Selamat bermalam Minggu ria. Yang punya pacar kalau diapelin jangan lupa suruh bawa makanan, hahaha. Btw, semoga tidak membosankan untuk chap yang panjang.

..

Kuroko no Basuke belong Tadatoshi Fujimaki

Dark but Bright by Zokashime

.

"Menahan tangis lebih menyakitkan daripada kehilangan dua jari. Tenggorokan tercekat menelan ludah pun tak sanggup. Berusaha mengandalkan keras kepalanya untuk tak ada air mata yang berani mengalir ke pipi yang penuh darah mengering. Bukan pengemis blas kasihan. Ia benci orang menganggapnya lemah terlebih itu Mayuzumi."

.

HIDUP jangan dibawa susah meski kenyataan memang tidak demikian. Masih banyak orang yang berada dalam kesenjangan ekonomi. Hukum dalam sebuah negara yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin, sudah menjadi rahasia umum. Andaikata miskin masih ada tempat bernaung dan berbagi keluh lebih baik daripada seperti dirinya yang tidak punya siapa-siapa atau kata lain sebatang kara.

Jika dipikir akan begitu lucu kalau di dunia semua hidup sejahtera. Tidak ada masalah dan air mata. Tidak ada keributan dan kekerasan juga hukuman. Hidup sudah diatur sedemikian rupa hingga kau yang menjadi peran utama. Memang banyak pilihan, diri sendiri yang menentukan ingin menjadi apa. Namun, tidak bisa dipungkiri kalau uang adalah segalanya. Maka dari itu, ia memilih yang tidak biasa, sebagai pembuat masalah. Alasannya sederhana karena seru dan menantang.

Ia memang menderita tapi juga lebih suka melihat seseorang menderita karena ulahnya. Enambelas tahun hidup dalam kurungan di sebuah panti asuhan yang tidak layak. Katanya setiap bulan diberi pesangon oleh pemerintah lamun semua itu tidak disalurkan secara nyata. Banyak orang busuk yang mementingkan perut sendiri tanpa memikirkan jikalau banyak sudut yang perlu diperhatikan.

Bukan salah mereka. Salahkan nasibnya kenapa bisa terdampar di sana.

Saat usia menginjak tujuhbelas akan di keluarkan dari panti asuhan dan dibebaskan hidup dalam masyarakat. Mengarungi betapa kejam mata pisau kehidupan nyata. Semisal di panti asuhan makan diatur, tetapi di jalanan ia harus berebut dengan para anjing yang juga kelaparan.

Ia cerdas, bisa saja mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun, pilihannya tetap, akan menjadi seorang pembuat masalah. Menyenangkan. Bisa tertawa ketika orang-orang berteriak 'hei pencuri!' dan mereka mengejar. Ia berlari lalu mencari sebuah persembunyian. Baginya, itulah kehidupan. Menikmati tanpa penyesalan. Andaikan babak belur dihajar massa, ia anggap sebagai hadiah untuk mengurangi tumpukan dosa.

Satu tahun sudah dirinya hidup di jalanan. Mencuri dan mencopet sebagai penyambung hidup dan kesenangan. Banyak yang membenci pilihannya. Ia akan terima karena setiap orang berhak memiliki pemikiran sendiri. Hidup itu bebas. Penjilat berdasi pun bebas. Tidak peduli, hanya ingin menikmati apel hasil curian dari pedagang sombong di ujung jalan sana.

Manik heterokom berkilat puas sembari berjalan santai menuju tempat berteduh. Apelnya manis dan ia mengunyah dengan semangat. Ada dua apel lagi di tangan, akan melahapnya namun ia tersenyum dan mengurungkan niat. Matahari sore menyilaukan, cepat bergegas adalah pilihan yang baik.

"Akashicchi, akhirnya kau pulang juga-ssu."

"Kami menunggumu sangat lama."

Melemparkan apel kepada dua orang rekan di hadapan. Mereka menangkap dengan sempurna dan mengucapkan terima kasih. Akashi tahu berbagi ialah yang paling dihormati, apalagi mereka partner dalam setiap aksi.

"Ryouta, bagaimana tangkapanmu?" tanyanya seraya duduk di sofa buruk yang busanya sudah amburadul dan kehitaman. Debu melayang-layang di udara yang terkena cahaya matahari.

"Seperti biasa, aku mendapat banyak mangsa hari ini," jawab Kise dengan semangat. Rambut kuningnya lepek karena keringat dan penuh noda di wajah yang putih. "Tapi ... Aominecchi," melirik kawan di samping kemudian cemberut, "Dia mendapatkan lebih banyak-ssu," diikuti bumbu dramatis.

Aomine sombong. Tertawa puas yang membuat Kise semakin sebal. "Makanya berguru denganku, Kise, hahaha."

Akashi menghela napas. Mereka berdua biang keributan. Kise yang suka mendrama dan Aomine yang begitu besar kepala adalah kombinasi yang akan membuat kepalanya meledak. "Oke. Berikan hasil kalian!"

Kise dan Aomine menurut memberikan hasil copetan mereka kepada bos. Sejujurnya, Akashi tidak ingin dianggap bos. Tetapi dua orang bodoh itu menganggapnya demikian, apa boleh buat. Entah bagaimana mereka dipertemukan, Kise dan Aomine selalu menganggap jika ia telah menyelamatkan hidup mereka.

Akashi tidak merasa sudah melakukan hal besar. Ia hanya membebaskan mereka berdua dari perbudakan yang tidak manusiawi. Dan setelah itu bisa memanfaatkannya. Tidak perlu beraksi langsung ke lapangan, ada anak buah yang melakukan untuknya. Menjadi bos tidak buruk juga ternyata. Meskipun begitu, Akashi tidak pernah merampas yang merupakan milik mereka. Selalu membagi hasil sama rata.

Mengeluarkan semua uang yang ada di dalam dompet tanpa melihat siapa pemiliknya. Dompet tak berpenghuni itu lalu dibuang ke sudut ruangan disatukan dengan yang lain. Saat mereka beraksi lagi dompet-dompet tersebut akan dibawa dan dibuang di jalanan. Akashi tidak mau mengoleksi sampah di ruangan yang kecil ini. "Lumayan," ungkapnya.

Kise mendekati Aomine dan melirik. Membuat mimik wajah sebagai bahasa tubuh untuk meminta pendapat.

"Ngomong saja," ucap Aomine dengan sangat pelan.

"Aku tidak berani," balas Kise. Kekhawatiran jelas menjerat garis-garis pipi. Menunduk sebagai ungkapan kecewa pada diri sendiri.

Aomine menyikut Kise sebagai rasa simpati. "Ngomong saja, pasti Akashi akan mengerti, percayalah," menyemangati.

"Kau yakin?"

"Iya. Cepatlah."

Akashi memperhatikan dua orang di depannya yang sedang sibuk bisik-bisik. Menaikkan alis dan, "Kalian sedang membicarakan apa?"

Kise terkaget karena ia pihak yang memiliki masalah. "I-itu, A-Akashi-cchi," terbata dan tidak berani membalas tatapan Akashi. Aomine menyemangati dengan menepuk punggung.

"Ada apa, Ryouta? Kalau bicara yang jelas," tegas.

Kise menarik napas dalam dan menghebuskan sebagai tanda penenangan diri. "Anu. Anu. Akashicchi, boleh tidak aku meminta uang lebih hari ini," katanya. Bicara dan detak jantung kecepatannya hampir sama. Kise merasa panas dingin. Ia tahu Akashi. Tatapan mata dari manik yang berbeda sering membuat Kise gemetaran. Mungkin bagi Akashi biasa saja, tapi bagi dirinya sangat menusuk seperti mengintimidasi. Enam bulan bekerja sama cukup untuk mengetahui bagaimana sifat dan watak figur yang ia anggap bos.

"Alasannya?"

"I-ibuku sedang sakit," jelas Kise. "Aku perlu biaya tambahan untuk makan dan membelikannya obat. Kalau Akashicchi berkenan, tolonglah. Aku berjanji akan lebih bekerja keras."

Akashi tertawa yang membuat Kise dan Aomine keheranan. "Kukira ada apa," ucapnya. "Akan kuberikan semua bagianku. Pastikan semua untuk pengobatan ibumu. Jika aku tahu kau berbohong," menatap Kise tajam. "Kedua mata itu tidak akan bisa melihat sosok ibumu lagi!"

"Aku tidak berbohong, iya kan, Aominecchi."

Aomine mengangguk.

"Terima kasih, Akashicchi." Kini Kise merasa setengah bebannya terhapus.

"Kalau butuh sesuatu katakan saja, akan merasa tersinggung jika kalian takut padaku," Akashi berucap sembari membagi uang untuk Kise dan Aomine. "Tapi tentu saja jika kalian berani berbohong akan tahu akibatnya."

"Tidak perlu khawatir, Akashi," respon Aomine. Pemuda bersurai navy itu tidak sedrama Kise. Ia menganggap Akashi sama dengannya. Manusia yang perlu dilihat sisi lainnya. Aomine tidak menganggap Akashi mengerikan. Hanya saja ia menghormatinya sebab Akashi memiliki jiwa pemimpin nan tegas yang tidak ia miliki.

"Baiklah. Kalian boleh pulang, aku mau tidur."

Aomine pergi terlebih dahulu disusul Kise. Akashi memperhatikan punggung keduanya yang makin lama makin menghilang. Hari mulai gelap dan Akashi butuh tidur bukan mandi. Tubuh yang kotor bukan alasan untuk dirinya meninggalkan kenikmatan hidup.

Akashi membaringkan tubuh di atas sofa yang ia duduki. Ya, sofa tersebut sebagai tempat duduk juga tempat tidur, multifungsi. Tinggal di ruangan bekas gudang yang hanya sepetak dan sempit ini tidak gratis. Harus membayar setiap bulannya kepada sang pemilik. Walau tidak semahal tempat lain tetap saja ia harus membayar kalau tidak mau diusir. Namun, bersyukur itu wajib, setidaknya ada tempat berteduh yang dapat menghalangi panas dan hujan.

