Shoyo tahu Kei itu ibarat racun. Namun seperti serangga yang masuk perangkap Dionaea muscipula, ia tidak bisa menolak magnet pemuda pirang itu. Teman-temannya sudah sering memperingatkannya mengenai hal itu, mengenai betapa mereka berdua ditakdirkan di dunia yang sama sekali berbeda. Shoyo dengan dunianya yang bersimbah cahaya mentari, Kei dengan dunianya yang pekat dan hanya muncul di tempat di mana manusia membutuhkan stimulus untuk meyakinkan dirinya bahwa mereka hidup.
Shoyo tahu itu, tapi pesona Kei masih terlalu kuat untuknya.
Kei yang dipuja banyak wanita, Kei yang tatapan matanya mampu menggelapkan logika, Kei yang kata-katanya mampu membuat orang lumpuh sekejap mata.
Kei seakan punya penjara khusus yang ia tawarkan untuk Shoyo. Memabukkan, mematikan, menumpulkan akal pikiran.
Bukan sekali dua kali Shoyo menemukan dirinya terbangun di apartemen Kei. Dengan pakaian berserakan di mana-mana, pinggang sakit, tubuh penuh bercak merah, plus kepala pusing akibat alkohol yang ia tenggak malam sebelumnya.
Tentu saja, mereka akan menyalahkan alkohol sebagai penyebabnya.
Namun Shoyo tidak pernah keberatan untuk mengulangnya. Lagi dan lagi.
.
.
Side to Side
Haikyuu © Haruichi Furudate
.
.
"Sho-chan!"
Kepala jingga itu menoleh ke arah sumber suara. Terlihat seorang pemuda berlari ke arahnya, melambaikan tangan. Senyum langsung merekah lebar di wajah Shoyo saat mengenali siapa yang memanggilnya.
"Izumin!" Mereka saling memeluk sejenak. Shoyo menepuk-nepuk punggung temannya sejak SMP itu.
"Kau dicari Kageyama, lho. Dia marah-marah karena kau bolos latihan voli tadi pagi. Katanya kalau kau juga bolos sore ini, ia mau menambah digit nomor punggungmu."
Shoyo meringis. Ia memang anggota klub voli di kampusnya, dan si Kageyama itu berstatus sebagai kapten tim. Tipikal yang sangat terobsesi dengan olahraga itu, ancaman paling kuat Kageyama adalah menambah digit nomor punggungmu yang kurang lebih berarti menurunkan derajatmu sebagai pemain.
"Lagi pula kau ke mana lagi? Ini sudah kesekian kalinya kau bolos latihan pagi, padahal dulu kau biasanya datang setengah jam sebelum latihan dimulai," selidik temannya.
Shoyo kembali meringis, ia menggaruk bagian belakang kepalanya tanda bingung mau menjawab apa.
"Aku bangun kesiangan tadi," akunya. Izumi mengangkat sebelah alisnya.
"Kesiangan sehingga terlambat mengejar kereta pertama dari Tokyo ke Miyagi?" tanyanya, retoris. Shoyo tersenyum canggung.
"Serius, deh, Sho-chan. Mau sampai kapan kau jadi mainan anak band tidak jelas itu? Dia bahkan tidak pernah repot-repot bangun saat kau pulang dari apartemennya."
Shoyo hanya bisa diam sambil tersenyum canggung. Skakmat.
"Aku memang tidak berhak untuk ikut campur dalam urusan hidupmu, tapi setidaknya sebagai teman aku tidak suka melihat kau jadi berantakan begini gara-gara manusia tidak jelas itu. Kalian bahkan tidak punya status apa-apa.
"Lihat dirimu. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali melihatmu tanpa ada bercak merah di lehermu. Lalu aku dengar dari teman sekelasmu kalau kau pernah masuk kuliah dengan keadaan masih hangover, diusir dosen karena mulutmu masih bau alkohol dan kena detensi. Aku tahu kau sudah legal untuk minum-minum, tapi mau sampai kapan kau mabuk hanya untuk mendapatkan alasan untuk ditiduri Tsukishima 'brengsek' Kei itu?"
Izumi bahkan tidak segan-segan menyematkan kata brengsek sebagai nama tengah Kei, ia sangat benci anak band itu. Ia merasa Shoyo jadi berubah seratus delapan puluh derajat sejak mengenalnya.
Shoyo masih terdiam sambil tersenyum canggung. Hening melanda mereka selama beberapa detik sebelum ia membuka mulut.
"Sudah ya, Izumin. Aku ada kelas setengah jam lagi. Bye!" ujarnya, melambaikan tangan dan berjalan meninggalkan temannya. Izumi menghela napas.
"Sudah begini pun kau tidak mau mendengarkan, ya?"
Mereka bertemu di sebuah bar. Tipikal pertemuan yang mengarah ke hal yang kurang baik. Shoyo baru pertama kali ke bar dan hanya diam di sudut ruangan dengan segelas cocktail di tangan, jelas-jelas menunjukkan sikap menyesal sudah masuk ke tempat itu. Tempat ini seperti terlalu aneh untuknya, seperti tidak pernah kena cahaya matahari selama sekian abad. Dan orang-orang di sana juga bukan tipe orang sepertinya, mereka bold, jelas mengatakan apa yang mereka inginkan lewat sorot matanya.
