Aku tahu semua itu hanya kedok.

Topeng yang kau kenakan untuk menutupi perasaan sepi yang selama ini menghantui.

Padahal di dalam tubuh itu, ada hati yang terus tersakiti...


'Jinggle bells, jinggle bells, jinggle all the way...'

Lagu mainstream yang selalu terdengar tiap tahun mengisi kekosongan sebuah ruangan besar nan megah. Pernah pernik natal terpajang di tiap pojoknya. Pohon natal besar berdiri kokoh, tampak manis dengan semua hiasan yang tergantung pada daunnya. Bintang emas berkelip, seiringan dengan lampu warna warni yang berserakan di seluruh penjuru ruangan. Rasanya siapapun yang berda di dalam sana pasti tidak munkgin merasa tidak bahagia. Apalagi anak-anak yang pasti akan langsung tertawa sambil menari gembira.

Akan tetapi, nyatanya si pemilik ruangan tidak merasakan kehabagiaan serupa yang seharusnya anak-anak dapatkan. Raut kegembiraan seharusnya terpancar dari wajah polosnya yang baru saja merayakan ulang tahun ke enam itu. Bahkan bungkusan indah yang berisi mainan di sekitarnya dibiarkan tergeletak begitu saja tanpa disentuh sedikitpun.

Si anak berambut abu duduk di atas sofa dengan murung. Tampak menanti sesuatu. Tangannya meraih sebuah kue jahe, namun langsung melemparnya kembali tanpa menggigitnya sedikitpun. Dia sedikit tersentak saat mendengar langkah kaki mendekat ke arah kamar. Wajah yang semula murung pun kembali ceria. Seakan ada seorang penyihir yang mengayunkan tongkat untuk mengubah ekspresi itu.

Anak lelaki tersebut langsung berlari ke arah pintu kamar. Dia membukanya sesaat sebelum orang yang datang melakukan hal serupa. "Ayah!" teriaknya senang. Namun kini wajah bahagia tersebut harus kembali menghilang.

"Keigo sama, saya baru mendapatkan kabar. Dikarenakan urusan yang mendadak, tampaknya Otou sama dan Okaa sama tidak bisa pulang hari ini," ucap seorang kakek yang telah mengabdikan dirinya pada keluarga Atobe selama bertahun-tahun. "Tapi mereka menitipkan ini," tambahnya lagi sembari memberikan sebuah kotak yang pasti berisi mainan bermerk lainnya.

Namun rasa kesal telah terlanjur memakan hati anak bernama keigo Atobe itu. Dengan cepat tangannya meraih kotak yang ada, lalu melemparnya ke arah tembok. "Aku tidak butuh mainan! Aku hanya butuh ayah dan ibu ada di sini!" teriaknya sesaat sebelum membanting pintu kamar.

Sang pelayan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya termenung dengan perasaan sedih. Bertahun-tahun sudah dia berada di tengah keluarga tersebut. Dan bertahun-tahun pula dia selalu merasakan perasaan serupa. Bahkan rasa pedih dalam hatinya terus bertambah karena sang majikan kecilnya itu sudah dianggapnya seperti anak sendiri. 'Andai ada yang bisa aku lakukan untuknya sebelum aku mati,' ucapnya sembari memohon ke arah langit.

Atobe yang merasa terkhianati oleh orang tuanya langsung membanting tubuh ke atas kasur. Air matanya mengalir, membasahi bantal yang berkali-kali diperlakukan sama. Bahkan semua mainan dalam kamar telah menjadi saksi bisu akan isakan penuh kesedihan sang pemilik. Tidak hanya kali ini saja, melainkan hampir setiap bulan mereka harus tetap membisu di samping Atobe yang menangis.

Anak itu tahu benar orang tuanya sangat sibuk. Bahkan jumlah kehadiran mereka dirumah dalam setahun dapat dihitung dengan jari. Seharusnya diapun sadar bahwa semua itu hanya akan membawakan kekecewaan jika tetap mengharapkan hal yang sama. Tapi Atobe selalu yakin bahwa orang tuanya suatu saat akan tinggal di rumah lebih lama. Meluangkan waktu, hanya untuk bermain bersama dengannya.

"Ayah pembohong! Ibu pembohong! Aku benci mereka!" berulang kali Atobe mengatakkan hal sama di tengah tangisnya. Alunan lagu natal yang seharusnya menenangkan justru berubah menjadi lagu pengiring kesedihan. Atobe tidak bisa berhenti mengalirkan air mata. Hingga akhirnya, entah kapan dia terlelap masih dengan posisi yang sama.

Tapi, kalian akan pulang kan? Setidaknya untuk merayakan hari ulang tahunku...

/

"Selamat ulang tahun, Atobe!"

Suara tepuk tangan meriah bergema dalam ruangan luas. Sebanyak lima puluh orang lebih mengucapkan selamat dan memberikan hadiah bagi anak yang tidak tersenyum sedikitpun di hadapannya. "Keigo sama," bisik sang pelayan tua yang biasa dipanggil Jii itu. "Ini kan hari ulang tahunmu, jadi bergembiralah! Teman-temanmu sudah sengaja datang ke sini."

