ANGEL CRY

DISCLAMER : NARUTO MILIK MASASHI KISHIMOTO

TERINSPIRASI DARI: - TALAASH THE MOVIE

MALAPRAKTEK

WARNING: AU, OOC

DON'T LIKE DON'T READ

.

.

.

Hai malaikat kecilku.

Bagaimana kabarmu hari ini?

Apakah Tuhan memperlakukanmu dengan baik?

Aku merindukanmu.

.

.

.

Siang tidak pernah terasa menakutkan seperti saat ini.

Di luar, hujan masih turun dengan deras. Membawa rasa dingin yang membuat wanita berambut pirang kusam itu merapatkan jas putihnya.

Tsunade hanyalah seorang mausia biasa. Ia hebat, terutama dalam pengobatan. Tapi selebihnya, tidak ada yang istimewa.

Saat ini ia menjabat sebagai dokter kepala di salah satu rumah sakit Konoha, dan sudah bertahun-tahun ia mengabdi di sana tanpa pernah mengeluh sedikitpun. Tapi diluar itu, tidak ada hal hebat lain yang bisa ia banggakan.

Kehidupan asmaranya menyedihkan.

Kesehariannya diisi dengan kesibukan di rumah sakit. Malam hari lebih banyak dihabiskan dengan lembur memeriksa hasil medis dan laporan-laporan penting. dan jika ada waktu luang, ia gunakan untuk tidur, merilekskan otot-otot tubuhnya yang kelelahan setelah seharian bekerja.

Dengan kesibukan sepadat itu, tsunade tidak punya waktu untuk bersosialisasi apalagi berburu pacar.

Ia wanita karir yang sibuk mengejar tujuannya. Ia handal, disegani dan sangat kesepian.

Tsunade menghela napas panjang.

Ia berbalik dan menatap surat yang tergeletak di atas mejanya. Surat itu diposkan dua minggu yang lalu, tetapi seperti sebagian besar jurnal korespondensinya, lembaran kertas itu lenyap dibawah tumpukan kertas-kertas penting yang selalu memenuhi kantornya. Ketika akhirnya resepsionisnya menunjukan surat itu padanya pagi tadi, ia sangat terkejut melihat nama si pengirim: Uchiha Sasuke, detektif.

Ia langsung membuka surat itu. Cukup penasaran mengapa ada seorang detektif yang menyuratinya. Terlebih lagi, semua penduduk Konoha tahu siapa Sasuke. Ia putra kedua Uchiha Fugaku, lelaki kaya raya yang juga merupakan temannya saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Dan Sasuke jelas mewarisi seluruh bakat ayahnya. Ia pintar, sopan dan cekatan.

Lelaki muda yang lahir dari keluarga terhormat selalu patut di waspadai.

Sekarang ia mendudukkan tubuhnya dikursi dan kembali membaca surat itu untuk kesekian kali. Meskipun sebenarnya, Tsunade sudah hapal isi dari surat itu. Tapi pikirannya yang kacau perlu diyakinkan sekali lagi.

Dr. Tsunade yang terhormat,

Sebagai detektif yang mewakili Neji Hyuuga, dengan ini saya memohon kesediaan anda mengirim semua dokumen medis menyangkut perawatan ginekologis Hinata Hyuuga, yang pada saat meninggal delapan tahun lalu masih menjadi pasien anda….

Tsunade kembali menarik napas lelah.

Hinata Hyuuga.

Sebuah nama yang ingin ia lupakan karena mengingatkannya pada kesalahan yang pernah ia buat. Kesalahan besar. Dan kenangan akan kesalahannya di masa lampau itu kini kembali mengganggunya.

Tsunade tidak ingin mengeluh, nasi sudah menjadi bubur. Meskipun saat itu ia hanya memilih pilihan yang dirasa paling baik untuk semua orang, meskipun ia telah berusaha melakukan yang terbaik, ia tetap manusia biasa. Ia melakukan kesalahan. Ia egois.

Tidak pernah terpikirkan bahwa keputusannya itu akan mengantarkannya pada rasa bersalah yang tidak ada habisnya seperti ini.