Akashi tidak sanggup jika harus menyewa di tempat yang bagus. Begini saja sudah nikmat. Ia tidak pernah meminta hal aneh. Lampu yang diberikan juga hanya remang-remang. Gudang ini terletak di belakang gedung tinggi yang menghalanginya dari bising jalanan besar. Tanpa selimut yang membuat hangat, Akashi mulai memejamkan mata menyambut mimpi indah yang datang menjemput.

.

Kelopak terbuka, mengenalkan kelabu pada mentari pagi. Menggeliat bagian ternikmat saat bangun di pagi hari. Novel yang ia baca tadi malam masih menempel di tangan, ternyata dirinya ketiduran lagi. Mayuzumi bangkit dan meletakkan buku kecil tersebut di rak.

Masuk kamar mandi untuk menyegarkan tubuh dan memulai aktivitas membosankan. Tetapi ia tidak bisa melawan. Untuk keberlangsungan hidup dirinya butuh recehan. Membayar ini itu dan tuntutan hidup lainnya. Menjadi dewasa bukanlah hal enak. Segalanya harus dilakukan sendiri. Bekerja adalah kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.

Saat kecil memang dengan mudahnya menadahkan tangan pada orangtua hanya untuk membeli sebuah novel baru, namun sekarang masih menadahkan tangan? Mayuzumi tidak bisa membayangkan di mana harga dirinya. Meskipun belum bisa memberi banyak kepada orangtua sebagai balasan, menjadi mandiri dan menghasilkan uang sendiri adalah cara yang tepat untuk tidak selalu membebani orangtua.

Pekerjaannya bukan sesuatu yang menakjubkan bisa mendapat banyak uang dalam sebulan. Dirinya hanya bekerja sebagai pembuat manga yang setiap detiknya harus mendengarkan ocehan dari editor. Kadang jika deadline tiba, harus rela mengorbankan waktu malamnya hanya untuk menyelesaikan sketsa. Membiarkan light novel-nya menganggur di rak buku tanpa sentuhan.

Tapi pekerjaan ini yang paling cocok dengannya. Ia tidak perlu banyak berinteraksi dengan orang-orang dan yang lebih penting adalah bisa bekerja di apartemen sendiri. Tidak perlu repot-repot bangun setiap pagi dan buru-buru pergi kantor, menaiki kereta yang sesak akan manusia, berlomba memasuki lift dan semacamnya.

Pagi ini semuanya menghancurkan ekspektasi. Ia harus ke kantor penerbitan yang menangani manganya untuk rapat. Sesungguhnya ada atau tidaknya ia di sana tak akan membawa keuntungan. Karena dirinya tidak akan dilihat dan ia pun tak akan mengeluarkan pendapat. Ini semua gara-gara editor yang setiap detik menelepon dan mengiriminya pesan sampai Mayuzumi ingin membanting ponselnya sendiri. Kenapa wanita begitu merepotkan dan memusingkan.

Mayuzumi menghargai ibunya yang juga seorang wanita jadi, dalam hal ini ia tidak bisa melawan. Untuk menghentikan aksi itu ia hanya harus menurut, jika masih mengoceh tinggal pura-pura tidak mempunyai telinga.

Setelah rapi merekat di tubuh yang penuh otot. Kemeja coklat, dasi, dan terusan hitam menambah karisma seorang pemilik nama lengkap Mayuzumi Chihiro. Menegak segelas air putih sebagai awalan hari yang cerah. Ia tidak mau sarapan karena ingin muntah membayangkan begitu banyaknya orang di dalam sebuah ruangan rapat yang pengap.

Gawai berdering nyaring. Wajah memang tidak berekspresi tapi otaknya mengumpat dengan emosi. Mayuzumi mengangkatnya, "hal–"

"Mayuzumi-san, kau datang, kan!"

Lihat, betapa ajaibnya seorang wanita. Ia belum juga bicara tapi sudah diteriaki. Tidak ada niatan untuk menjawab, Mayuzumi mematikan panggilan secara sepihak. Bukan hanya mematikan panggilan tapi juga sekaligus ponselnya.

Mengambil barang-barang yang perlu dibawa, ke luar apartemen dengan banyak berdoa supaya jangan ada lebih dari satu wanita seperti Momoi Satsuki di dunia ini.

Pagi yang sibuk di sebuah kota budaya Kyoto. Jalan hitam mulai memanas sebab gesekan dengan ban-ban kendaraan. Di area pejalan kaki pun tidak kalah sibuknya, mereka yang akan mengejar kereta berlarian seakan kereta hanya ada satu. Anak-anak sekolah yang berisik. Tidak bisakah mereka bercerita jika sudah tiba di kelas.

"Dompetku! Pencopetttt! Tolonggg!" teriak seorang wanita dengan nyaringnya.

"Woi! Jangan lari, sialan!" seorang pemuda ikut membantu dengan mengejar sang pencopet.

Dan brukkkk! Mayuzumi tidak sempat memikirkan apa yang baru saja terjadi. Dirinya jatuh ditabrak seorang bocah yang masih menimpanya sekarang.

"Sial. Kenapa meski menabrak, kurasa tadi tidak ada orang," sembari mengutuk manik kelabu yang tidak tahu apa-apa. "Minggir!" dan melarikan diri.

Mayuzumi berdiri dengan polos. Inilah kelebihan yang kadang-kadang membawa sial. Begitu banyak orang yang menyakitinya hanya karena ia kurang terlihat, bukan sekali dua kali mengalami jika sedang di luar. Diinjak, ditabrak, sampai dicacimaki karena katanya mengageti. Ingin tertawa. Ia tidak akan melakukan hal tidak bermanfaat seperti mengageti, tolong jangan bergurau. Tidak lucu sama sekali.

Tanpa peduli apa pun, Mayuzumi melanjutkan perjalanan. Karena banyak hal yang terjadi ada baiknya jika ia memesan taxi daripada harus naik kereta. Tidak bisa membayangkan betapa akan pecah kepalanya dan menghaburkan gumpalan otak yang tak seberapa.

Limabelas menit kemudian taxi yang ditumpangi terparkir di halaman gedung megah penerbitan, mengeluarkan dompet dan membayar sejumlah yang tertera. Mayuzumi menghela ringan ketika memasuki lobi dan melihat gadis baby pink berdiri cemas. Ia berharap Momoi tidak melihat tapi ternyata malah sebaliknya. Kenapa saat dibutuhkan hawanya malah terlihat jelas.

"Ya Tuhan, Mayuzumi-san! Kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi, sih!? Sepuluh menit lagi rapat akan dimulai."

"Masih lama. Kau masih bisa makan di kantin," Mayuzumi menjawab santai tanpa melihat lawan bicara.

"Hah!" Momoi tidak tahu kenapa mau-maunya menjadi editor orang macam Mayuzumi yang tidak sedikit pun merasa bersalah padahal dia jelas salah. Tanpa babibu Momoi menyeret Mayuzumi memasuki lift supaya cepat sampai ke lantai atas, kalau tidak orang itu akan meniti anak tangga.

"Kau bawa yang akan aku koreksi hari ini. Kita harus menyelesaikan satu manga dalam tujuh hari. Dan waktu yang tersisa tinggal dua hari. Setelah itu kau mendapat project baru."

Alih-alih menjawab sang editor, Mayuzumi malah menyodorkan bawaannya yang berisi lembaran gambar. Selepas ke luar dari lift ia meninggalkan Momoi yang berjalan sangat lambat.

Kenapa tidak singkron dengan mulutnya yang suka bicara cepat itu.

"Mayuzumi-san," Momoi mengejar. "Siap-siap begadang untuk memperbaiki beberapa gambar yang salah, ya. Jangan matikan ponselmu, aku jadi tidak bisa berkomunikasi," dan ia mengerutkan dahi saat memperhatikan mangakanya yang meraba-raba setiap saku pakaian. Wajah berkulit pucat itu memang terlihat tenang tapi Momoi tahu kalau jauh di dalam kepala kelabu itu sedang gelisah. "Ada apa?"

"Ponselku," gumam Mayuzumi sebelum akhirnya mereka masuk ruang rapat.

.

Akashi berjalan di gang sempit bersama Kise dan Aomine. Mereka memeriksa dompet-dompet hasil curian pagi ini. Ambil uang dan buang tempatnya, mereka tidak peduli dengan kartu ATM atau kredit. Mereka suka yang instan dan tidak ingin lebih merepotkan diri dengan mempelajari bagaimana menarik uang dari ATM milik orang lain.

"Bangsat! Aku hampir dipukuli orang-orang," umpat Aomine, ia menendang kaleng minuman hingga melanting jauh mengenai kucing yang sedang menjilati makanan jatuh.

"Lain kali hati-hati," nasehat Akashi sembari menimang ponsel masa kini sewarna hitam kelam.

"Aku menabrak seseorang dan tangan lihaiku ini malah mengambil ponselnya."

"Aominecchi sampai menabrak orang. Untung kau tidak ditangkap-ssu," kata Kise waswas. "Tapi tidak apa-apa, sih, kan dapat barangnya."

"Sama sekali tidak melihatnya, tiba-tiba langsung menabrak," Aomine bercerita. "Apa dia hantu?"

Kise tertawa keras dan memukul kepala Aomine. "Mana ada hantu punya ponsel."

Aomine berdecak dan membalas pukulan Kise. Mereka akhirnya bertengkar dan saling mengejar meninggalkan Akashi yang masih memandangi ponsel tersebut diiringi sebuah seringaian.

"Akashicchi, ayoooooo!" Kise berteriak sambil melambaikan tangan.

