THOUGHT
chapter 01
SEVENTEEN BTS Fanfiction
Genre: Drama, Tragedy, Romance, Shounen ai/Cute Story, Boys Love/Yaoi, Bondage/BDSM, Triangle Love, Rape, Violence, School Life, Crime, Friendship
Pairing:
(focus) Meanie, Vkook
(cameo) JunWon, JungCoups, NamJin, SoonHoon, Seoksoo
Semilir angin menerpa wajah lelaki itu, paras putih bak porselen yang seakan menarik perhatian siapa saja yang tak sengaja memandangnya ditundukkan. Menunggu instruksi Seonsaengnim untuk memasuki kelas barunya, menghadap teman-teman barunya lalu memperkenalkan diri, kemudian duduk tenang di kursi yang sudah dipersiapkan.
Setidaknya itulah skenario yang sudah Ia siapkan sebagai murid baru di sma swasta khusus lelaki itu. Semua berjalan lancar sampai lelaki bertubuh kurus itu dijejali bermacam-macam pertanyaan oleh teman-teman sekelasnya yang penasaran akan dirinya. Padahal Ia tidak ingin menjadi pusat perhatian, baginya itu sangat merepotkan. Waktu istirahat berjalan cukup lambat, itu membuat teman-teman barunya semakin gencar berkenalan dengannya.
"Hey Wonwoo! Wajahmu datar sekali. Apa kau menyetrikanya tadi pagi?" Canda laki-laki sipit bernama Soonyoung.
"Tidak, Ia pasti menabrak pintu karena gugup masuk kelas saat perkenalan tadi." Gantian pria imut bernama Jihoon yang balik bicara.
Sebenarnya Jihoon tidak mengikuti murid-murid lain yang dengan hebohnya mengitari meja yang ditempati Wonwoo sekedar bertanya-tanya untuk berkenalan, gengsinya terlalu tinggi untuk melakukan itu. Laki-laki dengan nama lengkap Lee jihoon itu merupakan tipe orang yang realistik. Kebetulan saja tempat duduk Jihoon berada di depan meja Wonwoo sehingga Ia dapat mendengar bahkan mengomentari pertanyaan apapun yang ditumpahkan kepada murid baru itu.
"Oh ya Aku mendengarnya! Aku sampai kaget karena suara benturannya kencang sekali. Aku pikir
itu gempa."
Suara tawa meledak dari bibir mereka berdua.
Wonwoo tidak tahu harus merespon apa karena wajahnya memang terlihat datar. Walaupun sebenarnya hatinya seperti udara yang sedang dilintasi ribuan kupu-kupu Karena merasakan senang, namun wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Bel tanda masuk berbunyi, Soonyoung kembali ke mejanya dan Wonwoo bersiap untuk pelajaran selanjutnya.
"""***"""
Sudah dua minggu Wonwoo berada di kelas 2-A, tapi tidak sekalipun Ia terlihat menunggingkan senyumnya atau bahkan mengajak seseorang untuk berbincang. Ia hanya datang ke sekolah, mengikuti pelajarannya, kemudian pulang. Seperti itu. Setiap hari.
Teman-temannya sudah gerah mengahadapi perilaku Wonwoo yang seperti itu, pun ia hanya bicara saat Ada yang mengajaknya atau saat guru memintanya maju ke depan kelas untuk membaca puisi. Suaranya rendah, berat, namun lembut. Membuat seisi kelas terhipnotis, seakan terbawa ke alam sana yang Wonwoo bacakan. Namun hanya sampai disitu. Lagi-lagi Ia bungkam dan tidak bicara sepatah katapun. Jihoon tidak masalah Akan hal itu, namun Soonyoung yang tadinya merasa tertarik untuk berteman dengannya jadi risih sehingga Ia menghindarinya. Ia mampir hanya untuk bicara dengan Jihoon.
Pada awal kehadirannya semua murid terlihat antusias dengan kehadiran Wonwoo, karena bagaimana tidak? Wajah putih mulus bak boneka itu memikat perhatian siapa saja yang melihatnya. Baik diantara kaum hawa maupun Adam, Ia selalu menjadi pusat perhatian. Namun laki-laki bersurai hitam itu tidak menyukai hal tersebut, menurutnya itu memuakkan.
