubuhnya, Sakura memberanikan diri untuk bertanya, "Berhubung kau bilang masakanku enak ... kalau kuajak kau makan di sini lagi besok, kau mau?"
Sakura nyaris meleleh mendapati mimik muka Sasuke lebih lembut daripada datar yang selalu dipasang. "Besok aku akan menjemputmu lagi. Aku pulang dulu. Selamat malam, Sakura."
Senyum terulas di bibir Sakura secara refleks. "Selamat malam, Sasuke-kun. Hati-hati di jalan. Err ... kalau sudah sampai, kabari, ya?"
Sakura sempat mengutuk diri atas kata-kata terakhir yang dia ucapkan sebelum Sasuke pulang. Memangnya dia siapa meminta Sasuke untuk mengabari segala? Dia mengerang atas tindakannya dan menenggelamkan wajah ke dalam bantal untuk meredam rasa malunya. Terus seperti itu sampai tiba-tiba ponselnya berdering singkat. Sempat Sakura tegang karena khawatir itu pesan teror lagi. Nyatanya ketegangan itu membumbung tinggi ke awang-awang setelah pesannya dibaca. Dari Sasuke.
Aku sudah sampai. Kuncilah semua pintu rumahmu.
Sakura meredam wajahnya ke dalam bantal lagi. Kali ini bukan untuk meredam rasa malu, tetapi untuk meredam teriakan bahagia. Detak jantung Sakura tak bisa lebih kencang daripada yang dialaminya sekarang. Namun, dugaan itu ternyata salah. Karena esoknya, lusa, dan hari-hari berikutnya Sasuke ada di sini, pompaan jantungnya pasti semakin menggila dari hari ke hari.
.
—
.
Ino menoleh tak percaya sembari menaruh kembali gantungan pakaian yang sempat membuatnya terpincut. Ternyata pakaian itu tidak sebagus saat digantung. "Jadi, Sasuke-kun-mu itu makan malam di rumahmu selama seminggu terakhir?"
Sakura menempelkan pakaian pilihannya di tubuh. Matanya memandang ke arah cermin untuk memastikan kecocokan one piece itu pada tubuhnya. Hasilnya negatif. Bibirnya mengerucut. "Dia bukan Sasuke-kun-ku. Dan hanya lima hari."
"Kau bilang kalian baru saling mengenal kurang lebih enam minggu."
Pandangan Sakura mengikuti tubuh Ino yang menjauh darinya. Padahal mereka sedang bicara. Ino seolah-olah tengah memberi kode 'jika mau lanjut bicara, ikuti aku'. Hal tersebut membuat Sakura mendengus keras. Namun, dia tetap mengikuti Ino karena pakaian yang ada di sekitarnya sekarang tidak ada yang cocok dengannya.
Ketika kedekatan mereka cukup untuk Ino melihatnya, Sakura mengangguk. "Hu-um."
"Ya ampun, Sakura!" Ino benar-benar terperangah kali ini. "Mentang-mentang dia tampan, kau jadi mudah jatuh cinta begini."
Mata Sakura melebar. Jatuh cinta? Dia langsung menggeleng dan mengibaskan kedua tangannya dengan heboh. "Siapa yang bilang aku jatuh—"
"Kau menceritakannya sambil tertawa-tawa sendiri, senyum-senyum sendiri, melamun dengan tatapan mendamba. Kau masih mau bilang kau tidak jatuh cinta?" Ino menyilangkan tangan di depan dada sembari menatap Sakura dengan pandangan skeptis.
Sakura otomatis mengalihkan pandangan dan membentuk bibirnya menjadi kerucut. Pipinya terasa sangat panas menyadari kebenaran dalam kata-kata Ino. Dia harap tak ada merah-merah di sana sehingga alibinya kuat. "Oke, oke! Aku mengakui bahwa aku memang sedikit menyukainya."
Ino tertawa keras. Bukan tipikal tertawa yang menjaga imej. Dan hal tersebut membuat Sakura menganga tak percaya. Tumben sekali Ino tak menjaga imej di tempat umum begini. "Ya, sedikit. Sangat sedikit."
"Apaan, sih," dengus Sakura. Kemudian wanita itu melipir menjauh dari Ino untuk menghindari pengolokan lebih lanjut. Sakura bersumpah dia masih mendengar tawa Ino meskipun tiga rak pakaian sudah terlewati.
Telinga Sakura menangkap langkah kaki yang mendekat. Mungkin Ino. Berasumsi seperti itu, Sakura buru-buru memilih pakaian yang ada di rak pakaian secara asal-asalan. Dia melangkah ke kamar pas untuk menghindar lagi. Alasannya menghindar adalah sesuatu yang sederhana; dia pasti merasakan hal aneh setiap kali Ino membahas Sasuke. Dan dia tak ingin merasakan seperti itu. Setidaknya untuk sekarang.
Sakura menatap refleksinya di cermin. Dia takjub sendiri pakaian yang dipilihnya secara asal ternyata bagus. Padahal selama memilih malah tak menemukan yang cocok. Dia mengeluarkan rambut panjangnya yang masih berada di dalam pakaian dan menaruhnya di depan bahu. Tanpa pertimbangan lagi, Sakura akan membeli pakaian ini.
Tiba-tiba Sakura memikirkan soal kata-kata Ino. Jatuh cinta, katanya? Benarkah Sakura mencirikan seseorang yang tengah merasakan emosi itu? Di tengah pemikirannya, sosok Sasuke tiba-tiba terbayang di dalam benaknya. Sakura dapat menangkap pipinya yang memerah dari pantulan cermin. Dia langsung menutup wajahnya yang panas dan menggeleng keras. Apa itu tadi?
Sakura langsung mengganti pakaiannya lagi. Dia keluar dari kamar pas dan mendapati Ino sedang menyilangkan dada dengan tatapan kesal.
"Jadi dari tadi yang lama itu kau?" sinis Ino.
"Kau sendiri terlalu malas mencari kamar pas lain," balas Sakura. Dia menyingkir dari ambang jalan menuju kamar pas.
"Tunggu di situ, aku mau tanya pendapatmu," kata Ino.
Sakura mengangguk dan berjalan menuju tempat duduk terdekat. Tak lama setelahnya, Ino keluar dan meminta pendapat. Pakaian yang dipilihnya cukup bagus dan Sakura berpendapat sejujurnya. Mereka bertahan di factory outlet sampai belanjaan mengisi satu kantung bagi Sakura dan dua kantung bagi Ino.