"Duluanlahhh!"

"Ehhh. Bukannya kita mau mencari sarapan, yaaaa."

"Nanti aku menysul."

"Okeeeeee."

Akashi berbelok di pertigaan gang untuk menyaksikan sekomplotan anak SMA yang sedang memeras satu anak SMA lainnya. Dia yang bersurai biru seperti langit pagi ini di tampar oleh seseorang siswa yang memiliki rambut hitam belah tengah.

"Kau membawa uang yang kami perintahkan, hah!?"

"Bawa tidak. Cepat berikan!"

Satu tendangan mendarat di perutnya yang ringkih. "Oi, kalau ada orang bertanya itu di jawab!"

"Kau punya mulut, kan, sialan!"

Yang menjadi pihak korban bully hanya bungkam tidak melawan. Dia juga tidak memberikan uang yang komplotan tagih. Akashi mendekat sambil mengeluarkan tawa. Baginya ini lucu, sebuah hiburan di pagi yang indah.

"Kurasa kalian yang pantas dipanggil banci karena beraninya keroyokan," celetuk Akashi.

"Takao, siapa dia?"

"Mana kutahu," Takao memandang pemuda kucel di hadapannya kesal. "Pengemis sepertimu tidak perlu ikut campur."

Akashi berkilat. "Kau boleh pergi," perintahnya kepada korban.

"Lihat saja nanti, Kuroko!" teriak Takao yang melihat mangsanya lolos begitu saja, dan bugh! Tendangan dari pemuda yang ia anggap pengemis tepat mengenai ulu hati. Takao meringis dan hampir muntah saking mualnya. "Apa urusanmu denganku!"

Akashi menangkis tinjuan balasan yang dilayangkan dengan mudah. Anak yang biasanya keroyokan sebenarnya adalah yang paling lemah. Ia memelintir tangan tersebut hingga pelajar bernama Takao itu menjerit keras dan temannya tidak bisa berbuat apa-apa karena tatapan Akashi yang seakan-akan melumpuhkan.

"Berikan semua uang kalian," perintah Akashi. "Atau mau tangan temanmu ini patah."

Tetapi dari mereka tidak ada yang bergerak sedikit pun. Mereka menganggap gelandangan tersebut hanya bercanda, mana ada orang yang tega sampai mematahkan tangan.

Takao kembali menjerit sampai mengeluarkan air mata sebab jari telunjuknya dipatahkan dengan mudah seperti mematahkan ceker ayam. "Kalau kalian meremehkanku," Akashi berkata sembari melotot.

"A-ampun," rengek Takao. "Dompetku ada di saku celana, ambilah," katanya gemetar. "Kalian juga berikan saja!" berteriak keras.

Dan Akashi mendapat tangkapan besar dari anak-anak orang kaya yang begitu bodoh. Carilah kesempatan dalam hal apa pun. Tidak peduli menyakiti orang lain, toh, dirinya pun tersakiti. Anak-anak bodoh itu tidak bersyukur telah diberi nikmat yang takkan ia dapatkan. Tetapi mereka malah berkelakuan jelek, jadi bukan salah Akashi jika memberikan sedikit pelajaran. Ia agak benci dengan ketidakadilan. Bukannya mencari muka dengan cara menolong, Akashi tidak suka dengan orang-orang yang banyak bergaya tapi tidak punya kemampuan apa-apa.

Suka ketika anak bernama Takao mengeluarkan air mata. Mungkin hidup kaya dengan uang berlimpah tidak akan membuatnya menangis. Hari ini ia memberi sedikit polesan agar tahu bagaimana rasanya mengeluarkan air mata. Ia pernah menangis sekali ketika orang panti asuhan menyundut punggungnya dengan besi panas hanya karena melakukan kesalahan kecil.

Kehidupan yang tidak ada gunanya. Itu sudah lewat, jadi tak perlu dipikirkan, mending ia mengisi perut dengan makanan yang enak-enak. Menyusul Kise dan Aomine yang mungkin sudah melahap banyak hidangan. Mereka itu rakus.

"Akashicchi, di sini," teriak Kise ketika melihat sang bos yang celingukan mencari. Mereka biasa nongkrong pagi di sebuah warung pinggir jalan yang menjorok lebih ke tempat kumuh.

Akashi datang dan duduk di samping Aomine yang sedang menikmati segelas kopi. "Oh. Kalian sudah makan?"

"Sudah," jawab Aomine. "Makanlah. Kau dari mana?"

"Memberi pelajaran tikus kecil."

"Dapat banyak dong."

"Lumayan."

Selepas sarapan mereka akan kembali beraksi. Lingkup pencopetan tidak hanya dekat dengan lingkungan tempat tinggal tetapi juga kota-kota besar Kyoto yang orang-orangnya mumpuni untuk dirampas. Mereka cukup hidup enak dengan tempat tinggal yang hangat. Makanan yang terjamin kesehatan dan gizinya. Jadi menurut Akashi tidak masalah jika dicopet sesekali, anggap saja berbagi dengan dirinya yang tak mampu.

Setengah hari berlalu. Tidak terasa. Akashi bahkan masih merasakan lezatnya sarapan pagi dan kini ia harus mengisi perut makan siang. Kise pulang karena khawatir pada ibunya yang sedang sakit, sedangkan Aomine mengembara entah ke mana. Akashi memutuskan untuk pulang ke gudang hunian. Ia perlu tidur sejenak sebelum melaksanakan aksi lagi.

Membuka bungkusan nasi. Satu botol air putih ditegak brutal. Kemudian mengisi perutnya sesegera mungkin. Akashi mengeluarkan semua pendapatan dari dalam saku. Ia menghitung untuk membayar sewa tempat bulan ini, juga berencana untuk membeli selimut. Kedinginan setiap malam tidak baik untuk tulang dan kesehatannya. Harus dapat hidup lama supaya bisa menikmati betapa serunya menjalani tuntutan dunia.

Prak! Benda persegi panjang hasil tangkapan tak sengaja Aomine jatuh. Akashi mengambilnya. Dipandangi sebentar kemudian dihidupkan. Ia tidak begitu bodoh meyangkut teknologi, walau tidak memiliki setidaknya ia sering melihat orang-orang di sekitar menggunakan.

Ya, orang sekarang kebanyakan menunduk. Bukan karena apa-apa tapi menunduk memainkan ponsel. Budak teknologi. Lepas kewaspadaan sekitar dan jika ada kejadian saling menyalahkan. Padahal diri sendiri sumber masalah.

"Bodoh," Akashi bergumam. "Kenapa ponselnya tidak memiliki kunci pengaman. Kalau begini siapa pun akan tahu semua isinya. Orang yang punya begitu bodoh rupanya," Akashi mulai membuka pesan-pesan yang terus berdatangan.

"Kau mematikannya begitu saja, tidak sopan!"

"Jangan lupa bawa berkas yang akan dikoreksi"

"Kenapa ponselnya mati?"

"Mayuzumi-san, kau di mana? Sudah jalan?"

"Jangan sampai telat, ya."

"Hei, sepuluh menit lagi."

Akashi menikmati. "Mayuzumi, kah?" ia mengubrak abrik isi ponsel monoton. Kontaknya pun tidak begitu banyak. Ia menilai Mayuzumi sebagai pribadi yang tertutup dan membosankan.

Ponsel hitam tersebut berbunyi lagi, kali ini sebuah panggilan masuk. Nama Nijimura terpampang di layar. Akashi menekan ikon hijau. Melupakan waktu tidur siang, ia ingin bermain-main dengan mereka yang tak dikenal.

"Nih, dia mengangkatnya."

"Mana."

Akashi mendengar percakapan yang bukan ditunjukkan untuknya. Sembari tersenyum ia menunggu suara pemilik ponsel.

"Halo. Bisa kau kembalikan ponselku."

Kedua alis merah mengangkat. "Oh. Langsung keintinya, ya," merespon. "Harusnya kau bisa berbasa-basi sedikit."

"Bisa bertemu di mana?"

Tertawa. "Memang siapa yang akan mengembalikan ponselmu. Kurasa aku belum bilang setuju."

"Apa yang kau inginkan? Uang?"

Akashi menyipit. "Tidak perlu. Aku bisa menjual ponselmu dan mendapatkan uang."

"Maafkan temanku,"

Akashi menebak jika kali ini Nijimura yang bicara.

"Bisakah kita bicarakan baik-baik. Kalau mau mengembalikan ponsel itu, kau akan mendapat imbalan yang setimpal."

"Begitukah? Misalnya?"

"Katakanlah apa saja maumu. Tapi kumohon jangan kau jual ponselnya."

"Memang ada apa di dalam ponsel ini. Aku tidak menemukan sesuatu yang berharga."

Mendesis tapi tidak menyerah. "Kau akan mendapatkan apa pun yang kau mau. Kita bisa bertemu, okey."

Menyeringai. "Akan kukirim alamatnya."

.

"Hah. Dia mematikan begitu saja," Nijimura menggeram, lalu melirik Mayuzumi yang hanya duduk santai. "Oi, lagian kenapa bisa seceroboh itu, sih!"

"Kalau bisa mengetahui semua yang akan terjadi, aku sudah pindah planet."

"Tsk, Mayuzumi," Nijimura beralih ke hadapan teman innocent-nya. "Aku perlu data itu untuk presentasi besok pagi. Kau mau aku dipecat, hah!?"

"Santailah. Lagi pula dia bersedia untuk bertemu, kan."

"Itu karena usahaku membujuknya. Apa-apaan tadi bahasamu, kau harusnya bisa lebih ramah. Dia lebih menang. Untung mau bertemu, kalau dia benar menjualnya bagaimana nasib hidupku. Arghhhh!" frustasi. Nijimura menjatuhkan tubuh di samping Mayuzumi dan menutup wajahnya dengan bantal.

