That One Annoying Shipper

-Pairing-

SugaKookie

ChanBaek

-Cast-

Dehia (Original Female Character)

Kinzu (Original Female Character)

Jeon Jeongkook (BTS)

Min Yoongi (BTS)

Park Chanyeol (EXO)

Byun Baekhyun (EXO)

-Rated-

T (PG-15)

-Genre-

Romance ; Drama ; Friendship ; Humor

-Length-

Chaptered

-Disclaimer-

Cerita fiksi ini adalah murni hasil pemikiran saya sendiri. Saya hanya meminjam nama tokoh para idola diatas. Kesamaan jalan cerita, nama original karakter, tempat dan waktu yang digunakan adalah murni ketidaksengajaan.

Warning! Cerita ini mengandung unsur Yaoi/Boys Love yang sama artinya dengan hubungan sesama jenis/Homoseksual, mengikutsertakan konten dewasa, juga mengunakan istilah "Fujoshi" dan "Shipper" yang tidak selalu dalam konteks yang positif. Selain itu cerita ini juga dikategorikan sebagai SlowBurn dimana alur cerita berjalan dengan lambat. Jika pembaca mengangap hal tersebut tidak sesuai atau kurang nyaman sebagai konteks fiksi bacaan pembaca, maka pembaca diharapkan menutup halaman ini dan mencari cerita fiksi yang sekiranya sesuai dengan keinginan pembaca. Saya sangat menerima kritikan dan saran, namun saya tidak menerima bash yang tidak memajukan.

Happy reading!

Author POV

05:00 AM Seoul, Korea Selatan

Di dalam sebuah ruang kamar dengan desain interior yang serba hitam dan putih, tampak seorang gadis muda sedang tertidur diatas tempat tidur Queen-size. Gadis itu tersenyum lebar di dalam tidurnya sambil terkekeh kecil, menunjukkan betapa dia menikmati mimpinya itu.

"Tidak, tidak Oppa. Aku tidak masalah dengan hal itu. Tidak, tidak kau harus mendengarkan aku Oppa! Dengar! Kalau kau memang menyukainya, aku ikhlas! Sungguh! Aku—"

I need you, girl! Wae—

Bruk! Dengan setengah sadar gadis itu mematikan jam alarmnya dengan tidak berperikemanusiaan. Ia pun terduduk di atas tempat tidurnya dengan mata yang masih setengah terpejam. Setelahnya, ia memiringkan tubuhnya menghadap kearah jam alarmnya di atas meja kecil disamping tempat tidurnya.

"Urgh!" decaknya kesal. "Bagaimana bisa kau! Alarm sialan! kau menganggu tidurku tepat disaat-saat yang paling kutunggu! Tidakkah kau tau kalau—"

Knock! Knock!

Lagi lagi ucapan gadis itu terputus oleh suara ketukan pintu kamarnya. Gadis itupun menghela nafas. Lagi lagi celoteh paginya harus terputus di tengah jalan.

"Ya?" sahut gadis itu.

"Apa kau sudah bangun?" tanya suara seorang wanita dari belakang pintu.

Gadis itu memutar bola matanya malas. "Belum, aku masih jauh di dalam mimpiku. Ada apa?" respon gadis itu.

"Yah! Aku bertanya serius!" kesal si pemilik suara.

"Makanya kau jangan menanyakan hal-hal yang aneh. Tentu saja aku sudah bangun, buktinya aku bisa menjawabmu tadi." kesal gadis itu.

Sih pengetuk pintu pun terkekeh mendengar jawaban gadis itu. "Baiklah, baiklah aku yang salah. Boleh aku masuk?" tanyanya lagi.

"Tentu saja." balas gadis itu. Tanpa menunggu lama, pintu kamar gadis itupun terbuka. Masuklah seorang wanita kedalam kamar gadis itu. "Kenapa kau masih di atas tempat tidurmu? Kau tidak lupa 'kan kalau hari ini adalah hari Senin, itu artinya kau masih harus berangkat ke sekolah?" celoteh wanita itu begitu masuk dan mendapati gadis—adik perempuannya—masih duduk santai di atas tempat tidurnya.

"Aku tahu kok. Tenang saja, kak. Aku baru saja bangun. Kau yang datang terlalu awal ke kamarku." balas gadis itu. Wanita itu kembali terkekeh lalu mendudukkan dirinya disamping adiknya.

"Hei! Jangan cemberut begitu. Aku 'kan hanya bertanya." kekeh wanita itu.

"Aku tau. Maaf, aku memang sedikit tidak bisa mengontrol emosi di pagi hari. Ada apa, kak?" bingung gadis itu. Pasalnya sang kakak tidak pernah repot-repot untuk mengecek kamar adiknya, kecuali ada hal penting atau dia memerlukan sesuatu.