Mungkin, inilah saatnya pengakuan dosa.

Seluruh tubuhnya terasa lemah saat memikirkan semua resiko dari perbuatannya, bahkan tubuhnya sadar ia tak dapat melarikan diri lagi. Ia mencoba mengumpulkan energi untuk pulang, melangkah terseok ke luar kantor dan masuk ke mobil. Namun ia terlalu lelah untuk bergerak sehingga hanya mampu duduk termenung dan menatap nanar keempat dinding yang membatasi kantornya

Tempat perlindungannya.

Saat itulah suara seperti pintu tertutup yang terdengar diluar kantor, memancingnya rasa penasarannya. Ia bangkit lalu melongok ke ruang tunggu.

"Shizune, apa itu kau?"

Ruang tunggu itu kosong. Pelan-pelan ia mengedarkan pandangannya ke kursi-kursi yang berjajar rapi. Kemudian beralih pada majalah yang ditumpuk sembarangan dibawah meja, dan akhirnya berhenti dipintu luar.

Pintu itu tidak terkunci.

Dalam keheningan yang terasa mencekam, ia mendengar denting lirih logam yang beradu. Suara itu berasal dari ruang periksa.

"Shizune?"

Ia melintasi ruang tunggu saat tak ada sahutan yang terdengar, lalu menengok ke dalam kamar pertama. Ia menyalakan lampu dan melihat kilauan tempat cuci tangan dari baja antikarat, meja pemeriksaan ginekologi, lemari obat. Ia mematikan lampu lalu memeriksa kamar berikutnya.

Lagi-lagi ia mendapati semuanya tertata rapi seperti seharusnya. Tidak ada yang aneh. Ia yang sendirian dimalam hari bukan sesuatu yang baru, tapi entah mengapa, malam ini terasa ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Ia kembali berjalan menelusuri setiap ruangan sambil sesekali menguatkan diri dalam hati.

Rasa penasaran mulai mengalahkan rasa takut. Dengan perlahan dan hati-hati, ia berjalan melintasi koridor, beranjak memeriksa setiap kamar. Tetapi begitu tangannya terulur untuk menyalakan lampu di ruang periksa, instingnya membuatnya membeku. Perasaan takut yang tadi sempat hilang, kini tiba-tiba muncul. Instingnya yang tidak pernah meleset, mengatakan bahwa ada sesuatu yang tengah menunggunya di dalam kegelapan.

Dengan ngeri, ia buru-buru mundur. Setelah berbalik badan, barulah ia menyadari si penyusup berdiri di belakangnya.

Sebilah pisau yang lolos dari perhatiannya, dengan cepat bergerak mengiris leher Tsunade yang masih berdiri terpaku.

Rasa sakit dan ngeri yang dirasakannya dalam hitungan detik, membuat Tsunade terhuyung mundur ke kamar pemeriksaan dan menggulingkan meja berisi peralatan kedokteran. Dalam hitungan detik, tubuhnya melemah akibat darah yang terus mengalir dan membasahi pakaiannya. Ia tersungkur di ubin yang dingin tak lama kemudian.

Bahkan ketika Tsunade merasakan kesadarannya mulai lenyap, bagian rasional dalam otaknya memaksanya mendiagnosis luka dilehernya, menganalisis cara yang memungkinkan dirinya bisa tetap bertahan hidup.

Arteri putus. Kehabisan darah dalam beberapa menit. Harus menghentikan pendarahan….

Waktunya sangat singkat. Ia merangkak ke lemari obat tempat menyimpan kain kasa. Dengan mata yang terasa berkunang-kunang, ia menyadari cahaya remang-remang yang memantul di pintu-pintu kaca. Dan itu menjadi petunjuk arah baginya. Bayangan yang tiba-tiba menghalangi sinar dari koridor membuatnya tahu penyerangnya berdiri di ambang pintu, mengawasinya. Namun dengan keras kepala ia terus bergerak.

