Busan, 10.00pm

Seorang namja yang berkulit putih tersebut menyusuri tepian jalan kota Busan dengan cepat. Ia benamkan wajahnya kedalam syal abu-abu yang melilit lehernya. Berjalan ditengah udara yang bersuhu -7derjat celcius itu memang sangat dingin. tapi tidak bagi namja tersebut. dibalik syal abu-abu yang menyembunyikan wajahnya, terdapat dua mata merah dan sembab. Mata itu tak henti-hentinya mengalirkan cairan bening seperti Kristal. Wajahnya terasa panas. Tapi ia dapat merasakan tulang-tulangnya menggigil. Dingin yang menusuk.

Tanpa mempedulikan kemana jalan ini akan membawanya, kakinya terus melangkah sigap. Seolah ia sangat yakin akan kemana ia pergi. Tapi tetap saja, ia masih tidak tahu dimana dia akan berhenti. Lelah, itu yang ia rasakan sekarang. Kaki-kakinya terasa membeku walaupun ia sudah memakai kaus kaki yang tebal. Ia mendongak melihat keadaan sekitar, memastikan posisinya sekarang. Tapi pandangannya menyusuri tempat disekelilingnya, matanya langsung tertuju pada satu titik.

Sebuah taman yang tidak terlalu luas, tapi terlihat sangat nyaman. Tempat bermainnya waktu kecil. Dulu taman itu mempunyai sangat banyak pohon dan hijau. Suara canda tawa antara anak dan orang tuanya masih jelas terekam dalam memori otak namja itu. Bebas. Mungkin itulah yang ia suka dari masa kecilnya. Ia bebas melakukan apapun yang ia mau. Seperti contohnya pipis dicelana.

Kalau dulu waktu dia kecil, orang-orang menganggap wajar jika dia pipis dicelana. Coba saja sekarang ini dia masih tetap pipis dicelana, semua orang akan menertawakannya, bukan? Seulas senyum terlukis dibibir namja tersebut saat mengenang masa lalunya.

Kini ia berjalan kearah taman itu. Taman tersebut tampak sangat berbanding terbalik dengan bayangan taman masa kecilnya. Kali ini taman itu tampak gelap, dengan lampu taman yang sudah redup. Salju-salju yang sudah turunpun menyembunyikan kehijauan dari taman tersebut. yang ada sekarang hanyalah taman sepi yang gelap, dan terlihat putih pucat tak berwarna. Sama persis seperti perasaannya sekarang.

Langkahnya berjalan gontai kearah salah satu ayunan. Ia bersihkan beberapa salju yang menempel diayunan tersebut dan mulai mendudukinya. Suara decitan dari ayunan saat namja itu mendudukinya menandakan bahwa ayunan itu memiliki umur yang cukup tua, tapi masih tetap kokoh dan dapat digunakan oleh namja yang berumur sekitar 20-an.

Diatas ayunan tua itu, ia merenung. Apa salahnya? Kenapa dia bisa mendapatkan hal tambah mempersulit hidupnya? Bibirnya bergetar. Ia perlu teman bicara sekarng. Diraihnya Handphone yang ada pada saku jaketnya sembari memencet sebuah nomor. Ia arahkan ponsel itu kearah telinganya. Nada sambung masih terdengar jelas ditelinga namja tersebut, sampai akhirnya nada itu digantikan dengan suara berat namun lembut

"Wooyoung-ah, apa yang sebenarnya sedang terjadi?" seru namja diseberang ponsel tersebut. suaranya sangat tenang, tapi wooyoung bersumpah bahwa ada nada panic ditengah ketenangannya. Jang Wooyoung mematung. Tak sepatah katapun dapat keluar dari bibir mungilnya.

"Jang Wooyoung, apakah mereka mempermasalahkan tentang 'keistimewaanmu'?" seru namja itu lagi. Tapi kali ini kata-kata namja itu seolah menampar wooyoung. Bagaimana bisa namja itu tetap mengatakan bahwa hal ini adalah sebuah 'keistimewaan'? padahal sudah sangat jelas bahwa ini bencana yang sangat besar dalam kehidupannya. Bibir Wooyoungpun bergetar, ia tak dapat lagi membendung isak tangisnya. Badannya bergetar hebat mengeluarkan semua tangis yang telah ia bending selama ini

"Sudahlah wooyoung-ah. Kau tahu kan bahwa kau memiliki aku disisimu? Dan aku akan tetap terus disampingmu" ujar namja itu sekali lagi. Ia dapat merasakan kesedihan yang menggerogoti Wooyoung. Walaupun tak merasakan langsung, tapi namja itu yakin, ini adalah puncak titik lemah seorang Jang Wooyoung.