Akhirnya Ia memanjangkan poninya. Menutupi sebagian matanya, berharap dengan rambut seperti itu agar tidak ada lagi yang menghampirinya. Namun nihil, wajahnya tetap terlihat sempurna. Ia hanya berdiam, berharap agar tidak ada orang yang mengerumuninya. Dengan sikap diamnya tidak Ada yang berani macam-macam dengannya. Tersimbol intimidasi tiap Ia memperlihatkan matanya, membuat siapa saja yang memandangnya sekilas merasa terancam.
Namun itu hanya kesan pertama saja. Setelah memperhatikannya agak lama akan muncul arti tersirat dibalik tatapannya itu, seperti meminta Akan sesuatu. Sesuatu yang janggal yang membuat semua orang tidak memahaminya, membuat siapa saja yang menyadari arti tersirat yang tak terteka itu tertantang untuk mengetahui jawabannya.
Maka jadilah Ia, Wonwoo sang 'penarik hati'.
Siapapun yang melihatnya akan merasa tertarik padanya. Menanyakannya sampai haus siapa dirinya, apa yang dia inginkan, dan seperti apa masa lalunya. Pertanyaan yang sangat Wonwoo hindari. Wonwoo sudah terbiasa dengan hal itu, seseorang sudah mengajarinya untuk hanya diam dan mengamati. Membuat siapa saja yang tadinya penasaran akan dirinya terantung menyerah untuk mengorek informasi darinya. Seperti itu, hanya diam dan mengamati. Sederhana.
"Sebaiknya kau isi itu Jeon Wonwoo, sudah dua minggu kertas itu bertengger di lokermu dan belum kau sentuh juga. Aku adalah ketua kelas kau tahu? Aku bukan tukang pukul." Perintah Jihoon pada Wonwoo.
"Tapi aku tidak ingin mengikuti ekskul apapun." Jawab Wonwoo. Singkat, jelas dan padat.
"Ckckck! Tidak bisa seperti itu Wonu-ya. Kau harus ikut serta dalam satu ekskul atau sekolah akan memecatmu."
"Memecatku?" Wonwoo bertanya polos.
"Ya, sekolah tidak ingin memiliki murid yang tidak berbakat. Setidaknya ada satu pelajaran non-akademik yang dapat kau kuasai lewat ekskul ini." Jihoon menjelaskan.
"Baiklah, tapi aku tidak berminat memilih ekskul-ekskul ini, semuanya terlihat menyusahkan."
"Tenang saja! Soonyoung disini akan membantu!" Tawar Soonyoung yang tiba-tiba saja muncul di antara mereka.
"Wajahmu cukup menarik dan tubuhmu gemulai indah sekali!..." Soonyoung menghentikan kalimatnya beberapa saat.
Laki-laki bersurai hitam itu berkacak pinggang lalu berjalan mengitari Wonwoo, meneliti setiap jengkal laki-laki putih di hadapannya bak seorang penilai profesional.
"Aku sarankan kau untuk ikut ekskul fashion!" Soonyoung mengerjapkan matanya tanda berharap.
"Aku tidak tertarik, maaf." Tolak Wonwoo.
"Itu maumu saja Soonyoung! Apa kau ingin menambah anggota kita?" Celoteh Jihoon.
"Hehehhe.."
"Jadi kalian mengikuti ekskul fashion? Pantas saja rasanya akan ada udang di balik batu." Kata Wonwoo.
Begitulah Wonwoo, Ia si wajah datar bertampang cool namun sekalinya bicara dapat menusuk hati.
"Hey, aku membantumu bodoh! Kau kan sedang kebingungan."
"Dengan menjebakku ke dalam ekskul kalian? Mengajakku masuk kesana hanya untuk menambah anggota agar ekskul kalian terlihat tenar, maaf saja aku tidak mau."
Jihoon dan Soonyoung terdiam, tiba-tiba saja Wonwoo merasa tidak enak. Ia memang biasanya bersikap sarkasme, namun itu bermaksud agar ia tidak dianggap munafik. Ia benci berpura-pura baik namun di belakang menjelek-jelekkan orang lain. Lebih baik dikatakan langsung, itu akan membuatnya lega dan membuat orang yang dikoreksi memperbaiki sikap mereka.