"Tidak ada apa-apa. Hanya ingin mengajakmu berangkat bersama nanti. Bagaimana? Oh iya, cepatlah bersiap-siap. Kita harus sarapan bersama hari ini. Kakak turun dulu ya, harus membantu ibu menyiapkan sarapan. Cepatlah berkemas!" setelahnya wanita itu langsung beranjak keluar dari kamar sih gadis dengan tidak lupa kembali menutup pintu kamar adiknya itu.

Defhia POV

Aku memiringkan kepalaku bingung. Apa aku tidak salah dengar? Kakak ingin mengajakku berangkat bersama? Apa aku masih bermimpi?

"Aish, memikirkannya saja sudah membuat kepalaku pusing. Aku tidak perduli. Pada akhirnya aku juga akan tahu." acuhku.

Ah! Aku bahkan belum mengenalkan diriku! Maaf! Hallo! Namaku Defhia. Hei, jangan menatapku seperti itu. Aku tau namaku terdengar cukup aneh. Okay,sangat aneh. Tapi, seaneh apapun namaku, ini tetaplah pemberian orangtuaku. Better respect that, dear.

Aku tinggal di Seoul, Korea Selatan. Well,aku memang bukan orang asli Korea. Aku adalah orang Indonesia. Aku pindah ke Seoul saat umurku 4 tahun, tepat sebelum aku bisa memulai sekolah. Kedua orangtuaku menikah di Indonesia, namun tanpa sepengetahuanku mereka ternyata sudah merencanakan untuk tinggal di Korea Selatan sejak dulu, bahkan mungkin sebelum aku lahir.

Setelah menabung dan mengumpulkan uang yang cukup, orangtuaku berhasil untuk membeli rumah, mendapat pekerjaan yang stabil dan hidup tenang sebagai warga Korea Selatan. Kami hidup berempat di Seoul. Ayah, ibu, kakakku dan aku. Kalian sudah bertemu dengan kakakku. Namanya Kinzu. Ia wanita karier berusia 28 tahun. Dia berkerja di salah satu perusahaan luar negeri di Seoul. Dia berkerja sebagai seorang event organizer disana. Jangan tanyakan padaku bagaimana bisa seorang event organizer bekerja di sebuah perusahaan luar negeri, karena aku juga tidak tahu. Yang jelas, ia sangat membantu keuangan keluarga kami.

Sedangkan aku adalah anak terakhir dari orangtuaku, aku baru berumur 17 tahun, ini adalah tahun terakhirku. Aku bersekolah di Seoul International High School. Dan aku adalah senior sekarang. Yes!Oh ya, aku sudah berulang kali meminta untuk disekolahkan di sekolah swasta biasa, namun orangtuaku tidak setuju. Mereka berdua ingin aku merasa nyaman bersekolah disini, dengan masuk sekolah internasional mereka merasa aku tidak akan merasa aneh sebagai warga asing disini.

Aku tidak masalah menjadi warga asing disini. Lagipula aku sudah sah sebagai warga Negara Korea Selatan sekarang. Akan sangat konyol jika masih ada saja yang mengangapku aneh. Tapi, orangtuaku tetap tidak setuju. Dan aku rasa tidak ada salahnya untuk mengikuti keinginan mereka. Toh, aku tidak dirugikan. Aku juga tidak ingin mereka menjadi stress karena mengkhawatirkanku.

Selain itu, sampai saat ini aku belum mempunyai adik. Aku tetaplah anak bungsu di keluarga ini. Mungkin itu jugalah yang membuatku menjadi sedikit manja dan kekanak-kananak. Tapi, biarpun begitu aku senang tanpa seorang adik. Aku tidak terlalu menyukai anak kecil, jadi aku harap aku tidak harus berurusan dengan mereka. Sampai kapanpun.

Aku rasa cukup sekian perkenalanku. Ya ampun! Aku harus segera berkemas. Sampai nanti!

07:20 AM

Ah, lega rasanya. Asal kalian tahu, biasanya aku memerlukan waktu lama untuk berkemas. Bisa selesai pada pukul 07:20 adalah suatu keajaiban. Dengan segera aku pun menuruni anak tangga dari kamarku menuju ruang makan.

"Selamat pagi!"

"Selamat pagi!" sahut tiga suara berbeda dari ruang makan. "Ah, Defhia! Tumben sekali kau sudah siap? Bukankah ini baru pukul 07:20?" tanya ibuku heran. Sebelum aku sempat menjawab, kakakku sudah terlebih dahulu menyahut.

"Jangan khawatir bu! Hari ini aku berniat untuk mengantarnya ke sekolah." sahut kakakku.

"Apa? Bukankah biasanya kau akan terlambat jika mengantar adikmu dulu?" tanya ibu bingung.