"Ino, aku lapar," keluh Sakura sembari menepuk perutnya yang rata.
Tanpa tedeng aling-aling, Ino menyeret Sakura ke food court terdekat. Sambil menunggu pesanan, Ino mengetuk-ngetukkan kuku pada meja dan melampar tatapan menyelidik pada Sakura.
"Apa?" sewot Sakura.
"Sakura, kapan kau terakhir pacaran? Saat masih kuliah di Wina?"
Sakura diam sejenak dan berusaha berpikir. "Kurasa begitu."
"Empat tahun yang lalu?"
"Aku tidak mau menghitungnya."
Ino mengembuskan napas panjang. "Selama ini kau cerita murid-murid dansamu yang mengajak kencan—" Sakura lekas melempar tatapan tajam, Ino langsung berusaha memilih kata lain, "—maksudku makan bersama, tak pernah sampai ada yang pacaran denganmu, ya?"
"Tidak. Lagi pula mereka cuma berterima kasih. Tidak lebih."
"Itu, sih, kau yang tidak peka." Kedua mata Ino berotasi. "Bagaimana dengan Sasuke?"
Sakura mendadak gugup. "Sasuke ... dia juga hanya berterima kasih, kok."
"Berterima kasih apa? Bukankah dia kelihatan tidak suka kelas dansa?"
"Justru itu. Dia terpaksa ikut kelasku karena kameranya tak akan dikembalikan jika tidak hadir. Dua minggu lalu dia tak hadir, aku seharusnya melaporkannya, tapi aku tidak. Dan dia berterima kasih padaku untuk itu."
"Kau senyum-senyum lagi."
Sakura tersentak. Dia langsung mengalihkan pandangan. "Apa?! Ti-tidak, kok!"
Ino mendecak melihat Sakura yang masih menyangkal. Padahal dari binar mata Sakura setiap menyebut nama Sasuke saja sudah jelas bahwa wanita itu jatuh cinta. Tiba-tiba Ino merasa khawatir.
"Tadi kau bilang kameranya tidak akan dikembalikan? Siapa yang mengambilnya? Dan pada siapa kau harus melapor?"
"E-eh, aku lupa namanya. Pokoknya dia yang mendaftarkan Sasuke."
"Laki-laki atau perempuan?"
Secara mendadak, Sakura merasa hatinya gusar. "Perempuan, sih," dia menjawab dengan cicitan.
"Kau beberapa kali cerita padaku ada lelaki yang terpaksa ikut kelas dansamu karena dipaksa pacarnya. Apakah Sasuke salah satu dari itu?"
Udara yang Sakura hirup terasa seperti zat padat. Bahunya bagaikan diberi beban yang begitu berat. Kenapa selama ini dia tak berpikir sampai sana? Bisa saja wanita berambut merah yang mendaftarkan Sasuke waktu itu memang kekasihnya. Apalagi mengingat sifat memaksa sampai-sampai berani menyita kamera. Sakura yakin bila mereka hanya sekadar teman, wanita itu tak mungkin berani melakukan itu.
Baru saja Sakura mau membuka mulut untuk menanggapi, Ino buru-buru menyela, "Sakura, jaga perasaanmu. Sebelum terlambat." Entah hanya perasaannya saja, tetapi dia merasa Ino memandangnya dengan tatapan prihatin.
Sakura langsung tertawa. Tawa hambar. "Terlambat apa? Kalaupun wanita itu memang pacar Sasuke, bukan masalah. Bukankah sudah kubilang bahwa aku hanya sedikit menyukainya?"
Dan kegusaran hatinya semakin membengkak ketika dia sadar bahwa dirinya tengah membohongi perasaannya sendiri. Dalam diam dia merutuki keberadaan Sasuke yang akhir-akhir ini seakan menawarkan harapan. Tidak, mungkin memang Sakura saja yang terlalu berharap dengan bodohnya.
Sepertinya ... dia memang sudah terlambat.
.
—
.
Kamera tidak disita Karin minggu ini. Sasuke terheran-heran sendiri dia baru menyadari hal tersebut tepat sebelum dirinya berangkat ke studio Sakura. Jika tidak salah, kantor tempat Karin bekerja memang sedang outing. Pantas saja kemarin Karin tidak datang kemari. Itu berarti ... dia tak punya alasan untuk menghadiri kelas dansa. Toh kameranya pun tak disita.
Akan tetapi, benak Sasuke memutar kembali apa yang terjadi antara dirinya dan Sakura selama satu minggu ke belakang. Selama hari kerja, dia selalu menjemput Sakura dan makan malam di rumahnya. Sasuke bukan ingin modus, pendekatan atau apa pun. Dia hanya ingin melindungi Sakura setelah tahu jelas bahwa wanita itu ketakutan setiap kali pulang malam karena merasa diikuti seseorang. Dia pun tak paham apa yang menggerakkan hatinya sampai bertindak sebanyak itu.
Terlepas dari penyitaan kamera, tiba-tiba alasan untuk menghadiri kelas dansa muncul kembali: Sasuke ingin tahu bagaimana kabar Sakura setelah kemarin tak berjumpa.
Sasuke meraih tas kameranya kemudian disampirkan di bahu. Mungkin sehabis kelas dia bisa hunting foto, hal yang sudah lama tak dilakukannya karena tanggung waktu. Dia memakai sepatu sebelum menuruni lantai apartemennya sampai ke bawah. Kakinya melangkah sampai ke studio tari. Ketika sudah sampai, dia buru-buru menaruh tas kameranya di sudut ruangan yang merupakan tempat penyimpanan barang bawaan.
Kelas berjalan seperti biasanya. Namun, entah mengapa Sasuke merasa Sakura tidak menghampirinya sesering biasanya. Hal tersebut berlaku terus sampai Sasuke selesai mengganti pakaiannya setelah kelas berakhir. Bukan masalah, yang penting dia tahu bahwa Sakura berkabar baik.
Berusaha tak memikirkannya lebih jauh, Sasuke langsung berjalan menuju ke sudut ruangan untuk membawa barang-barangnya. Mengabaikan Sakura yang masih berada di dalam ruangan yang sama, dia menyampirkan tas kameranya di bahu. Tiba-tiba dia mendengar Sakura memanggil namanya.
