Tittle : 60 sec
Main cast : Jung Daehyun, Choi Junhong (Daelo)
Length : Oneshoot
Warning : This is YAOI (BOYXBOY) fanfiction. Typos, not EYD.
.
.
Tak ada siapapun di sana.
Langit yang kelabu remang-remang tanpa awan, pasir putih nan halus, dan jarak pandang yang tiada batas.
Angin yang berhembus kemanapun Ia berlari.
Di mana?
Tetap tak ada siapapun.
Bertumpu pada lututnya. Ia lelah.
Pasir pasir itu bergerak halus oleh angin. Desir-desir kian tampak seiring makin kencang. Angin-angin itu membabi-buta dan Junhong tak kuasa menahan tubuhnya.
.
.
Seberkas cahaya memaksa pelupuk matanya terbuka. Sangat terang hingga yang tampak hanyalah putihnya. Junhong terduduk memeluk kedua kakinya.
Siluet hitam membuatnya takut. Berjalan terus mendekatinya yang kian menghindar.
Dan ketika Ia menyerah, tangan itu terulur.
Terasa ringan hingga menggapai dengan sendirinya.
Dan semuanya hilang.
.
.
"Kau mau? Makanlah.."
Junhong terdiam melihat dua anak kecil yang sedang berbagi makanan. Melihat sekelilingnya. Tempat yang tak asing baginya.
"Ayo kita belmain ayunan!"
Dan keduanya berlari menggapai ayunan yang tak jauh dari tempat mereka berada.
"E-eh!"
Junhong hampir saja berteriak melihat anak kecil dengan rambut pirang hendak menaiki duduknya yang digeser oleh temannya.
"Hehehehe…"
Si pirang hanya bisa mengerucutkan bibirnya.
Junhong mengelus dadanya. Dan tersenyum melihat keduanya yang bermain riang.
"Hyung, ayo kelumah Junong!"
Junhong mematung.
"Appa balu membelikan Junong mainan, nanti kita main belcama ya!"
Bola mata Junhong bergetar. Napasnya sesak.
Keduanya masih tertawa riang seiring angin yang membawa mereka mengayun.
Maju selangkah mencoba menggapai mereka. Tangannya menerawang jauh.
Angin kembali berhembus. Meluluh lantakan segalanya. Dua anak itu telah hilang bersama dunia mereka.
.
.
Cahaya itu. Cahaya yang sama.
Siluet itu. Bayangan yang sama.
Uluran itu..
"Siapa kau?!"
Sosok itu tetap tak terlihat.
Ia berjalan kian menjauh meninggalkannya.
"Tunggu!"
Junhong berlari kencang.
"Siapa kau sebenarnya?! Kenapa membawaku kesini?!"
Sosok itu berbalik menghadapnya. Cahayanya masih sama. Begitu terang dan masih enggan untuk meredup.
"Aku….enam puluh detik yang berharga."
Suara itu.
Junhong tahu betul suara itu.
Suara itu bergemuruh di telinganya. Bergema di dalam sana.
"Aku mencintaimu."
Junhong menutup telinganya rapat-rapat. Suara itu telah mengusik segalanya. Meninggalkan depresi dalam jiwanya.
"Hentikan!"
Bayangan itu mendekat. Membawanya dalam dekapan hangat. Begitu nyaman hingga Ia larut dalam keheningan yang menenggelamkan segalanya.
.
.
.
Musim panas Seoul, 2013.
"Aku tidak menyangka akan punya tetangga baru sepertimu," pemuda bersurai hitam kelam itu melayangkan senyumnya.
"Hei, katakan aku pernah bertemu denganmu sebelumnya."
Mulutnya setengah terbuka mencoba mengingat-ingat sesuatu.
"Ah, lupakan."
Ia tertegun. Matanya tak lepas dari pemuda yang sedang menuliskan seuatu di tanah tempat mereka berdiri.
(bentuk hati)
Junhong tersenyum. Ada sesuatu yang menggelitik badannya.
"Sekolahmu yang itu kan? Kau tahu, aku baru saja lulus," ujarnya sambil menunjuk gedung yang cukup tinggi di ujung jalan.
Ia mengangguk beberapa kali. Mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Sebuah buku.
Junhong menunjuk salah satu barisan. Menunjuk dirinya kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya tak mengerti.
