Title :His Life Gives Me an Inspiration
Disclaimer : Semua karakter dan sebagian besar penokohan dimiliki oleh mangaka Fairy Tail yaitu Om Hiro Mashima. Ada pun tema, latar/setting, dan alur cerita sepenuhnya dimiliki oleh Author cerita ini. Tidak ada keuntungan materiil apapun untuk author
Genre :Sci-fi; romance; mystery; hurt/comfort; friendship; poetry
HIS LIFE GIVES ME AN INSPIRATION
Hidup dengan penuh kemewahan mungkin merupakan impian bagi sebagian besar manusia di seluruh pelosok dunia. Mereka berlomba-lomba untuk menjadi yang terkaya demi memuaskan kebahagiaan batin mereka. Tapi itu tidak bagi Lucy Heartfilia. Ia lebih memilih tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil yang letaknya agak jauh dari keramaian Kota Roma. Padahal, seharusnya ia adalah seorang pewaris tunggal keluarga Heartfilia yang terkenal sebagai salah satu keluarga terkaya di New York. Namun, kenyataannya ia lebih memilih hal lain yang menurutnya lebih berharga, yaitu impiannya menjadi seorang penulis novel ternama. Karena itulah Lucy meninggalkan Heartfilia residence demi mencari inspirasi untuk menulis novelnya, meskipun ayahnya, Jude Heartfilia tidak pernah menyetujuinya.
Ini hari pertama Lucy menempati tempat tinggalnya yang baru itu. Ia baru memindahkan barang-barangnya ke tempat di mana ia akan menghabiskan hari-harinya tersebut. Tempat itu sangat berantakan karena Lucy sama sekali belum menata rumah kontrakannya yang hanya memiliki empat ruangan itu. Barang-barangnya masih berserakan di lantai. Hanya ada beberapa barang yang sudah terletak pada tempatnya. Dapat dihitung itu adalah kasurnya yang telah ia letakkan di atas ranjang dan sebuah jam dinding yang baru saja digantungkannya tepat berseberangan dengan ranjangnya. Hal itu karena Lucy masih terlalu lelah untuk merapikan barang-barangnya, ditambah lagi dengan keinginan besarnya untuk langsung menulis.
Meskipun tidak ada ide yang terlintas di benaknya, Lucy tetap saja membiarkan dirinya terduduk di depan meja kayu yang terletak tepat di samping jendela kamarnya. Sesekali matanya melirik keluar jendela. Sunyi dan gelap. Hanya ada suara angin malam yang berhembus meniup gorden jendelanya sampai ke rambut pirang sepunggungnya yang terurai. Sesekali ia menguap. Wajah cantiknya terlihat lelah. Namun, dengan sekali tarikan napas ia langsung meregangkan tubuh langsingnya dan kembali fokus pada secarik kertas yang ada di hadapannya. Ia langsung menorehkan pena merah mudanya yang bertinta hitam di atas kertas putih itu. Sudah ia putuskan untuk menulis perasaannya saja saat ini sebelum ia mendapatkan ide untuk menulis cerita yang sebenarnya.
Jemari lentik Lucy terus saja menari-nari di atas kertas putih, menggoreskan noda hitam yang berbaris dengan rapi. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena gadis itu tidak kuasa lagi menahan dirinya agar tetap terjaga sehingga ia tertidur di atas pangkuannya sendiri di atas meja. Tanpa ia sadari, hembusan angin malam yang melewati jendela kamarnya yang terbuka lebar membawa serta karangannya sehingga kertas itu melayang menuju alam terbuka.
Iris cokelat kelam Lucy terbuka perlahan saat ia merasakan silau radiasi cahaya matahari. Ia meregangkan tubuhnya lalu melirik jam dinding sekilas. Lucy kemudian bangkit dari kursinya dan langsung menyambar handuk mandinya yang ia gantungkan di dekat pintu kamarnya, kemudian berjalan menuju kamar kecil untuk membersihkan dirinya.
Setelah sekitar lima belas menit Lucy di kamar mandi, ia pun keluar dengan wajah yang tampak jauh lebih segar dari sebelumnya. Dihampirinya koper hitamnya kemudian ia menarik beberapa helai pakaiannya. Ia memakai kaos hijau dengan sweatpants merah muda sebatas lutut, lalu ia berkaca dan menyisir rambutnya yang masih basah. Selesai dengan semua itu, Lucy langsung bergegas ke dapur untuk sarapan. Seperti biasa, pagi ini ia sarapan dengan sepotong roti.
