"Aku selalu berpikir kalau Liechtenstein–negara Eropa tempatku tinggal–sangat lah membosankan. Namun, rencana ekspedisi mengililingi negara bersama teman-temanku demi seorang pemuda Yunani ternyata tidak sejelek yang kuduga. Di lain pihak, aku sadar kalau perasaan cinta seharusnya tidak boleh kau sepelekan."

This is a story about me.

Have a cup of tea, then read it carefully.

[episode satu]

From the very first time i saw you with your blue eyes like a sky, i never know our meet is a thing that have been planned.

[trilogy story]

[cast: taehyung x jungkook x stephan x philips]

.

.

.

Jikalau ada hal yang dapat kubanggakan dari negaraku, itu pasti prestasi gemilangnya di dunia yang di nobatkan sebagai negara dengan penghasilan terbanyak urutan kedua setelah Qatar. Selain itu? mungkin statusnya sebagai negara terkecil, negara teraman, atau pun negara dengan jumlah pengangguran terendah.

Liechtenstein– itu lah namanya. Sebuah negara kecil di apit oleh Swiss dan Austria yang hanya memiliki luas lahan 160 kilometer dengan jumlah penduduk kurang lebih 37.000 jiwa saja. Negeri ini di kelilingi oleh pegunungan Alpen dan sungai Rhine sebagai pembatas antara Swiss dan Liechtenstein. Butuh waktu 1,5 jam untuk tiba di Liechtenstein dari bandara Zurich. Dan karena negeriku tidak memiliki bandara ataupun pelabuhan, satu-satunya jalur transportasi yang tersedia hanya lah jalur darat. Kereta hanya tersedia pada hari minggu, jadi menaiki bus berwarna hijau dengan nomor 12 ataupun mengendarai mobil adalah pilihan yang tepat.

Aku bisa pastikan kalau tidak akan butuh waktu 24 jam untuk bisa mengelilingi seluruh negeri. Di tambah bonus mengunjungi Vaduz castle yang terletak di atas bukit dan mendaki sedikit di daerah Triesenberg, malam hari akan tetap kau lalui dengan nyaman di tempat peristirahatanmu. Vaduz, Ibukota negara ini, menyediakan sepeda-sepeda yang dapat di gunakan secara gratis oleh turis untuk mengelilingi kota.

Negara ini kecil dan tidak memiliki apapun yang spektakuler. Karena itu lah, semuanya terasa membosankan. Satu-satunya hal yang membuatku bertahan untuk terus menjalankan hidup disini mungkin adalah pemandangan kota Triesen–salah satu kota di bagian selatan–dari atas bukit Grauspitz yang tidak akan pernah bosan kunikmati.

Tapi, berhubung ini adalah negeriku. Maka akupun harus mencintainya sebisaku.

Seperti moto Liechtenstein, "Untuk Tuhan, Pangeran, dan Tanah Air".

"Pagi, Jungkook!"

Lamunanku buyar.

Beberapa meter dariku, ada Stephan yang melambaikan tangan dari atas sepeda. Badannya di baluti sweater tebal dan syal cantik yang kuduga pasti rajutan Ibu Stephan. Rambut pirangnya juga di tutupi sebuah topi hasil rajutan tangan. Walaupun udara merosot hingga 2 celcius derajat, senyum Stephan tetap hangat.

Aku balas tersenyum, melangkah mendekatinya yang menunggu di pinggir trotoar.

"Kau akhir-akhir ini suka sekali melamun. Ada masalah?" Stephan bertanya ketika aku tiba di sebelahnya.

"Tidak ada." Aku memegang kedua pundaknya lalu segera duduk di kursi boncengan sepeda Stephan, "Ayo cepat. Kita akan terlambat."

"Tenang saja. Willos mengatakan kalau Miss Waters tidak masuk karena anaknya sedang di rawat di rumah sakit. Jam pertama kita kosong."

"Yang lain akan pergi menjenguk?"

"Anaknya di rawat di Switzerland."

Aku menghela nafas kecewa. "Kalau begitu kita tidak bisa."

Sepeda hitam Stephan berjalan melintasi jalan raya kota Vaduz yang sepi. Satu dua mobil menuju ke arah yang berlawanan, menuju keluar Vaduz. Dengan cuaca ekstrim seperti ini, tidak ada penduduk kota yang dengan senang hati mau keluar rumah. Turis-turis juga tidak datang berkunjung saat musim dingin sedang dingin-dinginnya. Hanya kami–dan juga para pekerja–yang mau tidak mau harus berjuang melawan udara menusuk tulang.

"Tapi, kudengar pangeran Philips mau mengantar kita pergi menjenguk anak miss." Suara Stephan memecahkan keheningan.

"Kapan?"

"Lusa, mungkin? Dia ada pertemuan dengan bangsawan-bangsawan Inggris di Swirtzerland. Jadi sekalian saja."

"Itu kabar yang bagus."

"Tapi kau tahu, dia berlebihan." Stephan memberhentikan sepedanya, lampu merah. "Maksudku, dia tidak perlu berusaha sejauh itu. Kita memang temannya, tapi dengan menyewa bus khusus hanya untuk kita sekelas, jelas-jelas saja berlebihan. Dia pasti punya indikasi lain."

Aku memutar bola mata jengah. "Kau hanya iri pada Pangeran."

Stephan mendengus, tidak lagi menjawab. Kakinya kembali mengayuh pedal ketika lampu jalan berubah menjadi warna hijau. Dibelakangnya, aku mengusap kedua tanganku yang di baluti kaos tangan tebal. Udara dingin berhasil menembus mengenai telapak tanganku. Wajahku juga terasa membeku. Ini benar-benar menyiksa. Harusnya aku mengikuti saran Ibu untuk mengenakan masker sebelum keluar rumah.

Sepeda Stephan berbelok arah menuju Städtle. Aku mengerjapkan mata. Sekolah kami berada di jalur kiri, tapi pemuda berambut pirang itu malah membelokkan sepedanya ke arah kanan.

"Aku mau mengunjungi Tourist Information Center dulu." Stephan seolah bisa mendengar suara hatiku.

Aku hanya mengangguk walaupun tidak yakin Stephan melihatnya. Kepalaku bergerak bosan melihat sekeliling. Museum Nasional terlihat beberapa meter di depan sana. Ada beberapa mobil yang berlalu lalang, setidaknya lebih banyak daripada jalan yang tadi kami lewati.

Bangunan-bangunan di kota ini telah sempurna di selimuti salju. Segalanya berubah menjadi putih setelah hujan salju hebat tadi malam. Taman kota yang kadang menjadi tempat favoritku saat musim gugur juga di tutupi salju sepenuhnya.

Kota ini semakin terlihat mati saja.

Tanpa kusadari, kami telah tiba di depan Tourist Information center. Stephan memarkirkan sepedanya. Aku bergerak cepat turun dari boncengan di ikuti Stephan. Saat kami berdua berdiri, tingginya jauh menjulang. Khas orang Eropa. Padahal dulu saat kami kecil, tinggi Stephan hanya tidak lebih dari dadaku.

"Ayo." Stephan berkata sembari menarik tanganku untuk masuk ke dalam.

"Guten Morgen*, ada yang bisa kuban–ah, halo, Stephan, Jungkook."

Aku tersenyum kearah Paman Michael yang menyambut kami dengan ramah. Dia sedang membaca koran sembari menyesap kopi di balik konternya. Tourist Information center ini kosong. Tidak ada tanda-tanda turis yang datang pagi ini.

