Aku habis baca My Sister Keeper dan Dark Angel Fanfic 'Difference and the Same'. Dua-duanya mengisahkan tentang persaudaraan dan jalan ceritanya yang desperate abis bikin aku nangis bombay, dan tiba-tiba saja dapet ide nulis FF ini. Maaf kalo ceritanya creepy atau sinetron banget. Aku penasaran apa aku bisa bikin cerita yang angres. Yang kutulis ini one-shot, tapi mungkin bakal kujadikan multi-chap kalau cukup banyak yang suka *hint hint* Tolong di review, ya. Thanks ^_^

FUNERAL

11 November 2008

Aku tidak tahu apakah yang terjadi padaku ini normal atau tidak. Entah kenapa, sejak kecil aku selalu ingin tertawa saat menghadiri upacara pemakaman. Semakin suram suasananya, semakin besar hasratku untuk meledakkan tawa, atau nyengir paling tidak. Waktu kakekku meninggal, aku bahkan sampai harus permisi dari rumah duka dan masuk ke mobil kami di lapangan parkir. Mum mengira aku tidak tahan dan menangis tersedu sendirian, tapi pada kenyataannya, di luar aku terbahak-bahak. Aku sendiri tidak tahu apa yang begitu lucu sampai aku tertawa histeris begitu.

Aku masih tidak tahu sampai sekarang, ketika aku berdiri di pemakaman, tepat di samping pusara kakekku, susah payah menahan tawa di tengah-tengah prosesi penguburan saudara kembarku.

Semua orang mengenakan pakaian yang sama, pria dan wanita semuanya memakai mantel hitam tebal di tengah angin dingin yang menusuk. Sebagian besar dari mereka keluarga, tapi ada pula beberapa guru dan murid-murid perwakilan sekolah. Aku berdiri diam di antara Mum dan Dad, menyaksikan peti saudaraku perlahan diturunkan ke liang lahat. Sekilas aku melirik Dad, lalu buru-buru mengalihkan pandang dari rahangnya yang terkatup rapat, sebelum kikik tak sopan meluncur dari mulutku. Aku melirik Mum, yang wajahnya nampak seperti boneka lilin meleleh saking seringnya menangis, dan lagi-lagi harus berpaling ke arah lain. Meskipun aku tahu Alec tak akan keberatan jika aku sedikit mencerahkan suasana pemakamannya, aku tidak yakin orang-orang lain akan sependapat denganku.

Memikirkan tentang Alec membuatku lebih geli lagi. Aku teringat tentang sikapnya yang konyol, komentar-komentar bodoh yang biasa diucapkannya, kebiasaannya melemparkan kentang tumbuk yang sudah setengah dikunyah ke langit-langit atas meja makan agar benda itu jatuh tepat pada saat seluruh keluarga berkumpul untuk makan malam. Yang terakhir ini benar-benar membuatku tidak tahan, dan tak sengaja terkekeh pelan. Aku segera menyamarkannya menjadi semacam isak agar tak ketahuan.

Tanah mulai dimasukkan kembali ke lubang, menutupi peti saudaraku perlahan-lahan. Mum mulai merintih lagi di sampingku, menutupi mulutnya dengan sapu tangan yang sudah teremas mengenaskan. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di benakku. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah Mum akan sesedih ini jika akulah yang berada di tempat Alec sekarang.

Sejak dulu, Mum telah dipersiapkan kalau-kalau suatu hari dia kehilanganku. Sejak umurku dua tahun tepatnya, setelah aku mendadak jatuh koma dan dokter mengatakan ada yang salah dengan jantungku, suatu kesalahan yang tidak bisa mereka perbaiki. Mum menghabiskan hampir separo waktu hidupnya mengantarku bolak-balik ke rumah sakit, duduk di samping ranjang ketika aku sekarat. Mungkin itu saja tidak cukup untuk membuat kematianku jadi lebih mudah baginya, tapi paling tidak dia tahu. Dia tahu cepat atau lambat aku akan mati, tidak terkejut jika sewaktu-waktu jantungku berhenti berdenyut. Entah kenapa, aku merasa ia telah belajar merelakanku, meskipun sampai saat ini aku masih berdiri di sampingnya.