"Junho-ah…" lirih wooyoung di sela tangisnya yang makin membuncah. malam itu hanya ia habiskan untuk menangis tanpa menceritakan apapun kepada Junho. Ntah sudah berapa banyak airmata kah yang ia tumpahkan malam itu. Bahkan ia merasa mungkin sebentar lagi airmatanya itu akan habis. Junho pun bersikap cukup dewasa untuk tidak mendesak wooyoung bercerita sepenuhnya. Dalam sepinya malam, Junho pun kembali melanjutkan perkataannya

"Kau bisa tinggal di Seoul bersamaku Wooyoung-ah. Ya walaupun apartemenku tak seluas rumahmu yang diBusan, tapi aku akan berusaha membuatmu nyaman, dan aku pikir untuk sementara waktu ini, kau lebih baik tinggal di Seoul daripada di Busan," Junho berusaha berbicara selembut mungkin. Itu salah satu caranya untuk menenangkan wooyoung. Sementara disebuah taman disalah satu kota Busan, wooyoung menanggapi tawaran itu dengan sebuah anggukan, meski tak yakin apakah Junho bisa merasakah ia mengangguk atau tidak. Malam semakin larut dan dingin. begitu pula hati seorang Jang Wooyoung, makin tenggelam kedalam sebuah kolam dingin tanpa ada satupun yang dapat menyelamatkannya. Sampai kapankah ia menunggu seseorang yang akan menyelamatkan hatinya? Apakah ia harus menunggu sampai hati itu terlanjur tenggelam dan membeku?

Seoul, 08.00am

Meja makan sudah tertata rapi dengan berbagi macam makanan disana. Lee Junho melepaskan celemeknya dan berjalan menuju sebuah kamar. Disana, Jang Wooyoung tengah tertidur pulas dengan wajah yang sangat letih. Junho tak tega untuk membangunkannya. Semalam, saat mendengar tangis Wooyoung yang tak kunjung berhenting, ia berinisiatif untuk langsung menjemput Junho ke Busan. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan wooyoung saat itu. Benar saja, ketika Junho sampai ke taman tempat wooyoung berada, ia bisa melihat wajah wooyoung sangat pucat dengan mata yang merah. Kedua warna itu beradu sangat kontras. Tubuh kecil wooyoung juga menggigil menahan dinginnya malam yang begitu menusuk. Tapi seulas senyum tipis ia paksakan keluar untuk menyambut Junho, seraya berkata lirih

"Jeongmal Gumawo junho-ah" suara wooyoung yang pelan dan serak seakan menusuk ulu hati junho. Bagaimana bisa sahabat dekatnya yang dulu sangat periang menjadi seperti ini? Kehidupan memang kejam.

Junho berjalan menuju kasur wooyoung. Diperhatikannya setiap lekuk wajah wooyoung, samar-samar terdapat jejak bekas airmata kering disana. Junho menghela nafas berat, dipukul pelannya bahu wooyoung mengisyaratkan agar wooyoung tetap terus kuat. Agak lama junho mematung tetap memperhatikan wooyoung sampai akhirny ia mulai beranjak pergi. Tapi, ada sebuah tangan yang menarik tangannya hingga junho terduduk lagi di kasur tersebut. si pemilik tangan tersebut ada Jang Wooyoung. Matanya masih terus terpenjam seakan ia tidur, tapi tak lama kemudian, ia mulai membuka mulutnya

"Jangan tinggalkan aku seperti mereka meninggalkanku, junho-ah"

"Kau tahu aku tidak mungkin melakukan itu wooyoung-ah" ujar junho seraya menatap wooyoung. Sahabatnya ini kembali terlelap sambil tetap terus memegang pergelangan tangannya.

Junho penasaran dengan apa yang sudah terjadi pada wooyoung

"Jadi mereka mengusirmu karena mereka tidak tahan diganggu oleh hantu-hantu tersebut?" ucap Junho menarik kesimpulan atas pembicaraannya dengan wooyoung barusan.

"nde, mereka bilang aku hanyalah anak pembawa sial yang selalu membawa bencana ditengah rumah" jawab wooyoung sembari menggigit bibir bawahnya. Tak ada reaksi dari junho, wooyoung pun melanjutkan ucapannya

"padahal bukan mau ku terlahir seperti ini! Aku juga ingin hidup normal tanpa terus didatangi roh-roh orang yang sudah meninggal! Mereka selalu datang menemuiku. Memang mereka tidak memberikan gangguan yang berarti, tapi tetap saja, hal itu membuat orang-orang disekitarku ketakutan melihatku," ujar wooyoung lirih

"wooyoung-ah, memangnya apa yang roh-roh itu inginkan darimu?" Tanya junho kembali

"aku rasa mereka hanya menginginkan bantuanku. Hanya roh orang-orang yang pada saat meninggal, jasadnya tidak ditemukanlah yang datang padaku. Tapi kadang ada juga beberapa yang datang tanpa alasan yang jelas. Aku lelah junho-ah" kini wooyoung mulai menarik nafas panjang dan bersandar di sofa empuk milik junho.