"Itu kameramu?" tanyanya sembari berjalan mendekat.
Ditanggapi oleh anggukan.
"Tidak disita?"
"Tidak."
"Dan kau tetap datang? Kenapa?" Suara wanita itu tampak ditekan-tekan dan melengking tak percaya. Entah mengapa Sasuke merasa Sakura berusaha mengintimidasi dirinya melalui lemparan tatapan.
Sasuke langsung mengalihkan pandangan. Pikiran mengenai Sakura yang sadar akan hal ini benar-benar lepas dari otaknya. Seharusnya dia tak perlu membawa kameranya. Jika mau hunting foto pun, itu bisa dilakukan setelah dia pulang lagi ke apartemennya. Kalau sudah begini, dia jadi bingung harus menjawab apa. Dirinya yang ingin tahu kabar Sakura bukanlah sesuatu yang perlu Sakura ketahui.
"Aku mau hunting foto," jawab Sasuke. Tak peduli jawaban tersebut tidak relevan dengan pertanyaan Sakura. "Kau mau ikut?"
Sasuke tak melewatkan wajah Sakura yang terperangah. "Eh?"
"Lima hari kemarin aku makan malam di rumahmu. Sekalian kutraktir balik."
"Oh, itu tidak perlu dipikirkan. Lagi pula kau menemaniku pulang juga, membuat rasa takutku hilang." Wanita itu tersenyum lembut sembari mengibas-ngibaskan tangannya. Namun, dia tiba-tiba mundur seperti menjaga jarak. Sasuke menarik alis. Padahal dia sudah tak memakai parfum yang membuat Sakura bersin.
"Jadi, ikut atau tidak?"
Sakura tampak menimbang-nimbang. Tatapannya menerawang ke atas. "Hmm ... oke, deh." Suaranya terdengar ragu. Wanita itu menunduk dan menatapi pakaiannya. "Aku ganti baju dulu, ya? Yuk, kau tunggu di dalam saja."
"Hn," sahut Sasuke singkat. Dia mengikuti Sakura masuk ke dalam rumahnya. Samar-samar terdengar Sakura bergumam kecil, "Ini bukan apa-apa, Sakura!" dan hal tersebut sukses membuat Sasuke bingung. Lantas dia mendengar gumaman-gumaman lain. Telinganya berusaha mengabaikan bisik-bisik dari orang lain yang tak dia sadari masih ada di sini.
Sasuke duduk di ruang tamu sembari membuka kamera. Foto terakhir yang muncul di sana adalah foto yang diambil lebih dari satu bulan yang lalu. Akhirnya dia bisa mengembuskan napas lega karena foto-foto baru akan mengisi memori kameranya setelah ini.
Tak lama, Sakura keluar dari kamarnya menggunakan pakaian yang sudah diganti. Wanita itu mengenakan drop waist dress selutut, dengan warna putih gading, berkancing dan berkerah biru tua. Warnanya tampak terang layaknya pakaian baru. Rambut panjangnya digerai melewati bahu, poninya miring. Ketika Sakura berjalan mendekat padanya, samar-samar Sasuke menghirup aroma pengharum pakaian yang paling populer.
"Maaf lama," kata Sakura sembari menyelipkan rambut ke belakang telinga.
Sasuke masih diam dan menahan pandangan pada Sakura. Padahal dia belum berada di tempat tujuannya untuk hunting foto, tetapi objek di hadapannya cukup cantik untuk diabadikan. Tidak, kata 'cukup'-nya dibuang. Karena Sakura memang tampak cantik. Mati-matian dia menahan tangannya untuk mengangkat kamera dan menekan tombol shutter.
"Sasuke-kun?"
Sasuke langsung mengalihkan pandangan. Dia merasa ujung telinganya memanas. "... hn?"
"Berangkat sekarang?"
"Ah." Sasuke mengangguk.
"Sebentar, aku kunci studio dulu."
Sasuke tak menanggapi lagi. Yang dia lakukan hanyalah menunggu sampai Sakura kembali. Dan penantian tersebut tidak berlangsung lama.
"Kita ke mana?" kata Sakura sembari menutup pintu di belakangnya.
"Asakusa, kemudian ke Tokyo Skytree."
Salah satu alis Sakura terangkat. "Kau belum pernah hunting foto di sana?"
Sasuke mewajarkan pertanyaan Sakura. Dua tempat yang disebutnya sering menjadi lokasi yang tepat untuk menyalurkan hobi fotografi. Terutama Asakusa.
"Pernah. Aku mau mengambil angle baru."
"Tapi pasti ramai."
Sasuke mengangkat bahu. "Bukan masalah."
Percakapan mereka ditutup oleh anggukan paham dari Sakura. Kemudian keduanya melangkah sampai ke stasiun kereta bawah tanah. Selama menunggu kereta, lantas dilanjutkan menunggu sampai ke tempat tujuan, Sasuke merasa Sakura lebih diam daripada biasanya. Sesekali dia mendapati wanita itu melirik ke arahnya kemudian membuka mulut—seolah-olah ingin bertanya—tetapi langsung memalingkan wajah dan mengatup mulutnya lagi.
Sesampai di Asakusa, mereka memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Sasuke yang traktir, sesuai rencana awal. Kedai ramen menjadi pilihan lokasi makan.
Ketika makanan sudah tercerna dan jika dibawa jalan tak akan membuat kram perut, keduanya beranjak. Sasuke sama sekali belum mengangkat kameranya karena belum menemukan objek yang pas. Sakura berjalan lebih dulu di depannya. Tepat sebelum wanita itu memasuki salah satu toko, tangan Sasuke tergerak begitu saja untuk mengangkat kameranya dan menjepret objek yang tersaji di depannya. Foto candid Sakura adalah foto pertama yang dia ambil setelah lebih dari satu bulan kameranya tak digunakan.
Sakura tidak banyak belanja, hanya membeli kue beras dan pernak-pernik kecil yang menurut Sasuke lebih cocok dibeli oleh turis, tetapi wanita itu ingin mengunjungi semua toko. Tak bisa dipungkiri bahwa Sasuke lelah karenanya. Namun, lelaki itu menikmati waktunya saja selagi objek foto masih terhampar di pandangannya.