"Halo, Michael. Aku datang untuk mengambil visa teman kakakku yang terlupa."

"Ah, benar. Syukurlah kalau Stephanie langsung mengutusmu kesini." Paman Michael bangkit dari kursi, bergerak menuju rak-rak berkas. Aku dan Stephan diam memperhatikannya.

"Lain kali, peringatkan kakakmu untuk lebih berhati-hati, Stephan. Pangeran tidak akan segan mengambil tindakan tegas kepada kakakmu kalau dia bertindak sembrono dengan klien-kliennya."

Stephan mendengus. "Kau harusnya memarahinya, bukan aku."

Aku tertawa. Paman Michael balas tertawa.

Dua menit yang terasa seperti dua jam, Paman Michael akhirnya mendapat apa yang dia cari. Dia berjalan menuju kami dengan wajah sumringah.

"Ini. Pastikan sampai di tangan kakakmu dengan aman, anak muda."

Stephan mengangguk lalu segera mengantongi visa tersebut baik-baik di dalam saku mantelnya yang tebal.

"Omong-omong, ada kejutan untuk kalian." Paman Michael tersenyum lebar, "Akan ada siswa baru di kelas kalian."

Mataku berbinar. Aku cepat-cepat memajukan badan menatap Paman Michael lebih dekat. "Serius, paman? Darimana asalnya? Kota Schaan?"

Paman Michael menggeleng. "Bukan. Dia dari luar negeri. Pindahan dari Yunani."

"Untuk apa orang Yunani datang kesini?" Stephan mengeryitkan dahi. Aku mengangguk menyetujui.

"Keluarganya di asingkan dari Yunani. Karena Ayahnya pernah membeli rumah disini yang rencananya akan dijadikan villa, mereka tidak punya pilihan selain pindah."

"Apa keluarganya akan menetap?" Aku bertanya lagi, dan Paman Michael mengangguk. "Berarti itu kabar buruk."

"Semoga saja dia bisa beradaptasi, atau dia akan berakhir di usir seperti keluarga Morgen tiga tahun yang lalu." Stephan berujar datar.

Paman Michael tertawa kecil. Kali ini, dia menatapku tepat di mata. "Dan satu hal lagi, Ibu dari anak itu adalah orang Korea Selatan. Dia juga berdarah campuran sama sepertimu, Jungkook."

Untuk sepersekian detik, kurasa jantungku berhenti berdetak.

-o-o-o-o-

Apa yang Paman Michael katakan benar.

Ada wajah asing yang hadir di dalam kelas ketika aku membuka pintu.

Tapi anehnya, dia sama sekali tidak terlihat seperti orang Asia.

"Oh, Stephan! Jungkook!" temanku bernama Will yang sedang duduk mengelilingi anak baru itu bersama teman-teman yang lain berseru riang begitu melihat kami.

Stephan mengangkat tangan santai, sedangkan aku menutup pintu kelas dengan diam.

"Jungkook, V juga orang Korea sepertimu. Kebetulan yang aneh, bukan?"

Aku mengedikkan bahu membalas perkataan Elizabeth. Kulirik Stephan yang tidak tertarik bergabung dengan kerumunan di depan meja anak baru itu dan memilih untuk membaca buku di mejanya.

Awalnya aku juga mau seperti itu, bersikap biasa akan kehadiran anak baru seperti yang biasa , kali ini tentu saja berbeda.

Jadi, dengan ragu aku mendekati kerumunan mereka. Pandanganku dan V tidak sengaja bertemu. Matanya indah, berwarna biru laut.

"Hai." Aku menyapa. "Kau sama sekali tidak terlihat seperti orang Asia."

Teman di sekitarku tertawa. "Benar, kan. Andai dia tidak memperkenalkan diri sebagai orang Korea, kami pasti berpikir dia berdarah asli orang Yunani." Will menyahut.

Memperkenalkan diri sebagai orang Korea?

V ikut tertawa renyah. "Bukan kalian saja yang berprasangka seperti itu. Saat aku lahir dulu, Ibu ku sampai bertanya kepada dokter, 'Dok, apa benar ini anak saya? Kurasa kau salah memberi label nama' begitu."

Semuanya Stephan yang duduk di bangkunya menutup mulutnya dengan punggung tangan, menahan tawa.

Aku terdiam menatap V.

Dia seratus persen berbeda denganku.

Dari fisik,dia tidak seperti orang Asia. Kulitnya tan, hidungnya mancung seperti orang Yunani, rahangnya tegas dan raut wajahnya sangat jantan khas pemuda-pemuda gagah Yunani, surainya berwarna pirang keemasan, apalagi bola mata biru nya yang cerah dan lembut. Tidak ada orang Asia seperti dia. Tidak ada orang Asia yang bergaul sangat supel seperti dia.

"Jadi, Jungkook. mungkin kau dapat mengobrol soal tanah leluhurmu dengan V, kami akan ke perpustakaan dulu."

Aku menatap Will cepat. Tidak, tidak ada yang ingin ku obrolkan dengan V.

"Aku ikut dengan kalian."

Will tertawa, menepuk pundakku berkali-kali. "Ayolah, bung. Kalau begitu biarkan V bertanya soal negara kecil kita ini kepadamu. Anggap saja kau adalah pemandu wisata seperti Stephanie."

"Aku bisa mendengarnya, Will."

Will mengangkat tangan penuh canda. "Si bos Stephan sudah marah, aku tidak bisa disini lebih lama. Jadi lebih baik aku pergi. Oke, buddy? Sampai jumpa di pelajaran kedua."

Tidak ada lagi yang dapat kulakukan ketika Will dan teman-temanku yang lain pergi meninggalkan kelas. Kini hanya tinggal ada aku, V, dan Stephan.

"Jadi, namamu Jungkook?"

Aku tersentak. Mataku menyipit menatap V. "Kau–tahu berbahasa korea?"

V mengangkat satu alis. "Tentu saja. Apa itu salah?"

"Tidak, hanya saja aneh mengingat kau berwajah orang Yunani."

V tertawa kecil. Dia memberi isyarat agar aku duduk di hadapannya dan entah mengapa tubuhku bergerak mengikuti maunya.

"Kau juga sekilas tidak mirip orang Korea."

Aku memutar bola mata malas. "Semua orang di negeri ini mengenalku sebagai orang Asia hanya dalam sekali lihat."

"Benarkah? Sudah berapa lama kau tinggal disini?"

"Aku lahir disini." Mataku menangkap retina bola mata biru V yang juga sedang menatapku. "Jadi, sebenarnya, aku ini orang Liechtenstein. Bukan orang Korea."

V menopangkan pipi di tangannya, dan tiba-tiba dadaku berdebar.

"Kalau begitu kau sama denganku. Aku juga lahir di Athena. Injak Korea juga hanya satu kali saat umurku 7 tahun. jadi, secara spesifik, aku ini orang Yunani. Bukan orang Korea."

Untuk kasus V, dia benar. Wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda ke-Asia-an, juga perilakunya yang bebas dan radikal seolah budaya Yunani yang liar telah tertanam sempurna di dirinya. Tapi aku tidak begitu yakin untuk diriku.

"Apa mereka melakukan penindasan disini? Semacam, kau tahu lah, tidak menghargai perbedaan satu sama lain."