Daehyun tersenyum. Buku panduan sekolah setebal ruas jari kelingking telah terkembang menunjukkan deretan halus tulisan komputer dengan font yang sungguh masih Ia hapal sejak tiga tahun yang lalu.
"Oh, yang ini. Ini adalah penggunaan tangga darurat Junhong-ah. Tangga ini hanya bisa digunakan untuk keperluan mendadak. Disini disebutkan untuk jalur evakuasi siswa yang sakit saat upacara yang mengharuskan dibawa tandu, jalur evakuasi jika terjadi bencana mendadak, jalur untuk guru maupun siswa yang ada kepentingan dengan tamu dari luar yang mengharuskan tepat waktu, dan sebagainya. Jelas?"
Junhong mengangguk pelan.
Daehyun menghela napas. Ia baru ingat kalau pemuda yang diajaknya bicara adalah anak pindahan Amerika. Pantas saja Ia hanya diam sedari tadi Ia mengoceh panjang lebar. Dan sayangnya, Daehyun benar-benar tidak bagus dalam bahasa asing.
"Ngomong-ngomong sejak kapan kau pindah ke Amerika?"
Junhong menunjukkan angka delapan pada jari-jarinya. Dan itu membuat Daehyun memekik dalam hati, betapa lucunya anak ini.
Junhong kembali membuka lembaran yang lain. Kali ini berbentuk tabel yang menuntut Daehyun memakai kacamatanya.
"Hm, ini hukuman ringan untuk siswa pelanggar tata tertib. Kau hanya perlu menaati peraturan, Junhong-ah."
Junhong kembali menunjuk satu baris tulisan dengan tinta merah.
"Oh. Yang berwarna merah ini hukuman berat. Kau harus jauh-jauh dengan hal yang disebutkan ini."
Daehyun menutup buku itu. Melepas kacamatanya dan mengucek matanya sebentar.
"Kau bisa tanya padaku kapan saja. Sekarang ayo ke rumahku dan kita berpesta makaron."
.
.
"Aku pernah dihukum waktu itu gara-gara menaiki tangga darurat karena sudah terlamba—uhuk!"
Junhong tertawa gemas melihat Daehyun yang sudah seperti kepiting rebus dengan sisa-sisa kue di sekitar mulutnya. Menyodorkan sebotol air sambil menahan tawanya sebelum lebih jauh.
"Uhuk uhuk! UHUK!"
Junhong menepuk-nepuk puggung Daehyun—meski suara batuknya terdengar dibuat-buat.
"Aku tidak apa-apa, tenang saja."
Misi Daehyun kali ini adalah: Membuat Junhong lancar berbahasa Korea kembali. Mungkin benar Ia paham apa yang Daehyun katakan, tapi untuk berbicara, Daehyun sejauh ini hanya bisa mendengar Ia tertawa, dan sedikit-sedikit berkata 'iya', 'tidak', dan konversasi harian sederhana lainnya.
Daehyun selalu bercerita panjang lebar meskipun hanya mendapat respon anggukan, kadang gelak tawa, atau Junhong yang menyikutnya karena berbicara sembarangan.
"Apartemen? Kau akan pindah ke apartemen?"
Ia tersenyum hambar dan mengangguk beberapa kali.
"Kita baru saja berkenalan sebulan yang lalu."
Ada nada kekecewaan di sana.
Junhong menatap kosong. Tapi apa boleh buat, Ia tak bisa menolak permintaan ayahnya.
"Ah, tak apa. Kalau kau mau aku bisa menemuimu di sana. Atau kau yang berkunjung ke sini kapan saja. Itu bagus Junhong-ah, mungkin kau akan lebih nyaman tinggal di sana," hiburnya. Daehyun tak mau menyulitkannya hanya karena masalah kecil.
Junhong menggeleng. Menatap lekat pada Daehyun yang memandangnya bingung.
"Aku…tidak mau."
Daehyun mengulum senyum, mengelus surai kebiruan Junhong dan menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajahnya.
"Tenang saja. Kalau kau kesulitan berbahasa kau bisa telpon aku."
Junhong tertunduk. Bukan. Bukan karena Ia takut tak bisa berkomunikasi dengan sekitarnya karena tak ada Daehyun.
"Kenapa? Ayolah, kita bersenang senang hari ini."
.
.
"Kenalkan Junhong, ini Youngjae. Si bodoh yang suka terpeleset di kamar mandi yang sering aku ceritakan padamu."