Sedang Alec, lain ceritanya. Dia selalu menjadi motor dalam keluarga kami. Seseorang yang ceria, penuh semangat hidup, dan harapan. Semua orang mengira dia akan hidup lebih lama daripada aku. Dia tidak memiliki kelainan jantung, tidak harus menjalani kunjungan rutin ke dokter tiap dua minggu sekali, catatan kesehatannya sempurna – bahkan waktu SMP dulu, dia seorang atlet baseball, sebelum mengundurkan diri untuk menekuni bidang yang benar-benar diminatinya, astronomi. Kehilangan dia menjadi pukulan besar bagi Mum. Seolah selama ini ia telah bersiap menghadapi banjir, namun yang datang ternyata adalah gempa. Gempa dahsyat berukuran sepuluh skala rickter yang mengguncang habis seluruh kekuatan keluarga kami, yang dibangun susah payah bertahun-tahun demi menghadapi kepergianku di masa datang.

Aku masih ingat malam saat Dad pulang, wajahnya tampak jauh lebih tua daripada biasanya. Tua dan lelah. Waktu itu pukul sembilan lewat lima menit, dan dua jam sebelumnya, saat Mum menyiapkan makan malam, telepon berdering mengabarkan Alec mengalami kecelakaan lalu lintas. Motor Ninja hijau kesayangan-nya selip dan terlempar ke luar jalur. Dad langsung mengeluarkan Toyota tuanya dari bagasi, bergegas pergi ke Rumah Sakit. Mum tidak bisa berhenti bergerak, ia bolak-balik antara melintasi jarak pendek yang menghubungkan ruang televisi dan dapur, mengecek keadaanku di ruang makan (yeah Mum, aku masih di sini. Lihat?), kembali ke ruang televisi, duduk di sofa biru kami yang dilengkapi bantal dan selimut sebagai fasilitas-wajib-Ben-menonton-televisi, bangkit lagi, melongok ke jalanan gelap dari balik jendela bertirai renda, lalu mengulang ritualnya dari tahap awal. Selama melakukan itu, Mum terus menggenggam telepon seolah benda itu adalah satu-satunya yang menjaga Mum tetap siuman.

Aku sendiri tenang-tenang saja malam itu. Makan malam sama sekali tak tersentuh, kecuali bagianku tentu saja. Pertama karena aku tidak pernah sanggup menolak sup daging buatan Mum. Kedua, karena makan tiga kali sehari sudah menjadi kewajibanku sejak kecil. Aku tidak bisa seperti Alec yang terbiasa makan sembarangan. Kalau kamu punya penyakit yang tidak bisa disembuhkan, orangtua akan memperlakukanmu seperti boneka kaca, bahkan mencegahmu melakukan hal-hal yang sebenarnya aman-aman saja, seperti naik ayunan, makan es krim, dan telat makan. Itu berarti aku juga tidak boleh pecicilan seperti saudara kembarku. Dia benar-benar mirip monyet, berlari dan berulah setiap waktu. Kecelakaan ini pun bukan yang pertama baginya. Selain kecelakaan-kecelakaan kecil macam mematahkan gigi, terjungkal dari perosotan, atau lecet disana-sini, ia pernah mengalami dua kecelakaan yang masuk katagori lumayan. Di usia tujuh tahun, Alec jatuh dari pagar sekolah dalam usahanya bolos pelajaran, menyebabkan lepas sendi pada lengannya. Liburan musim panas tiga tahun kemudian, anak tetangga kami yang jangkung dan berambut seperti brokoli gosong, Johan Stark, tergopoh-gopoh menghampiri Mum yang tengah berkebun, mengabarkan bahwa Alec baru saja menabrakkan sepeda motor milik ayah Johan ke tiang listrik. Aku belum pernah melihat Mum berlari secepat itu dalam daster rumahan dan sandal kebun.