Pada detik-detik terakhir kesadaraannya, ia berhasil bangkit dan menyentak pintu lemari hingga terbuka. Bungkusan kasa steril jatuh berhamburan dari rak. Dengan pandangan yang mulai gelap, ia mengoyak salah satunya, mengeluarkan kasa dan menekankannya pada leher yang terluka.

Mungkin karena kesadaraannya yang makin menipis atau matanya yang kesulitan melihat sekelilingnya, ia tidak melihat pisau si penyerang terayun lagi.

Ketika pisau itu menikam punggungnya, ia berusaha berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar. Hanya helaan napas yang menjadi napas terakhirnya yang terdengar sebelum ia terpuruk di lantai.

.

.

.

Saat ini mungkin sudah hampir tengah malam, namun udara tidak berubah menjadi dingin seperti yang di harapkan.

Dalam keadaan itu, Neji Hyuuga berbaring telentang di futonnya yang keras dengan perasaan gelisah.

Ia ketakutan.

Dari jendela yang terbuka, ia melihat cahaya lembut bulan purnama yang bersinar terang menyinari kamar sempit yang telah ia sewa sejak dua bulan lalu.

Cahayanya terasa lembut, namun di saat yang bersamaan terasa begitu mengerikan.

Ia memejamkan mata, berusaha untuk tidur. Namun cahaya lembut itu seolah mampu menembus pelupuk matanya. Mengganggunya. Dengan kesal, ia memunggungi jendela, lalu mencari bantal dan menutupi matanya. Tapi bau apak seprai dekil itu terasa mencekik, membuatnya merasa harus mengurungkan niat untuk tidur. Dengan kesal ia bangkit berdiri dan melangkah menghampiri jendela. Menatap jalanan sepi di bawahnya.

Bosan melihat ke luar. Neji memutuskan menghampiri meja di sudut ruangan. Saat menyalakan lampu kamar, berita utama di surat kabar yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri seakan mengejeknya.

Dokter Tsunade ditemukan tewas ditikam.

Dan saat membaca potongan berita itu, ia merasakan perasaan takut yang terus menguasainya. Dengan frustasi, Neji melemparkan Koran itu ke tempat sampah yang baru saja dibersihkan siang tadi.

Pelan-pelan ia mendongak, matanya kemudian terpaku pada foto Hinata, kekasihnya, belahan jiwanya. Wanita itu tengah tersenyum, seperti biasanya, wanita itu memang selalu tersenyum. Walaupun ia telah melakukan kesalahan yang paling besar sekalipun, senyum di wajah kekasihnya tidak pernah berhenti terkembang.

Ia menyentuh foto itu dengan perasaan rindu yang meluap, mencoba mengingat-ingat bagaimana rasanya saat jemarinya yang kapalan menyentuh wajah Hinata. Membayangkan kembali kulit halus seputih susu itu menyentuh tangan kasarnya. Pipinya yang selalu merona malu saat mereka saling berpegangan tangan. Atau suara merdunya yang selalu menyanyikan lagu cinta. Neji merindukan semua itu. Namun, tahun-tahun yang berlalu telah mengaburkan kenangannya.

Dan ia ketakutan.

Ia takut tidak akan bisa lagi mengingat semua kenangan itu.

Takut tidak bisa lagi mengingat Hinata.

Cintanya.

Akhirnya, dengan sedikit putus asa, ia meraih buku catatan lusuh yang tergeletak tak jauh darinya. Perasaannya sedikit lebih tenang saat mencari halaman yang masih kosong diantara lembaran kertas yang sudah lebih dulu di penuhi coretan-coretan kata. Dan di halaman yang kosong itu, Neji mulai menulis:

Inilah yang mereka katakan tentangku:

Aku ini binatang jalang,

Dari kumpulannya terbuang.

Inilah jawabanku untuk mereka:

Aku hanya membalas orang-orang yang merenggutmu dari sisiku.

Ini bukan akhir, melainkan sebuah awal yang selama ini ku tunggu.

Dan senyum manis terukir diwajahnya, udara masih terasa panas, tapi Neji merasa cukup tenang saat memutuskan untuk kembali tidur.