"Kau mau?" kata Sakura sembari menyodorkan sebungkus kue beras.
Sasuke menggeleng. "Tidak, terima kasih."
"Sudah dapat foto?" Sakura memiringkan kepala untuk melirik ke arah kamera Sasuke yang sedang ada pada mode pratinjau. Sebuah foto yang didominasi warna merah dari sekitaran Asakusa.
Sasuke mengembuskan napas lega foto yang tengah dilihatnya sekarang bukanlah foto yang menjadikan Sakura sebagai objek utamanya, tidak seperti foto baru sisanya. Dia meneguk ludah sebelum menjawab, "Sudah."
"Banyak tidak?"
"Lumayan."
"Bagus?"
Sebulir keringat dingin menetes dari pelipis Sasuke. "... tentu saja."
"Boleh kulihat?"
"Tidak," jawab Sasuke dengan cepat. Terlalu cepat, hingga membuat mata Sakura menyipit curiga.
"Pelit!" keluh Sakura dengan bibirnya yang mengerucut samar. Kemudian dia meninggalkan Sasuke di belakangnya.
Sasuke mendengus menahan tawa. Dia dapat objek foto lagi. Sakura tengah menoleh ke kanan, rambutnya ditiup angin hingga berterbangan. Di belakangnya terdapat kelopak-kelopak merah muda yang masih menempel pada pohonnya. Cocok, batin Sasuke. Kemudian kameranya diangkat dan mengambil foto baru lagi.
Setelahnya, dia langsung melebarkan langkah kaki sampai berjalan di sisi Sakura kembali. Dan tepat setelah mereka bersisian, derap langkah keduanya melambat. Tanpa sadar mencirikan dua pasang insan yang saling jatuh cinta. Detak jantung Sasuke bertambah cepat seketika.
"Sasuke-kun, kau tahu tidak kalau turis itu biasanya punya pengetahuan wisata yang lebih baik daripada penduduk asli?" tanya Sakura sembari merogoh sling bag dan mengeluarkan ponsel.
"Hn?"
"Iya, kalau turis jalan-jalan, mereka pasti cek TripAdvisor terlebih dahulu. Sementara penduduk asli biasanya masa bodoh. Yang penting jalan-jalan." Sakura menunduk sambil memerhatikan layar ponselnya. Layarnya masih pecah. Sasuke benar-benar penasaran apa yang membuatnya pecah, tetapi berpikir bahwa itu bukanlah sesuatu yang penting untuk ditanyakan.
"Aku mau cek TripAdvisor. Siapa tahu selama ini aku melewatkan sesuatu dari Asakusa."
Setelah cukup lama berkutat dengan ponselnya, Sakura mengangkat wajah dan memasukkan ponsel ke dalam sling bag-nya. Dia menengadah dan memejamkan mata sejenak. "Sudah sore, ya. Tidak terasa."
Sasuke menarik alis, lantas melirik arloji. Pukul empat sore. Putaran jarum jam memang benar-benar tidak terasa.
"Apa yang kautemukan?" tanya Sasuke.
"Oh, iya." Sakura menaruh ibu jari di ujung tali tasnya. "Aku menemukan saran untuk mengunjungi sungai Sumida. Tapi bagusnya malam, sih. Tokyo Skytree juga kelihatan dari sana. Kau pernah melakukan itu? Aku belum, meskipun ini bukan pertama kali aku ke sini."
"Sama."
Wanita itu menengadah sekali lagi. Sasuke refleks mengikuti karena penasaran apa yang sedari tadi Sakura lihat atau cari.
"Malam masih lama, ya ..."
"Kupikir kau takut malam."
"Aku takut malam di jalan sepi. Di sini, 'kan, ramai. Jadi rasa takutnya tidak berlaku." Sakura menoleh ke arahnya dan tersenyum lembut. "Omong-omong, dari tadi kau belum ambil foto di kuil Sensoji, ya?"
"Aku sudah melakukan itu beberapa tahun yang lalu."
Sakura mengernyit. "Katanya kau mau cari angle baru." Dia menarik lengan Sasuke sekilas, kemudian melepaskannya lagi seolah-olah tengah ketahuan mencuri. Kali ini Sasuke yang mengernyit. "Ayo foto di sana! Kau belum pernah foto kuil Sensoji dengan aku di depannya, 'kan? Ah, benar juga. Masa dari tadi kau tidak menawariku foto? Huh."
Jika Sasuke sedang makan, dia pasti sudah tersedak sekarang. Dia berdeham untuk mempertahankan ketenangannya. Tanpa berkata apa-apa, dia melangkah mendekati kuil Sensoji. Sakura langsung menyusul di belakangnya.
Setelah mengambil foto Sakura, dia lekas menurunkan kameranya. Wanita itu berlari kecil ke arahnya. "Aku mau lihat fotonya," katanya.
"Tidak."
"Ayolah, Sasuke-kun. Aku, 'kan, modelnya. Masa tidak boleh?"
Sasuke mendengus. Dia memperlihatkan beberapa foto Sakura yang diambil di atas kesadaran gadis itu. Kameranya masih dipegang erat-erat untuk menghindari Sakura yang tiba-tiba merebutnya kemudian melihat foto sisanya. Membayangkannya saja sudah membuat ujung telinga Sasuke memanas.
"Kau mau kufoto?" tawar Sakura.
Dan memberikan kameranya pada Sakura? "Tidak."
"Pantas saja kau rela ikut sesuatu yang tak kau suka demi kameramu," komentar Sakura. "Kelihatannya kau bahkan tak suka orang lain menyentuhnya." Telunjuknya menunjuk pada kamera yang mengalungi leher Sasuke.
"Hn."
Kerucutan bibir Sakura berhenti. "Sekarang ke Tokyo Skytree?"
"Kau bilang kau mau ke sungai Sumida."
"Eh?" Kedua mata Sakura melebar. "Tapi, 'kan, kau yang berniat pergi sejak awal. Aku hanya mengikuti."
"Tidak apa-apa. Lagi pula sungai Sumida lebih dekat."
"Hmm ... jadi kita menunggu malam di sana?"
"Hn."
"Kalau begitu, aku mau beli kue beras lagi untuk camilan nanti."
Sasuke menarik sebelah alis. "Yang tadi sudah habis?"
Sakura tertawa kecil. Pipinya memerah. "Sudah," kekehnya.