Akibat kecelakaan terakhir itu, Alec harus menerima tiga puluh dua jahitan, memakai gips seperti mumi, dan duduk di kursi roda selama satu bulan. Mengingat hal ini, aku sempat terkekeh, nyaris tersedak kaldu sup. Aku membayangkan Alec pulang ke rumah di atas kursi roda lagi, muka cemberut, mengeluh tak henti-henti tentang batalnya kencan malam Minggu bersama salah seorang anggota cheerleader, menghabiskan waktu di rumah bersama Mum yang over-dramatik atas luka-lukanya, dan tentu saja, terpaksa berpenampilan seperti itu dalam foto Natal nanti. Benar-benar hiburan menyenangkan, membuatku cengar-cengir sendiri.

Jadi, ketika Dad pulang dengan ekspresi seolah ada orang yang meninggal, aku merasa agak linglung. Apalagi ternyata benar-benar ada yang meninggal. Alec. Alec, saudara kembarku yang selalu terlihat sangat hidup itu, meninggal. Itu adalah hal yang aneh, rasanya tak nyata. Menggabungkan nama Alec dengan kata 'meninggal' sama tidak cocoknya dengan menggabungkan nama Einstein dengan kata 'dungu'. Persetan segala omong kosong yang mereka jejalkan pada Dad bahwa "Alec meninggal seketika, dia tidak merasakan apa-apa". Sebagian kalimat itu bagus karena aku tidak suka membayangkan Alec kesakitan. Tapi tetap ada satu kata itu, satu kata yang mengubah sebuah kalimat melegakan jadi mengerikan, kata yang membuat otakku berhenti bekerja, meninggalkan aku dalam kondisi setengah sadar, hampa di dalam. Kata yang membuat sisa malam itu terasa kabur, membuat sanak saudara kami dari berbagai negara bagian terbang berkunjung ke rumah kami dengan pesawat paling cepat yang bisa mereka peroleh, kata yang membuatku nyaris tidak merasakan Mum yang memelukku erat-erat dan menangis di bahuku. Kata yang mematenkan hilangnya separuh bagian diriku – secara literalis – karena, kalau-kalau kau belum tahu, aku dan Alec berasal dari sel telur yang sama.

Tepukan ringan di bahu menarikku kembali dari lamunan. Aku mendongak menatap Dad, pria paling jangkung yang pernah kukenal. Prosesi pemakaman telah usai, orang-orang mulai meninggalkan pusara, gemeresak pakaian mereka terdengar jelas dalam suasana yang sunyi. Aku berhasil tidak tertawa sepanjang acara. Kami bertiga yang terakhir meninggalkan makam. Perjalanan melintasi jalan kecil di antara nisan-nisan menuju tempat parkir berlangsung dalam diam, begitu pula perjalanan pulang dari pemakaman ke rumah. Derum mesin mobil hanya ditemani isak tertahan Mum. Di hari normal, Dad selalu menyetel kaset The Beatles, mengeraskan volume sampai maksimal, lalu mulai menyenandungkan Yesterday. Lalu Mum bosan dengan lagu itu dan menggantinya dengan Once a Day. Seperempat jam kemudian, aku dan Alec bertengkar meributkan kaset mana yang lebih layak diputar, FOB atau One Republic. Di hari normal, mobil kami tak pernah sepi. Tapi sekarang bukan satu dari hari-hari itu, dan tak akan pernah lagi.

Aku duduk jok belakang, tiba-tiba tempat itu terasa terlalu luas bagiku. Aku menatap bayanganku di kaca mobil. Sesosok wajah pucat dengan mata hijau cemerlang balik menatapku. Meski kembar, tidak sulit bagi orang-orang untuk membedakan kami. Aku selalu kelihatan pucat, pipiku lebih tirus daripada Alec meskipun aku tidak pernah banyak bergerak. Pipi Alec terbakar kemerahan, bintik-bintik coklat di wajahnya terlihat jelas. Aku lebih sering tersenyum, sedang Alec lebih sering nyengir ala Kucing Chesire. Tapi satu hal yang sama dari kami berdua, yaitu mata hijau-hazel. Tidak ada yang tahu persis darimana datangnya warna mata kami, Mum dan Dad keduanya memiliki mata cokelat, meskipun milik Mum agak lebih muda, yang mebuatku berasumsi bahwa waktu kecil dulu mata Mum berwarna hijau, sebelum akhirnya berubah pigmen. Menatap sepasang mata itu menimbulkan sensasi tak nyaman di perutku, membangkitkan gelenyar di bawah kulitku. Kupalingkan wajahku, kusandarkan kepala ke jok, memejamkan mata, menunggu perjalanan ini berakhir.