Besok, ada hal penting yang harus ia lakukan.

.

.

Hari ini, sama seperti hari-hari kemarin. Membosankan dan melelahkan.

Dengan penuh percaya diri Dr. Yamanaka Ino menyuntik dua ratus milligram sodium pentothal ke slang infus. Selagi cairan kuning pucat itu mengalir melalui tabung plastik, Ino bergumam, "Kau akan segera mengantuk, Shizune-san…"

"Aku belum merasakan apa-apa."

Ino tersenyum geli mendengar komentar pasiennya itu. Ia memutuskan meremas bahu Shizune yang terlihat tegang untuk menenangkan wanita itu dibandingkan menanggapi ucapannya barusan. Hal-hal kecil semacam itu membantu pasien merasa aman. Sentuhan. Suara lembut.

Senyuman mengantuk mengembang di wajah pucat Shizune beberapa saat kemudian. Di bawah lampu-lampu ruang operasi yang menyilaukan, setiap bintik, parut, pori-pori besar dan setiap kekurangan lain di wajah akan tampak jelas. Tak seorangpun, termasuk Shizune, tampak cantik di meja operasi.

"Aku takut." Gumam Shizune dengan mata tertutup.

"Kau tidak perlu takut."

"Aku tahu." Tangan Shizune terulur untuk menyentuh lengan Ino. Hanya sebentar, jalinan singkat jemari mereka terjalin. kehangatan kulit Shizune di tangannya mengingatkan Ino bahwa Shizune bukan hanya sesosok tubuh yang berbaring di meja operasi, melainkan seorang wanita. Seorang teman.

Pintu terayun terbuka, dan dokter bedah melangkah masuk. Tubuh tegap Uzumaki Naruto terlihat cukup menarik perhatian. "Bagaimana keadaannya?"

"Dia baru saja mendapat suntikan pentothal."

Naruto mendekati meja, lalu menyentuh tangan wanita itu. "Shizune?"

Ino memperhatikan rahang Shizune yang mulai mengendur. Ia ikut memanggil nama perempuan itu dengan suara lirih. "Shizune-san?" Jarinya dengan lembut membelai alis wanita yang kini berusia pertengahan tiga puluhan. Tidak ada reaksi. Ia mengangguk kearah Naruto.

"Dia sudah tertidur."

"Bagus, ayo kita mulai operasinya," kata Naruto sembari beranjak untuk mencuci tangan. "Bagaimana hasil pemeriksaan lab-nya?"

"Hasil pemeriksaan darahnya sempurna."

"EKG?'

"Normal."

Sepuluh menit kemudian, semua berlangsung lancar. Ino melakukan tugasnya dengan cekatan seperti biasaya. Ia memasang tube endotrakeal dan menyambungkannya ke respirator. Kemudian mengatur aliran oksigen dan menambahkan forane dan nitrooksida dalam komposisi yang telah ia perhitungkan sebelumnya. Ino sangat menyadari bahwa ia kini tengah menjadi tali penyelamat bagi hidup Shizune. Setiap langkah, meskipun sudah sangat sering dilakukan hingga membuatnya bosan, tetap harus memerlukan pemeriksaan ulang. Dan ketika pasien Ino adalah seseorang yang ia kenal, Ino merasa dituntut untuk bertindak lebih teliti dalam hal apapun.

Tidak boleh ada kesalahan.

Naruto kembali kemeja operasi beberapa saat kemudian, air masih menetes dari lengannya yang baru dicuci. Ia diikuti seorang dokter residen yang baru bertugas seminggu yang lalu di rumah sakit ini. Dan setelah memperhatikan dengan lebih teliti, Ino menyadari dokter itu ternyata bertangan kidal.

Mereka lalu menjalani ritual memakai jubah dan sarung tangan, yang diakhiri dengan suara sentakan lateks.