Reaksi V terlhat lucu sehingga tanpa sadar aku tertawa kecil. "Tidak, tenang saja. Kau aman, tentram, dan damai disini."

V ikut tersenyum lebar. Dia kemudian mengulurkan tangan.

"Kalau begitu, mari berteman, Jungkook Crust. Spesial untukmu, kau boleh memanggilku Taehyung, Taehyung Jack."

Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku, aku akhirnya mengenal pemuda Korea yang seumuran denganku. Satu-satunya orang Korea yang ku tahu selama ini hanya lah Ibu. Kami pun tidak pernah membahas Korea, bahkan bahasa Korea sangat jarang di gunakan kecuali kalau tidak sengaja Ibu mengeluarkan dialeknya saat marah.

Aku tersenyum. Tanganku membalas uluran tangan Taehyung. Rasa dingin itu hilang sempurna. Tubuhku menghangat, hatiku juga demikian ketika mata biru Taehyung mengunci tatapanku, membuatku terlarut dan hanyut di keindahannya.

-o-o-o-o-

Aku lupa satu hal.

Karena Negara ini adalah Negara Kepangeranan, merayakan ulang tahun Pangeran adalah suatu kewajiban rakyat. Biasanya, keluarga Pangeran akan mengajak seluruh negeri baik warga lokal maupun turis untuk hadir di perayaan di Kastil Vaduz. Acara besar dengan tamu undangan dari berbagai negara. Kami juga di beri kewajiban untuk menghadiahkan setidaknya satu kado kepada pangeran yang sedang berulang tahun. Hari itu pun di peringati sebagai hari libur nasional.

Hari ini adalah hari ulang tahun Pangeran Philips. Pangeran termuda sekaligus teman sekelasku. Satu-satunya keturunan bangsawan yang memilih untuk bersekolah di Realschule Vaduz, salah satu sekolah umum di Negara Liechtenstein. Dia baik dan ramah. Aura bangsawannya memang masih kental, tetapi dia sangat kerakyatan dan menyuruh kami untuk menganggapnya seperti teman biasa.

Bagus. Aku lupa hari ulang tahunnya, dan sama sekali belum menyiapkan kado untuk Pangeran Philips.

Sekarang apa yang akan kulakukan?

"Jungkook, masih lama?"

"Tidak, Ibu. Aku sudah selesai." Aku merapikan tataan rambutku sekali lagi di depan cermin, lalu berjalan membuka pintu kamar.

Ibu tersenyum. Dia terlihat anggun dengan baju pesta ungu muda nya yang di belikan Ayah. Rambut hitamnya di sanggul dengan indah.

"Mana kadomu?"

Aku menggeleng pasrah. "Aku lupa membelinya."

"For the god sake!" senyum Ibu lenyap. Wajahnya berubah galak. "Dia teman kelasmu, Jungkook! bagaimana bisa kau lupa?! Apalagi ini ulang tahun ketujuh belas tahunnya!"

"Maafkan aku." Hanya itu satu-satunya yang dapat kukatakan.

Ibu mengerang kesal. Dia memijat pelipis, ujung selopnya menghantuk lantai berkali-kali tanda dia sedang panik dan berpikir keras. Raut wajahnya yang tadinya terlihat anggun kini luntur.

Aku juga tahu kalau kesalahanku ini cukup serius. Kami benar-benar wajib membawa kado. Itu tradisi negara. Dan dari rumor-rumor yang beredar, konsekuensi orang yang tidak membawanya adalah di keluarkan dari negara. Ekstrim, memang. Tapi kurasa ada benarnya. Negara kecil ini sangat sangat mengagungkan keluarga kerajaan.

"Menurutmu Mühleholzmarkt* buka?" Ibu memecah keheningan.

"Entahlah," Aku mengedikkan bahu. "Tapi dua bulan lalu saat ulang tahun pangeran Hans Adam-II, mereka tidak buka."

"We doomed."

Aku meringis, hanya dapat terkekeh.

"Anna, apa yang kau lakukan? Kenapa masih disini?"

Ayah muncul tepat di saat-saat genting. Mataku berbinar, cepat-cepat beringsut ke arahnya.

Ayah menatapku heran. "Ada apa denganmu, little?"

"Aku lupa membeli kado. Bagaimana ini, Ayah? Apa Pangeran akan mengampuniku?"

Ayah terdiam. Raut wajahnya berubah menjadi seperti Ibu.

"Pangeran Philips teman kelasnya. Mungkin saja dia akan memaafkan Jungkook." Ibu berkata di sampingku. Dia ikut menatap cemas ke arah Ayah.

Tapi Ayah kemudian menghela nafas panjang, dan aku tahu itu bukan kabar yang baik.

"Justru kalau kau adalah teman sekelasnya, kau harus memberinya kado. Bagaimana kalau membungkus beberapa mainanmu saja? Atau apalah? Dia tidak akan membukanya di depan umum."

"Tidak bisa!" aku menggeleng kuat-kuat.

Pangeran Philips sangat baik kepada kami, juga kepadaku yang berdarah campuran. Dia tidak membeda-bedakan. Aku tidak akan memberikan Pangeran Philips kado berisi barang bekas. Itu sangat mencela dan tidak sopan.

"Lalu kau mau bagaimana, Jungkook? Kita tidak punya banyak waktu." Ibu bertanya kesal kepadaku.

Saat itu lah, wajah Taehyung entah mengapa tiba-tiba terlintas di pikiranku.

Taehyung.

Ya, Taehyung!

Dia baru datang kemarin, dia pasti belum membeli kado!

"Ayah tahu lokasi rumah Keluarga Jack yang baru pindah?"

Ayah dan Ibu saling pandang bingung, tapi kemudian Ayah mengangguk. "Iya. Tidak jauh dari sini. Ada apa?"

Senyumku mengembang lebar. "Anaknya seumuran denganku. Dia pasti juga belum membeli kado. Aku akan bersamanya mencari kado untuk Pangeran Philips."

"Apa itu langkah yang tepat?" Ibu memandangku tidak percaya.

Aku mengangguk mantap. Hanya ini satu-satunya cara. Mungkin saja kalau kami berdua, Pangeran Philips akan memberi pengampunan.

Untung saja, Ayah akhirnya menyetujui. Dia mengusak rambutku. "Kau punya waktu lima jam. Hati-hati saat mendaki menuju Kastil, jalanan cukup licin. Ayah dan Ibu di tempat biasa. Oke, little?"

Senyumku tidak dapat kuhindari.

Rencana mencari kado bersama Taehyung membuatku bersemangat tanpa sebab.

-o-o-o-o-

"Jungkook, benar?"

Aku mengerjapkan mata. "Kau–lupa namaku?"

"Tidak. Hanya memastikan." Taehyung menyandarkan tubuh di pintu. "Jadi? Ada apa? Dan kenapa kau bisa tahu rumahku?"

"Kau tahu kan soal perayaan hari ulang tahun Pangeran?"

Taehyung menguap malas. Dia pasti baru bangun tidur. "Aku tahu. Acaranya pukul 12 siang, kan? Masih lama."

"Apa kau sudah menyiapkan kado?"

"Kado?" Taehyung mengeryitkan dahi. Mata birunya menatapku. "Kenapa aku harus memberinya kado?"

Sudah kuduga Taehyung tidak tahu.

Aku menghela nafas. "Itu kewajiban disini. Apalagi Pangeran Philips itu teman sekelas kita."

"Cih, aturan macam apa."