"Salahmu sendiri kenapa menaruh berkas penting di ponselku," jawab Mayuzumi sembari menegak bir kalengan. Ia membela dirinya, tak mau disalahkan, tentu saja. Ia sangat menyayangi diri sendiri melebihi apa pun.

Nijimura menghentakkan bantal tersebut tepat ke kepala Mayuzumi yang membuatnya semakin emosi. "Iya, memang salahku. u! Kau tahu betapa bodohnya diri ini. Harusnya aku tidak bergantung pada orang yang sama sekali tidak peduli akan masalah temannya."

"Bagus kalau sadar. Lagi pula aku tidak menganggapmu teman," jelasnya dengan mimik yang begitu datar dan berlalu meninggalkan Nijimura yang entah mengapa tidak ada bedanya dengan mulut wanita. Membuat kepala sakit. Ia tidak masalah kalau harus kehilangan ponselnya, itu hanya formalitas pekerjaan.

Nijimura mengeluarkan asap hitam dari telinga. Mengutuk punggung pihak lain yang menjauhinya. Menghela napas berkali-kali supaya apartemen ini tidak diledakkan saking naik darah. Ia sudah biasa diperlakukan tak adil oleh Mayuzumi, tapi anehnya mengapa masih mampu bertahan berteman dengan mahluk yang pantasnya tinggal di negara alien.

Dan semua itu terlupakan ketika ada pesan masuk.

"Di gang dekat stasiun. Kita bertemu jam delapan."

"MAYUZUMI, POKOKNYA KAU HARUS IKUT!"

.

"Akashi?"

"Kau membutuhkan sesuatu, Daiki?"

Mereka sedang berkumpul seperti biasa menghitung hasil tangkapan hari ini. Aomine tidak lepas pandang dari wajah Akashi. Ada yang berbeda di sana. Ia melihatnya dengan jelas.

"Kau sedang senang?"

Kise yang heran akan pertanyaan Aomine terhadap Akashi hanya berkedip-kedip. Melihat Aomine kemudian beralih ke Akashi yang duduk di singgasananya. Memperhatikan rekat-rekat, penasaran partnernya sampai melayangkan pertanyaan aneh.

"Setiap hari aku senang," jawab Akashi santai. "Dan, Ryouta, jangan melihatku seperti itu."

"Ahhh. Maaf-maaf," Kise tersenyum. "Tapi pertanyaan Aominecchi ada benarnya, lho. Akashicchi memang berbeda hari ini. Ada apa, sih? Kau dapat uang banyak, ya."

Akashi menghembus napas ringan. "Kalian ini," katanya. "Aku masih seperti biasa, omong-omong, aku berterima kasih padamu, Daiki."

Aomine menunjuk dirinya sendiri diikuti mimik bloon. "Aku?" katanya.

"Memang nama Daiki ada yang lain di sini?"

Si pemilik kulit dim hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Untuk apa?"

Akashi hanya menjawab dengan tawa halus, membagi tangkapan mereka sama rata. Dan menyuruh untuk pulang ke gubuk masing-masing. Sedangkan dirinya harus mengurus pekerjaan yang tertunda. Masih ada waktu satu jam sebelum pertemuan mengembalikan ponsel. Mengambil sejumlah uang dari dalam kaleng bekas minuman, memakai jaket yang warnanya mulai hilang. Akashi bergegas pergi untuk membayar sewa.

Rumah pemilik gudang butut itu tak jauh, jadi Akashi tak perlu mengeluarkan ongkos lebih. Ia hanya tinggal berjalan ke depan sedikit. Ya, gedung tinggi yang menjulang di depan tempat tinggal adalah kediamannya.

Kedua tangan masuk ke dalam kantung jaket. Akashi menegadah di halaman, melihat betapa bagusnya gedung di hadapan. Kaca-kaca memantulkan cahaya listrik. Kapan dirinya bisa tinggal di sebuah bangunan yang disebut apartemen ini. Ia menggeleng, menepis kenyataan kalau itu jauh dari kata mungkin.

Akashi memasuki lobi apartemen. Pemilik itu tinggal di lantai dasar. Sebuah kemudahan untuk orang seperti dirinya. Di dalam sini dingin, AC terpasang di mana-mana. Akashi merekatkan jaket. Penghuni lain berlalu lalang. Ada yang baru pulang bekerja. Ada anak muda seumurannya yang sangat senang bersama teman-teman. Mereka tertawa seakan tidak ada beban. Pakaian yang bagus dan mahal. Sepatu yang berdecit di lantai kinclong.

Akashi tidak iri akan semua itu. Ia percaya jalan hidup masing-masing akan berbeda. Anggap saja mereka lebih hoki darinya. Kalau pun iri tidak akan ada keuntungan yang didapat, malah sebaliknya menyiksa diri sendiri memikirkan hal yang tidak penting.

"Oi, pokoknya harus ikut!"

"Kenapa tidak pergi sendiri saja, aku ada pekerjaan."

"Secara tidak langsung juga salahmu, tahu!"

Akashi dialihkan kepada percakapan yang sangat keras dari dua orang dewasa yang baru saja ke luar lift. Kelerang uniknya menangkap sosok kelabu yang sama sekali tidak mengindahkan ucapan sang teman. Ada aura berbeda yang menariknya untuk tidak berkedip memperhatikan. Akashi suka kulit pucatnya dan sikap dingin yang menguar. Tidak lepas pandang hingga figur itu benar-benar menghilang.

"Akashi?"

Tuan berkacamata membawanya kembali kepermukaan. "Imayoshi-san, baru pulang bekerja? Aku mau membayar sewa." Akashi menyerahkan amplop putih. Dirinya tidak punya rekening jadi pembayaran harus dilakukan secara langsung. "Untung bertemu di sini."

"Kenapa tidak masuk saja, ada istriku di dalam," tutur Imayoshi, menerima amplop dari Akashi.

"Aku permisi," Akashi malah langsung berpamitan. Imyoshi tersenyum hangat. Ia memang harus berterima kasih telah diizinkan tinggal di belakang gedungnya. Meski kelihatan licik, tapi Imayoshi masih punya sedikit kebaikan. Mungkin itu yang menjadikannya sukses dan hidup tanpa kekurangan. Licik dan cerdas beda tipis.

Tadinya Akashi memang mau masuk tetapi hal lain yang terjadi di depan mata lebih menarik. Ada orang berkarakter aneh yang ternyata tidak jauh dari kehidupannya. Akashi ingin tahu lebih jauh. Penasaran mengusik syaraf halus di otak. Jika ia memiliki mainan baru. Hidup yang penuh drama akan menjadi lebih menyenangkan.

Pekerjaan selanjutnya yaitu menemui orang di gang dekat stasiun. Gang tersebut cukup jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki, tetapi Akashi menikmati. Suasana malam yang diberikan kota Kyoto sedikit membuatnya betah. Angin malam mungkin mengusik kulit di dalam pakaian, namun itu bagian terbaik. Mengingatkan ia bagaimana rasanya memiliki kedua orangtua. Walau dingin pasti ada kehangatan. Seperti mereka-mereka yang berjalan dengan bergandengan tangan.

Untuk menghangatkan tubuh, ia mampir ke super market terdekat. Membeli sebungkus permen berkomposisi nikotin untuk dihisap. Baru-baru ini ia suka merokok. Ada sensasi tersendiri ketika menghisap racun dan mengeluarkannya menjadi asap.

Akashi tahu banyak iklan rokok yang beredar, mengatakan jika zat yang terkandung hanya akan merusak paru-paru. Persetan akan hal itu, kalau dilarang tetapi masih beredar sama saja bohong. Malah makin membuat mereka yang bodoh semakin penasaran dan ingin mencoba lalu kecanduan. Kalau sudah kecanduan, larangan dan peringatan apa pun tak kan mampu menghalangi. Ya, seperti dirinya yang sekarang.

Ia juga bisa bersikap bodoh dan siapa pula yang mengetahuinya genius. Hanya pujian untuk diri sendiri. Api sudah menghabiskan separuh batangan putih. Akashi menghembuskan kenikamatan tiada tara sambil berbelok ke dalam gang. Dari kejauhan dirinya sudah bisa melihat dua sosok yang sedang menunggu. Percaya diri adalah kunci kehidupan abadi, maka dari itu Akashi sama sekali tidak takut terhadap orang dewasa yang mungkin saja akan menghakimi karena ia seorang pencopet.

"Yo," sapa Akashi terlebih dahulu, membuang puntung rokok dan menginjaknya. Suara kereta api yang begitu jelas menghiasi pendengaran. Ia memandangi satu per satu orang di depan. Dan tertawa begitu keras saat melihat siapa gerangan yang berdiri angkuh dengan segala keabuannya. Akashi sedikit tidak mempercayai takdir yang begitu konyol. "Bang! Kutebak dirimu yang bernama Mayuzumi," menunjuk tepat pada orang yang dimaksud dengan jemari menyerupai pistol.

Mayuzumi tidak bereaksi.

"Kau mengenalnya?" tanya Nijimura.

"Tidak."

Akashi tersenyum walau diacuhkan. Ia mengeluarkan ponsel. "Kalian mau benda ini kembali?"

"Jadi apa yang kau ingin?" Mayuzumi langsung menanyai. Dirinya tidak bisa berlama-lama hanya untuk melayani bocah labil.

"Kau tahu? Sikap ajaibmu itu bisa menyakiti orang lain," oceh Akashi jujur menatap Mayuzumi intens.

"Baiklah. Jadi kau ingin imbalan apa?" Nijimura maju berbicara. Suasananya agak sedikit panas. "Dia sibuk akan pekerjaannya. Kami tidak bisa lam–"

"Tinggal katakan saja apa maumu. Susah?" Mayuzumi menyela. "Kau mungkin bisa bermain-main, tapi aku tidak."