Selagi tim itu menempati posisi masing-masing di sekitar meja operasi, Ino mengedarkan pandangannya ke wajah-wajah bermasker itu. Selain dokter residen, semua anggota tim sudah saling mengenal. Terutama Naruto dan Tenten yang kini menjadi perawat penghubung. Mereka berdua adalah teman Ino sejak masih kanak-kanak. Dan mungkin karena hal itu juga, mereka sangat mengetahui kelemahan masing-masing. contohnya Naruto. Lelaki itu merupakan anak terbodoh dalam angkatan mereka, namun kehadiran Sakura yang menjadi cinta pertamanya, Membuat Naruto rela banting tulang untuk belajar dan mendapatkan peringkat sepuluh besar dikelas.

lelaki itu melanjutkan pendidikan kedokteran di sekolah yang juga dimasuki Sakura agar bisa terus bersama wanita pujaannya itu. Untungnya semua usahanya tidak sia-sia. Menjelang kelulusan, Naruto melamar Sakura. Dan Ino tidak menyangka wanita itu menerimanya. Meskipun, ia akan membunuh perempuan itu jika sampai berani menolak pria sebaik Uzumaki Naruto. Saat pernikahan mereka, Ino harus rela menerima tatapan penuh kekecewaan dari sahabatnya karena tidak bisa menghadiri penikahan dikarenakan saat ia harus menjalani pelatihan kerja dan harus pindah setahun kemudian.

Dan kini, ia tidak percaya takdir masih mempersatukan mereka setelah Ino dipindah tugaskan empat tahun lalu. Saat Ino kembali ke Konoha, tempat kelahirannya. Ia sama sekali tidak menyangka mereka bertiga akan di pertemukan kembali.

Ino ingat bagaimana ia sempat menangis saat itu dan ia masih bisa merasakan matanya mengabur oleh air mata jika mengingat kenangan itu lagi.

Naruto melakukan irisan pertama. Selagi segaris cairan merah meleleh di permukaan dinding perut, dokter residen langsung mengeringkannya dengan spons. Tangan-tangan mereka bergerak secara otomatis dan terlatih.

Dari tempatnya berdiri di dekat kepala pasien, Ino mengikuti pekerjaan mereka, telinganya menyimak irama detak jantung Shizune. Semuanya berlangsung lancar, tidak tampak tanda-tanda timbulnya krisis. Saat-saat seperti inilah yang sangat ia sukai.

Naruto membuat irisan yang lebih dalam, memperlihatkan lapisan lemak yang mengilat. "Otot-ototnya agak tegang, Ino," ujarnya dengan dahi berkerut. "Akan sulit mengeluarkan batunya."

"Aku mengerti." Gumam Ino sambil menoleh kearah rak berisi obat dan menarik laci bertuliskan Succinylcholine. Cairan itu berfungsi untuk melemaskan otot, sehingga memudahkan Naruto mencapai rongga perut yang lebih dalam. Namun saat melirik kedalam laci itu, Ino mengernyit keheranan. "Tenten? Succinylcholine-ku sudah tinggal satu ampul. Tolong ambilkan lagi."

"Aneh," ujar Ken. "Aku yakin sudah menyiapkan semuanya kemarin sore."

"Tapi sekarang hanya tinggal tersisa satu ampul." jawab Ino bersikeras sambil mengisi tabung suntiknya dengan lima cc cairan bening itu dan menyuntikannya ke slang infuse Shizune dengan cekatan. Obat itu perlu beberapa saat untuk bereaksi. Sehingga ia memilih untuk kembali duduk dan menunggu.

Pisau bedah Naruto kembali mengoyak lapisan lemak beberapa saat kemudian dan mulai membuka jaringan otot perut.

"Masih kaku."

Ino menengadah kearah jam dinding. kerutan di dahinya makin dalam. 'Sudah tiga menit. Seharusnya sudah ada reaksi.'

"Akan kusuntikan lagi." Gumam Ino sambil mengisi lagi tabung suntik itu sebanyak tiga cc dan menyuntikannya ke slang infus. "Aku perlu satu ampul lagi, Tenten," ia memperingatkan dengan suara sedikit lebih keras. "Yang ini hampir…."