"Aku juga bingung bu. Tapi, aku terlalu lapar untuk berurusan dengan hal ini, apalagi ini masih pagi." keluhku. "Sarapan dulu?" pintaku pada ibu. Ibu terkekeh kecil, begitu juga dengan ayah dan kakak. Apa-apaan mereka. Aku 'kan serius, kenapa menertawakanku.

"Yah! Kenapa tertawa? Aku serius! Berfikir pagi-pagi tanpa sarapan itu tidak baik!" celotehku sambil memanyunkan bibir kesal.

"Sudahlah, Defhia. Berteriak pagi-pagi juga tidak baik. Duduklah. Kita sarapan lalu kau bisa membahasnya lagi dengan kakakmu. Bagaimana?" tegur ayah.

Wajahku memerah mendengar teguran ayah. Bodoh sekali aku! Sudah jelas belum sarapan, tapi sudah berteriak-teriak di meja makan. Aku jadi semakin lapar dan lemas.

"Aku mengerti." sahutku lalu duduk di samping kakakku. Dia menoleh padaku sambil tertawa kecil. "Kau ini sudah berusia 17 tahun, masih saja berkelakuan seperti anak TK. Cepatlah dewasa! Tidak akan ada pria yang mau menikahimu kalau kau terus bersikap seperti itu."

Aku mengendus kesal. Aku sebal sekali dengan pembicaraan seperti ini. "Yah! Aku ini baru berumur 17 tahun. 17 Tahun kak! Masih terlalu awal untuk berfikir pernikahan. Harusnya kakak yang memikirkan soal itu. Memang mau jadi perawan tua." Ledekku sambil menjulurkan lidah. Rasakan!

"Apa kau bilang! Yah—"

"Hentikan kalian berdua! Ini masih pagi! Jangan membuat keributan di depan meja makan. Cepatlah makan lalu berangkat. Kalian berdua bisa terlambat." tegur ibu.

Aku dan kakak dengan sigap langsung menyantap makanan kami. Demi apapun, ibu yang sedang marah tidak boleh kau ganggu. Lebih garang bahkan dari anjing penjaga Mr. Kim di samping rumah.

08:00 AM

"Benarkan apa kata ibu. Sekarang kalian berdua terlambat." kesal ibu.

"Aku tidak terlambat ibu. Kelas dimulai pukul 08:30. Lagipula jarak rumah dan sekolah cukup dekat. Aku tidak akan terlambat, tenang saja." sahutku menyakinkan ibu. "Tapi aku tidak tahu perihal kakak." Lanjutku sambil melirik kearah kakak yang masih memakai sepatu heels kerjanya.

"Aku sedang cuti hari ini." sahutnya.

"Kau cuti? Lalu, untuk apa kau berpakaian seperti itu? Ditambah bangun sepagi ini?" selidik ibu.

Aku hanya menatap kakak bingung. Aku jadi semakin curiga. Sudah ingin mengantarku sekolah, sekarang tiba-tiba dia mengambil cuti. Bukannya kenapa, kakakku itu seorang worckaholic. Dia tidak akan mengambil cuti untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya atau tidak darurat. Seperti sekarang.

"Kakak mau menikah?" tanyaku asal.

"Apa!?"

"Menikah?"

"Jangan!"

Teriak tiga respon berbeda. Aku menatap mereka bingung.

Pletak!

"Hei! Sakit! Masih dipakai tahu!" keluhku saat kakakku menjitak kepalaku tercinta.

"Makanya jangan membahas yang aneh-aneh! Kakak ada urusan penting, kebetulan satu arah dengan sekolahmu. Karena itu kakak mengajakmu berangkat bersama. Apa tidak bosan berangkat sendirian terus?" jelas kakak.

"Tidak. Aku tidak bosan." jawabku polos. Kakakku bersiap kembali menjitakku. "Tidak! Baikhlah, ayo berangkat bersama! Pasti menyenangkan!" sindirku.

"Kalian berdua ini. Tidak baik pagi-pagi membuat orangtua terkejut seperti itu." tegur ayah. "Sudah, sudah. Ayo berangkat sekarang. Ibumu sudah menunggu dari tadi." ajak ayah.

Aku dan kakak pun bergegas menuju pintu depan rumah kami. Kami berpamitan pada ibu setelah sebelumya meminta ayah untuk menunggu di dalam mobil. Biasanya aku dan kakak berangkat mengunakan bus. Hanya ayah yang mengendarai mobil ke kantornya. Namun, karena hari ini kami berangkat di jam yang sama ayah pun memutuskan untuk mengantarkan kami hingga ke stasiun.

"Kami berangkat!"

08:15 AM

"Terima kasih tumpangannya ayah. Hati-hati di jalan." Ucap kakakku saat kami tiba di stasiun. Aku hanya melambaikan tangan kearah ayah.

"Ah, kita masih harus menunggu 5 menit lagi." keluhku. Aku tidak suka menunggu.

"Jangan berlebihan. Hanya 5 menit. Bukan 5 jam." protes kakakku.