"Kau salah Wonu-ya. Ekskul fashion tidak mengajak orang, mereka menerima anggota." Jelas Soonyoung.
"Apa maksudmu?" Wonwoo tidak mengerti maksud ucapan Soonyoung.
"Sejauh ini ekskul fashion hanya memiliki 6 anggota, kenapa? Karena kami belum menemukan orang yang pas, yang dapat mengisi kekosongan." Jelas Soonyoung.
Wonwoo tidak mengerti apa yang ia maksud, pria putih itu hanya membolak-balik formulir yang diserahkan Jihoon kepadanya tadi itu. Ia masih bingung untuk memilih ekskul, menurutnya ini tidak penting sama sekali.
"Pikirkanlah baik-baik, jika memang yang kau inginkan berkutik dengan kepala sekolah agar tidak memecatmu, sebaiknya kau isi formulir itu hari ini." Ancam Jihoon, menyeka peluhnya sebab meredam emosi.
Mengahadapi anak seperti Soonyoung saja sudah membuatnya badmood seharian, kali ini ditambah anak pendiam namun sulit diatur malah membuatnya kepedasan walaupun tidak memakan cabai sama sekali.
"""***"""
Jingga di cakrawala memburu perlahan, beranjak pergi lalu digantikan warna ungu. Siapapun yang melihatnya takkan menundukkan kepala karena pesona itu. Mengajak tiap orang memandangi langit sore, merenungkan kejadian-kejadian yang dialami pribadi saat matahari masih menyunggingkan senyum di atas sana. Seperti tape recorder yang memutar ulang seputar kejadian hari ini di otak, pengalaman lucu, indah, bahagia bersama teman seakan tak ada habisnya jika diingat.
Jihoon terbangun dari posisinya, menepuk seragam bagian belakangnya yang kotor karena ia tiduri di atas atap itu. Kemudian berjalan menuju pagar pembatas dan menyandarkan tangannya disana untuk memperluas penglihatannya. Ia biasa menatap sunset dari atas gedung sekolah, beristirahat sebentar setelah mengembani tugasnya sebagai pelajar sekaligus ketua kelas selama seharian. Belum lagi ia harus menjalankan perannya sebagai penanggung jawab komunikasi di ekskulnya.
Tugasnya sangat banyak dan disinilah ia biasa mencurahkan seluruh penatnya, beristirahat sejenak kemudian melanjutkan aktivitas. Jihoon terngiang-ngiang dengan ucapan Soonyoung saat mengajak Wonwoo untuk mengikuti ekskul fashion yang sama-sama mereka tekuni.
Ia sama sekali tidak menyangka Soonyoung akan mengajak boneka penyendiri itu. Soonyoung sama sekali tidak konsul terhadap ketua ekskul dan langsung mengajaknya, dan sepertinya ia juga tidak memikirkan bibit, bebet dan bobot yang dimiliki Wonwoo.
Memang benar paras Wonwoo bak porselen yang putih mulus itu sangatlah menarik, dan tubuhnya yang ramping juga gemulai sangat indah dilihat, bahkan mata hitamnya seakan minta disapa. Namun apakah Wonwoo memiliki bakat? Ekskul fashion adalah ekskul yang sangat intens dan eksklusif yang dimiliki sekolahnya, tidak sembarang orang dapat menjadi anggota jika tidak memenuhi kriteria. Namun fisik Wonwoo seakan membutakan mata Jihoon untuk mengajaknya juga.
'Tidak!' Pikir Jihoon.
Tekadnya hampir goyah karena membayangkan sosok putih itu.
'Ia harus memenuhi persyaratan untuk bisa memasuki ekskul fashion, tidak hanya dari tampang saja. Ia harus memiliki pengalaman dan bakat.' Batin Jihoon mengomentari Wonwoo pada dirinya.
Seakan prinsip ekskul tersebut membendung perasaan Jihoon untuk menerima murid baru tersebut. Satu sisi ia berharap agar Wonwoo menerima ajakan Soonyoung dan mengikuti audisi untuk memasuki ekskul fashion, ia dapat membuat perubahan dan melesatkan kepopuleran ekskul fashion untuk terus maju ke depan. Tanpa kecurangan atau kelicikan dari campur tangan dunia dibaliknya.