Wajah menggerutunya justru membuat Taehyung semakin mempesona.

Aku cepat-cepat berdehem. "Yah, asal kau tahu saja. Hukumannya cukup berat untuk orang yang tidak membawa kado. Dan kebetulan sekali aku juga lupa membeli kado. Jadi, bagaimana kalau kita cari bersama-sama?"

Taehyung terdiam beberapa saat. Dia hanya menatap mataku dan membuatku tak bergeming di tempat.

Kemudian, dia mengangguk malas-malasan.

"Tunggu dulu, aku mau berpakaian." Lalu kembali masuk ke dalam rumahnya.

Aku menghela nafas lega.

Sembari menunggu, pandanganku beredar mengamati lingkungan rumah Taehyung.

Seingatku, rumah ini dulunya adalah milik seorang pekerja asal Austria yang bekerja di perusahaan gigi palsu di kota Schaan. Aku cukup mengenalnya karena Ayah beberapa kali membawaku kesini saat kecil dulu. Tapi sepertinya keluarga Taehyung mengubah rumah ini. Ada sebuah taman kecil baru di halaman rumah lengkap dengan air mancur mini di tengahnya. Pohon apel yang dulu kukira telah mati itu kembali hidup dan di rawat dengan baik walaupun sekarang tertutupi salju. Mungkin, seperti kata Paman Michael, ini lah vila yang di beli keluarga Taehyung jauh-jauh hari.

Aku bisa melihat Kastil dari sini. Terlihat ramai walaupun hanya samar-samar. Di jalan raya di seberang rumah Taehyung, orang-orang berbondong-bondong berjalan kaki menuju istana. Turis maupun penduduk lokal, semua menjadi satu. Satu dua orang yang kukenal melihatku lalu melambaikan tangan. Aku balas tersenyum, melambaikan tangan.

Kuperhatikan lamat-lamat para turis tersebut. mereka juga membawa bingkisan kado. Ada beberapa yang bahkan membawa sebuket bunga mawar maupun edelweis.

Tunggu.

Bukannya itu bunga?

Ah!

Pangeran Philips menyukai bunga!

Pintu rumah Taehyung terbuka. Aku berbalik badan, bergerak ke arah Taehyung secepat yang kubisa.

"Ayo ke Triesenberg!"

"Untuk apa? Bukannya acara di rayakan di Kastil?" Taehyung menutup pintunya masih dengan menatapku.

"Ulang tahun pangeran berarti libur nasional. Tidak akan ada satupun toko yang buka di Vaduz. Karena itu, kita harus ke bukit di dekat Triesenberg untuk memetik bunga kesukaan Pangeran Philips di Rumah Bunga. Dia suka sekali bunga. Ini bisa menjadi hadiah ulang tahun yang baik sekaligus praktis."

Taehyung bersedekap dada. Dia terlihat berpikir. Aku baru sadar kalau dia hanya memakai kemeja kotak-kotak berwarna biru muda, skinny jeans yang juga berwarna biru muda, serta sneakers putih. Semuanya terasa selaras dengan mata biru mudanya sehingga dia semakin terlihat tidak nyata.

Taehyung pantas menjadi orang Yunani. Dia memang gagah bak para dewa olimpus.

"Berapa lama waktu kita ke Triesenberg? Satu jam? Apa kau yakin kita akan tepat waktu?"

Senyumku mengembang sempurna.

"Tenang saja. Hanya butuh 15 menit untuk ke Triesenberg. Aku bisa pastikan kita akan tiba di Kastil jauh sebelum pukul 12."

Taehyung tertawa kecil. "Oke. Lalu? Kita akan naik apa? Kau bilang hari ini hari libur Nasional, bukan?"

"Sepeda tidak akan libur. Kecuali kalau kau ternyata tidak tahu naik sepeda." Godaku.

Taehyung tertawa. Dia berjalan mendekat kemudian merangkulku secara tiba-tiba. Aku terkesiap. "Kau pasti bercanda, Jungkook. Aku ini sudah mendapat SIM mengemudi sepeda di Athena."

Dengan santainya Taehyung berjalan menjauhi pekarangan rumah. Aku mematung di dalam rangkulan lengan kekarnya. Tidak ada orang asing yang pernah merangkulku seakrab ini. Aku merasa aneh. Padahal, Taehyung biasa-biasa saja. Mungkin, pemuda Yunani memang seperti ini.

Kami berjalan kaki menuju tempat menyewa sepeda di pusat sentral Kota Vaduz. Perlahan-lahan, aku mulai merasa nyaman. Apalagi Taehyung banyak menceritakan lelucon-lelucon konyol dari Yunani dan membuatku tertawa. Pemuda bermata biru itu juga tidak melepaskan rangkulannya hingga tiba di tempat menyewa sepeda.

Taehyung berjalan menyisiri sepeda-sepeda yang berjajar rapi. Aku hanya mengamatinya dari jauh.

"Kau mau sepeda ini?" Taehyung menunjuk sepeda gunung.

Aku memutar bola mata jengah. "Jangan bercanda. Pilih saja sepeda yang bisa memuat dua orang dan tahan di jalanan bersalju."

Taehyung tertawa. Dia kembali sibuk memilih dan aku memperhatikannya.

Cuaca memang tidak sedingin kemarin, tapi tetap saja dingin sehingga membuatku mengenakan mantel tebal. Tapi Taehyung yang hanya memakai kemeja biasa sama sekali tidak bergetar ataupun kedinginan. Dia dengan acuhnya berjalan tanpa beban.

"Ah, ini saja." Taehyung memilih sebuah sepeda berwarna merah.

Tidak lama kemudian, kami meluncur menyusuri Kota Vaduz menuju Triesenberg di selatan Kota. Sepanjang jalan ramai. Bunyi-bunyi terompet menggema di setiap sudut kota. Anak-anak berlari di trotoar jalan, saling melempar salju, pusat kota ramai akan acara-acara untuk memeriahkan ulang tahun Pangeran yang sebentar lagi akan di rayakan di Kastil. Turis-turis tumpah ruah di berbagai tempat. Kami semua mengenakan pakaian indah demi menghormati Sang Pangeran.

"Apa Pangeran di negeri ini ramah?" Taehyung bertanya saat lampu merah.

Aku mengangguk. "Semua keluarga bangsawan itu ramah. Mereka sering mengelilingi Kota Vaduz hanya dengan berjalan kaki."

"Mereka mengenalmu?"

"Memangnya aku siapa." Aku tertawa, "Tapi Pangeran Philips mengenal seluruh temannya, jadi dia mengenalku."

Lampu berganti warna menjadi hijau dan Taehyung segera mengayuh pedal. "Kuharap si pangeran itu juga akan mengingat namaku, jadi aku bebas memanggilnya Philips."

Refleks aku meninju bahu Taehyung. "Jangan gila. Kau benar-benar akan dalam masalah serius kalau memanggilnya tanpa gelar."

"Cih, tidak seru." Taehyung mendengus.

Memang benar. Negeri ini memang tidak seru. Membosankan, monoton. Orang-orang menjulukinya sebagai negeri impian, padahal semuanya terasa biasa saja.