Keduanya sama-sama melempar senyum. Daehyun meringis menahan sakit karena jari-jari kakinya sudah seperti dilindas mesin penggiling.
"Jangan dengarkan dia Junhong. Dia bahkan masih merengek minta roti kalau sudah benar-benar kelaparan."
Junhong tertawa kecil yang membuat Youngjae memekik senang dan refleks mencubit pipinya.
"Ya, hentikan! Kau bisa menyakitinya, bodoh."
Junhong mengerjap-ngerjap beberapa kali.
"Baiklah Junhong, aku akan pergi sebentar membeli makan. Kalau dia berbuat yang tidak-tidak padamu kau bisa hubungi aku, okay?"
Jung Daehyun, memang siapa dirimu.
Youngjae memutar bola matanya malas. Melirik Daehyun yang memelankan langkahnya keluar rumah.
"Ish. Menjijikkan sekali."
Junhong tersenyum simpul. Hingga Daehyun melambaikan tangan seakan Ia akan pergi jauh.
"Junhong."
"Ya, hyung."
"Sejak kapan kau pindah ke Amerika? Dan kenapa kembali ke Korea?"
Keduanya sibuk mendalami satu sama lain. Youngjae, sahabat Daehyun sejak kecil yang sedang pulang kampung dari Jepang.
"Ah, jadi kau pindah ke apartemen."
Junhong mengangguk mengiyakan. Memainkan jari-jari lentiknya sesekali mengigitnya.
"Junhong."
Pemuda bersurai biru kelam itu memandang ke sumber suara.
"Apa kau menyukai Daehyun?"
.
.
"Besok kau tidak usah menjemputku, hyung. Himchan-hyung yang akan menjemputku."
Daehyun menyipitkan matanya. Alisnya hampir bertemu dengan dahi yang berkerut-kerut menuntut jawaban.
"Siapa?"
"Himchan hyung, kakak sepupuku."
Daehyun menghembuskan napas lega. Mencubit hidung Junhong dan membuatnya memerah.
"Junhong-ah."
"Ya?"
Menepuk-nepuk sofa untuk Junhong yang sedang menguakkan beberapa minuman dari lemari pendingin. "Kemarilah~"
Junhong kembali dengan minuman berwarna kuning cerah di genggamannya.
"Bangunkan aku pukul lima ya," menumpukan kepalanya pada bahu Junhong yang sedang meneguk jusnya.
Dingin.
Membeku seperti halnya es dalam minumanya. Kala tangan Daehyun melingkar pada lengannya dan rambut-rambut halusnya bergesekan dengan kulitnya.
"Apa kau menyukai Daehyun?"
Junhong menelan ludahnya kasar. Mengusir kata-kata yang bagai hantu yang selama ini mengerubuti pikirannya.
Kelabu. Junhong tak tahu. Apa yang dirasakannya. Sensasi apa dari ini semua.
Jam sudah menunjukkan pukul empat lewat lima belas. Junhong merogoh sakunya.
"Ambil saja. Mungkin akan membantu."
Ia membuka lipatan kecil kertas yang sudah beberapa hari disimpannya.
Garis zig-zag vertikal. Wajah tersenyum. Dua garis horizontal, bentuk hati.
Junhong menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Yang disebut 'bantuan' oleh Youngjae sama sekali tidak mengatasi masalahnya.
"Kau sedang apa?"
Suara itu mengagetkannya.
Junhong dengan cepat membuang kertasnya sembarang arah.
Ah, Ia melupakan janjinya.
"Uh, maaf hyung aku tidak membangunkanmu," ucapnya pelan. Sangat pelan takut Daehyun mendengarnya.
Daehyun menggoyang-goyangkan bahu Junhong gemas.
"Tenang saja. Aku tidak akan memakanmu, anak manis."
Dan perkataannya sukses membuat rona itu terlihat jelas.
.
.
"Cinta itu butuh proses."
Himchan menjentikkan jarinya sambil tersenyum menggurui. Junhong terkikik melihat kakak sepupunya yang sudah seperti guru fisika di kelasnya.
"Ternyata Moon Jongup bisa jatuh cinta."
Himchan membuka sebelah matanya melirik pemuda yang sedang duduk menikmati makan siangnya.
"Ya! Kau tidak mendengarkanku?!"
"Ohok!"