"tenanglah wooyoung-ah, aku yakin ini akan segera berakhir," ucap junho sembari memberikan tepukan ringan pada pundak wooyoung

"tapi sampai kapan?" pertanyaan terakhir wooyoung akhirnya dapat membuat mereka berdua membisu. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

.

.

.

.

"Hyung, bantulah aku. Kau tahu kan, ini sangat tidak adil! Setidaknya biarkan aku beristirahat untuk malam ini. Sudah sekitar seminggu ini aku hanya tidur 3 jam tiap malam! Aku bukan sebuah robot, hyung!" ucap Nickhun terdengar memohon tapi sedikit marah. Ah, bagaimana bisa manager nya sendiri tidak memperhatikan kondisinya yang lelah sekarang?

Dalam hati, Nickhun mengumpat sendiri.

"Nickhun-ssi, kau itu seorang bintang! Kau seorang superstar! Kau tentu tidak bisa mengecewakan para fans mu jika tau tak hadir pada acara fan-sign malam ini. Kau tahu, mereka pasti akan kecewa padamu"

"tapi aku tetap seorang manusia hyung! Dan aku yakin, mereka akan lebih kecewa padaku jika nanti aku terbaring dirumah sakit dalam waktu yang cukup lama dan tidak dapat menghibur mereka" ucap Nickhun dengan emosi yang sudah meledak.

Ia sudah muak dengan semua ini. Setelah mengatakan hal itu, Nickhun pun berjalan kearah pintu keluar hendak melarikan diri. "Aku tidak akan datang pada acara tersebut, hyung!" itulah kata-kata terakhir Nickhun sebelum akhirnya ia membanting pintu dan menghasilkan bunyi yang cukup keras. Sang maneger hanya dapat menghembuskan nafas panjang melihat tingkah artisnya tersebut.

.

.

.

.

"Taecyeon-ah, apakah Nickhun benar-benar tidak akan menghadiri acara fan-sign kita?" Tanya seorang namja yang bernama Kim Junsu tersebut.

"Begitulah Junsu-ah. Tetapi kita juga tak bisa memaksa anak itu, dia pasti sudah sangat lelah," ujar Taecyeon sambil merapikan dasinya menghadap ke cermin.

"Ya, kau benar. Diantara kita semua, dialah yang sangat bekerja keras dalam Drama terbaru ini. Tetapi jadinya kita hanya pergi berdua kan? Mungkin akan amat sepi jadinya kalau tidak ada Nickhun," desah Junsu pelan

Taecyeon yang sedari tadi focus dengan dasinya, kini berbalik kebelakang memandang Junsu dengan sebuah senyuman aneh, "Ya, kau benar Junnie, kita hanya akan pergi berdua,"

Junsu yang masih mencoba mencerna kalimat Taecyeon hanya dapat mematung. Tapi tiba-tiba saja, Taecyeon keluar dari ruangan yang sedang mereka tempati lalu bersorak dengan suara yang keras

"Hyung! Aku nanti pergi ke acara fan-sign itu berdua dengan Junsu saja, ya? Kau tidak perlu ikut mengantar," ucap Taecyeon kepada manager nya

"Tapi Taecyeon-ssi, kau ti-" belum sempat sang manager melanjutkan kalimatnya, Taecyeon pun memotong

"Ah hyung, aku tahu kau sangat lelah, bukan? Kau bisa istirahat saja disini. Lagipula acara fan-sign itu kan tidak terlalu lama kok. Aku juga ingin berbincang-bincang dengan Junsu mengenai Drama kami tanpa diganggu siapapun," ujar Taecyeon panjang lebar

"Arraseo arraseo, aku memang lelah Taecyeong-ssi. Baiklah, kau boleh pergi berdua saja dengan Junsu. Tapi ingat, jangan membuat kekacauan!" ancam manager nya

"Baiklah, hyung" jawab Taecyeon dengan sebuah nada puas. Tak berapa lama kemudian, Taec pun kembali masuk kedalam ruangan tempatnya bersama Junsu tadi. Ia melihat Junsu hanya tertegun melihat pembicaraan Taec dan managernya. Taecyeon pun memberikan sebuah kedipan maut kepada junsu untuk menggodanya

"Ya! Dasar kau anak nakal Ok Taecyeon!" ujar Junsu sambil melempar boneka pandanya. Tak dapat dipungkiri, wajahnya sekarang sudah sangat merah, dan kali ini ia tak dapat membendung senyumnya lagi. Taecyeon hanya terkekeh melihat Junsu yang sudah salah tingkah seperti itu

.