Perjalanan kami ke Triesenberg di isi dengan diam. Di depanku Taehyung berkali-kali menengokkan kepalanya ke kiri dan kanan. Dia mungkin sedang mengagumi pemandangan negeri ini saat musim salju. Harus kuakui, pemandangan bukit-bukit yang puncaknya di selimuti salju dan cahaya matahari yang mencuat di antara kedua gunung memang menakjubkan. Ini salah satu daya pikat negeriku. Apalagi rumah-rumah penduduk jarang di temui di sepanjang jalan menuju desa. Hanya beberapa ternak besar dan kebun-kebun tertutup salju. Kami juga melewati pabrik-pabrik yang beroperasi tidak henti.

Desa Triesenberg jauh lebih senyap dari Vaduz. Hanya ada sekitar 2.564 jiwa yang bermukim disini, dan mereka semua telah ke Ibukota untuk ikut menghadiri perayaan ulang tahun pangeran. Toko-toko tutup, pintu-pintu rumah juga demikian. Tidak ada orang yang berlalu lalang, jalan raya sepi.

"Aku seperti masuk ke kota hantu saja." Taehyung berucap canda saat kami melintasi kawasan pemukiman yang kosong. Aku tertawa di belakangnya.

Dua menit kemudian, kami tiba di pos pertama gunung Philosophenweg. Ini titik awal sekaligus tempat penginapan bagi para pendaki. Dua tiga sepeda terparkir juga satu mobil yang kuyakini adalah milik sang pemilik penginapan.

"Kita parkir disini saja." Aku menepuk bahu Taehyung.

Taehyung menurut, langsung menepikan sepeda ke tempat parkir khusus sepeda di samping penginapan.

"Disini terlihat ramai."

"Iya. Biasanya, turis yang berniat untuk mendaki memang jarang menghadiri perayaan perayaan di Ibukota." Aku bergegas menuju ke jalan setapak, Taehyung mengikuti di belakang.

"Tidak ingin berkunjung ke tempat penginapan ini dulu? Kurasa segelas cokelat hangat tidak ada salahnya." Taehyung menyahut.

Aku menggeleng tegas. "Waktu kita tinggal sedikit. Kau bisa meminum cokelat hangat sepuasnya di Istana nanti."

"Baiklah, kau bosnya."

Aku dan Taehyung pun mulai mendaki. Ini kali ketiga ku pergi ke Rumah Bunga, sehingga aku sudah cukup hapal jalannya. Rumah Bunga tidak berada persis di Philosophenweg, hanya tiga kilometer di atas ketinggian. Tapi berhubung sekarang sedang musim salju, perjalanan kami menjadi sedikit terhambat. Aku harus memastikan kalau tanah yang kupijak bukan lubang dan harus memastikan apa Taehyung yang berjalan di belakangku juga tidak menginjak lubang.

Tapi lihat lah. Pemuda Yunani itu malah asik mengabadikan pemandangan di sekitarnya dengan ponsel, tidak peduli apakah dia baru saja menginjak ranting dan hampir tersandung.

"Bagus. Sepertinya aku tidak perlu mengkhawatirkanmu kalau kau tidak sengaja jatuh ke dalam lubang yang tertutupi salju."

Taehyung tertawa. "Jangan salahkan aku, Crust. Ini pertama kali ku masuk di hutan."

"Kau tidak pernah ke Gunung Olimpus?"

"Tidak. Terlalu jauh." Jawab Taehyung. Dia berhenti sejenak untuk mempotret rusa yang melintasi kami, lalu kembali berjalan. "Lagipula aku malas kesana. Gunung itu terlalu di agungkan."

Aku memperlambat jalan agar Taehyung menjadi sejajar denganku. "Wajar saja. Gunung itu kan tempat tinggal para dewa Yunani."

Taehyung mendengus. "Tetap saja berlebihan. Omong-omong, kau percaya pada para dewa itu?"

"Entahlah. Tapi itu terdengar nyata." Aku mengedikkan bahu. Taehyung menatapku.

"Lalu, apa kau juga akan percaya kalau orang-orang disana menjuluki ku seperti Dewa Ares?"

Tawaku tersembur keluar. Aku menatapnya yang menyeringai jahil. "Kalau untuk itu, aku tidak percaya."

"Hei, ini tidak adil." Taehyung tertawa. "Tapi aku serius. Tetanggaku, guru-guruku, semua mengatakan kalau peringai Dewa Ares itu sepertiku. Yah, aku juga tidak percaya, sih."

"Andai Dewa Ares berwajah sepertimu, sudah lama sekali dia di buang Zeus."

Taehyung mengumpat dan aku langsung saja berlari menjauhinya sambil tertawa.

Kami tiba di Pos kedua, itu tandanya kami telah berjalan sejauh 1,5 kilo. Rumah Bunga berada di ketinggian 3400 meter dari laut, itu tandanya perjalanan kami masih jauh. Aku menyempatkan diri mengambil minuman untuk di berikan kepada Taehyung dari dalam pos.

Taehyung berdiri menyandar di tiang bangunan pos. Nafasnya tidak beraturan, efek lelah.

"Kau terlihat menyedihkan, anak muda." Penjaga Pos yang bernama Nash meledek Taehyung.

Taehyung mendengus tidak peduli.

"Ayo. Kita harus berangkat sekarang."

Walau pun mengerang, Taehyung tetap ikut di belakangku. Aku menahan diri untuk tidak tertawa.

"Asal kau tahu, mulai dari sini semua jalan akan terjal. Jadi, ku sarankan jangan memotret kiri kananmu lagi, Jack."

Taehyung menghembuskan nafas. "Im messed."

Aku hanya tertawa.

Apa yang kukatakan itu bukan sekedar gurauan. Jalan dari pos dua memang akan semakin terjal. Kiri kami adalah jurang, sedangkan di sebelah kanan semak-semak yang tinggi juga pepohonan lebat. Setapak pun menjadi licin efek salju. Aku sempat terpeleset, tapi Taehyung dengan cepat menahan pinggangku dari belakang.

Tapi terlepas dari itu semua, pemandangannya juga tidak kalah luar biasanya. Semakin ke atas, kau akan melihat seluruh Negeri Liechtenstein dalam sekali pandang.

"Jungkook, apa kita masih jauh?" Taehyung bersuara setelah diam beberapa menit. Suaranya yang berat kini menjadi serak, nafasnya ngos-ngosan, dan karena cuaca sedang dingin wajahnya menjadi memerah.

Ah. Aku lupa kalau Taehyung tidak mengenakan mantel.

"Kita berhenti semenit."

Taehyung cepat-cepat duduk di salah satu batu besar. Kakinya dia luruskan. "Ah, sial. Ini sebabnya aku benci gunung."

Aku mengecek jam di pergelangan tangan. Sudah pukul 08.40. Masih lama. Aku kemudian beralih menatap Taehyung. Dia sedang minum dari botol yang untung sempat ku isi. Pipinya memerah, bibirnya gemetar. Tentu saja. Dia sedang mendaki gunung dengan suhu 10 celcius hanya berbekalkan kemeja tipis dan skinny jeans. Jelas-jelas bunuh diri.

Tapi, melihat kondisinya, aku menjadi prihatin. Akhirnya, aku bergerak ke arahnya, dan sebelum dia menyadari, tanganku dengan cepat kulingkarkan di sekeliling badan Taehyung.

Taehyung awalnya terdiam, tapi dia perlahan melingkarkan tangan di pinggangku, menarik badanku serapat mungkin dengan badannya.

Hanya dengan cara ini dia akan merasa hangat.

"Vielen dank*." Suara Taehyung berbisik. Hangat nafasnya menggelitik di leherku.