Makan siangnya kini menghiasi wajah seniornya.
Junhong tak bisa menahan tawanya. Wajahnya sudah seperti kepiting rebus yang siap menjadi santapan lezat Himchan saat ini juga.
"Ehehehe.."
Junhong dengan segala senyum mengharap ampunannya. Dan Himchan pasti tak akan bisa sekadar berkata kasar padanya. Junhong, adik kesayangannya.
"Kau sudah makan? Aku membawakanmu kimchi. Buatan Yongguk, entah bagaimana rasanya," mengusap puncak kepalanya sambil membersihkan wajahnya.
Junhong mengangguk mantap, "Aku baru saja makan siang bersama Daehyun hyung."
"Ah, begitu ya. Aku akan keluar sebentar. Kau di sini bersama Jongup."
Junhong menggaruk tengkuknya. Himchan tahu adik sepupunya tidak terbiasa dengan orang asing. Apalagi, di apartemennya sendiri.
"Tenang saja, dia adik teman hyung. Seumuran denganmu. Kau bisa berbicara hal apa saja dengannya."
Dan Junhong hanya bisa tersenyum hambar melihat punggung kakaknya yang kian menjauh.
"Junhong ssi, apa ini milikmu?" pemuda yang dikenalnya beberapa menit yang lalu itu menunjuk boneka kuning di atas nakasnya.
Junhong mengangguk mengiyakan. Kalau anggukan itu bisa diartikan, mungkin akan seperti ini: 'bodoh, memangnya milik siapa di apartemen sendiri'
"Kau menyukai pokemon?"
"Eung…tidak terlalu. Hanya sebuah pemberian."
Pemberian Daehyun seminggu yang lalu.
"Aku penggemar beratnya," lanjut Jongup.
Junhong terdiam. Lebih memilih memikirkan masalahnya akhir-akhir ini daripada mendengar omong kosong tentang pokemon dari pemuda pendek di sebelahnya.
"Oh ya. Aku suka sekali menari. Aku ketua dance club di sekolah."
Seakan mendengar sesuatu yang sensitif di telinganya.
"Dance?"
Jongup mengangguk mantap. Matanya berbinar dan seketika mengeluarkan ponsel dari sakunya.
"Kau mau lagu apa? Aku baru saja mengkombinasikan gerakan dari Omarion tiga hari yang lalu."
Junhong terlonjak. "Kau pasti bercanda!"
Jongup menggeleng kuat-kuat, "Aku serius. Kalau kau mau, kau bisa bergabung."
Mata Junhong berbinar.
"Benarkah? Memangnya di mana sekolahmu?"
"Aku tidak tahu pasti alamatnya. Sekitar dua kilometer dari sini."
Ah, itu bukan sekolah Junhong.
"Aku punya markas khusus. Dekat sini. Kau bisa datang kapan saja. Oh ya, bisa minta nomor ponselmu?"
.
.
Daehyun yang baru saja melonggarkan dasinya dibuat bingung dengan suara tak biasa. Suara yang jarang sekali Ia dengar. Siulan. Siulan Junhong.
"Ada apa ini? Kelihatannya bahagia sekali."
Junhong mengangguk pelan. Berjalan memutari sofa yang Daehyun duduki sambil terus mengerucutkan bibirnya dan mengeluarkan sedikit udara.
"Kau sudah taken, Junhong-ah?" Daehyun terperanjat sendiri.
Junhong berkedip beberapa kali, "Taken?"
Daehyun menepuk keningya.
"Biar aku lihat," memutari tubuh Junhong dan melipat lengan seragam sekolah yang Junhong kenakan.
"A-apa yang kau lakukan?" Junhong bergidik kala Daehyun membuka kancing paling atasnya.
"Kau umur berapa, eoh?! Berani beraninya pacaran! Kau bahkan belum lulus SMA!" ketusnya sambil terus menjelajahi sekitar lehernya.
"H-hyung...bisakah—"
"Lihat saja! Kalau sampai ada noda di sini, di sini, atau disini, akan kuhajar dia sampai habis!" serunya posesif sambil menunjuk leher, dada, dan wajah Junhong bergantian.
"N-noda?"
Daehyun memandangnya tak percaya. Apakah dia memang polos atau pura-pura tak mengerti. Dan bagaimana menjelaskannya padanya.
"B-berarti aku tidak bisa main lumpur lagi?"