Dan Sasuke memiliki sebuah konklusi: selama ini Sakura makan sedikit ketika bersamanya hanyalah tindakan dari imej yang harus dijaga. Dia tak paham mengapa Sakura perlu menjaga imej di hadapannya segala.
.
—
.
Pipi Sakura mengembung karena diisi terlalu banyak kue beras. Sikunya bersandar pada pagar yang membatasi daratan dan sungai. Wanita itu menatap air mengalir di depannya dengan serius. Seolah-olah ketenangan dari aliran tersebut turut menyusup ke dalam pori-porinya.
Sasuke otomatis mengangkat kameranya dari pinggir. Wajah Sakura unik dan perlu diabadikan. Dia mengatur fokusnya, kemudian menjepret objek di hadapannya. Bunyi. Sial, Sasuke mengutuki keheningan yang berbaur di antara keduanya. Belum sempat dia pura-pura memotret objek lain, Sakura lebih dulu menoleh dan teriak, "Hei!" Tangannya masih membekap mulut. Mungkin takut kue berasnya keluar dari sana.
"Kau memfotoku diam-diam!" ujar Sakura setelah menelan isi mulutnya. "Pasti jelek. Hapus!"
Sasuke mengeratkan pegangan pada kameranya. "Tidak mau."
"Jangan buat aku memaksa!" Sakura melangkah mendekati Sasuke. Tangannya menggapai-gapai ke depan untuk meraih kamera. Gagal.
"Fotonya tidak jelek."
"Bohong!"
"Diam dulu," ucap Sasuke. Sakura langsung menurut. Dia membuka pratinjau foto Sakura dengan pipi mengembung. Kameranya diputar sehingga Sakura dapat melihat layarnya. "Lihat sendiri."
Sakura mendengus kesal. "Fotonya tidak jelek, tapi mukaku jelek!"
"Hn."
"Sasuke-kun!"
Sasuke tak menjawab.
"Hapus!"
"Tidak."
"Hapus!"
"Tidak."
"Argh, tapi tak akan disebar, 'kan?"
Sasuke menyeringai. "Kau mau foto ini disebar?"
"Jangan!"
"Hn."
Sasuke menahan senyum menyadari Sakura tak berusaha lagi. Kali ini pipi wanita itu mengembung karena kesal. Tatapan yang tertuju pada aliran air itu semakin lama semakin melembut, sampai raut-raut kesalnya benar-benar menghilang.
Mata Sakura menatap kamera Sasuke sekilas. "Sejak kapan kau tertarik pada fotografi?" tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaan yang mestinya lolos dari bibir seorang teman, lagi. Kali ini Sasuke tak lagi merasa aneh pertanyaan itu terlepas dari Sakura. Bahkan kelewat biasa saja. "Semenjak SMA. Dari ekskul."
Sakura mengalihkan pandangan dari sungai pada Sasuke. "Tapi kenapa kau berakhir jadi programmer?"
Sasuke mengangkat bahu. "Pemikiran yang kolot. Teknik Informatika adalah jurusan dengan prospek kerja yang luas. Aku mencari jurusan dengan prospek kerja yang luas."
"Tapi kau tidak menyesali pilihanmu, 'kan?"
"Tidak."
"Hmm." Sakura mengangguk-angguk mengerti.
"Bagaimana ... denganmu?"
Sakura menoleh lagi dan sedikit terkejut. "Aku apa?"
"Tentang dansa, perpustakaan, apa pun itu."
"Oh." Wanita itu tersenyum lepas. "Aku suka dansa karena ekskul, sama denganmu. Dulu aku kacau sekali. Lebih mementingkan ekskul daripada sekolah, meskipun dari ekskul aku meraih banyak prestasi. Nilaiku jadi jelek. Aku putus asa untuk daftar jurusan yang umum, jadi aku fokus saja pada bidang yang kuminati. Dan hal itu membuatku dapat beasiswa kuliah di Wina, dengan jurusan yang tak jauh dari tari, tentu saja.
"Pulang ke Jepang aku kesulitan mencari kerja yang terkait dengan jurusanku. Dan saat itu aku punya target untuk membangun lapangan kerja sendiri, membuat studio tari. Tapi jelas itu membutuhkan modal besar. Modal itu kudapatkan dari bekerja di perpustakaan. Dan setelah studio selesai dibangun, studioku lumayan ramai, aku malah tak bisa lepas dari perpustakaan. Buku dan tari sudah menjadi sesuatu yang tak bisa dipisahkan dari hidupku. Dengan bekerja di perpustakaan, lebih mudah jika mau membaca, bukan? Itulah sebabnya aku akhirnya memutuskan untuk membagi waktu saja. Dan jadilah seperti sekarang."
Sasuke diam. Dia bahkan tak menduga Sakura pernah kuliah di luar negeri. Meskipun Sakura menceritakan terlalu banyak, entah mengapa sama sekali tak terasa kesan sombong yang wanita itu umbar.
"Omong-omong, kau mungkin pernah heran soal rumahku. Aku sengaja membuat rumahku sempit agar studio bisa lebih luas. Kupikir yang betul-betul kubutuhkan hanya kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Jadi ... yah, begitulah," tutupnya. Dia membekap mulut dan lekas membukanya lagi. "Oops, maaf. Kurasa aku terlalu banyak bicara."
Sasuke menggeleng, memberi kial bahwa dia tak keberatan akan Sakura yang banyak bicara. "Aku sudah menduga soal rumahmu itu."
"Benarkah?"
"Hn."
Suara angin dan samar-samar aliran air beresonansi di udara. Ujung mata Sasuke tertuju pada Sakura. Kerah biru tua pakaian wanita itu bergerak-gerak ditiup angin. Sebelah tangannya memegang ujung rok sebagai oponen dari tiupan. Bibirnya digigit, sekilas tubuhnya bergetar singkat disebabkan gigil interim. Sakura tampak seperti seseorang yang tengah diselimuti ranyah.
Dia melirik ke arah Sasuke dengan mulut yang terbuka, tatapan mereka bersirobok selama beberapa detik. Bibirnya bergerak-gerak kaku, seperti ingin bicara tetapi tak ada suara yang membahana. Meskipun pandangan mereka saling menjerat, dan Sasuke yakin Sakura sadar bahwa Sasuke tahu dirinya ingin mengatakan sesuatu tetapi ragu, Sakura tetap saja membuang mata lagi dan membekap mulut.