"Tetap saja. Intinya aku tetap harus menunggu. Padahal biasanya aku tidak perlu menunggu." Kesalku. Aku dan kakak memilih untuk menunggu sambil berdiri, lagipula hanya 5 menit saja.

"Kau ini, tetap saja seperti dulu. Lagipula kita tidak sedang menunggu bus." jawab kakakku.

"Ha? Apa aku tidak salah dengar? Tidak menunggu bus? Lalu, apa yang kita lakukan disini? Menunggu hujan uang?"

"Kalau kau mau menunggu hujan uang, silahkan saja."

"Yah! Aku ini serius kak!"

"Kita menunggu jemputan kakak."

"Jemputan? Oh, maksud kakak begitu. Baiklah. Tapi, aku tetap harus menunggu busku. Asiknya naik jemputan aku juga mau." Iriku tetap dengan manyunan bibir.

"Kau ikut denganku."

"Apa? Ikut dengan siapa? Aku ini masih harus sekolah kak. Aku tidak bisa langsung bekerja."

Kakakku menghela nafas. "Kau ini bawel sekali, aku 'kan sudah bilang kalau aku ini cuti. Jadi aku tidak akan mengajakmu ke kantorku. Lagipula bisa hancur reputasi kakak kalau membawamu ke kantor kakak."

"Lalu kau mau mengajakku kemana? Ah! Berarti kau mengajakku membolos! Kakak macam apa kau! Tapi, aku tidak masalah. Asal jangan katakan pada ayah atau ibu."

Kakak memutar bola matanya malas. Hei! Apa-apaan itu! Itu 'kan ciri khas ku kenapa dia melakukannya juga.

"Kau ini! Kadang kakak bingung denganmu! Terkadang kau sangat pintar, bahkan aku sampai tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Tapi, terkadang kau sangat idiot dan lambat. Seperti saat ini."

Idiot? Lambat!? Kenapa pagi ini aku jadi kena sasaran penghinaan seperti ini? Aku ini cuma gadis 17 tahun biasa! Aku benar-benar merasa terpojok saat ini! Belum sempat aku membalas kakak, sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan kami. Membuatku memiringkan kepala bingung.

Aku semakin bingung melihat kakak yang menghampiri mobil itu, membuka pintunya lalu duduk di kursi penumpang. Ia menoleh kearahku dan menatapku bingung. Apa?

"Apa yang kau lakukan disana? Masuklah!"

"EH? Ini mobil jemputan yang kakak masuk? Ini!? Wah—" belum selesai aku berdecak kagum, kakak sudah kembali memotong ucapanku.

"Ssst! Jangan berisik! Ayo masuk stasiun sudah semakin ramai! Jangan berdiri saja disana!" tegur kakak.

Dengan tergesa aku segera membuka pintu penumpang dan masuk kedalam lalu duduk tepat di samping kakakku.

Author POV

Defhia masih menatap kagum pada interior mobil yang ia naiki saat ini. Keluarga Defhia bukanlah keluarga kelas atas di Korea Selatan. Mereka sederhana dan cukup. Jadi, wajar saja 'kan kalau dia terkagum melihat isi dari mobil sedan hitam yang biasanya hanya ia lihat di jalan dan drama-drama saja?

Kinzu tertawa kecil melihat sang adik yang masih asik sendiri dengan kekagumannya. "Hentikan itu! Wajahmu membuatku geli!" ia pun tak dapat menahan tawa dan mulai tertawa kecil.

"Apa? Geli? Wajahmu dan wajahku itu mirip, kak. Kalau wajahku menggelikan, bayangkan hal yang sama dengan wajahmu. Aku yakin kau akan merasa lebih geli." Celoteh Defhia.

"Kau—"

"Ekhem!" dehem sebuah suara dari kursi supir.

"Gosh!" kaget Defhia. "Yah! Apa-apaan itu! Kau mengagetkanku! Kalau aku mati muda apa kau mau bertanggung jawab!" kesalnya.

"Maaf, Suga. Dia memang berisik. Seperti radio rusak. Abaikan dia." Sahut Kinzu.

"RADIO RU— okay, kakak ini sudah—" Defhia berhenti secara tiba-tiba begitu menangkap bayangan pria yang tengah menyetir mobil di depannya.

"A-apa kakak bilang tadi? S- si- siapa nama pria ini tadi?" tanya Defhia dengan terbata.

"Suga. Min Suga. Min Yoongi. Silahkan kau pilih." Sahut pria yang masih asik berkutat dengan setir mobil.

"Aku tidak bertanya padamu!" reflek Defhia. "E-eh, maksudku. Aku bertanya pada kakakku. Sangat tidak baik memotong pembicaraan orang lain, Suga." jelas Defhia.

Krik. Krik. Krik.