Lucy beranjak menuju pintu depan rumahnya untuk mencari angin segar di luar rumah. Ia membuka pintu kemudian melangkah menuju halaman rumahnya. Dihirupnya udara bersih pagi itu untuk menenangkan diri sejenak. Lucy sangat menyukai panorama ini. Tidak menyesal rasanya ia tinggal di tempat yang agak jauh dari keramaian.
Lucy teringat bahwa hari ini ia harus segera merapikan rumahnya. Ia berbalik untuk segera memasuki rumahnya kembali, tetapi langkah terhenti saat ia menemukan sebuah amplop putih tepat di bawah pintu. Lucy memungut amplop itu kemudian melihat-lihat kembali jalan di depan rumahnya. Ia tidak menemukan adanya tanda-tanda seseorang baru saja lewat di sana. Dengan perasaan yang masih bertanya-tanya, dibawanya amplop itu masuk bersama dirinya ke dalam rumah.
Sesampainya ia di kamar, Lucy meletakkan amplop yang baru ditemukannya itu di atas mejanya. Ia kemudian beralih kepada barang-barangnya yang berserakan dan bertumpukan dilantai, membuatnya menarik napas panjang. Rasanya tidak akan mudah baginya untuk merapikan rumahnya sendirian mengingat barang-barang bawaannya itu terlalu banyak.
Lucy baru saja selesai merapikan rumahnya saat langit berubah warna menjadi merah. Kini rumah kecil itu tampak rapi karena semua barang telah terletak di tempatnya. Lucy menarik napas lega. Tiba-tiba matanya teralih pada amplop yang ditemukannya tadi pagi. Ia mendekati mejanya, dibolak-baliknya amplop itu. Ia tidak menemukan nama pengirimnya ataupun nama tujuan amplop itu dikirimkan.
Lucy segera membuka amplop itu dan menemukan secarik kertas di dalamnya. Entah kenapa rasanya kertas itu tidak asing lagi baginya. Padahal ia yakin bahwa ini kali pertama ia melihat kertas itu. Tanpa pikir panjang, dibukanya lipatan kertas itu kemudian ia membaca tulisan di dalamnya.
Mata Lucy membulat saat ia membaca isi kertas itu. Ternyata kertas itu memang kertas karangan yang ditulisnya tadi malam. Ia sibuk mencari sesuatu di sekitar mejanya dan tersadar bahwa memang tidak ada karangan yang ia tulis tadi malam di sana. Ia sangat heran mengapa karangannya itu bisa berada di dalam amplop tersebut. Rasa penasaran mulai menjalar di benaknya. Sebuah ide untuk menulis pengalaman yang baru saja dialaminya mulai terlintas.
Selesai makan malam, Lucy langsung beranjak menuju mejanya. Ditariknya secarik kertas lalu dituliskannya pengalaman anehnya hari ini.
Ini hari kedua aku berada di sini. Sebuah kejadian aneh mulai mendatangiku pagi ini saat aku tanpa sengaja menemukan sebuah amplop di depan pintu rumahku.
Lucy terus menulis hingga tanpa terasa malam telah larut. Meski telah merasa ngantuk, namun Lucy tetap memaksakan dirinya untuk terus menulis hingga ia tertidur lagi di atas mejanya, sama seperti hari sebelumnya. Beberapa saat setelah itu, tiupan angin kembali melewati jendelanya, menerbangkan karangan-karangannya seperti malam sebelumnya.
Lucy kembali terbangun saat merasakan silauan cahaya matahari. Dengan malas ia bangkit kemudian melangkah gontai menuju kamar mandinya. Selesai mandi, ia pun memakai kaos putih yang selaras dengan sweatpants-nya, kemudian bergegas menuju ke dapur. Lucy telah memutuskan bahwa agendanya hari ini hanyalah melanjutkan karangan novelnya. Karena itu, setelah selesai makan, Lucy langsung kembali menuju mejanya.
Sekali lagi Lucy terkejut karena ia tidak menemukan karangan yang ia tulis tadi malam di atas mejanya. Ia mencari-cari karangannya itu di sekitar mejanya, tapi tidak juga ia temukan. Baru ia tersadar bahwa kemungkinan karangannya itu diterbangkan oleh angin karena ia selalu lupa menutup jendela kamarnya. Ia juga menyadari bahwa kemungkinan karangan malam sebelumnya juga diterbangkan oleh angin sehingga ia menemukannya di depan pintu rumahnya. Tapi yang membuat ia penasaran adalah siapa yang memasukkan karangannya itu ke dalam amplop.