Kejadian di perjalanan menuju Asakusa terulang lagi. Sakura seolah-olah ingin bicara, tetapi terus membatalkannya. Sasuke menatapnya dengan sorot keheranan dari samping. Penasaran menggerogoti hatinya. Apa yang mau Sakura katakan? Mengapa dia tampak ragu saat berkehendak untuk bicara?
"Bicara saja," kata Sasuke. Dia mati-matian menahan intonasi membujuk.
Keterkejutan yang melintasi wajah Sakura sama sekali tak terlewatkan. "Apa?"
"Kalau mau bicara, ya bicara saja."
Berdirilah keheningan yang cukup lama. Kali ini tangan Sakura tak hanya memegang ujung terusannya untuk melawan angin, melainkan memilinnya dengan resah. Dia menggigit bibir bawahnya keras sekali hingga memutih. Sasuke yakin bibir Sakura pasti terasa sakit. Tangannya berpindah tugas menjadi memainkan kancing pakaiannya. "Sasuke-kun?"
"Hn?"
Terdengar embusan dan tarikan napas panjang yang dilakukan berkali-kali. Dari samping, Sasuke bisa melihat wajah Sakura diraut kecemasan dan kegugupan.
"Kau ... kau punya pacar? Mmm ... maksudku, apakah ada yang marah kalau kau seperti ini denganku?" Sakura menengadah. Tatapannya bersirobok dengan sorot mata Sasuke yang sangat keheranan. Jadi ini yang sedari tadi mau Sakura katakan? "Pertanyaan yang tadi tidak usah dijawab juga tidak apa-apa," kata Sakura.
Sakura menunduk lagi. Sasuke menunggu Sakura mengangkat dagunya kembali. Ketika sudah terjadi, barulah dia menimpali, "Tidak."
Sakura jelas-jelas kelihatan terkejut lagi. "O-oh, ya?"
"Aa."
Ketegangan di bahu Sakura menghilang sepenuhnya. "Syukurlah."
Kedua sudut bibir Sasuke terasa geli. "Syukurlah apa?"
"E-eh! Bu-bukan apa-apa!" Kedua tangan Sakura dikibas-kibaskan dengan heboh. Pipinya memerah sempurna. Tidak, bukan hanya pipi. Ronaan itu menjalar ke seluruh wajahnya. Bahkan samar-samar muncul di leher.
Sakura menempelkan telapak pada lengannya yang telanjang. Dia memeluk tubuhnya sendiri erat-erat. Senyumnya lepas. Senyum lepas yang menular. Terbukti dari sudut-sudut bibir Sasuke yang menarik ototnya hingga membentuk senyuman tipis. Kedua tangan yang memeluk itu terbuka lebar. Napas lega yang biasanya lolos dari seseorang yang baru saja selesai olahraga terlepas dari hidung Sakura.
"Omong-omong, sebentar lagi murid-muridku, yang kuajari di SMA—ekskul maksudnya, akan ikut kompetisi. Kalau kuajak kau ikut menonton kompetisi itu, kau mau tidak?" kata Sakura tiba-tiba.
"Kapan?"
"Hmm ... 28 Maret."
Sasuke diam. Dia mencoba menghitung tanggal 28 Maret itu hari apa dan memastikan jadwalnya. "Sabtu depan? Aku kosong."
"Jadi kau mau?" Suara Sakura terdengar melengking tak percaya.
Kalau Sakura sudah menemaninya menekuni hobi, kenapa dirinya tidak melakukan hal yang serupa pada wanita itu? "Ya."
"Astaga, terima kasih, Sasuke-kun!" Sakura membuka tangannya dan memeluk Sasuke erat-erat. Sasuke tersentak, tetapi tak melakukan apa pun untuk menolak. Sempat dia berniat untuk balas membungkus tubuh Sakura dengan dekapan balik. Tindakannya dipotong oleh Sakura yang menarik diri. Wajahnya memerah. Dia berdeham. "Maaf. Itu refleks."
Jika bukan refleks dan Sakura tetap pada posisi tadi pun, Sasuke tak keberatan.
.
—
.
Tenggelamnya matahari terjadi beberapa menit yang lalu. Lampu-lampu di sekitar mulai menyala seperti bintang di bawah. Cahaya paling menarik atraksi adalah kumpulan kandela dari Tokyo Skytree. Sinar-sinar tersebut memantul indah di permukaan sungai yang mengalir santai.
Pagar-pagar logam mulai mendingin. Sakura memutuskan untuk menjauh dari sana karena pakaian yang dikenakannya pun sudah cukup untuk membuat dingin. Tahu sampai malam begini, Sakura pasti akan memakai pakaian yang lebih panjang, setidaknya yang menutupi lengannya. Atau membawa jaket.
"Sakura."
Mendengar namanya dipanggil, dia tersenyum terlebih dahulu sebelum menoleh. Entah apa alasannya, dia selalu suka setiap kali Sasuke memanggil namanya. Lelaki itu melempar sebuah kain. Sakura menangkapnya dan mengetahui bahwa itu adalah jaket. Jaketnya belum dipakai, tetapi hangat sudah merambat ke dalam hatinya.
"Aku jadi kepikiran," ucap Sakura pelan-pelan. "Sejak kapan kau jadi manis begini? Padahal dulu kau kelihatan sangat sebal padaku."
Sasuke mengalihkan pandangan dan mendecih. "Aku tidak manis."
Sakura tertawa menanggapinya. Dia mengembalikan jaketnya pada Sasuke. Lelaki itu langsung menayangkan keheranan di wajahnya.
"Foto dulu, nanti baru kupakai jaketnya," ucap Sakura dengan nada jenaka. Dia tak melewatkan Sasuke yang tampak kesal, tetapi tetap menerima jaketnya kembali dan memundurkan tubuh untuk mengambil gambar. Samar-samar Sakura mendengar gumaman 'dasar' dari Sasuke.
Sakura tersenyum ke arah kamera. Latar belakang fotonya adalah cahaya-cahaya dari gedung dan Tokyo Skytree, ditambah pantulannya di permukaan sungai. Flash kamera beberapa kali membanjiri wajahnya. Dalam hati dia berharap wajahnya tak berminyak, sehingga hasil fotonya bagus.
