EDELWEISS
.
.
By Elixir Edlar
Disclaimer:
All cast belong to God, their parents and Bighit. Ent. I do not own the characters.
This story is originally from my own mind.
Warning :
Boys Love, Typos, EYD-failed, Unbeta-ed, AU, OOC
Read on Your Own Consent! Thank You~
.
.
Eropa - 1313 M
Awal musim gugur, Jimin yang kesepian mendapatkan sebuah surat. Bukan surat biasa melainkah selembar undangan dari seseorang yang tidak disebutkan namanya. Surat itu harum, berbentuk sebuah gulungan perkamen berbahan kayu cinnamon dengan aroma yang menenangkan. Tepat di usianya yang baru menginjak ketujuh belas.
Ayahnya adalah seorang dokter kapal yang selalu melakukan perjalanan menjelajahi dunia. Katanya dunia begitu luas dan penuh dengan tantangan. Ayahnya selalu menceritakan pengalamannya ketika berlayar dan menjelajahi penjuru bumi dengan membawakan Jimin berbagai cendera mata. Namun, sudah beberapa tahun ini ayahnya tidak pulang atau mengirim surat.
Omong-omong Jimin anak tunggal. Ibunya meninggal ketika Jimin berusia lima tahun. Ayahnya yang terlalu mencintai ibunya pun akhirnya depresi karena tidak bisa menerima kenyataan yang ada. Sehingga pada akhirnya, ia mendedikasikan hidupnya untuk menjelajahi isi bumi dengan mendaftar menjadi dokter kapal milik Angkatan Laut pemerintah yang akan mengadakan ekspansi wilayah ke berbagai negeri yang kelak ia singgahi.
Jimin ditinggal sendirian. Bersama puluhan maid di mansion keluarganya. Maklum, keluarga ibunya adalah keturunan langsung bangsawan di negeri tempat ia tinggal. Sebagai pewaris tunggal, Jiminlah yang mendiami mansion itu dan ia pun disekolahkan di sekolah hukum agar kelak bisa menjadi pengacara. Sebuah profesi yang begitu elegan dan menjanjikan pada masanya.
Seharusnya, malam ini Jimin menghadiri jamuan makan malam khusus untuk para bangsawan. Berdandan setampan mungkin dengan setelan necis, membubuhkan parfum paling harum di sekujur tubuh, berdansa dengan para wanita muda dengan paras seindah bidadari, meminum sampanye, dan berbincang sesopan mungkin untuk menjalin hubungan baik dengan para relasi bisnisnya.
Ya seharusnya. Karena pada kenyataannya Jimin malah menaiki kereta kudanya menuju ke daerah hutan Wonderwoods untuk memenuhi undangan tanpa nama di sebuah mansion yang 'katanya' terletak di atas sebuah bukit yang berdampingan dengan hutan tersebut.
Pergi diam-diam dengan mengajak salah satu sais kepercayaannya, Hong Jisoo, ia pun melakukan perjalanan tepat sebelum matahari terbenam di ufuk barat tertelan cakrawala—tanpa seorang pun yang tahu bahwa ia telah 'melarikan diri'. Tidak juga dengan paman dan bibinya sebagai satu-satunya sanak famili yang tersisa.
Ketika Jisoo bertanya kenapa, maka Jimin hanya menjawab, "Tidak akan ada pertunangan antara aku dengan Nayeon atau siapa pun. Sudah final."
Jimin memilih keluar dari sangkarnya. Memecahkan cangkang yang selama ini mengungkungnya. Melepaskan dirinya dari belenggu yang mencengkeram erat kebebasannya dan siap untuk menyambut petualangan di luar sana dengan melakukan hal-hal tidak biasa yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Jadi, setelah tiga jam perjalanan dengan kereta kudanya ia pun sampai di sebuah jalan setapak menanjak yang kanan kirinya dipenuhi tanaman perdu yang daunnya mulai berwarna kekuningan ditelan musim. Tidak lama lagi dedaunan itu pun pada akhirnya runtuh dan luruh. Meranggas sepenuhnya ketika sang musim mendekati akhir riwayatnya.
Perlu berjalan satu jam menyusuri jalan setapak tersebut untuk sampai ke depan sebuah gerbang yang tampak begitu tinggi di mata Jimin. Ia telah menyuruh Jisoo pulang begitu dirinya sampai di depan sebuah jalan setapak tersebut. Meskipun sebenarnya jalan tersebut masih dapat dilalui oleh kereta kuda, Jimin memilih untuk berjalan kaki.