.

.

.

"Junho-ya, aku mau keluar sebentar, ya" ucap wooyoung sambil memasang mantel tebalnya.

"Kau mau kemana wooyoung-ah?" Tanya junho dengan alis yang berkerut

"Aku hanya ingin mencari udara segar, lagipula aku juga ingin menenangkan pikiran," jawab Wooyoung

"Malam-malam begini? Tidakkah sebaiknya kau tunggu besok pagi dulu?"

"Tidak Junho. Kau tak perlu mengkhawatirkan ku seperti itu, aku bisa jaga diri,"

"Tapi Wooyoung-ah.." ujar Junho sambil menggigit bibir bawahnya. Jujur saja, dia memang sangat mengkhawatirkan kondisi Wooyoung yang terlihat masih down.

"Aku baik-baik saja, sungguh." Balas wooyoung meyakinkan junho. Mau tak mau junho pun membiarkan wooyoung pergi. Toh ini untuk kebaikan wooyoung juga.

Pintu berdecit menandakan wooyoung baru saja menutup pintu dan telah pergi keluar. Junho tetap sibuk berkutat dengan laptopnya dan beberapa soal-soal yang cukup rumit. Selang beberapa saat, suara bel pun berbunyi, "ah, pasti wooyoung. Mungkin saja barangnya ada yang tertinggal"

Junho pun bergegas menuju kearah pintu dan membukanya

"Ada yang ketinggalan ya-" belum sempat junho melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba saja tubuhnya terasa membeku

"…Hwang Chansung?"

.

.

.

.

"Aish, apa dia pikir kalau aku tidak berani kabur, hah? Aku juga berhak untuk mengatur hidupku. Aku tentu mempunyai rasa lelah. Memangnya mereka pikir aku robot yang dapat terus-terusan beraktivitan tanpa merasa lelah? Aku lelah. Lelah lelah!" omel Nickhun sambil terus melangkah menyusuri sebuah taman di kota Seoul.

Taman itu terlihat sepi, itu sebabnya Nickhun memilih tempat itu sebagai tempat pelariannya. Jujur saja, ia agak kurang nyaman jika berada di tempat yang terlalu ramai. Tapi walaupun tempat itu sepi, ia tetap harus menyamarkan wajahnya. Syal nya yang berwarna putih menutupi bagian leher sampai bawah mulutnya, kacamatanya yang cukup besar juga dapat menyamarkan mata bulatnya. Sedangnya topi hitamnya pun dapat menutupi rambut coklatnya yang halus.

Tetapi tiba-tiba saja, ocehan dan langkah kaki Nickhun terhenti. Ia mengamati seorang namja yang kelihatan chubby sedang duduk disebuah ayunan.

Tidak,tidak. Ia kelihatan tidak seperi sedang menelpon. Ia juga sendirian. Tidak ada siapapu disekitarnya. Nickhun menyipitkan mata mencoba memandang namja itu lebih dalam.

Tapi kenapa dia berbicara sendiri?

.

.

.

.

"Junnie, kau kenapa dia saja daritadi?" Tanya Taecyeon dibalik stir kemudi

"Ani, gwenchana," jawab junsu yang masih saja sibuk mengemut permennya. Taec melihat sebuah gelagat aneh dari Junsu

"Benarkah? Kalau begitu, adakah sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku? Kau kan tahu kita jarang mempunyai waktu berdua seperti ini," desah Taecyeon

"Aku rasa tidak ada," ujar junsu sambil menerawang, "Bagaimana denganmu?" Lanjutnya kemudian. Taecyeonpun membanting stir ke tepi jalan dan me-rem mobil dengan cepat dan sangat mendadak

"Ya! Ok Taecyeon, kenapa nge-rem mendadak seperti itu? Itu kan sangat berbahaya," Junsu yang masih terkejut akan kejadian itu, menoleh kepada Taecyeon. Tapi yang ia dapati adalah Taecyeon merunduk sangat dalam dan tidak bergeming.