Aku mengangguk. "Dua menit. Lalu setelah itu kita akan lanjut berjalan."

"Nein*, master."

Sebenarnya hanya dua menit, namun entah mengapa aku merasa seperti telah di peluk Taehyung selama seabad. Taehyung yang pertama melepas pelukan, tersenyum lebar menatapku. Wajahnya berangsur-angsur membaik. Aku lega melihatnya.

"Ayo." Taehyung menautkan jemari kami berdua, lalu lanjut berjalan.

Kali ini kami tidak lagi berbicara. Taehyung yang memimpin di depan. Aku fokus ke jam, juga ke tautan tangan kami yang tidak kunjung Taehyung lepaskan. Entah dia lupa, atau mungkin sengaja demi mencari kehangatan. Entahlah. Aku tidak tahu.

Setelah tiga puluh menit berjalan tanpa henti, menemui banyak rintangan dan melawan hawa dingin, kami akhirnya tiba di Rumah Bunga.

Rumah Bunga ini adalah tempat negeri ku menanam bunga yang beraneka ragam. Ada setidaknya 200 spesies bunga yang di tanam disini. Rumah ini berbentuk rumah kaca yang sangat besar dan luas. Tempatnya di bangun tepat di tepi tebing, menghadap langsung ke arah sungai Rhine. Rumah bunga jarang di ketahui oleh turis karena kerajaan tidak membiarkan rumah ini disentuh oleh sembarangan orang. Ini karena mereka juga menanam bunga-bunga langka yang ajaibnya bisa bertahan selama 4 musim.

Salah satu bunga itu adalah bunga dandelion, bunga kesukaan Pangeran Philips.

Untung saja, aku telah terdaftar sebagai pengunjung tetap Rumah Bunga sehingga staf kerajaan membekali ku sebuah kunci agar dapat masuk sesuka hati.

"Ini tempat yang indah."

Aku mengangguk, bergegas merogoh kantong dan memasukkan kunci ke dalam lubang kunci. "Bunga-bunga ini lebih indah lagi kalau kau lihat dari dekat."

"Tidak, bukan bunganya–" Taehyung menyela cepat. "Pemandangan disini indah sekali."

Pergerakanku terhenti. Aku menoleh. Kupikir Taehyung berada di sampingku, namun ternyata dia sedang berdiri di sisi Rumah Bunga. Dimana dia bisa langsung melihat seluruh negeri dalam sekali pandang.

Aku terdiam menatapnya. Dia terlihat benar-benar terpesona.

"Tidak ada sungai yang mengalir di Yunani, tidak ada daerah hijau di negeri kami. Tapi lihat lah, disini. Negeri ini, kurasa aku tahu sekarang kenapa Liechtenstein di juluki sebagai negeri impian Eropa."

Aku membatalkan niat lalu perlahan berjalan ke arahnya. "Yah, kau benar. Negeri ini menakjubkan kalau di lihat dari atas."

Saat Rumah Bunga tidak lagi menghalangiku, paparan cahaya matahari dan angin sejuk khas musim dingin langsung menerpa. Aku sedikit menyipitkan mata untuk menyesuaikan diri. Jauh di bawah sana, negeri ku, Liechtenstein, terpampang dengan jelas. Keempat belas kota, Aliran sungai Rhine, Pegunungan Alpen yang mengitari negeri, bahkan Austria dan Swiss juga terlihat. Bukit-bukit tinggi yang mengelilingi, daerah di timur tertutupi salju, sedangkan di area barat berwarna hijau menyejukkan. Sebuah kontras yang indah. Suhu pun menjadi hangat akibat cahaya matahari pagi.

"Serius. Ini menakjubkan."

Aku beralih menatap Taehyung. Matanya tidak berkedip sama sekali. "Apa yang kulihat sekarang ini bahkan tidak akan sanggup di tuangkan dalam sebuah gambar."

Senyumku mengembang. Sekilas aku menatap langit, lalu kembali menatap matanya. Bola mata itu terlihat seperti gumpalan langit yang di kumpulkan menjadi satu, di tumpahkan seperti cat ke bola mata Taehyung. Sehingga membuatnya menjadi begitu jernih dan hangat.

"Jadi? Sudah selesai menikmatinya, Jack?"

Taehyung tertawa kecil. Dia mengangguk, kembali menatapku. "Ayo. Kita harus bergegas. Sepertinya Istana telah ramai."

-o-o-o-o-

Aku akhirnya menghembuskan nafas se lega mungkin saat indera penglihatanku menangkap Ibu dan Ayah di tengah-tengah kerumunan.

"Ibu! Ayah!" Aku berjalan cepat kearahnya, terlampau bahagia.

Ibu dan Ayah, juga Stephan yang bersama mereka bersama-sama menoleh. Wajah Ibu spontan sumringah.

"Jungkook!"

Aku menerjang Ibu dengan pelukan. Senang rasanya melihat Ibu setelah berjuang dalam tiga jam hanya untuk mencari kado demi sang Pangeran.

Ibu balas memelukku. "Astaga, sayang. Badanmu dingin sekali. Sebenarnya apa yang kau cari, hah? Sudah mendapatkannya, kan?"

Pelukanku terlepas. Aku mengangguk cepat. "Sudah, Bu. Aku habis dari Rumah Bunga untuk memetik Bunga Dandelion."

"Rumah Bunga?" Ayah mengeryit. Dia terlihat tidak suka. "Kau senekat itu, little?"

"Demi Pangeran Philips aku akan rela, Ayah."

Stephan mendengus di sampingku, dan melihatnya seketika membuatku mengingat Taehyung. Cepat-cepat aku membalikkan badan, dan untung saja, Taehyung masih berdiri di belakangku.

"Oh? Bukannya ini V?" Ibu berbicara menggunakan bahasa Korea. Dia bergeser menuju Taehyung. Wajahnya semakin berseri-seri."Hei. Seperti yang Soojung katakan, kau memang tidak terlihat seperti orang Korea, sweetheart."

Taehyung mengusap tengkuk. Senyumnya terpoles di bibir. "Terima kasih untuk pujiannya, Bibi." Balasnya dalam aksen bahasa Korea.

Ibu membelalakkan mata. "Astaga! Kau bisa bahasa Korea?"

"Ya, sedikit."

"Itu sama sekali bukan masalah. Lihat lah Jungkook. dia mungkin tahu apa yang sedang kita percakapkan, tapi dia belum bisa berbicara sama sekali." Ibu mendelik ke arahku.

Aku balas mendelik. Di depannya, Taehyung menahan tawa.

"Apa yang mereka katakan?" Stephan berujar di sampingku.

Aku beralih menatapnya. "Hanya percakapan konyol. Omong-omong, mana yang lain?"

"Disana." Gelas cola Stephan dia arahkan ke kerumunan yang lain. Benar saja, itu teman-temanku. "Dan omong-omong, Pangeran Philips sudah dua kali datang kesana untuk mengecek apa kau sudah datang atau belum.""Gosh. Dia tidak marah, kan?" Aku menatap Stephan kalut.

Sialnya, pemuda Eropa itu hanya mengedikkan bahu lalu menyeringai.

"Sebaiknya kalian bertiga segera bergabung dengan teman-temanmu, little. Acaranya akan dimulai."