Daehyun menghela napas berat, "Bukan noda seperti itu. Noda kecil, warnanya merah."
Daehyun melunak kala merasakan tangan Junhong yang dingin dan sedikit gemetar. Dan Ia baru menyadari apa yang dilakukannya.
"M-maafkan aku. Kau pasti terkejut," mengancingkan kembali tiga kancing yang sudah terlepas.
"Kalau ada yang berbuat macam-macam padamu, kau harus menghubungiku."
.
.
Pernah suatu hari sepulang sekolah Junhong menangis hebat. Daehyun berkali-kali mendapat panggilan masuk dari Himchan yang sudah mengutuknya tak jelas. Himchan yang saat itu tengah sibuk dengan acara pertunangannya terpaksa kembali ke Korea hanya karena telepon adik sepupunya yang sudah seperti kehilangan kesadaran.
Daehyun mengacak rambutnya frustasi. Satu lagi masalah datang ketika pekerjaannya harus selesai dua hari lagi. Ponselnya sudah meronta-ronta minta diangkat. Melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.
"Kau apakan dia, bodoh?!"
Daehyun yang baru saja sampai langsung mendapat semburan Himchan.
"Sungguh, aku tidak melakukan apapun!" mencoba ketus sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya. Lift apartemen Junhong sedang dalam perbaikan, jadi Ia harus melewati tangga untuk mencapai lantai tiga puluh enam ini.
"Junhong-ah, buka pintunya," tutur Himchan lembut. Memastikan bahwa adiknya baik-baik saja di dalam kamarnya.
Mendengar tak ada jawaban, Himchan memberi kode agar Daehyun yang berbicara.
"Junhong, tolong buka pintunya. Kau bisa cerita padaku setelah kau buka pintunya."
"Shireo!"
Daehyun menghela napas berat.
"Ada apa? Apa terjadi sesuatu padamu?"
Tak ada jawaban. Hembusan nafas khawatir saling beradu.
"Junhong, buka pintunya atau akan aku rusak."
Himchan kontan mendelik. Ia tahu betul Junhong tak suka cara yang kasar. Daehyun sudah kehabisan akal. Memijit keningnya yang belum istirahat seharian.
Dan butuh waktu yang cukup lama untuk membujuknya hingga Ia mau membuka pintunya.
"Junhong?"
Matanya berair dan memerah, masih dengan seragamnya lusuh dengan syal mengalung pada lehernya.
Himchan memeluknya erat. Ia bisa mati jika Junhong benar-benar tak mau membuka pintunya.
"Kau baik-baik saja? Siapa yang menyakitimu? Nanti akan kupukul habis dia!" ujarnya sambil mengusap pipi yang putih pucat itu.
Junhong menggeleng. Daehyun mulai beranjak mendekat, "Katakan yang sejujurnya, Junhong-ah."
Junhong memandang Daehyun dengan takut-takut. Ada keraguan di sana.
"Katakan saja, aku tidak akan marah padamu."
"Pada siapapun?" suaranya habis.
Daehyun terlihat berpikir, "Pada siapapun."
"Janji?"
"Janji."
Junhong mengusap hidungnya yang memerah. Tangannya bergerak gelisah melepaskan syal merah yang sedari tadi Ia kenakan.
Himchan bergerak cepat, "Siapa? Siapa yang melukaimu? Ayo katakan."
Daehyun menepuk pundak Himchan memberi isyarat agar tetap tenang.
"Ini karena Jongup hyung—"
"Apa?! Moon Jongup?! Keterlaluan dia!" dengan sigap merogoh sakunya dan menekan beberapa tombol.
"Ssst, hyung, dengarkan dia dulu—"
"Tidak bisa dimaafkan! Heh Moon Jongup! Kau sedang di apartemen kan? Cepat ke lantai 36! Cepat atau kau akan kubunuh!"
"Baiklah Junhong, kau bisa lanjutkan."
"Eung…Saat itu aku—"
"A-aku datang!" seseorang dengan rambut keunguan berlari panik.
"Junhong? Kau baik-baik saja? Kenapa tadi pulang tiba-tiba?" tanyanya polos.
"YA! KAU—"
"Hyung, tenanglah, dengarkan dia bicara."
Junhong berkedip beberapa kali. Memastikan suasana kembali kondusif dan memulai ceritanya kembali.