"Tapi ayah dan ibu tidak datang," jawab Atobe sembari terus cemberut.

"Sebentar lagi pasti datang. Mereka sudah berjanji kan?"

"Jii san." Seorang pelayan lain yang tampak jauh lebih muda datang menghampiri mereka. "Ada telepon dari tuan besar untuk tuan muda," ucapnya sembari menyerahkan telepon.

Mendengar bahwa sang ayah menelepon, Atobe segera merebut telepon dengan kasar. "Ayah? Ayah dimana?" tanyanya segera.

"Ayah masih di Inggris, Keigo."

"Tapi, tapi ayah pasti datang ke pesta ulang tahunku, kan?"

"Maaf Keigo. Baru saja ayah mau bilang kalau hari ini tiba-tiba ada rapat mendadak. Jadi ayah-"

"Tapi ayah sudah janji padaku!" sela Atobe dengan mata berkaca-kaca.

"Iya. Tapi lainkali pasti."

"Kapan? Ayah selalu bilang lain kali, lain kali. Lain kali itu kapan? Bahkan Ayah tidak pernah mengizinkanku untuk pergi ke sana. Kenapa?" Air mata sudah tak bisa lagi terbendung oleh matanya. Kini butiran bening itu harus jatuh membasahi baju baru yang dibelikan oleh sang ayah khusus untuk hari ini.

"Maaf. Tapi ayah harap kamu mengerti, Keigo." Sang ayah tidak mendapatkan jawaban apapun. Dia hanya terdiam sesaat mendengarkan suara isak tangis sang anak yang terdengar pilu. "Keigo... Selamat ul-"

Tanpa mendengarkan perkataan sang ayah hingga selesai, telepon langsung dibanting keras ke arah meja. Gelas-gelas tanpa dosa harus pecah akibatnya. Membuat semua tamu berteriak kaget. Mendadak pesta meriah pun harus terhenti.

Jii membiarkan Atobe yang berlari sambil menangis tanpa mencegahnya. Karena dia memiliki tugas lain untuk meminta maaf kepada para tamu yang mulai bertanya-tanya dengan heran.

Atobe menghentikan langkahnya di depan kolam renang. Terduduk di sisinya sambil memeluk lutut. Permukaan air kolam berombak dengan sangat halus. Sinar mentari pun memantul di atasnya dengan indah. Namun Atobe mendadak membenci salah satu tempat favoritnya itu.

Kenapa semua orang dewasa selalu mengatakkan hal-hal manis untuk menyakiti seseorang? Kenapa mereka selalu mengatakkan janji yang tidak bisa ditepati? Kenapa mereka selalu mengatakkan kata-kata penuh kebohongan?

Berbagai pertanyaan bermunculan dalam kepala Atobe. Tak kunjung membuat perasaannya menjadi lebih baik. Bahkan rasa sakit dalam hatinya semakin menjadi-jadi.

Kenapa ayah dan ibu tidak pulang ke rumah? Apa kalian sudah tidak menyayangiku lagi? Apa yang harus aku lakukan agar ayah dan ibu pulang?

Harapan besar untuk bertemu orang tuanya membuat Atobe mendapatkan sebuah ide yang mengerikan. Mendadak dia menemukan cara yang mungkin akan bisa membuat ayah dan ibunya kembali. Meski dengan sedikit paksaan.

Kalau sesuatu terjadi padaku, ayah dan ibu pasti pulang, kan?

Setelah mengusap matanya dengan lengan baju, Atobe langsung berdiri. Dia memandang ke arah kolam yang lama-kelamaan seakan memanggil namanya. Mengajaknya untuk segera terjun, dan membenamkan diri di dalam sana.

Tangan Atobe mulai bergetar. Dia bisa berenang, namun sesaat ada perasaan takut yang terasa. Namun semua itu langsung diabaikannya dengan menutup mata. 'Aku akan melakukan apapun untuk membawa ayah dan ibu kembali,' pikirnya.

Atobe bersiap untuk menerima rasa dingin dari air kolam yang akan memeluk tubuhnya. Kaki kanannya pun diangkat, dan mulai mengarahkannya ke atas air. Namun, dia merasa terkejut saat mendapati tubuhnya tertarik ke belakang. Tampaknya seseorang menarik bagian belakang bajunya hingga membuat tubuh mungil Atobe harus mendarat dengan kasar di atas lantai. Dengan penuh keterkejutan, Atobe menoleh ke arah si pelaku.

"Hati-hati terjatuh," ucap anak lelaki sebayanya dengan wajah datar.

"Siapa kamu? Jangan ganggu aku!" bentak Atobe marah. "Aku memang ingin membenamkan diri di dalam sana! Jadi kamu pergilah!" Atobe langsung bangkit dan kembali berdiri di samping kolam.