"Taec, gwenchana?" Tanya Junsu lembut. Ia berusaha mengeluarkan nada suara setenang mungkin, meski sangat cemas dengan apa yang terjadi dengan Taecyeon

"Bersabarlah," satu kata itu tiba-tiba saja keluar dari mulut Taec

"A-apa?" Tanya junsu gugup seakan tau kemana arah pembicaraan. Taecyeonpun mengangkat wajahnya dan menatap lekat-lekat mata junsu.

"Bersabarlah, suatu hari nanti, pasti akan tiba saatnya dimana kita tidak akan lagi menutupi hubungan kita didepan publik," ujar Taecyeon lirih sambil meletakkan tangannya dipipi junsu. Ia dekat wajahnya ke wajah Junsu. Degup kencang jantung mereka berdua seakan tengah berpacu. Hingga akhirnya hidung mereka pun bersentuhan

"Bersabarlah Junnie, ini tidak akan lama lagi," lirik Taec seraya memiringkan kepalanya. Kali ini, tidak ada jarak yang memisahkan bibir mereka yang saling berpagutan. Taecyeon mengecup lembut bibir merah Junsu dengan penuh perasaan. Sampai Taecyeon merasakan sebuah cairan bening mengenai sudut bibirnya.

Apakah Junsu menangis? Ia hendak melepaskan ciuman itu untuk memastikan bahwa keadaan Junsu baik-baik saja. Tapi tiba-tiba tangan Junsu kini beranjak ke pipi Taecyeon, seperti tak rela melepaskan ikatan diantara mereka. Junsu memundurkan wajahnya beberapa centi, membuat sebuah ruang kecil antara mereka

"Tetap seperti ini saja, kumohon. Aku tidak ingin semuanya berakhir," desah junsu disela isakannya

"Tidak akan pernah ada kata 'berakhir' diantara kita Junnie," jawab Taec spontan. Kedua namja itu kembali memejamkan mata mereka dan mengecup bibir satu sama. Keduanya sama-sama berharap agar malam ini tak pernah berakhir.

.

.

.

.

"Maaf Junho-ssi, aku datang tanpa pemberitahuan dahulu," ujar namja yang bernama Hwang Chansung ini sambil menggaruk tengkuk nya yang tidak gatal sama sekali.

"Tidak apa-apa Chansung-ah. Aku hanya kaget, tidak biasanya kau berkunjung ke rumah ku," jawab junho heran

"Nggg itu…" Chansung semakin kikuk, "Kau tidak sedang sibukkan Junho-ssi?" lanjutnya kemudian.

"Tidak juga sih, aku hanya sedang mengerjakan tugas yang diberikan Park seonsaengnim. Memangnya ada apa Chansung-ah?"

"Ah! Kebetulan sekali, aku datang kesini untuk meminta bantuanmu. Aku benar-benar tidak mengerti dengan soal-soal yang diberikan Park seonsaengnin, ini membuatku frustasi bahkan hampir mati, " seru Chansung dengan lebay dan muka yang dibuat sok memelas. Mau tak mau Junho dibuatnya cekikikan

"Baiklah , aku akan membantumu mengerjakan tugas Park Seonsaengnin yang membuatmu frustasi sampai hampir mati," ujar junho dengan wajah yang dibuat sok serius

" , kau memang yang terbaik!" ujar Chansung sambil mengangkat kedua jempolnya.

"Baiklah, masuklah kedalam, disini sangat dingin," ujar junho yang langsung masuk kedalam rumah. Chansung menatap punggung yang makin menjauh sambil tersenyum sinis.

.

.

.

.

Nickhun mendekati namja Chubby itu hati-hati. Ia tampak berbicara sendiri dengan nada sendu sambil beberapa kali terisak

"…Kau tidak bisa menggangguku terus-terusan, aku tidak bisa hidup seperti ini terus," ujar namja chubby tersebut terdengar samar-samar oleh Nickhun. Saat ia berjalan kearah namja chubby lebih dekat, tiba-tiba saja namja itu berteriak kesakitan sambil memegang lengannya. Nickhun refleks berlari kearah namja tersebut

"Kau baik-baik saja?" ujar Nickhun panic

"Ya, aku tidak ap—Hey! Apa kau melihat apa yang sedang kulakukan barusan?!" pekik namja itu panic sambil membuat jarak beberapa meter dengan Nickhun.

Tak sempat Nickhun menjawab, namja itu langsung berlari pergi meninggalkan Nickhun.

"Hey tunggu!" Nickhun hendak mengajar namja tersebut sebelum melihat sebuah sapu tangan berwarna biru jatuh tergeletakn diantara tumpukan salju. Nickhun pun mengambil saputangan tersebut sambil membaca inisial nama yang ada di saputangan itu

"JWY?"