Sasuke langsung memperlihatkan hasilnya. Yang lelaki itu berikan pada Sakura hanyalah foto-foto yang baru diambil barusan. Entah mengapa Sakura merasa Sasuke tengah menyimpan rahasia di kameranya, sampai-sampai sangat anti bila kameranya disentuh orang lain. Mungkinkah ada foto aneh-aneh? Sakura langsung menggeleng karena sadar bahwa di sini justru dia yang berpikiran aneh.
"Kau yakin tidak mau kufoto? Latar belakangnya bagus, lho," ujar Sakura.
"Tidak, terima kasih."
"Bagaimana kalau kubilang aku mau foto bersamamu?"
"Aku tidak bawa tripod."
"Minta tolong pada orang lain ...?"
"Tidak."
"Ya ampun, Sasuke-kun," keluh Sakura. "Ini memang kau yang tak mau kameramu disentuh orang lain, atau kau yang tak mau foto bersamaku?"
Sasuke mengedikkan bahunya. Hal tersebut membuat Sakura mendecak kesal.
"Selfie, kalau begitu," ucap Sakura. Sebenarnya dia sendiri malu jika Sasuke menyetujui. Selfie artinya mereka harus berdempetan untuk bisa tertangkap kamera. Namun, dia ingin memastikan apa alasan Sasuke.
"Hn?"
"Selfie," ulang Sakura lagi. "Kameranya tidak usah disentuh orang lain dan kita tetap bisa foto bersama."
"Hasil selfie selalu jelek."
Sakura mengembuskan napas panjang. "Kau memang tak mau foto bersamaku, ya?"
Sasuke tak menjawab dan meninggalkan Sakura di sana begitu saja. Cemberut di wajah Sakura semakin mendalam. Hatinya merasa tak enak. Semua itu bertahan sampai dia melihat Sasuke bicara pada orang lain, kemudian orang tersebut sama-sama berjalan mendekatinya. Kamera Sasuke ada di tangan orang itu. Sakura menganga tak percaya.
Tiba-tiba Sasuke sudah berdiri di sisinya. "Cepat lihat kamera," titahnya sinis.
Masih dikuasai keterkejutan, Sakura menjadi kaku. "Ah, iya."
Sakura bersyukur jarak Sasuke dengannya cukup jauh, dibatasi sekitar tiga jengkal, sehingga detak jantungnya tak mungkin terdengar. Kemudian orang yang memegang kamera Sasuke meminta mereka untuk saling mendekat. Keduanya langsung saling menoleh secara refleks, lantas buru-buru mengalihkan pandangan. Kalau foto diambil lagi sekarang, Sakura yakin di cetakannya akan memperlihatkan kemerahan di pipinya.
Juru foto sementara itu masih menunggu. Ragu-ragu Sakura menggeser tubuhnya. Pelan, pelaaaan sekali. Dia merasa bahunya bersinggungan dengan bahu Sasuke. Tangannya terangkat sampai memegang kain yang melapisi lengan Sasuke. Pergerakan tersebut dilingkupi perasaan skeptis. Napas Sakura tertahan, pipinya semakin memanas ketika sadar bahwa Sasuke sama sekali tak menolak. Saat foto diambil, Sakura langsung menjauh, dan Sasuke lekas mengambil kameranya.
Kedua-duanya mendadak canggung. Sakura mengenyampingkan keinginan untuk melihat hasil fotonya. Dia lebih memilih untuk memandang jauh ke seberang sungai daripada bertanya apa-apa. Itu terus terjadi sampai Sasuke menyentuh lengannya. Kontak dari kulit ke kulit tersebut membuat tubuhnya merinding. Dia menoleh dan mendapati Sasuke menyodorkan jaket.
"Sudah waktunya makan malam," kata Sasuke, tak melepaskan tatapan dari arloji.
"Iya," tanggap Sakura. Dia menempelkan jaket Sasuke di bahunya. Tangannya tak dimasukkan. Kancing jepret yang ada di kerah disatukan sampai terdengar bunyi 'klik'. Dia mencoba tersenyum di tengah canggungnya. "Masih ditraktir?"
"Aa."
Tanpa berkata apa-apa lagi, keduanya langsung meninggalkan panorama sungai Sumida dengan langkah yang lambat, makan bersama sampai dinding kecanggungan meleleh dengan sendirinya, naik kereta bawah tanah ke arah yang berlawanan untuk pulang, sampai Sasuke mengantar Sakura ke rumahnya kembali.
Suara decitan pagar menetas kesenyapan. Langkah pertama diambil, kemudian Sakura kembali membalik badan. Pembatasnya dengan Sasuke adalah pagar yang belum ditutup. Sakura meremas-remas tangannya dan tersenyum lembut.
"Besok perlu kujemput?" tanya Sasuke.
"Aku shift pagi. Tidak juga tidak apa-apa. Lagi pula kau pulang lebih malam, 'kan?" Sakura melempar senyum lagi yang sebenarnya tak bisa sirna semenjak di kereta.
Sasuke mengangguk. "Hari Sabtu aku menjemputmu pukul berapa?"
"Acaranya mulai pukul enam. Jadi pukul lima sore saja." Tiba-tiba Sakura tak sabar menunggu tanggal 28 Maret—hari ulang tahunnya—datang. Padahal beberapa tahun terakhir dia agak sentimen pada hari ulang tahun karena mengingatkannya pada umur yang semakin tua. "Lokasinya kuberi tahu nanti. Aku agak lupa, tapi sepertinya jauh."
"Baiklah." Sasuke menunduk dan melirik arlojinya. Pukul setengah sembilan. Dia mengangkat wajahnya lagi dan menatap Sakura. "Aku pulang dulu. Selamat malam, Sakura."
Sakura mengangguk. Ada sebersit rasa tak rela harus berpisah dengan Sasuke, tetapi dia tetap melambaikan tangannya. "Selamat malam. Hati-hati di jalan."
Sasuke memutar tubuhnya. Sakura belum mau masuk ke dalam rumah. Kemudian melintas sesuatu di benaknya.
"Sasuke-kun!" Ketika lelaki itu menoleh, Sakura buru-buru bicara, "Terima kasih untuk hari ini ... dan ... kalau sudah sampai, jangan lupa kabari aku."
