A/N: Konnichiwa Minna-san~ Ini fic pertama Ruvi di fandom Hetalia, jadi mohon kerjasamanya ^^
Listening to: iNSaNiTY by SFA2-Miki and Kaito
Watching: Hetalia AMV – iNSaNiTY
HELLTALIA
Hetalia © Hidekaz Himaruya
Helltalia © Ruvina no Ookami Hime
Inspired by: Suspicious Sentiment © Owl7498
Warning: Character death every chapter, probably violence and bloody scenes.
Foul language, and a lot of foreign languages.
Don't like, Don't read!
~.~
FIRST PHASE – FASE PERTAMA
{The Wolf in Sheep's Clothing – Sang Serigala Berbulu Domba}
~.~
CHAPTER 1
[Where Everything Starts – Di mana Semuanya Berawal]
~.~
.
"... dan itu mengakhiri rapat kita kali ini." Kata Germany sambil membereskan kertas-kertas di mejanya.
Semua orang menghembuskan napas lega begitu tahu rapat mereka telah selesai. Saat ini para nation sedang berada di Alaska, di sebuah vila yang baru dibeli America dari Russia. Udara di tempat itu begitu dingin, belum lagi di luar sedang terjadi badai salju yang lebat.
"Badainya, seperti, tak akan berhenti dalam waktu dekat." Kata Poland sambil mengintip ke luar jendela.
"Apa itu artinya kita tak bisa pulang?" Tanya Latvia khawatir. Dia tak ingin terjebak lebih lama lagi dengan Russia yang terus-menerus menghantuinya dengan aura gelapnya.
"Hari ini juga sudah larut. Kurasa sebaiknya kita menetap di sini untuk malam ini." Usul Swiss.
"Aku setuju dengan Swiss. Sepertinya kita harus menginap di sini malam ini." Kata Germany.
Terdengar gumaman protes dari yang lain. Germany hanya bisa menghembuskan napas panjang. Dia tahu jadinya akan begini.
"Oi, America! Apa di sini ada cukup ruangan untuk semuanya?" Tanya Germany pada America yang sedang sibuk mengobrol dengan Japan.
"Eh? Aku tidak tahu, ini baru kedua kalinya aku ke sini. Kenapa tidak kau lihat saja sendiri?" Tanya America tak peduli.
Germany hanya bisa sweatdrop mendengar kata-kata personifikasi negara adidaya tersebut. Mereka sedang terdampar di vilanya, dan dia masih belum bisa membaca keadaan di saat genting seperti ini.
"Ne, ne, Doitsu... Aku akan menemanimu berkeliling, ve~" Kata Italy sambil melingkarkan tangannya di lengan Germany.
"Kalau begitu aku juga akan menemani Italy dan West." Kata Prussia sambil menepuk bahu Germany.
"Eh, yah... Baiklah. Ayo kita jalan." Kata Germany sambil berjalan keluar dari aula melalui pintu di belakang mereka.
.
Ternyata lantai 2 rumah itu terbagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat dan timur. Di kedua bagian itu terdapat cukup banyak kamar kosong, seakan-akan America telah mempersiapkan seandainya mereka terpaksa menginap di tempat itu. Sayangnya setelah dihitung lagi, jumlah kamar yang ada tidak mencukupi kebutuhan para nation yang berjumlah lebih dari 30 itu. Mau tak mau, beberapa dari mereka harus rela berbagi kamar.
"... Begitulah." Kata Germany mengumumkan hasil temuannya pada para nation yang lain.
Terdengar gumaman protes lagi. Kelihatannya tak semua orang mau membagi privasi mereka dengan orang lain.
"Tapi kita boleh memilih kamar yang mana saja, kan?" Tanya England sambil menutup buku yang dibacanya.
"Yah, asalkan aku tidak sekamar dengan England, aku rela berbagi kamar dengan siapa pun..." Kata France sambil tebar pesona.
"Siapa juga yang yang mau sekamar denganmu, you bloody git!" Protes England.
"Apa katamu? Kau—"
DUAK!
DUAK!
Dua pukulan dari penggorengan Hungary sukses membuat kedua orang yang mengaku rival itu mengerang kesakitan dan menghentikan pertarungan kecil mereka.
"Terima kasih, Hungary." Kata Germany yang dibalas senyuman manis dari gadis tomboy itu.
"Sekarang kalian boleh memilih kamar kalian masing-masing. Kita akan berkumpul lagi di sini besok pagi, semoga badainya sudah berhenti ketika itu dan kita semua bisa pulang. Bubar." Kata Germany.
Beberapa menit setelah itu diisi dengan kegiatan mencari kamar dan teman sekamar, yang sedikit-banyak menciptakan pertengkaran-pertengkaran kecil.