Alarm monitor jantung itu berdengung secara tiba-tiba membuat Ino langsung terlonjak. Dan apa yang dilihatnya dilayang monitor membuatnya nyaris melompat berdiri karena ngeri.

Jantung Shizune berhenti berdenyut.

Detik berikutnya seluruh ruangan langsung sibuk. Perintah-perintah di teriakkan, baki-baki instrumen disingkirkan. Dokter residen maju dan menekan-nekan dada Shizune sekuat tenaga.

Inilah hal yang paling ditakutkan dokter anesti.

Saat-saat paling buruk dalam hidup Ino Yamanaka.

Sementara kepanikan mengelilinginya, Ino berusaha menguasai diri. Ia menyuntikan ampul demi ampul adrenalin, pertama-tama ke selang infus, kemudian langsung ke jantung Shizune.

Tapi tidak menimbulkan reaksi apapun.

"Shizune bisa mati." Pikirnya dengan panik. Lalu ia melirik gerakan garis pendek di layar osiloskopi. Garis-garis itulah satu-satunya tanda masih ada kehidupan di dalam tubuh Shizune.

"Lakukan kardioversi" Pekik Ino dengan kalut. Ia melirik tenten yang berada di sampingnya defibrillator. "Seratus Sembilan puluh watt per detik!"

Tenten bergeming. Perawat itu terpaku, wajahnya pucat pasi.

"Tenten!" Jerit Ino. "Seratus Sembilan puluh watt per detik"

Ken-lah yang akhirnya berlari ke arah defibrillator dan mengaktifkan benda itu. Jarum petunjuk bergeser ke angka Seratus Sembilan puluh. Naruto merenggut paddle defibrillator, menempelkannya di dada Shizune dan mengalirkan listriknya.

Tubuh Shizune tersentak, gerakan garis dilayar semakin jarang.

Itu pola jantung yang sekarang.

Ino mencoba obat lain, sekali lagi. Dengan putus asa berusaha mengembalikan denyut kehidupan ke jantung itu. Tidak ada yang berhasil. Dengan pandangan kabur akibat air mata, ia mengamati tanda-tanda kehidupan itu melemah menjadi garis lurus tanpa henti di layar osiloskopi.

"Sudah selesai." Ucap Naruto dengan nada lirih. Ia memberi tanda untuk menghentikan pemompaan ke jantung pasien.

"Tidak." Teriak Ino tak terima. Ia langsung meletakkan tangannya di dada Shizune. "Ini belum selesai." Gumamnya keras kepala dan mulai menekan, sekuat tenaga sekaligus putus asa.

Dengan seluruh berat badannya ia menekan-nekan perisai tulang iga dan otot yang keras kepala itu. Jantung Shizune harus di pompa, otaknya harus mendapat suplai oksigen.

Berulangkali ia memompa, sampai lengannya terasa lemah dan gemetar. Namun hasilnya tetap sama. Monitor itu hanya menayangkan sebuah garis lurus.

.

.

Ino menatap hampa pada kantong jenazah yang berisi tubuh kaku Shizune yang kini menutup. Bersiap dibawa ke kamar mayat untuk kemudian diambil pihak keluarga. Ia berusaha menahan air mata sekuat tenaga, dan mengedarkan pandangan ke arah kasa yang berlumuran darah serta botol-botol kosong yang berserakan dilantai.

Itulah sisa-sisa menyedihkan yang selalu menyertai setiap kematian di rumah sakit.

Dengan lesu, ia melepas topi operasi dan sekilas merasa sedikit lega saat rambut pirang panjangnya tergerai bebas. Ia perlu waktu untuk menyendiri.

Waktu untuk berpikir dan memahami.

Naruto berdiri diambang pintu, tampak sedang menunggunya. Begitu melihat wajahnya, Ino tahu ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi.

Tanpa banyak bicara, Naruto langsung mengulurkan berkas kesehatan Shizune.

"Kau bilang EKG-nya normal." Tuduh pria itu.

"Memang normal."

"Periksa lagi."