Namun sisinya yang lain memikirkan prinsip-prinsip gila yang dibuat sekolah terhadap ekskul itu, juga latar belakang ekskul tersebut yang hanya anggotanya saja yang tahu. Ia tidak ingin ada murid lain merasakan beban yang ia dan anggota lainnya rasakan. Perih.
Predikat banyaknya prestasi dan pujian yang menempel pada ekskulnya itu sebenarnya hanyalah topeng untuk menutupi kebusukan dunia entertainment. Sekolahnya bekerja sama dengan industri persenian untuk menaikan wajahnya dan seluruh agensi swasta yang terlibat. Merekrut anak sekolah untuk memajukan dunia kesenian, mengeksploitasi tenaga anak di bawah umur.
Pun sekolah memprioritaskan ekskul fashion karena sudah 5 tahun ini membawa nama baik sekolah hingga ke pelosok negeri. Itu yang membuat sekolahnya terkenal sehingga banyak siswa dari keluarga borjuis melamar disana, bahkan pertukaran pelajar internasionalpun di adakan disana.
"Kau baik-baik saja?" Seseorang membuyarkan lamunan Jihoon.
"Aku baik-baik saja. Soonyoung... APA KAU GILA?" Jihoon tiba-tiba meninggikan suaranya.
Soonyoung tercekat dengan pertanyaan Jihoon barusan, membuatnya tersedak bahkan saat ia tidak memakan apapun.
"Gila? Apa maksudmu? Apa menanyakan kabar seseorang bisa dianggap gila? Kau yang aku lihat satu jam ini hanya diam di atas sini sambil merenung menatap langit yang tidak ada apa-apanya malah menganggapku gila? Justru kau yang gila! Melamun jam segini bisa kerasukan tahu! Beruntung aku ada disini mau menemanimu, jika kau kerasukan setidaknya aku dapat membopongmu ke ruang kesehatan!" Jelas Soonyoung panjang lebar.
Temannya yang satu ini memang pandai berargumen, tapi bagaimanapun juga ia dapat di skakmat jika sudah dipojokkan.
"Lalu kita bisa bersenang-senang dan kau akan mengucapkan terimakasih padaku." Goda Soonyoung.
"Kau benar-benar sudah gila."
"Aku tidak main-main Jihoon-ssi, bahkan sekarang ini aku mengikuti gayamu yang selalu serius. Walaupun kecil kau selalu serius, itu yang membuatk..."
Sebuah serangan kecil diluncurkan pada perut Soonyoung.
Geli, sakit, marah, gembira dan ingin menangis seakan bercampur menjadi satu. Siapa sangka cubitan Jihoon sang preman gitar dapat membuat perasaan Soonyoung tidak menentu sepeti ini.
Laki-laki bermarga lee itu memang paling tidak suka jika ada yang menyebutnya kecil, ia dapat langsung berubah dari hamster yang imut menjadi serigala kelaparan hanya dengan mendengar kata tersebut. Soonyoung yang tidak tahan terhadap perlakuan temannya itu mengaduh kesakitan sehingga berakhir tengkurap di tanah.
"Dasar tidak tahu diri. Kau hanya beberapa senti lebih tinggi dariku jadi jangan sombong." Ancam Jihoon.
"S..Siapa yang sombong? Aku hanya mengatakan kenyata..an!"
DUG!
Tendangan dilayangkan pada Soonyoung tanpa ampun.
"""***"""
"Sebaiknya kau berpikir dua kali sebelum bicara Kwon Soonyoung." Titah Jihoon pada laki-laki sipit itu.
"Aku hanya bercanda Hoon-ssi, tapi dia memang cocok. Apa kau tidak memperhatikan wajahnya? Tubuhnya?"
"Kau bergurau. Jika dia berani menginjakkan kakinya di studio, sekolah akan langsung mengadakan audisi besar-besaran. Kau tidak maukan anak baru itu dipermalukan di depan seisi sekolah? "Jelas Jihoon pesimis.
Jihoon jadi teringat audisi dadakan yang diadakan beberapa bulan lalu oleh sekolahnya untuk penerimaan anggota fashion. Saat itu ada dua orang murid baru. Seorang murid pertukaran pelajar dari New York dan seorang lagi merupakan murid pindahan dari Gangnam yang sudah mengikuti street dance di berbagai acara di tv dan mendapat banyak penghargaan. Awalnya Jihoon yakin laki-laki pindahan dari Gangnam itu yang akan diterima di ekskulnya tersebut. Pengalaman dan bakat yang sudah dijalaninya seakan menjadi mata pedang yang siap setelah diasah untuk menjatuhkan murid pertukaran pelajar tersebut.