Yah, hasil akhirnya kira-kira begini:
Swiss langsung menarik Liectenstein bersamanya, Lithuania, Estonia, dan Latvia memutuskan untuk tidur bersama, tapi pada akhirnya Lithuania dibawa kabur oleh Poland, Belarus yang mengincar sekamar dengan Russia ditarik Ukraine menjauh, Netherlands mau tak mau harus sekamar dengan Belgium, Romano juga terpaksa sekamar dengan Spain, Seychelles memutuskan untuk mengajak Sealand dengannya, Hong Kong tidur dengan Taiwan, dan Germany pun berbagi kamar dengan Italy.
Pada akhirnya semua orang berhasil tidur dengan tenang di kamarnya masing-masing, melupakan kenyataan bahwa mereka sedang terdampar di tengah pegunungan salju. Semuanya, kecuali satu.
Satu orang yang tak tidur ini berjalan pelan menuruni sebuah tangga batu, menimbulkan bunyi menggema setiap kali dia melangkah. Bibirnya menyunggingkan senyuman lebar ketika dia menemukan apa yang dicarinya.
.
Cklek!
Mati lampu.
Orang yang pertama kali menyadarinya adalah England, yang masih sibuk membaca buku yang dibawanya tadi. Dia sedang berada di bagian klimaks dari cerita tersebut ketika lampu tidur di sebelahnya mati. Sambil menggerutu England pun meletakkan bukunya di atas tempat tidur, lalu berjalan dengan kesal keluar dari kamarnya.
Seperti yang ia duga, lampu di koridor juga ikut mati. Dari ujung ke ujung yang bisa dilihatnya hanya kegelapan yang mencekam, membuat semua orang yang mungkin berada di posisi England langsung mengurungkan niatnya untuk keluar dan menyelidiki apa yang terjadi.
Tapi tidak dengan mantan bajak laut paling hebat di dunia ini. Tidak ada yang ditakuti oleh England, apalagi hanya kegelapan seperti ini. Jadi dia menyusuri koridor itu perlahan sambil berusaha untuk tidak tersandung apapun di bawahnya.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka di belakangnya, dan sebuah cahaya lampu senter langsung menerpa punggungnya.
"England!" Seru sebuah suara di belakangnya.
England mengenali suara itu dan berbalik. Di belakangnya berdiri Lithuania yang sedang memegang senter ke arahnya, sepertinya dia juga menyadari mati lampu yang terjadi. England mengenal Lithuania karena dia pernah bekerja di rumah America, tapi mereka tidak bisa dibilang kenal terlalu dekat.
"Kau bangun dari tadi?" Tanya Lithuania sambil berjalan di samping England.
"Aku sedang membaca buku ketika tadi tiba-tiba mati lampu. Padahal aku sedang berada di bagian paling serunya! Sial!" Gerutu England.
"Ah, England..." Lithuania berusaha menenangkan England yang mulai mengeluarkan bahasa khasnya.
Mereka sudah sampai di depan tangga ketika tiba-tiba saja lampu di sekitar mereka menyala, membuat sekeliling mereka mendadak menjadi terang-benderang. Sambil berusaha menyesuaikan matanya dengan cahaya, Lithuania mematikan senternya dan menyimpan benda kecil itu di sakunya lagi.
"Lampunya sudah menyala, apa sebaiknya kita kembali ke kamar masing-masing?" Tanya Lithuania.
"Entahlah. Aku mau mengecek ke bawah dulu. Aku punya firasat tidak enak..." Kata England sambil mulai menuruni tangga.
"Ah, tunggu England—" England telah menghilang dari pandangannya sebelum Lithuania sempat menyelesaikan ucapannya.
Setelah berdebat dengan dirinya sendiri, Lithuania pun memutuskan untuk mengejar England. Di lantai bawah terlihat beberapa orang tengah berkumpul, sepertinya bukan mereka satu-satunya orang yang terbangun karena mati lampu tersebut. Japan, Germany, America, Swiss, dan Liechtenstein terlihat berdiri mengelilingi pintu depan, sepertinya sedang memperhatikan sesuatu.
"Hey, apa yang sedang kalian lakukan?" Tanya England yang baru tiba.
Melihat England berjalan menghampiri mereka, kumpulan nation tersbut menyingkir dan memperlihatkan secarik kertas yang sepertinya ditempel ke pintu depan pada England dan Lithuania.
~.~
~Welcome to the Ultimate Survival Game~
Kalian terjebak di dalam vila di tengah badai salju lebat dan semua jalan keluar telah dikunci,
Di tengah-tengah kalian ada seekor 'serigala' yang diam-diam mengincar mangsanya,
Bisakah kalian menemukan sang 'serigala' dan membunuhnya sebelum terlambat?