Akashi mengerutkan dahi. Ia termasuk ke dalam orang yang tersakiti. Bermain-main? Mulutnya pedas juga. "Bukan begini caranya meminta barangmu kembali?" balas Akashi.

"Lebih baik mulutmu dipakai untuk mengatakan apa yang kau mau, ketimbang bicara tidak jelas."

Nijimura menyenggol Mayuzumi supaya tidak menambah masalah. "Oke. Oke," menengahi. "Boleh tahu namamu, aku Nijimura Shuuzo. Aku harap kita bisa menyelesaikan ini baik-baik. Bagaimanapun juga kau yang telah mencuri ponsel itu."

Akashi menatap Nijimura tidak suka. "Aku? Mencurinya?" melirik Mayuzumi. "Coba tanya saja pada temanmu. Mungkin dia mengenali wajah orang yang mencuri ponsel ini?"

"Mayuzumi?"

"Memang bukan dia seingatku."

"Aku minta maaf kalau tersinggung," Nijimura masih bicara halus, "dan aku tidak tahu mengapa ponsel yang kami cari ada padamu. Jadi, katakanlah kau ingin apa?"

"Sejujurnya aku memang ingin meminta uang. Tapi tidak jadi."

"Lalu?"

"Biarkan aku berkunjung ke apartemenmu malam ini," menunjuk Mayuzumi, bibir terangkat mengembangkan senyuman penuh muslihat. "Atau aku bisa saja melemparkan sekali hentak, bukan kah tembok ada di kanan kiri."

"O-oke," jawab cepat Nijimura.

"Apa maksudmu!" Mayuzumi membentak Nijimura yang seenaknya mengambil keputusan.

"Kumohon," tutur Nijimura. "Nasibku ada di ponselmu. Aku tidak punya salinannya sama sekali. Kalau kau setuju, aku akan melakukan apa pun, percayalah."

Mayuzumi mendesis sangat sangat menolak.

"Meski kau tidak menganggapku teman, lakukanlah sekali ini saja."

Baru kali ini ia harus menghembus napas panjang. Mayuzumi tidak tahu masalah apa lagi yang menimpa kehidupan damainnya. Ia harus membawa masuk gelandangan ke dalam kamar, yang benar saja. Kenapa file Nijimura mendatangkan masalah yang amat serius. Namun, di sisi lain nasib hidup Nijimura ada dikeputusannya.

"Apa niatmu sebenarnya?" tanya Mayuzumi kepada Akashi yang sedang bersandar di tembok dengan mulut yang sibuk menghisap batangan.

Akashi menghembuskan asap tersebut ke arah Mayuzumi. "Tidak ada maksud apa-apa. Kau tahu, kan, aku hanya anak jalanan. Jadi ingin tahu bagaimana rasanya berada dalam gedung megah."

"Tapi aku melihat niat lain."

Akashi tidak terkejut dengan perkataan Mayuzumi, ia asyik memainkan asap-asap yang ke luar dari mulutnya. "Terserah, sih," ucapnya. "Kalau kau tidak mau, tidak masalah. Aku tak kan mengambil pusing," mengangkat diri dari tembok dan berbalik badan melambaikan tangan tanpa menengok. "Kalau begitu sampai jumpa."

"Mayuzumi, kumohon. Apa aku meski bersujud," Nijimura sudah putus asa, rasanya ingin menjedotkan kepala ke tembok. Tidak mungkin juga bagi dirinya menghajar bocah kucel itu, ia tak mau mengotori tangan. Ia orang dewasa tetapi tak bisa menaklukan seorang bocah. Ayolah, hidup tidak selucu ini.

Tanpa pikir Mayuzumi bergerak, mengejar dan mencegah Akashi pergi. "Baiklah. Kembalikan ponselku."

Akashi menang, dan ia sudah tahu itu. Lihat, orang sedingin Mayuzumi mau mencegahnya pergi. Demi teman, mungkin kah? Akashi rasa Mayuzumi hanya tidak ingin punya masalah. Ia tidak ingin nantinya dituduh sebagai perusak masa depan orang, tidak ingin punya musuh. Akashi baru melihatnya saja sudah memahami betapa rumitnya diri Mayuzumi. Mana ada individu hidup tanpa masalah. Sekecil apa pun pasti ada, bahkan, orang mati pun punya masalah di dalam kubur.

"Deal!" Akashi mengulurkan tangan sebagai tanda persetujuan, tetapi uluran itu hanya dilihat seperti kotoran. Tidak masalah sebab ia memahaminya. "Lain kali jaga barangmu," memberikan ponsel kepada Mayuzumi yang langsung diterima.

Mayuzumi melemparkannya pada Nijimura di belakang dan ditangkap dengan tepat. "Thanks, bro!" teriak Nijimura, sekarang ia bisa bernapas lega. Mengejar ketertinggalan dan menghampiri Mayuzumi. "Aku pulang duluan. Harus menyiapkan segalanya untuk besok. Sekali lagi terima kasih. Bersemangatlah," mengedipkan sebalah mata dan berlalu tidak tahu diri.

Mayuzumi menekan pangkal hidung. "Ikuti aku," katanya pasrah.

Akashi ingin tertawa tetapi ditahan. Ia berjalan tepat di samping figur yang telah menarik seluruh perhatiannya. Jangan salahkan dirinya yang polos, salahkan kenapa Mayuzumi begitu menggoda untuk diganggu. Akashi menikmati segala tektek bengek perjalan hidupnya, jadi ia tidak akan menolak jika memang Mayuzumi masuk ke dalam list untuk mengisi buku cerita.

Penilaian pertama terhadap Mayuzumi memang membuatnya muak. Membosankan. Apa untungnya menjalani hari dengan membesarkan sikap seperti itu. Percayalah, omongannya tidak salah, kalau banyak orang tersakiti dengan caranya. Mungkin Akashi akan menjadi pengecualian karena ada sesuatu dalam dirinya yang mendorong untuk menggali Mayuzumi lebih jauh.

Dia tidak tahu apa itu cinta padangan pertama. Kalau boleh ia akan menganggapnya seperti yang terjadi. Ia jatuh cinta pada sosok yang membingungkan. Akashi biasanya akan menghajar langsung siapa saja yang menyakiti hati, tapi omongan Mayuzumi malah membuatnya semakin tertantang untuk meluluhkan sikap sedingin es kutub.

Sekarang saja mereka tidak saling berbicara. Akashi ingin memulai percakapan, tapi dilihat lagi suasananya tak mendukung. Mayuzumi mungkin masih belum menerima kalau harus membawa orang asing ke apartemennya. Akashi hanya mengikuti setiap langkah. Kini mereka sedang mampir ke sebuah restoran cepat saji. Mayuzumi masuk, dirinya hanya menunggu di luar. Sepertinya ia tak pantas bergabung ke dalam kelompok elit. Tahu diri itu perlu.

Menunggu begitu lama dalam dingin, akhirnya Mayuzumi ke luar dan berjalan tanpa mengajak. Akashi mengikuti di belakang. Memperhatikan dengan seksama dan ia paham sekarang mengapa Aomine menganggap Mayuzumi hantu. Kehadirannya unik. Jika ia punya mata yang berbeda, orang itu punya eksistensi yang tipis. Bukankah mereka serasi?

Banyak tapak tertinggal di jalanan, melukiskan kenangan di malam hari. Mereka sampai di apartemen. Akashi bisa tahu rasanya menaiki sebuah lift. Kamar Mayuzumi terletak di lantai sepuluh. Dia bahkan tidak mengatakan 'silahkan masuk'.

Meletakkan semua bungkusan di atas meja makan. Membagi menjadi dua. Menyiapkan air minum dan segalanya. Akashi masih terpana, ternyata isi ruangan Mayuzumi biasa saja, padahal ia sudah membayangkan sesuatu yang megah. Terlalu simpel untuk kamar seorang yang sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Kertas putih berhamburan di meja ruang tamu, sket yang tergambar memberikan penjelasan bahwa pekerjaan Mayuzumi hanya seorang mangaka.

"Oi."

Akashi menengok. "Namaku Akashi Seijuurou, jadi kau tak punya alasan lagi untuk memanggilku oi."

"Terserah. Cucilah tangan dan segera makan ."

Banyak pertanyaan yang bergelayut tetapi Akashi memilih beralih ke meja makan. Ia mencuci tangannya sebersih mungkin. Ayam goreng bertumpuk memenuhi piring besar. Akashi hanya tinggal memilih ingin memakan, paha, dada, atau sayap, ada nasi juga kalau mau.

Tanpa malu atau menjaga harga diri. Akashi mengambil yang paling terbesar. Rezeki tidak boleh ditolak. Dirinya memang belum makan malam ini. Dan ia sangat jarang menemukan ayam goreng. Yang ia temukan hanya sebatas sayuran, sayuran, dan sayuran. Melahap rakus, mengunyah seperti gilingan.

"Makan pelan saja," Mayuzumi bersuara. "Tidak akan ada yang akan menghabiskan. Aku membeli banyak khusus untukmu, jadi hentikan kelakuanmu yang membuatku jijik."

Akashi melambatkan taraf makannya. "Benarkah?" malah bertanya, ya tentu saja tidak dijawab.

Mayuzumi menyelesaikan makan duluan. Masih banyak pekerjaan yang harus cepat diselesaikan. Ponselnya dibawa Nijimura, setidaknya tak akan ada Momoi yang mengoceh. Kepalanya sedikit kliyengan memikirkan betapa kacaunya hari ini. Ia mengambil pensil dan mencoba mencoret-coret salah satu kertas yang berserakan.