"YA AMPUN! KAU ADALAH SUGA! YA AMPUN!" teriak Defhia tidak karuan. Ia pun berbalik menghadap kakaknya lalu menggoncangkan tubuh kakaknya. "KAK! INI SUGA! KAK APA KAU—"

Kinzu meletakkan kedua telapak tangannya tepat di depan mulut Defhia, menghentikan gadis itu dari teriakan berkuahnya.

"Hentikan! Kau menjijikkan! Bicaralah seperti orang normal!" kesal Kinzu. "Aku tau dia Suga. Karena itu aku mengajakmu hari ini." jelas Kinzu dengan tetap tenang, berbanding terbalik dengan Defhia yang sudah terkena serangan jantung kecil-kecilan.

"A-aku tidak mengerti, bagaimana bisa kakak yang bahkan bukan K-popers bisa tau soal Suga!?" teriak Defhia.

"Ya ampun, kid. Bisakah kau kecilkan volume suaramu itu? Aku terlalu muda untuk menjadi tuli." cibir Suga.

Defhia mendelik kesal. "Dengar. Panggilanmu saja adalah Grandpa. Bagaimana bisa kau 'terlalu muda'."

"Wah, tak kusangka kau bisa tenang juga berhadapan dengan idola favoritmu." puji Kinzu.

"KAU BENAR! OH MY GOD! DIA IDOLAKU BAGAIMANA INI!" histeris Defhia.

Kinzu menghela nafas dalam. "Aku terlalu cepat memujimu. Dengar. Cobalah untuk tetap tenang, akan kujelaskan begitu kita sampai ttujuan. Dan. Jangan tanyakan kemana. Kau tunggu saja dan jadilah adik yang baik. Atau, aku akan membakar semua koleksi BLmu atau apalah itu." ancam Kinzu.

"Hei! Kau tidak bisa melakukan itu!—"

"Karena itu diamlah!"

"Ck." kesal Defhia, namun dia diam mengikuti keinginan sang kakak, bagaimanapun koleksi BLnya lebih penting daripada harga dirinya.

Defhia POV

09:00 AM Big Hit Entertaiment

Aku yakin kalau aku masih tertidur di kasurku dengan air liur yang menetes dan piyama yang tak terpakai rapi. Aku yakin itu! Tak ada lagi penjelasan masuk akal selain itu. Bagaimana bisa aku ada di agensi salah satu group idola favoritku. Bagaimana bisa!

"Apa adikmu baik-baik saja? Dia terlihat.. pucat?"

Suara itu! Suga!

"Kau! Kenapa kau masih disini!"

Suga menatapku bingung. "Aku sudah mengantarmu selama kurang lebih satu jam perjalanan. Bagaimana bisa kau masih tidak percaya kalau aku ada disini!?" ujar Suga dengan wajah tidak percaya.

Aku terdiam. Benar juga apa yang dikatakannya. Bagaimana bisa aku selalu panik setiap mengingat ada dia disini. Salahkan dia yang pendek, kecil dan pucat seperti itu. Dia jadi tak terlihat.

"Apa katamu!?" kesal Suga.

Apa? Aish, lagi-lagi aku mengatakan apa yang aku pikirkan. Aku benci kebiasaanku ini.

"Dengar, Suga. Maafkan adikku. Dia memang sedikit berbeda. Dia unik." sahut kakakku.

"Aish, sudahlah. Aku tidak mengerti adikmu. Tapi kurasa kita hampir terlambat. Ayo masuk." ajak Suga.

Kenapa aku masih belum juga terbangun? Apa aku benar-benar bermimpi?

Aku menaikan tanganku lalu mencubit pipiku pelan. "Aw!" aku mendesis. "Sakit." Ternyata aku tidak bermimpi. Kepalaku pusing. Aku rasa aku bisa pingsan saat ini juga.

"Defhia? Ya ampun! Kenapa masih disana? Ayo! Kita harus segera masuk, kita tidak boleh terlambat!"

"A-aku datang!"

Ya ampun.

09:20 AM

"Selamat datang di BTS's Studio. Buatlah dirimu senyaman mungkin." Sambut Suga begitu dia membukakan pintu untuk kami masuk.

Aku tersenyum kecut. Aku memang sudah tidak lagi terlalu histeris dengan keadaan sekarang. Tapi, akibat berfikir terlalu banyak tadi, aku jadi mual sekarang. Aku rasa wajahku sudah sepucat mayat.

"Ah, Suga! Apa kau punya minuman hangat? Kurasa adikku perlu menenangkan diri."

Suga menatapku khawatir. Sungguh, aku tidak mengada-ada. Aku rasa aku sudah terlihat sangat parah kalau sampai Grandpa ini bahkan mengkhawatirkanku.

"Kau benar. Dia malah semakin pucat. Tunggulah, aku bisa turun ke kafe di bawah dan membelikannya sesuatu. Kalian tunggu saja disini." setelahnya ia langsung mengambil dompetnya di meja lalu beranjak keluar.