Sasuke menanggapi dengan cara mengangkat sebelah tangannya. Setelah Sasuke menghilang di persimpangan, Sakura lekas masuk rumah dengan tergesa-gesa. Pintu rumahnya dikunci. Saat itulah dia baru sadar bahwa jaket Sasuke masih menempel di bahunya. Dia benar-benar lupa soal ini. Padahal Sasuke tak mungkin lupa karena melihatnya, tetapi kenapa lelaki itu tak bicara apa-apa?
Sebelum beranjak ke tempat tidur, Sakura membersihkan diri terlebih dahulu. Tepat ketika dia keluar dari kamar mandi, ponselnya menderingkan nada tanda pesan masuk. Sesuai dugaan, pesan itu dari Sasuke.
Aku baru sampai. Titip jaketku. Yang itu tak membuatmu bersin, 'kan?
Kejadian saat Sakura pertama kali menerima pesan dari Sasuke sebelum ini terulang kembali, meskipun sarung bantal yang meredam teriakan bukanlah kain yang sama. Suara teriakan yang bukan karena ketakutan masih terdengar meskipun wajah Sakura tenggelam ke dalam bantal. Teriakan itu berhenti, dan bibirnya tak henti-hentinya tersenyum. Senyum yang mencapai mata.
Ada notifikasi lain dari aplikasi chatting. Nama Sasuke yang muncul di sana. Sakura baru ingat bahwa ada aplikasi yang langsung menyambungkan dengan isi kontak, sehingga kontak Sasuke langsung masuk ke sana. Dia buru-buru mengeceknya. Dan isi chat yang masuk adalah rentetan foto-foto yang Sasuke ambil tadi. Terlepas dari kebutaannya terhadap hal-hal berbau fotografi, Sakura senang melihatnya karena menurutnya hasil foto-foto tersebut memang melampaui rata-rata, bukan hasil tangan asal-asalan.
Dua foto terakhir yang Sasuke kirim adalah foto mereka berdua. Foto yang pertama adalah foto ketika mereka terbatasi tiga jengkal, dan foto yang kedua adalah ketika mereka berdempetan. Sakura tak bisa menahan senyumnya. Dia menekan layar menggunakan dua jari sampai layar lebih besar dan lebih fokus pada wajah Sasuke. Tiba-tiba pipinya memerah.
"IIIH GANTENG!"
Sakura membekap mulut dan mengekeh sendiri mengingat kelakuannya tampak tak sesuai dengan usianya, malah seperti remaja. Matanya sulit lepas dari layar kendatipun kantuk sudah menerjang otaknya. Dia suka, sukaaa sekali foto berduanya dengan Sasuke. Baik yang berjarak maupun yang tidak. Di foto tersebut Sasuke tak memakai jaketnya, membuat Sakura sadar bahwa warna pakaian mereka senada. Kemeja Sasuke berwarna putih; ban tangan, kerah, dan sakunya berwarna biru laut. Sakura menenggelamkan wajahnya lagi, kali ini dalam keadaan tersenyum.
Ada chat baru dari Sasuke yang hanya berisi satu kata 'bonus'. Menyusullah sebuah screenshot kontak Sakura yang diatur dengan foto pipi gembil berisi kue beras. Sakura mendengus kesal sekaligus tertawa-tawa kecil. Dia buru-buru mengetik balasan 'awas kalau disebar' dan menekan tombol kirim.
Malam ini Sakura benar-benar mengabaikan wacana radiasi dari ponsel. Terbukti dari dia yang tertidur dengan ponsel berlayar pecah didekap erat di dada. Padahal, biasanya ponsel selalu ditaruh menjauh dari tubuh selama tertidur.
Terbangun masih dalam kondisi sama—ponsel di dada, dan senyum yang masih saja persisten—membuat Sakura tak bisa menyangkal perasaannya lagi. Perasaan bahwa dia memang jatuh cinta pada Sasuke.
.
—
Bersambung
—
.
A/n:
Sudah. Berusaha. Bikin. Sasuke. Tetap. IC. Tapi ... kayaknya gagal ya :(( ada OOC-nya heheu. Semoga dimaafin ya karena ini AU, ahahahaha. Kalo Sakura, ya dia mah fleksibel karakternya. Meskipun di sini dibuat OOC dianya jadi penakut hkhk kalo di canon mah ya tonjok aja itu si penguntit xDD
Tadinya udah publish chapter 1 dan 2. Tapi kesel bacanya alurnya kecepetan, dan nggak tau apakah di versi revisi ini lebih baik apa nggak. Saya lagi semacam ngerasa nggak pede sama tulisan sendiri, terutama di bagian pemaparan alur. Apakah terlalu cepat atau sebaliknya. Buat yang punya masukan, kritik, apa pun, boleh banget kasih. Nggak usah segan, saya nggak gigit xD Saya betul-betul lagi butuh kritik buat bantu saya bisa nulis lebih baik :'3
Dan whew. Ini panjang sekali. Nggak nyangka saya bisa eksekusi lanjutan dari chapter 2 sepanjang ini. Terus ini AU. Ya ampun. Jarang nulis AU dan sekalinya nulis langsung kek gini. LOL. Angst-nya belum ada ya di chap ini ... hehehehe. Develop hubungan SasuSaku dulu baru masuk konflik ._.
Tadinya ini mau di-cut di scene ultah Sakura dan di-publish tanggal 28 Maret. Tapi nggak sempet. Dan hayati sudah pusing karena terlepas dari chapter 1 dan 2 yang di-edit, sisanya pun udah panjang banget wkwkwkwk. Ya udah. Scene ultah Sakura chapter depan aja deh ;D
Terima kasih sudah membaca sampai sini. Terima kasih buat yang sudah kasih feedback untuk fic ini sebelumnya. Kalau ada kesalahan mohon bantu koreksi, ya. Any kind of feedbacks are welcomed ;D
daffodilafy (saya ganti penname. Gak ganti-ganti amat, sih, wkwk. Anyone notice? :p)
Note (sampah) tambahan:
GW JODOH SAMA DEVA MAHENRAAAA. PAS LAGI NGETIK SCENE DI ASAKUSA SECARA KEBETULAN DEVA UPLOAD 3 VIDEO BERLATAR ASAKUSA DI IG :333 makasih Bang Deva bantuin riset keadaan di Asakusa secara nggak langsung wkwkwkwk