"Ah, benar juga." Ibu menyudahi percakapannya dengan Taehyung. Dengan akrab Ibu menepuk-nepuk pundaknya. "Senang bertemu denganmu, Ares. Boleh kupanggil begitu, kan? Soalnya Soojung bilang kau dijuluki Dewa Ares di Athena."

Ayah tertawa. "Itu julukan yang gagah sekali."

Dapat kulihat telinga Taehyung berubah warna menjadi merah. Sepertinya dia malu. Aku berusaha menahan tawa dengan menggigit pipi bagian dalam. "Ayo, Taehyung. Kau lama-lama akan gila kalau bergabung dengan dua tetua ini."

Ibu mendelik kearahku, tapi kemudian kembali sumringah saat dengan canggung Taehyung membungkukkan badan untuk melakukan hormat khas budaya Korea. Dan sebelum Ibu semakin menjadi-jadi, aku segera saja menarik tangan Taehyung menjauh. Stephan mengikuti di belakang.

"Hei V! Jungkook!" Salah satu temanku–Jose Blast–memotong pembicaraan seru mereka dengan menyapa kami. Spontan semua nya berbalik badan.

"Hei! Kalian lama sekali datangnya!" Elizabeth menggerutu.

Aku hanya meringis, terkekeh. "Maaf. Ada kendala saat mencari kado untuk Pangeran Philips."

"Hei, apa yang kalian bawa ini? Sebuket bunga?"

Will merebut buket bunga yang sedari tadi kusembunyikan di belakang tubuh. Aku hendak protes, tapi terlambat. mereka semua terlanjur antusias melihatnya.

"Uwah! Ini dandelion bukan?! Darimana kau dapatkan, Jungkook?! Rumah Bunga?!" Cara Hawkens – temanku berambut kepang dua–memekik histeris. Dia memang selalu saja gembira apabila membahas bunga.

Will menatap kami bergantian. "Apa ini hadiah dari kalian berdua?"

"Begitulah." Taehyung memasang cengirannya. "Aku tidak tahu kado apa yang disenangi Pangeran Philips, jadi bekerja sama dengan Jungkook tidak ada salahnya."

"Ini ide yang cemerlang sekali. Pangeran Philips pasti akan sangat senang."

Aku tersenyum lebar. "Tentu saja dia harus senang. Butuh perjuangan untuk mendapat bunga ini di tengah-tengah musim dingin."

Teman-temanku saling bertukar pandang.

"Gila, kalian baru memetiknya tadi pagi?"

Aku dan Taehyung sama-sama mengangguk.

Elizabeth menutup mulutnya, matanya melotot hingga seperti akan keluar. "Beeindruckend*!"

"Ini pertama kalinya aku melihatmu berjuang sejauh ini untuk Pangeran Philips, Jungkook. " Will menyeringai.

"Tidak ada salahnya, bukan. Lagipula, bonus baiknya, aku mendapat kesempatan melihat negeri ini dari atas saat musim dingin."

Yang lain berseru 'beruntungnya!'. Mereka kemudian berbondong-bondong membahas soal Liechtenstein dengan Taehyung yang masih berseri-seri mengingat pemandangan diatas bukit tadi. Aku tertawa saja di dekat mereka.

"Kau memberi hadiah apa untuk Pangeran Philips, Stephan?"

"Aku?" Stephan menatapku. "Kau tahu, seperti biasa, suvenir dari negara yang kukunjungi tahun ini."

Aku tersenyum lebar. "Itu luar biasa. Aku merasa tidak enak hanya memberi buket bunga ini."

"Kau tidak perlu merasa tidak enak. Pangeran jelas akan sangat senang menerimanya." Stephan berujar datar. Aku rasanya ingin menimpuk wajah itu dengan sesuatu. Benar-benar menyebalkan.

"Hei Jungkook, kami ada rencana bagus! Eh, Stephan. Sejak kapan kau ada disini?" Dahi Elizabeth terlipat.

"Sedari tadi. Kau saja yang cuek." Stephan mengedikkan bahu.

Elizabeth tertawa, merasa tidak bersalah. "Dengar! Kita ada rencana bagus untuk liburan musim semi tahun depan! Bagaimana kalau kita mengadakan tur keliling Liechtenstein, lalu mengadakan camping di gunung Grauspitz?"

"Camping?" Mataku menatap Taehyung."Untuk apa?"

"Tentu saja untuk mengenalkan liechtenstein pada V, Crust." Sebastian menjawab. "Kau ingat tidak kalau Miss Hermione ingin kita berlibur dengan mengusung tema tanah air? Seperti pergi memberi makan hewan ternak, mencoba membuat keju, mengunjungi museum-museum, mendaki, atau melihat pembuatan anggur dan pergi bercocok tanam di Eschen. Kurasa itu saran yang bagus untuk V. Dia bisa mengelilingi Liechtenstein sekaligus berlibur bersama kita."

Taehyung mengangkat bahu masih dengan menatapku. Tapi dia kemudian bersuara, "Aku setuju dengan saran kalian. Pasti akan menyenangkan."

"Benar, kan?!" Semuanya bersorak sorak senang. "Yes! Tujuan liburan baru kita telah terencana!"

"Hei hei hei, apanya? Kenapa kalian tidak mengajakku bergabung?"

Kami semua spontan menoleh.

"Ah, Pangeran Philips!" Elizabeth berseru riang.

Pangeran Philips muncul di samping Taehyung. Dia tersenyum ke arah kami.

"Lama tidak berjumpa dengan kalian. Jadi? Kalian sudah menentukan destinasi liburan?" Pangeran Philips bertanya dengan suaranya yang setenang air mengalir.

"Sudah, Pangeran. Kami berencana untuk mengelilingi Liechtenstein."

Pangeran Philips memiringkan kepala. "Benar kah? Untuk apa?"

"Untuk V, Pangeran. Karena dia anggota baru, kami rasa dia berhak mengenal negeri ini lebih dalam."

Tatapan kami mengarah ke arah Taehyung yang berdiri kaku di tempatnya.

Pangeran Philips beralih menatap Taehyung yang tepat berada di sampingnya. Senyumnya mengembang. "Ah, jadi kau anggota baru kami? V Jack, bukan?"

Taehyung mengangkat kepala. matanya beradu pandang dengan Pangeran. "Benar. Itu saya. Salam kenal dan selamat ulang tahun, Pangeran."

"Terima kasih, dan tidak usah tegang begitu. Kita ini sekelas." Pangeran Philips menepuk-nepuk bahu Taehyung cukup akrab.

Dari gelagat Taehyung, aku tahu dia tidak begitu nyaman dengan perilaku Pangeran Philips.

"Ah, omong-omong, mana hadiah kalian?"

Teman-temanku segera mengeluarkan hadiah dari tas mereka. Aku juga berjalan ke samping Taehyung, dan mataku bertemu pandang dengan Pangeran Philips.

"Hai, Crust. Aku mencari mu dari tadi, kupikir kau tidak datang. Dan, Godverdomme*, apa–tolong katakan kalau aku salah lihat." Pangeran Philips bergegas ke arahku, jubahnya yang menyapu lantai terseret begitu saja. Dengan gugup aku memberinya sebuket bunga tersebut. "Ini, Dandelion?"

"Benar, Pangeran. Ini hadiahku dan–"

"Astaga! Aku tidak menyangka kau akan memberiku bunga di hari ulang tahunku!" Pangeran Philips berseri-seri menerima bunga tersebut. dia menatapku tepat di mata. Senyumnya mengembang sempurna. "Ini hadiah terbaik, Crust. Aku bersumpah."