Di saat Lucy tengah memikirkan kejadian yang ia alami, tiba-tiba ia mendengar suara pintunya diketuk oleh seseorang dari luar. Lucy langsung beranjak dari posisinya menuju pintu depan rumahnya. Dibukanya pintu itu dan didapatinya seorang gadis berambut biru acakan sebahu berdiri di depannya. Gadis itu bertubuh kecil, berbanding terbalik dengan Lucy yang bertubuh tinggi semapai. Usianya kira-kira seusia Lucy, memasuki dua puluhan. Ia memakai kaos orange tanpa lengan dengan rok selaras sebatas lutut.
"Buongiorno1, Lucy..." sapa gadis itu.
"Buongiorno, eh... Levy!"
Sebuah senyuman mengembang di wajah cantik Lucy. Gadis yang dipanggil Levy itu juga ikut tersenyum, kemudian ia mengikuti Lucy masuk ke rumah setelah Lucy memberikan isyarat.
"Rapi sekali. Apa kau merapikan ini sendirian?" tanya Levy takjub.
"Menurutmu apakah ada orang lain yang akan membantu orang asing yang baru pindah ke sini? Ayolah, Levy! Kupikir kau akan datang kemarin untuk membantuku setelah aku menghubungimu dua hari yang lalu," ujar Lucy dalam satu tarikan napas.
"Maafkan aku, Lucy. Kemarin ada tugas kampus yang harus kuselesaikan, makanya aku tidak bisa datang membantumu," jelas Levy dengan nada menyesal. "Oh iya, bagaimana kabarmu? Apa kau betah tinggal di sini?"
"Kau tahu sekali kesukaanku, Levy. Kau memilih tempat yang benar-benar cocok denganku. Aku senang sekali di sini. Udaranya sejuk. Suasananya tenang," sahut Lucy bangga.
"Baguslah kalau begitu. Aku ikut senang kalau kau suka."
"Terima kasih, kau benar-benar sahabat yang baik. Meskipun sudah lama tidak bertemu, tapi kau masih tetap ingat kesukaanku,"
Levy tersenyum lebar, sebelum akhirnya ia mengingat sesuatu. "Oh iya. Ini kutemukan di depan pintu rumahmu tadi."
Levy mengeluarkan sebuah benda dari sakunya, kemudian memperlihatkannya kepada Lucy. Sebuah amplop. Lucy langsung mengambil amplop itu kemudian membukanya. Seperti yang telah ia duga sebelum membuka amplop itu, isi amplop itu adalah karangannya yang hilang.
Lucy langsung melirik Levy dan bertanya, "Dari mana kau mendapatkan ini?"
Levy mengerutkan dahi, "aku kan sudah bilang bahwa aku menemukan ini di depan pintu rumahmu sewaktu aku datang. Memangnya kenapa, Lucy?"
Lucy terdiam sejenak. Ia tampak berpikir.
"Sudah kali kedua ini terjadi," kata Lucy tiba-tiba. "Kemarin aku menemukan amplop seperti ini juga di depan pintu, dan isinya juga sama, karanganku yang mungkin terbawa angin. Hari ini kau yang menemukannya. Aku penasaran siapa yang melakukan ini."
Levy memperhatikan Lucy yang tampak tertekan, kemudian ia memberikan ide, "Bagaimana kalau kau mencari tahu saja siapa pelakunya?"
Lucy menaikkan alis. Ia sadar bahwa memang itu yang harus ia lakukan.
Malam harinya, Lucy melakukan apa yang dikatakan oleh Levy. Dengan sengaja ia menjatuhkan selembar karangan yang baru ditulisnya ke luar jendela. Kertas itu terbang tertiup angin, menghilang di kegelapan malam bertabur berbintang. Lucy kemudian mematikan lampu kamarnya, mengintip dari balik jendela kamarnya yang terbuka.
Waktu menunjukkan pukul dua belas malam, tetapi belum ada juga tanda-tanda seseorang akan datang. Lucy sudah merasa lelah dan bosan menunggu. Apakah sebaiknya dia berhenti menunggu saja? Pikiran Lucy berkecamuk, sampai akhirnya otaknya sendiri yang memerintahkannya untuk tertidur. Akan tetapi, Lucy tetap bersikeras menahan dirinya, sampai akhirnya ia berhasil menemukan siluet seseorang di luar jendela kamarnya. Tapi sayangnya, pertahannya benar-benar sudah runtuh.
TBC
1 Selamat pagi
Fiksi sains pertama Vinn. Gomen, akhirnya gantung. Tapi gak apa-apa, bentar lagi update kok (sebulan lagi, mungkin). Buat fics lain, nanti update-nya habis semesteran rencananya. Hahhh... lama sih, sebulan lagi.
Terakhir, mind to review?