"Maaf merepotkanmu!" teriak kakakku.

Aku masih berdiri terdiam di tempatku. Aku sungguh-sungguh pusing dan mual. Kakakku menarikku pelan lalu mendudukkanku di sofa di pinggir studio. Ya ampun, aku bahkan tau kalau studio ini yang dipakai Grandpa untuk membuat lagu-lagunya. Bahkan, lagu yang menjadi favoritku. Never Mind, contohnya.

"Kau baik-baik saja? Aku sungguh tidak bermaksud untuk membuatmu terkejut separah ini. Aku hanya berniat memberikan sedikit kejutan." jelas kakakku. Wajahnya terlihat sangat menyesal. Dia sangat konyol. Bagaimana bisa dia berfikir kalau aku marah karena hal ini.

Aku tersenyum pelan. "Ya ampun, kak. Hentikan wajahmu itu. Membuatku semakin mual!"

"Yah! Sudah kuduga! Kau ini memang menyebalkan! Bahkan dalam situasi seperti ini!" geram kakakku.

"Hehe. Aku hanya bercanda kak. Tapi, aku memang sedikit mual dan pusing. Mungkin karena shock. Tapi bukan berarti aku tidak suka dengan kejutan kakak. Jangan khawatir." ujarku menyakinkan.

Kakakku tersenyum tipis. "Baiklah, kurasa sambil menunggu Suga kembali, kita bisa menghabiskannya dengan penjelasan."

Aku menghela nafas. "Aku rasa kepalaku akan pecah. Sampai sekarang aku tidak percaya kalau aku ada di dalam studio Grandpa."

"Grandpa? Kau bahkan sudah terdengar akrab dengannya. Aku salut." tawa kakak.

"Bukan begitu. Ayolah jangan menggodaku. Cepat kak, jelaskan yang sebenarnya. Aku sudah baikan kok!"

"Iya, iya. Baiklah. Jadi begini, kau tentu tau bukan kalau kakak bekerja tetap sebagai event organizer di salah satu perusahaan luar negeri bukan? Dan, kakak juga tidak pernah memberikan detail soal perusahaan kakak."

"Aku menghargai itu. Itu privacy kakak. Ayah dan ibu juga tau akan hal itu. Kami mempercayaimu."

"Ah, terima kasih. Jadi, sebenarnya kakak tidak berkerja sebagai event organizer dalam perusahaan luar negeri. Well, lebih tepatnya hanya perusahaan biasa."

"Biasa?"

"Iya, jadi kakak hanya bekerja di perusahaan swasta biasa, bukan perusahaan besar yang wah dan sebagainya, kau tahu?"

"Ah, aku rasa tidak begitu masalah di mana kakak bekerja. Kakak sudah sangat membantu keuangan keluarga kita, itu sendiri sudah sesuatu yang wah, kak. Tidak perlu khawatir." ujarku meyakinkan.

"Ya, terima kasih. Dan, ketika kakak bilang hanya perusahaan biasa, yang kakak maksud adalah perusahaan eh.. seperti agensi, kau tahu? Tempat para idols berkumpul, trainee, membahas event, produce dan lain lain?"

"Ya? Lalu?"

Kakakku memutar bola matanya malas, hei menyebalkan. Akhir-akhir ini dia melakukan itu terus, itu kan ciri khasku.

"Apa kau masih tidak mengerti maksud kakak?"

"Tidak. Jadi, kakak bekerja sebagai event organizer suatu agensi? Cool. Apa hubungannya dengan ini semua?"

Kakak menepuk dahinya pelan. Kenapa dia?

"Kau ini bodoh atau apa? Lihat sekelilingmu? Dimana kita sekarang."

Aku melihat sekeliling. Bisa dipastikan kalau kita berada di studio Grandpa.

"Studio Grandpa." jawabku singkat.

"Secara umum, di mana kita? Ya ampun."

"Big Hit?" jawabku ragu.

"Damn, yes! Goddamit how can you be so slow?" oceh kakakku. Dia selalu berbicara dalam bahasa Inggris ketika kesal, aku rasa dia sedang kesal sekarang.

"Lalu?"

"Argh!" geram kakakku. "Itu artinya aku bekerja disini! Di Big Hit!"

"Big Hit? BIG HIT?"

"Ya! Akhirnya kau mengerti juga, aku tidak mengerti kecepatan otakmu itu. Sudah terlalu lambat untuk anak seusiamu."

"Hei! Rude."