Mansion itu tampak begitu megah. Jimin bahkan sempat terngaga saking terpesona akan keindahan ornamen mansion yang tampak seperti kastil mini tersebut. Sepanjang hidupnya ia hanya pernah melihat bangunan-bangunan megah seperti ini di sekitar kediaman keluarga kerajaan saja. Namun kali ini berbeda. Ia yakin bahwa seseorang yang mengundangnya bukanlah orang biasa apabila dilihat dari struktur dan arsitektur bangunan mansion ini.
Bukan sekadar bangsawan biasa seperti dirinya. Mungkin saja salah satu kerabat kerajaan di negerinya. Ya, mungkin saja. Namun jika itu benar, mengapa dia harus tinggal di tempat terpencil seperti ini? Jimin mulai bertanya-tanya.
Baru saja akan mengetuk, tiba-tiba dua belah pintu berukuran besar berwarna hitam mengkilap tersebut telah terbuka lebar. Menampakkan sesosok tampan seorang lelaki muda yang mungkin sepantaran dengan dirinya. Tubuhnya tinggi dan tegap, dibalut setelan jas hitam yang tampak begitu pas dalam membebat figur maskulinnya. Sorot matanya tajam dengan alis yang tampak menukik di bagian pangkalnya. Hidungnya mancung dan bibirnya mungil. Tampan sekali.
Lelaki itu tersenyum kecil. Meraih tangan kanan Jimin yang terasa begitu mungil di dalam genggaman telapak besar miliknya. Membawanya menuju ke depan wajahnya lalu mengecup punggung tangan putih dan halus milik Jimin tersebut. Cukup lama sehingga Jimin pun lupa caranya berkata-kata. Jantungnya tiba-tiba berdentum kencang seakan ingin melompat dari tulang rusuknya dan aliran darahnya seakan dipompa kuat-kuat ke wajahnya. Membuat semburat kemerahan tersemai indah di kedua pipi pucatnya.
Membawa tubuh mungil Jimin ke dalam pelukan tubuh kekarnya, lelaki itu akhirnya bersuara, "Sudah sangat lama..." mempererat pelukannya di tubuh Jimin yang terasa halus dan rapuh.
"Aku sangat merindukanmu..." memperlebar jarak di antara tubuh keduanya untuk menatap lurus ke manik kemilau milik Jimin. "Jangan pergi lagi, lima abad tanpamu membuat batinku pilu bak tersayat ribuan sembilu..."
Kemudian lelaki itu mengecup dahi Jimin dengan bibirnya yang sedingin es. Meskipun demikian, Jimin dapat merasakan kehangatan yang semakin lama terasa semakin menjalar di hatinya. Ia bahkan mulai memejamkan matanya untuk menghayati betapa khidmatnya sentuhan hangat belahan bibir dingin itu di atas dahinya.
"Ayah..." sebuah suara berat seorang lelaki asing membuyarkan momen khidmat Jimin dengan lelaki yang berada di hadapannya tersebut.
Jimin menoleh ke arah sumber suara. Menemukan sesosok pemuda tinggi dengan perawakan ramping yang memiliki kemiripan paras dengan lelaki yang berada di hadapannya saat ini.
"Taehyung-ah, kemarilah! Beri sambutan selamat datang untuk ibumu..."
Dan pemuda yang bernama Taehyung itu segera berlari dan menghambur untuk memeluk Jimin—orang yang disebut-sebut oleh lelaki yang disebut ayah tersebut sebagai sang ibu.
"Ibu! Aku sangat merindukanmu! Jangan pergi lagi kumohon, Bu..." Taehyung berkata di sela-sela isakannya.
Jimin bingung. Sedari tadi ia hanya diam membisu. Terlalu pening untuk menafsirkan berbagai spekulasi yang berkecamuk di dalam kepalanya. Bagaimana bisa dua orang yang usianya tampak sepantaran dengannya ini adalah ayah dan anak? Bagaimana pula dengan dirinya yang disebut-sebut sebagai sang 'ibu'?
Di tengah kebingungan yang mendera batin dan jiwanya, Jimin merogoh jasnya dalam diam. Ia lihat lagi undangan yang sampai ke tangannya sekitar seminggu yang lalu tersebut. Dilihatnya baik-baik setiap tulisan yang tertera di sana.
Tunggu. Sepertinya Jimin tidak pernah melihat tulisan ini sebelumnya.
'Welcome Home Invitation by Sir Jeon Jungkook, your long lost husband...'
.
.
END
Nonedit
Minggu, 17 Desember 2016
.
.
Silakan berspekulasi sesuka hati di kotak review ^_^