Tapi dugaannya seratus persen salah. Laki-laki Gangnam itu kalah dari siswa pertukaran pelajar tersebut dan memilih untuk mengundurkan diri dari sekolahnya. Menyerah. Ia mengerti mengapa Laki-laki Gangnam itu tidak diterima. Ia bersusah payah masuk sekolah ini hanya untuk mengejar ekskul fashion semata. Gagal lalu meninggalkan, bagaimana kalau ia berhasil? Pasti ia akan mendongakkan kepalanya acuh. Sombong.
Walaupun Jihoon seorang yang terkenal galak, tetapi ia masih punya hati untuk dapat mengerti perasaan orang lain. Ia tidak ingin Wonwoo mengikuti audisi lalu gagal sehingga hal itu dapat membuat motivasinya untuk sekolah turun, bahkan bisa membuat hatinya terluka.
Gagal.
Satu kata yang sangat dibencinya. Kata yang bisa menghilangkan rasa percaya diri. Kata yang bisa menghilangkan kepercayaan. Kata yang bisa menghilangkan kemampuan. Soonyoung langsung merangkul sahabatnya itu, menyibak surai coklatnya lalu menyentil keningnya.
"Aw! Sialan kau Soonyoung!" Bentak Jihoon.
"Tenang saja." Soonyoung menggenggam erat kedua bahu Jihoon, menenangkannya.
"Aku merasakan aura yang berbeda darinya." Papar Soonyoung.
"Aku merasakan potensi yang baik." Tambahnya lagi.
Akan gawat jika ekskul fashion merekrut anggota baru di luar waktu audisi. Pasalnya audisi hanya diadakan sekali, ketika masih awal tahun ajaran baru. Pada saat itu sekolah akan mengerahkan seluruh kemampuan yang ada, diadakan semeriah mungkin bahkan sampai mengadakan festival.
Dan di waktu-waktu memasuki semester kedua seperti ini merupakan waktu-waktu yang padat bagi sekolah untuk mengurus persiapan ujian serta mengadakan hari-hari nasional.
Jihoon tidak ingin sekolah hedonisme hanya untuk perekrutan satu orang saja, itu akan membuang-buang banyak uang, waktu dan tenaga. Seakan akan ekskul fashion adalah icon utama sekolah ini. Tapi memang benar ekskul fashion lah yang menjadi momok besar sekolah ini hingga dikenal keluar negeri. Perpaduan model, musik, modern dance, bahkan segala macam kesenian dari seni rupa sampai martial art ada pada ekskul ini.
Seluruh anggotanya dianggap sebagai aktor sekolah, pun mereka sering kali muncul di acara televisi untuk diwawancara di berbagai macam program dan kadang diminta membintangi iklan.
"Aku akan bicara pada ketua." Kata Soonyoung mantap.
"""***"""
"Ini." Wonwoo menyodorkan kertas formulir yang tadi siang diberikan Jihoon padanya.
Kelas malam baru saja selesai dan semua murid bersiap meninggalkan ruang kelas. Hiruk pikuk sudah tak terdengar lagi semenjak pukul delapan malam. Hanya menyisakan irama serangga untuk didengar. Lampu-lampu yang tergantung di langit mengedap-ngedip seolah mewakili rasa lelah para pelajar tingkat dua tersebut. Meminta untuk dimatikan atau ditidurkan.
Jihoon meniti tinta yang sudah digoreskan di atas kertas tersebut. Kekhawatirannya menjadi nyata, matanya membulat kaget melihat tulisan di kertas tersebut. Belum sempat ia bertanya pada Wonwoo mengenai pilihannya itu, laki-laki berwajah datar itu terlanjur melesat pergi menyisakan pemandangan punggung untuk dilihat. Wonwoo meninggalkan jihoon seorang diri di kelas, menutup pintu lalu pulang. Hanya menyisakan angin untuk diajak berargumen.
'Aku harap dia tahu apa yang dia pilih.' Batin Jihoon sambil berjalan menuju ruang kepala sekolah untuk menyerahkan formulir tersebut.