~Selamat berburu, wahai para domba yang manis~
~.~
"Jangan bilang kalian mempercayai isi kertas ini?" Tanya England dengan nada meremehkan.
"Itulah yang sebenarnya sedang kami bahas." Kata Swiss tenang.
"Semua pintu keluar tiba-tiba tak bisa dibuka, begitu pula dengan jendelanya. Aku sudah mencoba semua kunci yang kutemukan, tapi entah mengapa tetap tidak mau terbuka." Kata America.
Suasana mendadak hening ketika semua orang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tak ada yang bicara selama beberapa menit, mereka hanya diam sambil menatap selembar kertas putih di hadapan mereka.
"Eh? Apa ini?" Lithuania membalik kertas itu, memperlihatkan tulisan-tulisan lain.
~.~
Gladiator yang sedang bertarung, pada akhirnya akan mati juga.
~.~
"Apa ini... teka-teki?" Tanya Japan.
"Sepertinya." Kata England sambil meneliti sebaris kalimat itu.
"Gladiator? Dan mati di sini maksudnya...?" Tanya America.
"Tunggu dulu... Negara yang identik dengan gladiator adalah—"
"... Greece?" Tanya Liechtenstein memotong ucapan Germany.
"Greece? Betul juga. Tapi, ada apa dengan Greece?" Tanya Lithuania tak mengerti.
Semua orang saling bertatapan satu sama lain, mencoba mencari tahu jawabannya.
Tapi mereka tidak perlu mencari tahu terlalu lama, karena teriakan Romano beberapa detik kemudian langsung menjawab pertanyaan mereka.
.
.
.
"Apa yang terjadi?" Tanya England yang lebih dulu sampai di atas.
Teriakan Romano kelihatannya membangunkan hampir semua orang di vila itu, yang langsung berkumpul di tempat kejadian perkara. Germany menyuruh semua orang menyingkir, dan akhirnya dia melihat apa yang membuat seorang Romano berteriak.
Greece, terduduk di lantai sambil bersandar pada dinding dengan wajah dan pakaian berlumuran darah. Kedua matanya tertutup seakan-akan dia tertidur, tapi kulitnya mulai memucat, tanda bahwa dia sudah lama tak bernyawa.
Penyebab kematiannya jelas adalah luka di dahinya yang disebabkan oleh benturan keras ke kepalanya. Hal itu membuat benda keras apa saja bisa dijadikan senjata. Banyaknya darah mengalir di wajah dan pakaiannya menandakan bahwa dia mati kehabisan darah, sebuah kematian yang lambat dan menyiksa jika dia memang sadar ketika itu.
Di sudut ruangan terlihat Spain sedang menenangkan Romano yang sepertinya shock. Jelas saja, tak ada seorang pun yang mengharapkan adanya seorang pembunuh yang tiba-tiba muncul di vila tempat mereka terpaksa tinggal.
"Aku mau pulang! Aku tidak mau terus berada di sini!" Seru Taiwan ketakutan sambil berlari kembali ke kamarnya. Hong Kong terlihat mengejarnya tak lama kemudian.
Tentu, semua orang juga menginginkan hal itu. Siapa orang gila yang mau tinggal lebih lama di tempat itu ketika mereka tahu ada pembunuh mengintai di dekat mereka?
"Tapi... apa nation seperti kita benar-benar bisa mati?" Tanya Finland tiba-tiba, membuat semua orang kembali berpikir dua kali mengenai hal itu.
"Kita nation memang hidup abadi, tapi tak ada yang bilang kita tak bisa mati." Kata Austria yang tetap terlihat tenang.
"Contohnya, Ancient Rome... Atau Holy Rom—"
"Berhenti! Tidakkah kau melihat betapa takutnya Italy?" Seru Hungary kesal.
Semua orang mengalihkan pandangan mereka pada Italy, yang terlihat begitu ketakutan seperti kakaknya. Mungkin dialah yang paling banyak melihat kematian nation terdekatnya, dan mengingat hal itu pasti akan memberikan mimpi buruk baginya. Hungary memeluk Italy dengan erat, mencoba menenangkan pecinta pasta itu.
Sementara itu Japan sibuk memeriksa seisi ruangan, mencari petunjuk kematian Greece. Selain Turkey, mungkin dia adalah orang terdekat bagi Greece. Entah mengapa Japan merasa punya kewajiban untuk menyelidiki pembunuhnya. Dia ingin membalas dendam kematian sahabatnya itu.
Tiba-tiba Japan melihat sesuatu di bawah tempat tidur dan langsung menariknya keluar. Sebuah botol anggur. Bagian bawahnya pecah dan isinya sudah tumpah entah ke mana. Japan memperlihatkan hal itu pada America.