"Aku sebenarnya tidak terlalu berpikir panjang apakah aku perlu memberitahumu atau tidak. Karena kupikir kau tidak mempunyai idol yang berasal dari agensi ini, dan lagi aku juga tidak bisa untuk selalu mengajakmu kalaupun kau tertarik. Pekerjaanku bukan bidangmu. Barulah sekitar 2 minggu yang lalu, kau menceritakan padaku soal BTS dan aku baru sadar kalau ternyata idol mu adalah salah satu idol yang sering mengunakan jasaku disini. Karena itu aku berpikir untuk menjadi kakak yang baik dan mengundangmu kesini. Rencana itu seharusnya kulakukan minggu lalu, tapi setelah dipikir-pikir mengundangmu kesini juga bukanlah hal yang professional karena itu aku membatalkannya. Tapi, mengingat bagaimana 3 hari lalu kau sangat kecewa karena tidak bisa menghadiri fanmeet BTS membuatku tak tega. Dan, jadilah aku mengajakmu kesini!" Kakak mengambil nafas panjang setelah ia menjelaskan secara panjang lebar.

"Wow, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Sungguh."

"Aku kembali. Ini. Minumlah selagi hangat. Aku tidak tahu minuman apa yang kau suka, jadi aku memilih Chocolate Hot Milk. Kurasa semua orang menyukainya." Jelas Grandpa sembari menyodorkan minuman itu kehadapanku.

"Terima kasih, Grandpa." jawabku sembari mengambil minuman dari tangannya. Aku menyesapnya pelan. "Ah, nikmat. Terima kasih!"

"Tunggu? Grandpa katamu? Aku ini kelahiran '93, kid." protes Suga.

"Aku tahu. Aku ini 'kan fans mu. Tentu aku tahu hal basic seperti itu. Aku hanya sangat suka kata Grandpa itu, sangat cocok denganmu! Sungguh!" jelasku kagum.

"Ck. Beruntung kau adalah adik dari Kinzu, kalau tidak aku sudah mengulitimu hidup-hidup." ancam Suga.

Aku mendelik kesal. "Dengar ya, untuk bergerak secara umum saja kau sudah kelelahan. Bagaimana bisa kau ingin mengulitiku? Kurasa kau akan pingsan di tengah jalan. Lalu, aku juga yakin kau juga akan terlalu malas untuk menyembunyikan mayatku dan berakhir mengaku pada polisi karena kau tidak perduli."

"Wow. Aku tidak tahu apakah itu pujian atau hinaan." balas Suga, namun dengan senyum tipis di wajahnya. Kurasa ia adalah satu dari sekian orang yang mengerti selera humorku.

"Kalian berdua terlihat lucu. Seperti pasangan. Aw!" kakakku bersiul ria.

"Apa!? Dengan Grandpa seperti ini! Ya ampun!" keluhku.

"Hei! Siapa juga yang berminat untuk menghabiskan seumur hidupku bersama dengan bocah ingusan macam kau!" balas Suga.

"Bocah? Jangan berbohong! Kau bahkan terlihat terlalu bahagia saat bersama Jeon Jeongkook!" tuduhku.

Tunggu. Apa tadi aku bilang Jeon Jeongkook?

"Kau bilang siapa tadi? Jeon Jeongkook?" bingung Suga.

Gawat! Ketahuan sebagai fans nya yang kelebihan energi saja sudah memalukan. Apa perlu aku juga ketahuan sebagai seorang Shipper!?

"A-apa? Jeon siapa? Aku yakin kau salah dengar. Haha" kau bodoh Defhia, kau bodoh! Aku memang tidak pernah pandai berbohong. Goddamit!

"Kau sangat payah dalam berbohong. Kau membuatku malu." jelas kakakku. "Duduklah dulu Suga, aku lelah melihatmu berdiri." lanjut kakakku sambil tertawa kecil.

"Ah, kau benar." dengan segera ia menuju kursi favoritnya. Tepat di depan komputernya. "Nah, kalian silahkan melanjutkan cerita kalian. Aku ada sedikit urusan disini." setelahnya ia langsung membalikkan tubuhnya dan sibuk berkutat dengan laptopnya.

"Tapi, aku tidak pernah tahu kalau suatu agensi mempunyai event organizer pribadi? Bukankah ini justru disediakan promotor? Atau ada team tersendiri?" tanyaku bingung. Setelah ribut sebentar dengan Grandpa, aku rasa otakku kembali berfikir normal. Ditambah lagi minuman ini amat sedap! Yum!

"Mungkin agensi pada umumnya melakukan hal itu. Itu juga salah satu alasan kakak tidak pernah menceritakan padamu perihal detail pekerjaan kakak. Karena tak akan ada yang percaya." jelas kakak sambil tersenyum.

Apa kakak merasa tidak puas dengan pekerjaannya?

"Aku rasa tidak penting apakah orang akan percaya atau tidak dengan pekerjaan kakak. Yang terpenting aku, ibu dan ayah sangat percaya pada apapun yang kakak lakukan. Kakak tidak pernah melakukan apapun secara setengah-setengah, aku percaya kakak juga pasti pekerja keras disini. Aku sangat bangga padamu kak!" pujiku sambil tersenyum lebar dan mengacungkan kedua buah ibu jariku.