Dengan bingung Ino membuka diagram EKG itu, data elektrik yang menunjukan keadaan jantung Shizune. Detail pertama yang di perhatikannya adalah inisial nama dirinya, digoreskan di bagian paling atas, membuktikan bahwa ia sudah memeriksa lembaran itu. Lalu ia mempelajari diagram tersebut dengan tergesa.

Satu menit penuh ia mengamati dua belas goresan hitam itu, nyaris tidak mempercayai data yang ia lihat. Pola itu tak mungkin disalahartikan. Bahkan mahasiswa tingkat tiga pun bisa mendiagnosisnya.

"Itu penyebab kematiannya, Ino."

"Tapi… ini mustahil! Tidak mungkin aku melakukan kesalahan seperti ini!"

Naruto tidak menjawab. Pria itu hanya mengalihkan matanya dengan sikap bosan, bahkan bahasa tubuhnya lebih menusuk daripada kata-kata yang mampu diucapkannya.

"Naruto, kau mengenalku. Aku tidak mungkin melewatkan data sepenting itu…"

"Ada bukti hitam di atas putih. Inisialmu tercantum di data itu." Pria itu menarik napas untuk menenangkan diri. "Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, Ino."

"Tapi tidak denganku!"

"Dengar, aku tidak mau lebih memojokanmu. Tapi mungkin saat ini kau lebih baik mengambil cuti untuk sementara, atau pergi bicara dengan Sakura. Kurasa kau membutuhkannya." Gumam Naruto sedikit tak berdaya. "Tenangkan dirimu dan kembalilah saat kau siap."

"Kami-sama, Shizune mengalami serangan jantung, dan kita mengoperasinya!" Naruto kembali menarik napas tajam. "Kita membunuhnya."

.

.

.

Sementara itu, di sebuah ruang kerja yang jauh dari kata rapi. Seorang lelaki tengah meneliti setiap kata yang tertulis di kertas yang berada di hadapannya.

"Malpraktik." Gumam Sasuke dengan nada bosan saat memeriksa berkas yang di terimanya tadi pagi.

Sementara itu rekannya, Shikamaru, yang duduk tak jauh dari tempatnya tampak menguap dengan raut wajah tak kalah bosan. "Menurutmu begitu?"

"Tentu, kalau saja aku tidak menerima ini lebih dulu." Ujarnya sambil memberikan selembar foto yang sudah terbilang usang pada putra tunggal keluarga nara itu.

"Foto itu dikirim tadi malam oleh klien ku. Awalnya kupikir itu hanya ulah iseng tapi…"

"Apa ini foto Tsunade-sama?"

"Ya, dia meninggal kemarin lusa akibat kehabisan darah karena di tikam, di samping kirinya adalah Jiraiya, mereka satu angkatan saat sekolah di kedokteran dulu. Mereka sempat bekerja di rumah sakit Konoha, namun setahun yang lalu, Jiraiya memutuskan pergi meninggalkan Konoha. Tak ada yang mengetahui keberadaannya sampai minggu lalu."

"Apa yang terjadi?"

"Dia di temukan tewas mengapung dengan tubuh sudah membusuk di pinggiran sungai, dekat hutan di kawasan Konoha sebelah timur."

"Itu mengerikan."

"Benar. Lalu disebelah kanannya, perempuan muda bernama Shizune, dia meninggal akibat operasi tadi malam."

"Jadi bukan malpraktik?"

"Bukan, tapi pembunuhan. Pertanyaannya sekarang adalah… siapa dan mengapa?"

"Kau punya petunjuk?"

"Tidak sama sekali." Jawab Sasuke jujur dan kembali memeriksa kertas yang berada di atas mejanya. Mengacuhkan Shikamaru yang tampak masih mencerna kalimatnya barusan.

"Ck, merepotkan."

.

.

tbc

.

.

author notes:

terimakasih sudah membaca ^^

cerita ini sudah rampung dan akan di publish secara berkala.

meskipun begitu, lea tetap mengharapkan kritik, saran dan masukan untuk memperbaiki fic ini. sangat menerima concrit, dalam bentuk apapun.

tidak menerima flame pairing.