* * *

Rumah kami terhitung cukup besar untuk sebuah keluarga beranggotakan empat orang. Dad cukup beruntung mendapatkan rumah ini dengan harga super murah persis sebelum menikah dengan Mum dulu, dari seorang wanita tua yang terburu-buru mau pindah ke desa sampai tidak mengurus lagi soal harga. Memang awalnya rumah tua dari kayu ini rusak parah, tapi Mum dan Dad memperbaikinya secara bertahap. Kini kami punya sekitar empat ruang kosong yang rencananya akan disewakan sebagai tempat kost mahasiswa. Aku dan Alec mendapatkan seluruh lantai dua sebagai teritori kami. Kadang rasanya seperti tinggal di rumah sendiri, lengkap dengan ruang tamu mini, televisi khusus Playstation, juga sebuah kulkas mungil sebagai 'dapur cemilan'. Walaupun begitu, kami berdua berbagi satu kamar.

Aku masuk ke dalam kamar kami – kamarku. Kuraba-raba tembok sampai menemukan tombol lampu dan memencetnya. Seketika ruang gelap itu jadi terang benderang, aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan diri. Kamar ini masih sama seperti terakhir kali aku dan Alec meninggalkannya seminggu lalu (beberapa hari ini aku tidur di kamar tamu). Ranjang kembar kami berdampingan dengan selimut dan seprai serasi. Poster-poster band rock ditempel menutupi cat kamar biru muda. Dua meja belajar diletakkan di masing-masing ujung ruangan, mejaku, tidak seperti yang kau duga, jauh lebih berantakan daripada meja Alec. Ada sebuah rak buku yang kayunya sudah rompal di salah satu ujung, dua rak paling atas digunakan untuk menyimpan koleksi mainan rakitan, tiga rak di bawahnya untuk buku, dan dua yang terakhir untuk meletakkan barang-barang yang tidak tahu lagi harus diletakkan di mana, misalnya bola basket pertama Alec yang sudah botak, koleksi kartu dan stiker superhero edisi terbatas, joystick rusak, lalu entah apa lagi. Ada vas bunga di atas meja kecil antara dua ranjang, diletakkan di samping jam weker Captain Marvel dan lampu tidur. Kami berdua selalu menganggap itu sebagai penghinaan terhadap sang Kapten, tapi Mum, dengan mata berkilat menakutkan, mengancam akan meloakkan semua komik kami kalau benda cewek itu sampai pindah tempat. Lemari baju hampir tidak pernah ada isinya, tidak ada satupun diantara kami yang rela membawa-bawa baju kembali ke kamar setelah disetrika, jadi biasanya kami langsung mengambil kaos dan jeans dari kamar cuci di bawah, atau memakai baju-baju yang tersisa dalam kamar, tersebar ke seluruh penjuru ruangan.

Aku berbaring nyalang di ranjangku. Dari sudut ini tampak jelas papan buletin yang terpasang di balik pintu. Aku tersenyum kecil melihat papan itu, bangun dan menghampirinya. Ini adalah album foto kami. Keluarga kami adalah jenis keluarga yang senang mengabadikan momen-momen dalam foto, mencetaknya, meski di era digital seperti sekarang foto cukup disimpan rapi dalam folder komputer. Papan buletin ini sudah ada sejak pertama kali aku tidur di kamar sendiri, dan menjadi rumah bagi berbagai macam foto dari berbagai macam kamera. Kucabut salah satu foto polaroid yang warnanya hampir memudar. Keterangan di bawahnya, ditulis oleh Mum, berbunyi: "Alec&Ben. Mississippi. 28 Juli 1998." Foto itu menunjukkan sepasang kembar saling berangkulan, yang di sebelah kiri, memakai topi baseball, itu aku. Yang sebelah kanan, dengan tangan dibebat, itu Alec. Itu adalah salah satu liburan musim panas ketika aku tidak harus menginap di Rumah Sakit, Alec tidak ikut kemping, dan Dad tidak kerja lembur. Kami pergi memancing ke Mississippi. Alec, dengan tangannya yang masih dalam proses penyembuhan, nekat memancing di atas bebatuan licin. Aku duduk saja menemaninya di bawah pohon karena Mum tidak mengizinkan aku panas-panasan. Sampai tiba-tiba Alec menghilang dari pandanganku, membuatku panik setengah mati.