Kepala sekolah akan menangani langsung persoalan yang melibatkan ekskul fashion. Disamping guru pembina ekskulnya bila ia tidak sempat, toh ia orang terkenal.
'Bahkan Soonyoung belum bicara pada ketua, bodohnya aku.' Monolognya sambil meringis.
Menutup kedua matanya dengan lengannya sampai ke siku.
"""***"""
Perutnya mual jika sudah harus berhadapan dengan kepala sekolah. Ia harus merpersiapkan segalanya dari penampilan sampai tutur bahasa yang akan ia pakai nanti. Setidaknya itulah yang diajarkan keluarganya mengenai bicara kepada orang tua. Jihoon mengetuk pintu jati berwarna cokelat gelap yang tingginya hampir dua kali lipat tingginya itu.
Ia menyiapkan aksennya dan menegapkan tubuhnya. Dari pengalamannya ia biasa bicara mantap dan penuh rasa percaya diri tiap kali presentasi atau sebagai seorang pemimpin di kelas. Imagenya yang kecil tapi berani menunjukkan bakatnya itu sudah terdengar sampai ke dunia industri musik. Membuat banyak agensi berdatangan padanya meminta untuk menyanyikan lagu mereka atau sekedar diwawancara. Tapi Jihoon adalah laki-laki yang produktif dan kreatif. Ia lebih memilih membuat lagunya sendiri daripada menyanyikan lagu orang lain.
Menuliskan perasaannya dan bersenandung mengenai nada nada yang mewarnai hidupnya, mencurahkannya di atas kertas lalu menjamahnya lewat petikan gitar ataupun piano. Pemuda kecil yang multitalenta, bisa menari, menyanyi, bahkan menulis lagu. Wajar saja bila ekskul fashion sekolahnya meliriknya dan menerimanya untuk menjadi anggota.
Jihoon merasa senang bukan kepalang saat itu, dapat memasuki ekskul yang terdengar 'hebat' ditelinga murid-murid di sekolahnya, bahkan dimata seluruh orang di penjuru negeri. Hanya sampai disitu. Sampai Jihoon mengetahui rahasia dibaliknya.
Dunia gelap yang menunggunya tanpa henti, tak pernah mengelak walau seperdekian detikpun untuk mengganggunya ataupun membiarkannya beristirahat. Kehidupan yang memaksanya menjadi dewasa di waktunya yang terbilang seharusnya cukup untuk belajar saja. Lampu remang dan ruangan penuh aroma alkohol dan musik yang memekakkan telinga. Itu adalah dunia yang terpaksa harus ia hadapi semenjak menyandang predikat sebagai anggota ekskul tersebut. Ia akan tetap berjalan tegap menghadapi apapun yang berada di depannya. Mendongakkan wajah seakan menantang untuk bertarung balik terhadap apa yang akan ditemuinya di depan nanti.
Tapi tidak pada orang yang berada di balik pintu ini. Ia selalu tergagap-gagap setiap menghadapnya. Setidaknya itulah yang dia rasakan. Perasaan gugup yang begitu besar, menyelimutinya bahkan sampai malam suntuk aura tersebut melekat erat pada tubuhnya.
Entah kenapa, dirinya yang biasa berdiri tegap ini bergidik ngeri tiap menghadap pada orang yang berada di balik pintu itu.
Sebenarnya performancenya sudah cukup bagus, bahkan mendeskripsikan kata sempurna tiap kali ia meluncurkan kalimat perkalimat dari mulut kecilnya itu.
Hanya saja perasaan ngeri seakan takut dimakan selalu menyeruak dari balik jas yang biasa dikenakan orang di balik pintu tersebut. Matanya mengisyaratkan penuh tanda tanya yang tak pernah puas apapun jawaban yang didengarnya. Membuat setiap orang yang menjadi lawan bicaranya diam. Membisu.
Jihoon menarik napas.
"Pak. Aku sudah disini." Terang Jihoon setelah mengetuk pintu jati tersebut.
Menunggu jawaban yang ia harap tidak akan pernah datang. Walau ia harus menunggu semalaman di depan pintu ini ia tidak merasa keberatan, daripada berhadapan langsung dengan apa yang yang ada di baliknya.