Ia merutuki keputusannya untuk coba-coba masuk bar cuma karena ia sudah legal untuk minum. Ia menyesap cocktail-nya sedikit, tersenyum simpul karena lumayan suka rasanya. Ia bahkan tidak tahu mau pesan apa tadi dan harus bertanya kepada bartender minuman apa yang cocok untuknya.
Bartender berambut hitam jigrak seperti baru bangun tidur itu hanya tertawa tadinya. Menawarkan Shoyo pesan susu rendah lemak dengan alasan agar bisa tumbuh lebih tinggi, bahkan mengatakan ia menyangka Shoyo itu anak SMP dan heran kenapa sekuriti mengizinkannya masuk. Shoyo hanya mengerucutkan bibirnya sebal sebelum akhirnya bartender itu serius mempertimbangkan minuman apa yang cocok untuknya.
"Margarita, eh?"
Shoyo mendongak, mendapati sosok tinggi berdiri di depannya. Tebakannya sih paling mereka seumuran atau beda sedikit, namun tinggi badannya membuat Shoyo merasa terintimidasi. Ia hanya tersenyum canggung menjawab pertanyaan yang terlontar dari pemuda itu. Si pirang tertawa kecil. Perut Shoyo bergolak tidak nyaman mendengarnya, entah kenapa pemuda ini punya karisma aneh yang bisa menyihir orang untuk otomatis menyukainya, atau minimal menganggapnya keren.
Pemuda pirang itu menghempaskan diri di sofa yang diduduki Shoyo, isi gelasnya tidak tumpah sedikit pun meski dengan gerakannya yang seperti itu. Shoyo bisa mengerti bahwa orang ini sudah biasa minum-minum.
"Namamu siapa?" tanyanya, menyandarkan punggungnya dan menyesap isi gelasnya sedikit.
"Shoyo," jawabnya pendek. Si pirang tersenyum menanggapinya, membuat Shoyo merasa darahnya rusuh naik ke wajah.
"Manis," komentarnya. Ia menenggak sisa minuman di gelasnya dan menaruh gelas kecil itu di meja di depan mereka.
Hening melanda sejenak, Shoyo hanya duduk kaku memegangi gelas cocktail-nya (dan tangannya serasa hampir membeku lantaran gelas minuman di tangannya ditambah dinginnya suhu ruangan) dan memandang lurus ke depan, sesekali melirik pemuda pirang di sampingnya yang terlihat memejamkan mata sambil mengetuk-ngetukkan kakinya mengikuti dentum musik yang mengalun keras.
"Kau tahu," pemuda itu membuka matanya, menangkap basah Shoyo yang sedang memandanginya, "orang biasanya bertanya balik siapa namaku saat aku menanyakan nama mereka."
Shoyo tersentak.
"Oh—maaf, namamu siapa?"
"Akhirnya," si pirang menghela napas, "kau orang pertama yang terlihat tidak tertarik padaku, padahal aku lumayan tertarik padamu, lho," ujarnya.
"A-aku tertarik, kok!"
Shoyo merutuki refleksnya barusan. Pemuda pirang di sebelahnya tersenyum, membuat Shoyo merasa harus membuang pandangannya karena, sumpah, ia malu sekali.
"Omong-omong, namaku Kei."
"Kei? Dengan kanji—"
"Yep, dengan kanji kunang-kunang. Jika selanjutnya kau akan bilang bahwa itu tidak cocok untuk kepribadianku, jawabannya adalah aku sudah tahu."
"Eh, tidak. Aku malah berpikir itu cocok untukmu."
Alis Kei terangkat.
"Serius?" Shoyo mengangguk-angguk, membuat rambutnya bergerak-gerak dan entah kenapa membuat Kei ingin merasakan tekstur rambut berwarna senja itu.
"Aku tidak tahu dengan kepribadianmu, tapi melihat dari penampilanmu sih nama itu cocok untukmu," jelasnya panjang lebar. Kei tertawa kecil, anak ini menarik.
"Kalau begitu kau orang pertama yang berpikiran seperti itu."
Setelah itu Shoyo nyaris tidak terlalu ingat apa-apa lagi, hanya potongan-potongan puzzle yang ia tidak tahu rangkaiannya. Yang ingat pasti adalah Kei menawarinya untuk membelikan minum, lalu pagi berikutnya ia terbangun di apartemen pemuda itu, tanpa busana dan pinggangnya sakit sekali. Kei tidur di sampingnya, keadaannya tidak terlalu berbeda jauh; hanya ketika tubuh Shoyo penuh bercak merah, punggung Kei penuh bekas cakaran, dan Shoyo tidak sepolos itu untuk tidak bisa menebak apa yang sudah terjadi malam sebelumnya.
Margarita: salah satu jenis cocktail
A/N: Haloo! Kayaknya ini multichap pertama saya di TsukiHina ya, udah lama juga gak nulis multichap lantaran takut terlantar kayak yang pernah kejadian wkwkwk. Cuma yang ini kayaknya emang harus dibikin multichap karena saya berencana ambil beberapa sudut pandang, dan palingan jadinya sekitar dua atau tiga chapter.
Anyway, fic ini terinspirasi dari lagu Side to Side yang dinyanyikan Ariana Grande—iya playlist saya nganu, maafin :""