Aku melirik Taehyung tidak enak. "Tapi, sebenarnya ini hadiahku dan Ta–"

Terlambat. tanganku telah di tarik oleh sang Pangeran, hingga membuatku jatuh ke dalam pelukannya.

Aku terkesiap kaget.

"Terima kasih, Crust. Terima kasih banyak. Aku bahagia sekali." Pangeran Philips mengeratkan pelukannya, berbisik tepat di telingaku.

Badanku mematung. Ruangan aula yang tadi nya hingar bingar mendadak menjadi senyap. Aku yakin sekali, mereka pasti telah melihat kejadian ini.

Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Menolak pelukan Pangeran itu sama saja bunuh diri, tapi Pangeran Philips tidak ada tanda-tanda akan melepas pelukannya. Dia malah semakin menarik badanku mendekat hingga aku dapat dengan jelas mendengar dentuman jantungnya yang cepat.

"Maaf menyela, Pangeran. Tapi, sebenarnya hadiah bunga itu dari aku dan Jungkook."

Ajaibnya, Perkataan Taehyung berhasil membuat Pangeran Philips menarik badan. Dia menatapku dan Taehyung bergantian. "Kenapa bisa? bukannya seharusnya satu kado untuk satu orang?"

Aku menggigit bibir. Bagaimana kalau Pangeran marah kepada kami?

"Ak–"

"Yah, sebenarnya Jungkook yang mengajakku. Seperti, kau tahu lah, dia berbaik hati menolong anak baru sepertiku untuk mencari hadiah demi sang Pangeran. Jungkook bilang bunga Dandelion adalah bunga kesukaanmu, jadi kami sama-sama ke Rumah Bunga. Percaya lah, itu bukan perjalanan yang menyenangkan untuk dijalani sendirian. Beruntung lah karena kami bersama. Dan sebenarnya lagi, kami berdua hendak membuat dua buket, tetapi kurasa itu bukan saran yang bagus mengingat bunga ini termasuk bunga langka di Liechtenstein. Jadi, aku rasa, memberimu satu buket saja itu sudah cukup. Bukan begitu, Pangeran Philips?"

Sumpah. Taehyung adalah orang pertama dari kelas kami yang berani berbicara panjang lebar, langsung menatap mata, dan menggunakan subjek 'kamu' daripada 'anda', kepada Pangeran Philips.

Kami semua menjadi tegang. Pangeran Philips masih setia menatap Taehyung, dan sialnya pemuda Yunani itu dengan tidak tahu dirinya balas menatap mata sang pangeran, seolah dia menantang Pangeran Philips untuk berargumen lebih lanjut.

"Baiklah. Aku terima alasan kalian berdua." Pangeran Philips akhirnya membuka suara.

Aku bernafas se lega-leganya. Kulirik Taehyung yang dengan santainya mengangguk seolah mengatakan 'aku memang benar, kau yang salah' kepada Pangeran. Ingatkan aku untuk menjitak Taehyung setelah acara ini selesai.

Namun, Pangeran Philips kembali menatapku sehingga aku menjadi kaku. Untung saja, dia menyunggingkan senyum hangat. "Terima kasih untuk hadiahnya, Jungkook. dan juga V. seperti yang kubilang, ini hadiah terbaik."

Kemudian, dia berbalik badan meninggalkan kami. suasana Aula kembali hingar bingar.

Elizabeth memecah suasana dengan berteriak histeris. "Crazy crazy crazy! This is crazy! Pangeran Philips memeluk Jungkook!"

"Rumor itu pasti benar, Jungkook." Cara terkikik geli.

Aku memutar bola mata jengah. "Dia hanya sedang bahagia. Itu saja."

Will menyeringai. "Kau yakin? Dia terlihat sangat menikmati pelukannya tadi."

"Kan sudah kubilang. Pangeran Philips itu jatuh cinta pada Jungkook."

"Jangan berkata yang tidak-tidak, Sebastian." Aku melotot kepada Sebastian. Teman-temanku tertawa, sedangkan Sebastian menyeringai jahil.

Taehyung memiringkan kepala untuk menatapku. "Kau ada skandal dengan Pangeran, Crust? Tinggi juga tipe idealmu."

Spontan kutimpuk kepalanya. Teman-temanku tertawa.

Tidak ingin pembahasan aneh ini menjadi semakin berlarut, aku mengajak mereka untuk membahas soal liburan kami. Semuanya kembali berseri-seri senang dan aku bersyukur karenanya. Tanpa mereka sadari, perlahan aku kemudian keluar dari kerumunan tersebut dan menuju Stephan yang bersandar di dinding sembari menyesap cocktail. Satu-satunya cara untuk menenangkan diri saat ini adalah dengan bersama Stephan.

"Ada apa?" Stephan mengangkat satu alis.

"Hanya ingin disini." Aku mengedikkan bahu, merampas cocktail di tangannya lalu menegaknya tanpa permisi.

Stephan mendengus, tapi dia tidak berkomentar lebih lanjut. Acara kemudian di mulai. Aku bersandar di samping Stephan. Mengamati masyarakat Liechtenstein yang dengan khidmat menikmati perayaan ulang tahun Pangeran.

Pangeran Philips menaiki podium. Puncak perayaan ulang tahunnya di mulai. Keluarga bangsawan berdiri di sampingnya berjejeran, juga Pangeran Agung Hans Adam-II yang sedang menyampaikan ucapan selamat ulang tahun nya kepada Sang Anak.

"Jungkook." Stephan memanggil.

Aku beralih menatapnya. Tatapan Stephan lurus ke depan.

"Jangan pernah biarkan dirimu di peluk Philips lagi."

Bersamaan dengan itu, tepuk tangan meriah menggema di seluruh ruangan saat Pangeran meniup lilin kue ulang tahun.

Aku mengangguk. "Tidak akan."

-o-o-o-o-o-

.

.

To Be Continued.

*note:

Guten Morgen : Selamat Pagi.

Mühleholzmarkt : Salah satu market di kota Vaduz.

Vielen dank : Terima Kasih.

Nein : Iya.

Beeindruckend : Luar biasa.

Godverdomme : Astaga!


hai, di penghujung kesibukan saya, saya malah bawa fanfic baru haduh wkwk. berawal dari browsing soal liechtenstein yg bikin saya jatuh cinta, akhirnya fanfic ini hadir juga. fanfic ini rencananya bakalan lebih fokus ke negerinya daripada mereka ya, but yeah semoga aja kalian bisa dapet feel indahnya wkwk. maaf juga kalo kalian merasa ga sreg sama perbedaan jungkook sama taehyung disini, but seriously taehyung as a yunani boy is just so freaking hot.. dan ini cuma terdiri dari tiga chapter kok! tenang aja!

sincerely lagi saya hiatusin. dan anyway, boleh doain saya semoga lulus snmptn? huhuuuuuuu..

terima kasih yang sudah baca! dan inget! reviewnya ya! kalo reviewnya ga nyampai 50 dalam dua minggu maybe i will delete this fiction. di fanfic saya yang lain juga, semoga kalian mau menyempatkan diri untuk mereview karena sungguh, hanya dengar review kalian saya merasa dihargai. saya punya banyak project cerita, tapi kalo tanggapan kalian acuh gini saya sedih dan batalin semua. semakin sedikit kalian review, semakin lama saya uploadnya.

sincerely,

XiRuLin.