Aku sebenarnya tidak pandai memuji orang lain, tapi untuk kali ini aku ingin kakak merasa lebih baik. Dia sudah melakukan yang terbaik, dia seharusnya tahu itu.

Kakak mengelus kepalaku pelan. "Terima kasih, Defhia. Kakak juga bangga padamu."

"Kalian membuatku terharu." canda Grandpa sambil memutar kursinya menghadap kami.

"Kau tahu, Defhia. Pekerjaan Kinzu memang terbilang tidak ada di agensi-agensi lain, tapi di Big Hit menurutku dia berperan sangat besar. Sebagus apapun promotor yang mengundang kami, setiap entertainer dari Big Hit akan merasa tidak puas jika event tersebut belum dievaluasi oleh Kinzu. Karena tidak seperti event organizer yang lain, Kinzu mencoba mengenal dan mengerti kami, sehingga dia tau bagaimana susunan event yang akan membuat kami nyaman dan bisa berinteraksi dengan fans lebih baik." tambah Grandpa.

Kakak tertawa pelan, bisa kulihat dia malu dengan semua pujian itu, lihat saja wajahnya yang sudah memerah itu.

"Suga berlebihan. Tapi, memang seperti itulah pekerjaanku. Mungkin aku bisa membuat mereka nyaman karena bagaimanapun juga aku berinteraksi dengan mereka, tentu lama kelamaan aku mengenal mereka secara dekat."

Aku menganguk pelan. Tak kusangka pekerjaan kakak yang selama ini kukira membosankan terdengar menyenangkan. Membuatku iri.

"Eh, tapi bukankah kakak sudah bekerja sebagai event organizer sejak kakak lulus kuliah? Itu berarti sekitar 5 tahun? Wah!"

"Iya, tapi tentu tidak semua 5 tahun itu kuhabiskan di Big Hit. Aku baru berkerja disini selama 3 tahun kok." jelas kakakku.

Aku menganguk mengerti.

"Jika kau mengerti mungkin kau sudah bisa tenang, 'kan?" tanya Grandpa.

"Tentu, aku sudah tenang 'kan bertemu dengan mu. Asal kau tidak melakukan hal yang aneh, aku tidak akan bereaksi yang aneh. Bagaimanapun aku ini fan mu. Aku masih bisa histeris secara tiba-tiba." jelasku mengingatkannya.

"Kurasa kau akan baik-baik saja. Lagipula kau fan yang unik. Baikhlah, ayo!"

"Ha? Kemana?"

"Ke dorm BTS tentu saja!"

"APA!?"

To Be Continue

Author 's Note

Hallo, readers!

Mungkin pada chapter pertama ini tidak terlalu terlihat unsur Yaoi/BL yang memang merupakan unsur utama fan fiksi ini. Namun, jangan khawatir setiap pairings dan characters yang telah dicantumkan akan mendapatkan momen mereka tersendiri.

Jangan lupa bahwa fan fiksi ini adalah slow burn, sehingga memerlukan waktu sebelum benar-benar sampai pada inti cerita yang sebenarnya. Harap pembaca bisa menunggu dan tidak bosan dengan setiap chapter yang ada nantinya.

Maaf, saya baru muncul setelah sekian lama, di lihat dari terakhir kali saya update itu berarti sekitar kurang lebih 3 tahun yang lalu. Jujur saya juga merasa sedikit ragu untuk kembali melanjutkan fan fiksi yang saya buat, saya takut pembaca sudah jenuh menunggu atau mungkin bahkan sudah lupa dengan saya.

Jadi, saya harap kembalinya saya kesini bisa mendapat reaksi yang baik dari pembaca sekalian. Mungkin bagi yang pernah membaca fan fiksi saya, akan merasa aneh dengan bahasa yang saya gunakan sekarang, tapi saya tengah belajar menjadi seorang Author yang lebih baik lagi. Semoga dalam hal ini juga bisa diterima dengan baik.

Mengenai fan fiksi baru ini, saya tiba-tiba terinspirasi untuk kembali menulis fan fiksi, jadi tidak ada salahnya untuk memuatnya bukan?

Kembalinya saya ke tentu tidak hanya untuk memuat fan fiksi baru, bagi pembaca fan fiksi saya yang dulu, saya tetap akan memuat chapter selanjutnya dari setiap fan fiksi yang saya buat. Terkecuali, saya telah mengumumkan jika fan fiksi itu akan discontinued , maka saya akan tetap memuat lanjutannya. Semoga pembaca setia menunggu.

Sekali lagi, saya harap fan fiksi ini mendapat respon positif dari pembaca. Dan, terima kasih bagi mereka yang menyempatkan untuk membaca fan fiksi saya.

Terakhir, saya sangat terbuka untuk kritikan dan saran yang bisa diberikan.

Mind to review?