Ternyata dia tergelincir dan mendarat di atas kerikil-kerkil kecil. Lututnya berdarah lebih parah karena tangannya tidak mampu menahan beban. Ia tetap berusaha nyengir untuk menenangkanku, meski akhirnya airmatanya keluar juga. Aku menuruni bebatuan licin itu perlahan dan membantunya berdiri, menggandengnya sampai bertemu Mum danDad.

Sambil terus mengingat kenangan di Mississippi itu, aku membaringkan diri kembali, kali ini bukan di ranjangku sendiri, melainkan ranjang Alec yang terletak di dekat jendela, agar ia lebih gampang menyelinap keluar atau masuk tanpa perlu mengangguku. Bantal Alec berbau sama seperti bau badannya, campuran antara aroma manis soda dan keringat. Aku mengubah posisi, berbaring di sisi tubuh agar bisa melihat ke ranjangku. Aku penasaran apa Alec juga merasa kesepian ketika aku sedang rawat inap, dan dia menoleh ke ranjang sebelah hanya untuk menemukannya kosong.

Tapi aku selalu kembali. Tidak peduli berapa lama aku tinggal di Rumah Sakit, aku selalu kembali dan tidur di tempat tidurku sendiri. Rekor opname-ku adalah enam bulan, dan aku lebih dari sanggup menunggu selama itu jika kami bertukar tempat. Enam bulan tidak lama, hanya sekitar satu season dari serial teleivisi, apalagi kalau aku pergi menjenguk Alec tiap hari sebagaimana yang dilakukannya. Aku juga mampu menunggu satu tahun, itu sama cepatnya dengan masa belajar di kelas dua SMA. Sepuluh tahun pun tidak lama kalau dipikir-pikir, hanya sepuluh kali ulangtahun, sepuluh kali makan kue tart spesial, sepuluh kali jadi raja satu hari, sepuluh kali meniup lilin untuk megucapkan permohonan.

Beda dengan selamanya. Mulai hari ini dan seterusnya, aku tidak akan pernah terbangun untuk melihat saudaraku berbaring terlentang di perutnya, selimut jatuh ke lantai, dan air liur membasahi bantalnya. Aku tidak akan lagi bermain kartu di tengah malam ketika tidak bisa tidur. Ranjang yang kutiduri sekarang ini akan tetap kosong, selamanya. SELAMANYA. Aku tidak tahu seberapa lama selamanya itu, yang jelas adalah bahwa aku tidak bisa menunggu. Aku tidak bisa menunggu kepala Alec menyembul dari jendela, diikuti tubuh dan ranselnya. Sesabar apa pun aku menanti kepulangannya, dia tidak akan kembali. Kumainkan foto polaroid di antara jari-jariku. Airmata yang sejak kemarin tersembunyi, akhirnya memunculkan diri, dan aku tak bisa berhenti. Aku sesenggukan seperti anak kecil sampai-sampai rasanya tidak bisa bernafas. Kutarik lututku sampai ke dada, bergelung seperti kucing ketakutan, seluruh tubuhku berguncang oleh tangis yang teredam. Kugenggam erat-erat foto itu, airmata jatuh di atas wajah dalam foto, menimbulkan kesan bahwa mereka juga sedang menangis. Terngiang kembali kata-kataku dulu saat membantu Alec berdiri dan menarik tangannya.

"Sudah, jangan nangis. Ayo kita kembali ke tempat Mum."

Hanya saja, kali ini, aku tak bisa menggandengnya kembali ke sisiku.