"Silahkan masuk." Ucap seseorang dari balik pintu.
Jihoon tidak tahu harus merasa apa. Senang karena urusannya hari ini akan segera selesai dan ia bisa beristirahat di rumah, atau parau menahan ekspresi wajahnya yang terlihat kaku namun terkesan meninggalkan arti minta diapakan.
Setidaknya itulah yang Soonyoung katakan padanya. Membuatnya berpikir keras tentang arti wajahnya yang disebut-sebut 'minta diapakan' selama semalaman. Membuatnya ketakutan setengah mati mengenai arti dibaliknya.
Apabila wajah minta diapakannya tak sengaja terpampang jelas di hadapan orang tersebut, apa yang akan dilakukannya? Belum lagi reaksi orang tersebut yang akan membuatnya tambah kengerian. Jihoon tidak mau membayangkannya. Laki-laki bersurai kecokelatan itu membuka pintu jati tersebut. Membuat suara nyaring terdengar sampai seluruh ruangan.
Pada malam hari penginderaan manusia menjadi lebih tajam bukan? Bahkan kita yang biasanya menyepelekan suara tetes air dapat terjaga semalaman hanya karena suara sendu itu. Jihoon menyibakkan poninya ke samping, menapakkan kakinya ke dalam ruangan tersebut. Menutup pintu lalu kembali berjalan menghadap meja cokelat tua yang sepertinya terbuat dari jati. Di belakangnya sudah ada pria yang terduduk manis memunggunginya.
Ia mengedarkan pandangannya pada ruangan yang luas namun seperti menjepit dirinya tesebut. Grandmother clock kecil yang ia yakini sebagai barang pribadi pria di hadapannya tersebut tergantung di dinding mengayunkan pendulumnya, seakan menjadi latar rasa gugupnya sekarang. Namun dinding berwarna putih gading di ruangan itu yang meninggalkan kesan borju meningkatkan sikap kakunya.
Sangat bertolak belakang dengan suasana sekolah. Ruangan yang paling dihindarinya, seperti tempat penjagalan. Aroma kopi dimana-mana, lembut namun terkesan mewah. Pria tersebut hanya diam menunduk. Menatap layar smartphone yang sedari tadi dipegangnya itu. Ratusan lembaran kertas berisi stempel kata "REJECT" berwarna merah menghiasi meja tersebut.
Jihoon tau arti dari semua itu. Kertas-kertas berisi formulir penerimaan siswa baru. Kompetensi yang diadakan oleh sekolah ini memang sangat tinggi. Sangat sulit untuk menerima murid baru. Sekolah membutuhkan murid yang cerdas. Segala macam tes diadakan setiap penerimaan siswa baru. Hanya sedikit yang berhasil lolos. Tidak seperti sekolah lain yang menerima muridnya karena nilai yang tinggi. Di sekolah ini mereka tidak menerima nilai tinggi atau kepintaran. Tetapi kecerdasan, daya berpikir.
"Ada apa Jihoon? Repot-repot datang kesini malam-malam. Kau tahu aku orang yang sibuk kan? Aku sedang beristirahat sebentar." Ucap pria bersurai hitam tersebut.
Kalimat yang diucapkan pria itu seperti alarm baginya untuk selalu sadar. Jihoon ingin berkata-kata namun tertahan. Pria itu membalikkan posisi duduknya, menghadap sempurna Jihoon yang membeku di depannya. Name tag bertuliskan 'Lee Seokmin' ditundukan ke meja oleh pria tersebut.
"Oh ayolah, aku hanya bercanda Jihoon-ah. Kau seharusnya tidak tegang begitu." Pria itu menarik sudut bibirnya ke atas dan membentuk senyum di matanya, Mengisyaratkan kesan jenaka.
Tapi tidak bagi Jihoon. Baginya itu nampak seperti seringaian. Tapi itu tidak penting. Jihoon akan langsung ke inti pembicaraan. Jihoon bersusah payah menelan ludahnya, lalu ia berdeham pelan berusaha agar tidak didengar lawan bicara yang ada di hadapannya itu. Takut terdengar bahwa ia sedang gelisah. Ia siap membuka mulutnya. Kata-kata yang ingin ia sampaikan sudah berputar-putar di kepalanya minta dikeluarkan.
"Begini..."
TBC