"Hmm... botol anggur? Di bawah ada banyak botol anggur, mungkin pembunuhnya mengambil itu dari dapur?" Begitulah reaksi America.
Japan memperhatikan botol anggur itu lagi baik-baik. Pelakunya mengambil botol anggur itu dari dapur, berarti setidaknya si pelaku mengerti denah sederhana vila tersebut. Padahal ini pertama kalinya mereka datang ke vila itu. Kecuali untuk Russia dan America...
.
"Eh? Kan tadi sudah kubilang, aku belum pernah menyelidiki tempat ini sebelumnya. Aku baru saja membelinya dari Russia, dan aku hanya membereskan ruang depannya saja. Memangnya kenapa?" Jawab America begitu ditanya.
Itu benar, tadi America juga mengaku bahwa dia tidak tahu jumlah kamar di vilanya. Sekarang gantian Japan bertanya pada Russia.
"Tempat ini, da? Aku menemukannya begitu saja ketika sedang mendaki gunung. Kulihat tempat ini cukup bagus, lagipula tak ada penghuninya, jadi kuambil saja, da." Kata Russia.
"Itu artinya kau tahu denah tempat ini?" Tanya Japan lagi.
"Hmm... Hmm... Hmm... Kira-kira begitulah, da." Jawab Russia dengan singkat, padat, dan jelas, walau agak tak meyakinkan.
Jawaban tersebut membuat Russia menjadi tersangka utama untuk saat ini, walau siapapun juga mungkin tak sengaja menemukan dapur dan memutuskan untuk menggunakan botol anggur itu sebagai senjata. Tapi kenapa harus botol anggur?
"Japan, kau tidur sendiri, kan?" Tanya Germany sambil menepuk pundak Japan, membuyarkan lamunannya.
"Ah, iya. Ada apa?" Tanya Japan.
"Kami memutuskan untuk mengubah posisi kamar sehingga tak ada yang tidur sendiri. Jika apa yang tertulis di kertas itu memang benar, maka kita harus waspada. Harus ada yang mengawasi ketika yang lain tidur." Jelas Germany.
Japan mengangguk tanda mengerti. Dia telah menyerahkan hasil penemuannya pada yang lain, dan orang-orang juga sudah diperlihatkan kertas yang tadi mereka temukan. Seperti yang dia duga, kepanikan langsung memuncak ketika orang-orang tahu bahwa mereka terjebak di tempat itu bersama seorang pembunuh berdarah dingin, yang sebenarnya adalah salah satu dari mereka sendiri.
Setelah diberi pengarahan, orang-orang bergegas menuju kamar mereka yang baru. Namun karena kini jumlahnya ganjil, ada satu kamar yang diisi tiga orang. Kamar itu adalah kamar yang ditempati oleh Denmark, Norway, dan Iceland. Sebenarnya tidak ada masalah yang berarti, mereka juga kadang tidur bertiga di rumah Denmark karena rumahnya lah yang paling besar.
Jadi setelah sebagian besar orang kembali ke kamar mereka, termasuk Spain yang masih terus menempel pada Romano, tinggallah sekelompok kecil nation yang memutuskan untuk membersihkan bekas-bekas kejadian yang terjadi. Sebenarnya tak banyak juga yang bisa mereka lakukan. Mereka tak berani mengubah posisi barang-barang di situ, takut perubahan kecil akan menghilangkan petunjuk penting yang akan merujuk pada pembunuhnya.
Yang mereka lakukan hanya menutupi jasad Greece yang terlihat begitu damai dengan selimutnya yang masih terlipat rapi di atas tempat tidur. Selepas itu mereka memutuskan untuk kembali ke kamar masing-masing, tanpa menyadari bahwa pembunuhnya ada di antara mereka, berjalan dengan tenang layaknya seekor serigala yang mengenakan bulu domba.
.
To be continued...
A/N: Gimana? Hehe, Ruvi suka ending-nya, kesannya gimanaaa gitu ^^
Dan maafkan titik-titik tak jelas di tengah-tengah itu, soalnya kalo nggak dikasih titik malah jadi dempet semua.
Kritik dan saran diterima dengan amat sangat, Ruvi masih Author yang berkembang kok. Kalau ada pertanyaan silakan, akan Ruvi jawab sebisa mungkin. Request atau ngasih ide apapun juga boleh, nanti kalo cocok Ruvi masukin. Btw, adakah yang sudah bisa menebak pelakunya? Ruvi bakal ngasih hint kok dikit-dikit. Nanti kalo ketebak Ruvi kasih permen!
Saa, Review please?