Si anak lelaki yang berdiri tak jauh dari sana hanya memberikan pandangan dengan wajah yang tidak kunjung berubah. "Kamu pasti kesepian," ucapnya dengan nada datar.

Mendengar hal itu, emosi Atobe kembali tersulut. Dia ingin sekali menghajar orang yang mendadak muncul dan mengatakkan sesuatu seakan tahu smeua tentang dirinya. "Apa katamu?" Atobe menjambak kerah si anak bertubuh besar itu. "Tahu apa kamu tentang aku? Bahkan kita belum pernah betemu sekalipun! Apa yang kamu inginkan? Paling kamu sendiri tidak mengerti apa yang kurasakan dan hanya ingin mengejekku kan?"

"Aku pun sama," timpal anak itu lagi masih dengan nada dan ekspresi yang sama.

Atobe mendadak melepaskan cengkramannya, dan membuang wajah. "Apa maksudmu?" tanyanya masih dengan perasaan kesal.

"Aku juga kesepian. Ayah dan ibu sibuk bekerja. Aku tidak punya teman. Paman Jii bilang kamu pasti mengerti apa yang aku rasakan." Atobe mendadak bungkam seribu bahasa. "Tapi, aku tidak bisa melakukan hal yang kamu lakukan. Aku tidak bisa marah kepada mereka. Karena aku coba mengerti seperti apa sulitnya menjadi orang tua. Tapi juga, karena aku selalu yakin. Mereka bekerja untuk membuatku bahagia. Jadi, aku berusaha untuk tidak marah pada mereka."

Atobe jatuh berlutut dan kembali menangis. Namun tnagisannya kini terdengar berbeda. Tidak ada lagi nada kemarahan, justru yang terdengar hanyalah alunan melodi kekesalan dan perasaan ingin menyalahkan diri sendiri. Sebenarnya dia sudah mengerti semua yang baru saja didengarnya itu sejak lama. Hanya saja dia sendiri yang menolak untuk mengerti. "Aku mengerti..." ucapnya bergetar. "Aku mengerti semuanya... Tapi, setidaknya aku ingin satu hari saja ayah dan ibu ada di sampingku... Bermain denganku... memanjakanku... Sehari saja... Sekali saja..."

Tak ada suara lain yang terdengar di sana selain luapan rasa sedih dari seorang anak berumur tujuh tahun yang merindukan orang tuanya. Angin pun membelai dengan lembut, bermaksud menenangkan. Mentari bersinar hangat, bermaksud memberikan semangat agar anak tersebut kembali bangkit dan tersenyum.

Si anak bertubuh besar mendekat ke arah Atobe. Dia berjongkok di sampingnya. "Mau tidak kamu jadi temanku? Kita main bersama, sambil menunggu orang tua kita kembali," tanyanya.

Mendengar hal itu, Atobe menolehkan wajah. Rasanya baru kali ini dia mendapatkan pertanyaan seperti itu. Meski ingin segera mengabaikannya, tapi ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa melakukan hal tersebut.

"Namaku Kabaji," ucap anak itu lagi sembari mengulurkan tangannya.

Atobe segera mengusap air matanya, sembari membalas uluran tangan tersebut. "Keigo Atobe."

Kabaji menarik tangan Atobe hingga mereka berdua kini berdiri berhadapan. "Atobe san mau main?"

"Main apa?"

"Paman Jii baru saja memberikanku ini." Kabaji mengambil sebuah tas besar yang semula ditaruhnya di atas lantai. Dia membuka tas tersebut bersama Atobe. Terlihat dua pasang raket tenis dan satu set bola yang masih terbungkus rapi.

"Waa," respon Atobe saat mendapati sebuah barang yang belum pernah dilihatnya. Matanya berbinar seakan benda tersebut jauh lebih menawan dari mainan bermerknya sekalipun. Bahkan semua itu berhasil menghapus raut kesedihan dari wajahnya hingga tidak tersisa sama sekali. Seakan tidak pernah ada kejadian sedih apapun yang anak tersebut alami.

Dari balik jendela, Jii mengintip sedari tadi. Dia memandangi kedua anak yang kini tengah mengobrol dan bercanda bersama. Dia pun tersneyum. Tanpa sadar buliran air mata terjatuh dari ujung matanya. Tanpa berkata apapun, dia pun mulai berjalan, kembali ke tempat dimana berbagai pekerjaan masih menunggunya.

Hanya itu yang bisa aku berikan sebagai hadiah. Kuharap kamu menyukainya.

Selamat ulang tahun, Keigo sama.


Rasanya kok jadi produktif sekali belakangan ini. Padahal ada tanggungan skripsi yang sampai sekarang keberadaannya terkalahkan oleh ff ... Tapi emang susah kalau harus berhenti saat ada banyak hal yang ingin ditulis. Apalagi tentang sesuatu yang kita suka. Jadi apa boleh buat, semoga tulisan ini juga masih bisa dinikmati oleh semua pembaca.

Terima kasih bagi yang sudah baca, jangan lupa reviewnya ya :')