Akashi memandanginya kasian. Kalau dipikir hidupnya lebih enak, tak ditekan oleh apa pun. Ia berjalan-jalan sendiri, lebih baik daripada mengganggu. Membuka pintu yang menuju balkon belakang. Melihat ke bawah dan menemukan tempat tinggalnya yang teramat kecil. Jadi orang yang selalu ia pandangi dari bawah adalah Mayuzumi, senyuman tulus menghiasi bibir, dunia begitu kecil rupanya.

Akashi kadang memutar otak, apa yang orang-orang lakukan di dalam gedung megah. Terkadang dirinya suka memperhatikan bagian kamar Mayuzumi yang selalu terang jika tengah malam. Ternyata orang itu sedang menggambar. Ia juga sesekali melihat Mayuzumi duduk di balkon dan entah apa yang dia nikmati.

Angin menyerang membuat Akashi meninggalkan balkon. Ia masih belum puas melihat-lihat. Di dinding ruang tamu ada satu kertas terkemas rapi dalam sebuah bingkai kaca. "Penghargaan diberikan kepada saudara Mayuzumi Chihiro sebagai mangaka terbaik tahun 2017," Akashi berkomat kamit membaca. "Oh. Namanya Chihiro, mirip nama anjing peliharaan di panti dulu," mengangguk. Kini ia mendekati gerangan yang duduk bersimpuh di lantai sedang serius bekerja. Melakukan hal yang sama, ia duduk tepat di hadapan Mayuzumi.

"Kau menyamakan namaku dengan seekor anjing," celetuk Mayuzumi meski tangannya masih fokus menggambar.

"Pendengaranmu lumayan juga."

Mayuzumi meletakkan pensil dan menatap bocah Asing di depan. Tangannya terangkat meraih dagu Akashi dan membawanya lebih dekat, kulit kucel tak terawat. "Tapi kurasa matamu lebih terlihat seperti anak anjing," lalu mendorong Akashi dan dikembalikan ke tempat semula.

Akashi berdecak. Melihat Mayuzumi mengangkat pensil lagi, membuatnya melontarkan tanya, "kenapa kau memilih pekerjaan ini?"

"Tak usah banyak tanya."

"Aku baru bertanya sekali."

"Kalau begitu diam saja."

"Chihiro?"

"Jangan panggil nama depanku. Berapa usiamu?"

"Delapanbelas."

"Aku duapuluh lima. Jadi kurasa kau tahu siapa yang lebih tua."

"Sayangnya, aku tak mau. Memanggilmu Chihiro lebih gampang. Kalau Mayuzumi-san, lebih merepotkan untuk diucap, lidahku bisa keseleo. Kau juga boleh memanggilku Seijuurou," tawar Akashi percaya diri.

Mayuzumi tertawa datar dan tidak lagi menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan Akashi. Hilang Momoi datang mahluk lain, ke mana perginya hari-hari damai seperti saat masih SMA. Ia memfokuskan diri pada seluruh sketsa, menganggap jika hanya dirinya di ruangan ini. Mengabaikan presensi Akashi sepenuhnya. Menulikan telinga, membutakan mata. Mau marah pun hanya akan membuang waktu dan tenaga. Untuk malam ini saja, ia akan bertahan dari jajahan seorang pencopet.

Mayuzumi sudah terbiasa, berteman dengan diri sendiri merupakan hal ternyaman. Bebas melakukan apa pun tanpa dinilai orang lain. Tidak ada yang mengurusi tingkahnya. Jadi membawa seseorang masuk ke ruangan tercinta adalah kesalahan besar, bahkan, ia sering mengusir Nijimura yang katakanlah sudah dikenal sejak lama.

Menguap. Zat kafein sudah tak mampu menghalau kantuk. Mayuzumi mengambil remot AC dan menurunkan suhu. Lama-lama dirinya bakal cepat keriput. Mengabaikan jam tidur malam hanya demi mengejar target dan mendapat profit besar. Waktu sudah menunjukkan jam tiga pagi. Matanya mulai berkunang dan berair, anehnya kalau membaca light novel ia tahan tidak tidur. Tak mau memaksakan diri lebih memilih menyudahi aktivitas. Merindukan kasur empuk.

Sebelum enyah dirinya melihat Akashi yang tergeletak di lantai. Meringkuk seperti anak anjing kedinginan. Dari kedua netra yang tertutup ke luar air mata. Mayuzumi berasumsi kalau anak itu sedang bermimpi sedih. Mendekati. Ia berjongkok. Ada perasaan iba yang datang merasuk relung hati. Tetiba tangannya terangat spontan ingin menghapus air mata yang dengan tidak tahu diri telah muncul. Tetapi Mayuzumi menarik kembali mengurungkan niatan.

Hanya berpikir tidak perlu melakukannya. Ia balik perhatikan lekat-lekat wajah mungil penuh beban. Polos. Banyak guratan kesedihan, berbanding terbalik dengan sikap yang ditunjukkan. Gaya bicaranya menggambarkan jikalau hidup Akashi baik-baik saja dengan apa yang ia pilih. Ekspresinya berkata jika Akashi menikmati semua arus yang berjalan. Pembohong cilik. Jelas-jelas dia sangat menderita. Mayuzumi bisa melihat itu semua.

Meski kadang dinilai banyak orang sebagai pribadi yang sangat tidak peduli sekitar. Namun, di sisi lain Mayuzumi bisa membaca dengan jelas raut wajah seseorang. Apa yang mereka pikirkan. Diam bukan berarti tidak mengamati. Ia hanya terlalu malas berekspresi.

Pada akhirnya ia tak melakukan apa pun. Bangkit menuju kamar ingin masuk ke dalam selimut. Membiarkan Akashi begitu saja tergeletak di lantai. Ya, siapa suruh datang tak diundang. Mungkin dirinya tidak bisa sebaik orang-orang yang harus mengangkat dan ikut tidur bersamanya. Ia memiliki privasi yang tak ingin disentuh orang asing. Bagaimanapun Mayuzumi benar-benar tidak mengenal siapa itu Akashi. Orang asing tetap orang asing.

...

Dua bulan terlewati. 1.440 jam menjadi masa lalu. Musim berganti. Yang masih tetap sama keadaan Mayuzumi. Ia bekerja keras dalam setiap pekerjaan dan bekerja keras dalam menghadapi Akashi. Bocah tak jelas asal usulnya makin lama makin melunjak. Di mana ada dirinya selalu ada Akashi kecuali jika sedang di kantor. Mayuzumi kira hanya sebatas malam itu tetapi ternyata ekspektasinya melesat jauh.

Akashi terus-terusan datang mengganggu, baik siang mau pun malam. Keras kepalanya melebihi batu padahal ia sudah mengabaikan dan tidak sekali pun menganggap. Nijimura Shuuzo, manusia yang telah ia selamatkan hidupnya tak membantu sama sekali. Tidak pernah memberi solusi yang tepat bagaimana caranya untuk mengenyahkan Akashi dari pandangan.

Seorang DJ cantik blonde sedang memainkan musiknya di atas panggung bersama sang partner yang memiliki alis cabang. Lampu-lampu berkerlip meriah dan sebagian orang menikmati dengan cara bergoyang aduhai. Mayuzumi hanya bisa memijat-mijat kepala, ia mengoleskan minyak angin ke pelipisnya. Perut mulai berkontraksi ada dorongan yang ingin ke luar melalui mulut. Ia menahan dengan segenap jiwa.

Untuk menghalaunya Mayuzumi menegak beberapa teguk sake. Sumpah, ia ingin membungkam mulut Nijimura yang sedaritadi tertawa-tawa bersama Momoi dan Akashi. Mereka berempat sedang makan malam bersama di sebuah bar milik Murasakibara. Makanan bertumpuk di atas meja. Bir dan sake tak ketinggalan sebagai pelengkap. Acara makan malam yang dipelopori Momoi sebagai pesta karena manga yang ia buat akan diangkat menjadi serial anime.

"Chihiro, kau kenapa?" tanya Akashi yang melihat teman duduknya sudah seperti mayat hidup. Namun pertanyaan itu tak mendapat jawaban. Mencari kesibukan lagi dengan menikmati beberapa makanan yang terhidang. Ia tertawa saat melihat Nijimura melakukan atraksi bodoh dengan minumannya yang berakhir menumpahi pakaian Momoi.

"Mo... Nijimura-san, hati-hati dong!" bentak Momoi.

"Hahaha. Maaf-maaf."

Nijimura orang yang asyik sangat berbeda dengan Mayuzumi, Akashi berada di tempat ini berkat Nijimura yang mengundangnya. Kalau dengan Momoi Akashi baru mengenalnya beberapa hari lalu saat wanita cantik itu datang berkunjung ke apartemen Mayuzumi dan kebetulan dirinya ada di sana.

"Akashi-kun, jangan malu-malu makan saja apa yang kau mau," tutur Momoi tersenyum manis.

"Pasti."

Kemudian Nijimura menuangkan minuman ke gelas kecil Akashi dan juga gelasnya. Mengangkat tinggi sembari memberi kode. Akashi ikut mengangkat dan mereka serempak mengatakan, "kanpaiii!"

"Akashi, jangan pedulikan Mayuzumi, dia memang orang yang sangat membosankan," Nijimura berkata ketika Akashi terus menengok ke arah Mayuzumi yang tak bergerak sedikit pun. "Padahal kan ini untuk merayakan keberhasilannya."

"Mayuzumi-san, cerialah sedikit. Kau harus sesekali menikmati hidup. Bekerja keras siang malam. Sayang, lho, sudah capek-capek berjuang," Momoi ikut memberikan pendapat.

"Iya. Chihiro," Akashi menyaut. "Tidak akan merusak hidupmu hanya karena bergurau dengan yang lain."

"Diam kalian semua," saut Mayuzumi malas. "Tidak usah pedulikan aku, bersenang-senanglah sendiri."

Dan benar saja mereka bertiga bersenang-senang. Mayuzumi memilih memejamkan mata di tengah-tengah keberisikan bar. Suara ceria Akashi menggema di kepala. Ia tahu dia begitu senang, untuk malam ini tidak ada kebohongan yang dipancarkan.