"Kami mengecat skateboard yang baru saja aku beli kemarin…
"Saat aku ingin mengambil cat warna biru, Jongup-hyung tidak sengaja menyikutku sampai aku jatuh."
"Lalu?"
"Kuas yang ada cat merahnya mengenaiku."
Hening. Himchan dan Jongup memandang satu sama lain.
"Jadi, masalahnya?"
"Aku takut Daehyun-hyung marah padaku karena melihatnya.."
"Kenapa? Ah, aku semakin tidak mengerti," selidik Himchan diikuti anggukan Jongup.
Junhong dengan sabar menceritakan kembali kejadian beberapa hari yang lalu.
"Begitu ceritanya."
Himchan dan Jongup mematung sejenak.
"Aku rasa aku ingin muntah," Jongup beranjak pergi.
Dada Himchan kembang kempis menahan sesuatu.
"JUNG DAEHYUN!"
"Cha-chakaman! Ini bukan salahku, ini salah paham. Dia tidak menangkap yang aku maksud—"
"Itu sama saja bodoh! Kau tahu aku membatalkan acara pertunanganku hanya untuk ini…Aish! Sekarang aku tidak mau tahu, kau harus bertanggung jawab!"
"S-sebentar..bertanggung jawab bagaimana?"
"Jelaskan padanya sejelas jelasnya dan urus penundaan acara pertunanganku!"
"T-tapi—"
"Tidak ada tapi!"
Daehyun terduduk lesu. Himchan berusaha menetralkan amarahnya dan pamit pada Junhong untuk pulang.
"Daehyun-hyung.."
"Hm."
Junhong duduk dengan ragu di sebelahnya.
"Maafkan aku."
Daehyun berbalik menghadap Junhong. Mengusap puncak kepalanya dan mencoba tersenyum. "Ini bukan salahmu. Harusnya aku yang membuatnya lebih jelas."
Junhong memandangnya khawatir. Ia tahu Daehyun seseorang yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Pekerja keras namun penuh perhatian.
"Kau….tidak marah kan?"
Daehyun menggenggam tangannya, "Tentu saja tidak. Ini semua salahku. Yang aku maksud bukan noda merah karena cat, atau yang lain Junhong-ah."
"Lalu yang bagaimana?"
Daehyun menelan ludahnya kasar. Hal ini terlalu sensitif untuk digambarkan. Terlebih gambarannya buruk, bisa menimbulkan kesalah-pahaman lebih lanjut.
"Hyung?"
Daehyun menghembuskan nafas pasrah, "Mendongaklah dan terus lihat ke atas. Jangan lihat ke bawah."
Junhong menurut. Daehyun semakin mendekat dan menguncinya. Melihat ke atas seperti apa yang Daehyun perintahkan. Bergidik ketika sapuan nafas Daehyun menyapa kulitnya.
"H-hyung.."
Merasakan ada sesuatu yang lembut mendarat pada perpotongan lehernya, Junhong terpejam sambil meremas kemeja Daehyun kuat-kuat. Sensasi yang tak biasa mengalir dalam tubuhnya.
"Ugh"
Junhong meremas kemeja Daehyun lebih kuat ketika sesuatu yang tajam seperti ingin merobek kulitnya. Ngilu dan rasa aneh yang lain beradu. Sapuan lembut benda basah sedikit menenangkannya.
Junhong menggigit bibir bawahnya ketika hal yang sama dirasakannya untuk kedua kalinya. Entah apa yang Daehyun lakukan padanya saat ini.
Membuka mata kala sensasi itu sudah tiada. Sesuatu telah hilang.
Daehyun membersihkannya dengan tisu, "Selesai."
Junhong hampir saja mengutuk betapa Daehyun memperlakukannya dengan cara aneh yang baru Ia rasakan.
"Tunggu beberapa menit. Noda itu akan muncul."
Junhong menatap sayu. Memandang Daehyun yang sedang meneguk lemonade nya.
"Maaf. Itu pasti sakit," mengusap pipi Junhong yang merona.
"Aku hanya menjalankan apa yang Himchan-hyung katakan padaku. Karena aku tidak bisa menjelaskan padamu, jadi aku terpaksa melakukannya," lanjutnya.
"It's only a sample, supaya kau tahu. Tiada yang boleh memperlakukanmu seperti itu, selain tunanganmu kelak," merapikan anak rambut Junhong yang menutupi dahinya.