"Akashi-kun," panggil Momoi. "Terima kasih, ya, sudah mau mengembalikan ponsel Mayuzumi-san."

Akashi menyipit.

"Dia dengan manusia lain saja tidak peduli apa lagi dengan benda mati. Tapi aku salut karena mau mengembalikan yang bukan milikmu."

"Sama-sama," Akashi hanya bisa menjawab sebatas itu.

"Apa kau sudah berhenti jadi pencopet. Tidak baik melakukan hal kejahatan seperti itu. Kau masih sangat muda, masih bisa mencari pekerjaan yang tidak membahayakan dan merugikan orang lain."

Kearah mana sebenarnya pembicaraan Momoi. Akashi belum merespon. Ia sedikit tidak suka dengan topik yang dibahas. Ia tak suka orang lain mencampuri urusan hidupnya, boleh saling mengenal dan berkumpul bersama tetapi membahas topik menyangkut kehidupan yang belum tentu mereka mampu menjalaninya, Akashi tak bisa mentoleransi. Mungkin niat orang dewasa menasehati, namun Akashi tidak butuh. Ia mau mereka urusi saja hidup masing-masing.

"Untung, Nijimura-san tidak menghajarmu. Dia mengerikan lho kalau marah."

"Aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu," Akashi menatap Momoi tajam dan melirik Nijimura yang mulai mabuk.

"Oh, satu lagi," ujar Momoi. "Bisakah kau menjauhi Mayuzumi-san. Aku tahu betapa terganggunya dia karena kau terus mengikuti."

"Apa?" menajamkan pendengaran.

"Jangan menjadi beban. Sebagai editor aku bertanggung jawab atas pekerjaannya. Semenjak dirimu mengikuti, Mayuzumi-san sedikit tidak produktif."

"Tapi bukankah manganya berhasil diadaptasi."

"Harusnya lebih dari itu. Kuharap kau bisa memikirkan apa yang kukatakan, Akashi-kun," Momoi tersenyum manis namun menyembunyikan segudang arti.

Kendati tidak dipikirkan Akashi merasa tertohok. Irisnya mengintip mahluk kelabu yang sedang terpejam. Orang bermarga Mayuzumi memang tak pernah menganggap arti mengganggu yang ia lakukan. Sungguh, awalnya memang tak niat akan sampai sejauh ini. Tapi Mayuzumi semakin hari semakin membuatnya jatuh cinta. Reaksi pengabaian yang ditunjukkan Mayuzumi diartikan sebagai 'sejauh mana kau bisa bertahan dan apakah kau bisa meluluhkanku'.

Cinta yang Akashi maksud bukan perasaan intim tapi lebih keambisi. Hanya ada satu banding seribu karakter seperti diri Mayuzumi. Akashi tidak mau melepaskan. Menyerah bukan jati dirinya, namun pemikiran hanyalah pemikiran yang bisa berubah kapan pun meski itu satu detik ke depan. Waktu sama dengan misteri tak bisa diubah atau pun didahului. Sekarang tekatnya melempam. Mungkin omongan Momoi ada benarnya. Dan betapa bodohnya ia sudah membuang waktu selama enampuluh hari. Sia-sia.

Mayuzumi membebaskan kelerang abu dari gelap. Pundaknya sakit kesemutan. Ia menghela napas saat tahu siapa yang menyender. "Nijimura," menghentakkan orang setengah mabuk hingga terguling. Melihat ke depan hanya ada Momoi yang sedang menikmati remah-remah makanan. "Akashi ke mana?" tak menemukan batang hidungnya di mana pun. Bertanya adalah hal yang wajar.

"Mungkin ke toilet."

Mayuzumi bangkit membawa kepalanya yang terasa mau pecah. "Pulang dualuan."

"Ehhhh! Terus Nijimura-san, bagaimana? Dia mabuk!" teriak Momoi.

Siapa yang peduli. Mau mabuk atau mati karena ulah sendiri. Mayuzumi tak ingin repot. Tetap melanjutkan langkah, jeritan cempreng Momoi mengiringi kepergian. Mereka sudah dewasa bisa mengurus tubuhnya sendiri. Seingatnya tak pernah merepotkan orang lain, jadi ia pun tak ingin direpotkan.

Bar murasakibara cukup terkenal. Pengunjungnya sangat ramai merupakan hal biasa. Dan bersyukur saja ia tidak pingsan. Cukup sekali dan tak ingin terulang. Apartemennya sudah menjadi tempat terbaik, Mayuzumi tak tertarik dengan yang lain.

Jalanan mulai sepi. Penyuka bantal mungkin sudah membuat peta pulau untuk berpetualang. Angin segar berhembus membawa aroma bunga sakura yang minggu-minggu ini sudah mulai mekar. Indra penciuman serasa dimanjakan. Sakit kepala sedikit menghilang. Dingin masuk dengan nakal melalui celah kemeja putih yang dua kacing bagian terbebas. Lengan terlinting sampai siku. Otot punggung mengecap jelas. Jakun berlarian saat empunya membasahi kerongkongan dengan sebotol air putih yang dibawa dari bar.

Bertemu dengan dua pejalan kaki. Mereka sudah pasti tak menyadari keberadaannya. Asyik mengobrol dengan emosi yang menggebu.

"Nash dan Hanamiya sudah menyeretnya ke gang yang di sana."

"Ingin kupatahkan kakinya."

"Kau tenang saja, kita bereskan malam ini juga."

"Gara-gara si keparat itu, aku jadi tidak bisa menulis lagi!"

"Kabar burungnya dia memang pencopet lihai di area sini."

"Aku sudah tahu. Bajingan tengik Akashi, pokoknya dia harus menerima cacat yang lebih dariku."

Ia tidak salah dengar? Mereka sedang membicarakan Akashi dan akan dibuat cacat? Ah, meski benar masa bodoh, resiko memang harus ditanggung. Begitulah kalau hidup jadi bulan-bulanan massa. Mempunyai musuh sana-sini. Mungkin sudah waktunya Akashi menerima kengerian sisi manusia yang pendendam. Mayuzumi tak ingin tahu dan tak ingin memikirkan sedikit pun. Mereka punya masalah yang harus diselesaikan dengan cara hukum masing-masing.

Hidup di rimba sudah pasti hukum rimba. Begitu pun dengan kehidupan yang Akashi jalani. Mayuzumi tak ambil pusing. Akashi bukan siapa-siapa yang harus dilindungi. Dan ia pun bukan siapa-siapa bagi Akashi yang harus ikut campur.

Dua orang di depannya berbelok ke kiri. Sedangkan dirinya mengambil kanan. Menuju apartemen dan ingin segera sampai untuk mengistirahatkan jiwa dan raga. Melepas lelah mengosongkan pikiran atau mencubui novel berisi karakter kesayangan.

.

"Masih kecil sudah menjadi preman," Nash meludahi wajah Akashi sembari tertawa sangat keras. "Hanamiya, kita apakan bocah ini!"

"Dibuat cacat saja, hahaha," Hanamiya menjambak rambut Akashi, "seperti dia dengan mudahnya mematahkan telunjuk Takao."

Nash menggeram, lagi-lagi meludahi Akashi. Membuang saliva bercampur darah akibat terjadi baku hantam beberapa menit lalu. "Kau boleh juga, ya."

Akashi yang telah teringkus memandang tajam ke arah Hanamiya dan Nash lalu tertawa. "Jadi kalian suruhan banci itu yang bisanya hanya keroyokan. Omong-omong di depanku juga ada dua banci," Akashi membalas Nash dengan cara yang sama, meludah tepat ke matanya.

"Bangsat!" teriak Nash. Ia mengelap dengan satu tangan dan tangan lainnya menekan leher Akashi. "Kau bosan hidup, nak?"

"Kalian lebih tua. Apa tidak malu megeroyok bocah sepertiku."

Hanamiya tersenyum iblis. "Mau tua atau bocah bagi kami tak masalah, asal dapat uang apa boleh buat. Kau juga begitu, kan?" menjedotkan kepala Akashi ke tembok dengan tidak kira-kira.

"Oi."

"Oh. Haizaki kau datang juga rupanya," Nash melepaskan cekikan dan menyambut dua orang yang datang. "Takao, kau ingin kami apakan orang ini."

Hanamiya mengangkat Akashi berdiri dan tetap menjambak brutal. Membawa ke hadapan Takao yang sudah menyewanya.

"Oh, kau sudah babak belur," kata Takao. "Mana kekuatanmu yang sok seperti waktu itu," mengeluarkan pisau mengkilat. Menarik tangan kanan Akashi dan mengelus jemari. "Kau sudah membuatku tak dapat menulis. Boleh dong jika aku membuatmu juga tak dapat memegang sumpit secara sempurna," darah segar mengucur, telunjuk dan jari tengah Akashi tergeletak ke aspal.

"Wow. Dia tidak menjerit, boleh aku tepuk tangan," oceh Haizaki.

"Oh, tidak sakit, ya," Nash kembali beraksi. Tonjokan beruntun mengenai rahang pipi yang sudah penuh noda merah.

Haizaki tak kalah menikmati, ia melepaskan tendangannya tepat ke bagian perut Akashi. "Teriaklah yang kuat bocah! Aku ingin dengar!"

Tetapi Akashi tak mengeluarkan suara sedikit pun. Sakit? Tentu saja, ia hanya manusia biasa yang memiliki indra perasa. Teriak tak teriak rasanya akan sama, yaitu sakit. Sangat sakit. Air matanya pun enggan ke luar. Akashi tak mau menangisi hal memalukan. Dirinya bisa selemah ini dipermainkan anak SMA. Pengecut bajingan yang menyewa para brandalan.