"Kau bisa marah padaku, kau bisa pukul aku, kau bisa lakukan apa saja padaku, karena seharusnya hal itu—"
Junhong menggenggam tangannya lembut, "Aku tidak bisa marah padamu."
Daehyun meremas tangannya.
"Tapi kenapa aku tidak boleh melihat ke bawah?"
Daehyun menatap sejurus menembus segala yang dihadapannya.
"Karena kau akan tidak suka melihatnya."
Keduanya berpandangan, "Kenapa?"
Daehyun nampak berpikir. "Karena itu menakutkan," ujarnya dengan efek suara serigala sedang ingin melahap mangsanya.
Junhong menyikutnya pelan. "Itu tadi…eung…."
Daehyun menunggu Junhong yang menggantungkan kata-katanya dengan patuh. Junhong yang enggan menatapnya dan memilih melihat ke sembarang arah
"A-aku… i-itu…..rasanya sangat aneh."
"Aneh?"
Junhong mengangguk beberapa kali. Matanya mencoba mencari-cari apa yang Daehyun pikirkan. Membawa telunjuknya menyentuh halus bibirnya.
"J-Junhong—"
"Apa ini yang melakukan semua?"
Hening. Daehyun merasa tidak baik. Beranjak dan membenahi kemeja dan letak dasinya. Mengulurkan tangannya. "Sekarang lihatlah di cermin."
Junhong menyambut lembut tangan Daehyun yang belum menjawabnya. Berdiri agak sempoyongan dan berjalan beriringan menuju benda bening mengkilat di ujung ruangan.
Bola matanya membesar kala melihat sesuatu yang asing tercetak jelas di sana. Mengusapnya beberapa kali, mencoba menghapusnya.
"Akan hilang dengan sendirinya. Butuh waktu," Daehyun yang berdiri di belakangnya menatap bayangan Junhong yang masih terpaku mengamati hal baru.
"Sementara kau harus pakai syal ke sekolah."
TBC
.
.
HALOOOOO /sembur dikit/
Hehe maaf ya baru update sekarang...
Sebenernya ff ini udah berdebu di file sejak berbulan bulan yang lalu. Masih sibuk sama banyak urusan hoho..
Akhir akhir ini lagi suka sama lagunya Kim Sung Gyu yang 60 sec dan jeng jeng! lahirlah ff ini..
Enjel mau bilang makasih nih buat readers sama reviewers yang support debut sayaaa di Breathe
jimae407203 : ciye curhat... hehe kan junhong masih muda juga gitu jadi bikin yang rada anak muda (tapi agak expired buat daehyun) wkwkwk Makasih buat supportnya, hehe..
Kim Rae Sun : Moonjae sama banghim haaaaaah itu otp yang ga kalah manis asam asin rame rasanya aduuh. Hahaha jangan kesel ya sama endingnya, mood nya lagi mellow gitu hehehe.. Oke oke~
Minmi : Ntar ya, masih timbang timbang dulu hoho..
december28 : Wkwkwkwk lagi suka bikin oneshot nih... Junhongnya udah terbuka tau, daehyunnya ajanih yang suudzon /belain dede/ Sekuelnya nanti dulu ya, ini masih lanjutin sesuai mood sama yang udah jalan.. Btw authornim ffnya keren keren ih, nanti aku sempatin baca yang laen plus review hehe...
Park eun hwa : Aduh...jangan nangis /elapin laptop/ nanti kapok lagi bacanya hehe... sequelnya pending dulu yaa
ichizenkaze : duh maapkan kalau jadi flashback hihi. oke oke. Nanti enjel juga sempatin baca plus repiew authornim kok. Makasih~
ChellaGs : wkwkwk nggantung ya? Abis mood nya udah sampe segitu, sekali sekali pengen zelo aga tersiksa gitu biar dewasa (ih engga, bercanda kok) sekuelnya nunggu ff yang ini selesai dulu ya~
anhiezheise : hahahaha abis liat mukanya bawaannya pengen bikin dia ditinggalin mulu (lol engga kok) yah kalo sama nuna jelo sama siapa dong? wkwkwk
Linkz account : bikin daehyun egois gapapa kali ya hehe.. makasih udah review~
Pokoknya makasih banyaaaaak buat readers dan reviewers esp Daelo shipper, buat siders...semoga dibukakan hatinya buat review ya (pls abaikan) hehehe