Akashi bukannya tanpa perlawanan. Ia sempat membuat Nash dan Hanamiya kalang kabut. Namun tetap saja mereka lebih unggul. Tubuh mereka besar-besar. Hanamiya memiliki beladiri yang cukup tangguh dan Nash memiliki strategi yang dibilang licik. Ia. Ia hanya mengandalkan pikiran cara bertahan hidup, tidak lebih. Harus terima kenyataan bahwa malam yang sunyi nan dingin telah menghilangkan dua jarinya.

"Rambutmu merah, bibir juga merah, anak perempuan kalah. Kulitmu juga putih," Nash membelai Akashi sambil menjilat bibir. "Takao, aku tahu bagaimana caranya membuat dia cacat segaligus trauma."

"Terserah kalian. Aku sudah membayar mahal."

Haizaki yang mengerti tabiat Nash mulai melaksanakan tugas tanpa aba-aba. "Hanamiya pegangi yang kencang, ya."

"Ohhhh, tentu saja, jangan sungkan."

Haizaki mulai meraba pinggang Akashi dan turun ke sabuk yang melingkar. "Kita telanjangi. Hahaha. Nash, kau suka lubang yang di belakang itu, kan?"

Nash Gold terbahak. "Jangan pura-pura tidak tahu hobiku. Sudah berapa lama kita saling mengenal."

Haizaki membalas tawa. "Kupersembahkan hanya untukmu. Jilati dan masuki sampai kau muncrat."

Gigi Akashi bergemeretak. Panas memenuhi sekujur tubuh saat Haizaki mulai melorotkan celananya. "ENYAHKAN TANGANMU DARI SANA!" bola beda warna menyala. Akashi menggeliat mencoba melepaskan diri, namun Hanamiya begitu kuat.

"Ooooo. Tenang dong, sayang," respon Nash. "Nanti kau bakal ketagihan, aku jamin."

Akashi meludahi wajah Nash yang datang mendekat. "KEPARAT!" celananya mulai turun sampai paha.

Pletak!

"Ukhhh, bangsat!" Haizaki mengumpat ketika kepala bagian belakangnya terlempar botol minuman yang masih berisi. "Dari mana datangnya!" berteriak. Ia menengok dan melupakan ritual.

"Tahu babi yang gemar berguling di kumbangan penuh kotorannya sendiri? Kalian lebih hina daripada itu."

"Chihiro," gumam Akashi.

Semuanya mencari sumber suara dan barulah mereka sadar kalau ada orang lain yang berdiri di sana. Nash melotot tajam. "Jangan ikut campur. Kalau mau lewat, lewat saja, aku sedang berbaik hati, atau kau ingin seperti anak ini?"

Mayuzumi mendekat santai, tatapannya tak lepas dari sosok Akashi yang sudah tak menyerupai Akashi. "Oh, tentu saja aku takut. Aku tak punya kekuatan untuk melawan kalian."

Hanamiya mulai terpancing, ia merasa diremehkan. Berkata takut dengan ekspresi biasa saja, lelucon macam apa. Pantat ayam bahkan lebih lucu.

Mayuzumi menarik Akashi dari cengkraman Hanamiya yang melemah. Mengeluarkan ponsel yang sempat ia benci karena banyak mendatangkan masalah. "Aksi kalian sudah kurekam. Pilih pergi dari sini atau berurusan dengan polisi."

Nash melayangkan kepalan dan berhasil mengenai daging di bawah mata. Mayuzumi meringis. "Kubilang aku tak punya kekuatan melawanmu," jelasnya, namun dengan cepat ia membalas dan mengenai batang hidung sehingga Nash mundur beberapa langkah. "Memang kau kira tidak sakit."

"Sialan, polisi!" teriak Haizaki yang mendengar suara sirine makin mendekat. "Kita baru ke luar penjara, aku tak mau lagi hidup di sana."

"Awas kau, ya!" Hanamiya menarik Nash untuk segera lari menyusul Haizaki. Begitu pun yang dilakukan Takao.

Saat polisi datang, Mayuzumi sebagai pelapor menunjukkan ke mana mereka harus mengejar. Dan kini tugasnya membawa Akashi ke rumah sakit. Ia sudah terlibat, tak mungkin meninggalkannya begitu saja. Mayuzumi menarik pergelangan Akashi yang entah mengapa malah mendapat tepisan.

"Pergilah," ucap Akashi.

"Bercanda? Tidak usah memperumit masalah. Ayo, ke rumah sakit," lagi ia manarik tangan kiri Akashi yang masih berjemari utuh.

Tapi lagi tepisan pun datang. Akashi tertawa ironis. "Apa pedulimu. Aku bisa mengobatinya sendiri."

Mayuzumi menyipit samar. "Tidak tahu terima kasih."

Ucapan tak enak didengar mendorong Akashi merogoh saku. Mengeluarkan sebatang rokok dari rumahnya. Darah masih menetes-netes tetap dibiarkan. Mengkombinasi jempol dan jari manis untuk menyelipkan batangan ke celah bibir, tangan kiri menyundut sukses. "Aku tak pernah menyuruhmu datang."

Mayuzumi secara langsung ikut menghirup asap yang melayang-layang di udara. Tanpa konfirmasi, ia merampas tembakau berbalut kertas putih dari mulut Akashi, sekaligus bungkus yang masih digenggam erat di tangan kiri dan melemparkan ke sembarang. "Jangan membuat waktuku terbuang sia-sia," menyeret.

Akashi meronta dan berhasil lolos dari seretan, sebaliknya mendorong Mayuzumi sampai akan hilang keseimbangan. "AKU TAK PERNAH MENYURUHMU DATANG!" berteriak, siapa tahu Mayuzumi tak mendengar kata-kata sebelumnya, jadi ia kembali tegaskan. "Pergilah. Kalau kau pikir hanya akan membuang waktumu yang berharga itu. Tak butuh. Aku tak butuh ditolong. Bisa mengurusi tubuhku sendiri. Jadi pergilah kalau kau masih punya telinga!"

Mayuzumi tertawa keras. Sungguh-sungguh dibuat tertawa. Oke, ini hal paling lucu sepanjang duapuluh lima tahun kehidupannya. Ia mengukir sejarah baru akan penyesalan. "Baru sadar betapa idiotnya harus mengikuti kata hati dan mengabaikan logikaku," tak melepaskan pandangan tajam terhadap Akashi. "Baiklah. Lagi pula kau bukan siapa-siapa. Tak seberharga itu hingga aku harus berusaha memaksamu," berbalik membelakangi Akashi dan berjalan tanpa masalah, menganggap jika hal yang telah ia lakukan sebelumnya hanya ilusi semata. Mengikuti suara hati memang tak cocok untuknya.

Akashi mengiringi punggung yang membuat jarak antara mereka semakin besar, menahan tangis lebih menyakitkan daripada kehilangan dua jari. Tenggorokan tercekat menelan ludah pun tak sanggup. Berusaha mengandalkan keras kepalanya untuk tak ada air mata yang berani mengalir ke pipi yang penuh darah mengering. Bukan pengemis blas kasihan. Ia benci orang menganggapnya lemah terlebih itu Mayuzumi.

Hingga tubuh terbungkus benang putih benar-benar lenyap dari sudut kedua iris. "Aku memang tak berharga, tidak se yen pun," gumaman yang bahkan kecoak penghuni sampah akan tertawa. "Begitulah Chihiro yang kukenal." Kalimat terakhir sebelum finalnya Akashi merasa penglihatan kabur, ada segumpalan gelap yang menelan. Terkapar. Faktanya ia memang lemah.

.

"Bagaimana?"

Si luet ber jas putih yang sangat sempurna dengan tubuh tinggi semampai dilengkapi kacamata yang menambah karisma terlihat betapa cocoknya dia dengan profesi dokter. Namun, lucky item,sebuah pita pink yang terlilit di pergelangan tangan tidak mengubah karakter jati diri sebenarnya.

"Kepalamu terbentur di mana?" lontaran sarkas Midorima kepada Mayuzumi yang dengan mimik datar tetapi penuh kekhawatiran. Tak lepas pandang dari seorang bocah babak belur yang terbaring lemah di depannya.

"Jangan memancing emosiku," Mayuzumi menjatuhkan tubuh seberat 69 kg ke sofa yang tersedia di kamar rumah sakit setelah ia memastikan jika Akashi baik-baik saja kendatipun belum sadarkan diri.

"Kau yakin tidak jatuh hati?" Midorima masih belum puas mengejek. "Menurut studi penelitian, orang yang sedang dalam keadaan jatuh hati bisa melakukan apa pun. Bahkan, dia mengesampingkan ego yang telah lama melekat."

"Kalau hatiku jatuh. Aku sudah ada di liang kubur saat ini."

Midorima mengangguk membenarkan. "Wanita atau lelaki sama aja, aku mendukung. Siapa tahu dia bisa mengubah hidupmu yang teramat sangat monoton itu."

Mayuzumi menggeram. "Ke luar. Atau vas bunga ini menyapa wajahmu."

Midorima mengedikkan bahu. "Panggil aku kalau dia sudah siuman."

"Cepatlah."

Kini Midorima benar-benar enyah dari teman yang sangat sulit untuk dimengerti pola pikirnya. Ya, setidaknya es itu sedikit demi sedikit mulai mencair. Ia akan menantikan episode terseru dalam kehidupan Mayuzumi setelah ini.

Mayuzumi beringsut kembali menatap Akashi. Kelopak tertutup. Jarum menusuk kulit. Cairan infus dengan konstan menetes. Lebam menghiasai wajah. Jari buntung terperban. Semua itu menarik Mayuzumi untuk mendekatkan kepala dan mendaratkan bibir dinginnya di atas helaian merah.

Jangan terus mengujiku, Akashi.

...

END

...

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca. Peluk cium,

MayuAka-Zoka