Beloved
Jaehyun x Taeyong
NCT © SM Entertainment
Warning! Alternate Universe, OOC, Typo(s), YAOI, Older!Jaehyun, etc
"Apa impian terbesarmu, hyung?"
"Aku ingin menangkapmu setiap kali kau jatuh, Taeyongie."
"Tapi bagaimana jika aku tidak pernah jatuh, hyung?"
"Maka aku akan diam, melihatmu dan menunggu kau membutuhkanku. Karena aku hyungmu."
Jika ada seseorang yang sangat Jaehyun kagumi dalam hidupnya, orang itu tak lain adalah ayahnya sendiri. Ia sangat, sangat, sangat mengagumi ayahnya. Bahkan impian terbesar dalam hidupnya adalah menjadi seorang ayah yang baik, seperti ayahnya.
Dia masih bisa mengingat sore itu, di mana ayahnya membawanya ke taman di dekat rumah mereka. Mereka akan bermain basket, atau duduk beristirahat setelah lelah mengajak jalan-jalan Rufus, anjing barunya. Dalam perjalanan pulang, ayahnya akan membelikannya hot bar. Lalu dia akan membiarkan Rufus mencicipinya sedikit. Anjing mungilnya akan mulai menjilati seluruh wajahnya setelah itu, mengungkapkan terima kasih sementara dia tertawa kegelian.
Gambaran-gambaran saat itu masih jelas dalam ingatannya. Hari-hari ketika ayahnya masih menjadi seseorang yang energik bahkan untuk menggendongnya di bahu saat berjalan pulang. Dengan Rufus yang mengikuti di belakang, berusaha menyingkirkan kupu-kupu yang terbang cukup rendah untuk menggodanya.
Saat itu, saat di mana usia tua belum menghalangi ayahnya.
Perjalanan pulang sore dia dan ayahnya adalah satu dari sekian banyak alasan kedekatan hubungan ayah-anak mereka. Jaehyun selamanya akan mengingat kenangan itu. Menghargai mereka dengan menyimpannya di dalam hati. Ayahnya yang begitu baik, lucu dan selalu memahami Jaehyun bahkan tanpa harus melalui kata-kata. Bagi Jaehyun ayahnya bukan hanya sosok orang tua atau wali yang mengasuhnya, tapi juga teman terbaik, sahabat yang mengerti dirinya.
Jaehyun menyayangi ayahnya. Sangat.
"Ayah! Suatu hari, aku akan menjadi ayah yang hebat sepertimu!"
Ketika Jaehyun kecil, ia telah begitu antusias menyatakan kepada ayahnya tentang mimpi terbesar miliknya. Dan ayahnya, hanya akan tertawa dan mengacak-acak rambut laki-laki kecilnya dengan gemas.
"Tentu saja, Jaehyunie."
Jaehyun kecil selalu menjadi anak kesayangan ayahnya. Dia selalu mendengarkan dan menuruti apapun perkataan ayahnya.
'Kau tidak bisa menunggu untuk mendapat teman, Jaehyunie. Karena kau yang harus memulai pertemanan. Jika kau ingin orang-orang menyukaimu, mulailah dengan membuat dirimu yang menyukai mereka lebih dulu. Bertingkah ramah, berbuat baik dan tersenyumlah pada mereka, maka tanpa kau tahu, mereka akan menyukaimu dengan sendirinya.'
Itu adalah perkataan ayahnya yang akan selalu Jaehyun ingat. Dan Jaehyun telah memegang teguh perkataan itu, bahkan hingga sekarang.
Itulah sebabnya ia selalu tersenyum kepada semua orang. Jaehyun selalu ingin semua orang menganggapnya sebagai anak yang menyenangkan, bahwa ia akan bisa menjadi teman yang baik. Jaehyun kecil tidak pernah mengalami kesulitan dalam menempatkan dirinya dalam pertemanan. Bahkan, dia punya banyak sekali teman.
Pada nyatanya, perkataan ayahnya memang benar.
Semua orang menyukai Jaehyun karena senyumnya yang cerah dan manis dihiasi dimple, jug tingkahnya yang baik serta tidak pernah ragu untuk mengulurkan tangan bagi siapapun.
Pada awal tahun terakhirnya di TK, Jaehyun bertemu dengan seorang anak kecil yang lucu. Jaehyun belum pernah melihatnya dan tampaknya dia adalah murid baru di TK itu.
Sosok asing itu duduk, atau lebih tepatnya bersembunyi di bawah pohon beringin di sebelah gedung TK, di saat semua anak TK lain sudah masuk ke gedung dan menuju aula untuk upacara tahun ajaran baru. Jaehyun kecil sendiri sudah akan masuk tadi. Tapi ketika melihat anak kecil lain duduk sendirian di bawah pohon, bukannya kembali ke aula, ia malah berjalan mendekatinya.
Sosok itu memang lucu, dengan tubuh kecil dan pipi chubby yang kemerahan. Garis bibir merah mudanya yang tipis tertarik ke bawah, membentuk cemberut.
Jaehyun telah memasang senyumnya yang paling manis dan mengulurkan tangan pada anak kecil itu, berkata riang, "Hai, aku Jaehyun."
Tapi mengejutkan, bukannya membalas uluran tangannya anak itu malah semakin cemberut. Tapi Jaehyun tidak mundur begitu saja, dia duduk di samping anak itu sebagai gantinya. "Apa yang kau lakukan di sini sendirian? Semua anak TK baru seharusnya di aula, upacara pembukaan akan dimulai."
"Upacara pembukaan itu bodoh." Jaehyun mendengar anak kecil itu bergumam pelan.
"Kenapa?" Tanya Jaehyun, penasaran. Dia secara pribadi menyukai upacara pembukaan. Tentu saja dia tidak suka bagian pidatonya, tetapi setelah itu mereka akan menyanyi, menari dan mendapat permen yang enak dalam jumlah banyak. Selain itu dia akan mendapat teman baru juga. Lalu kenapa anak ini tidak suka? Aneh, pikir Jaehyun.
"Bodoh saja," desah anak kecil itu, menolak untuk melihat wajah Jaehyun.
"Hmm. Apa karena itu kau lebih memilih bersembunyi di sini?"
"Aku tidak bersembunyi!" Anak kecil itu membantah.
"Lalu apa yang kau lakukan? Berbicara dengan alien?" tanya Jaehyun.
Mendengar itu, anak kecil di sampingnya mengangkat wajahnya untuk menatap Jaehyun dengan ekspresi aneh. Dahinya berkerut. "Kau percaya alien? Tapi appa bilang jika mereka itu hanya bohong dan tidak benar-benar ada."
"Tentu saja." kata Jaehyun penuh percaya diri. "Ayahku bilang tidak ada yang tahu pasti tentang kehidupan di luar planet Bumi, jadi kemungkinan alien itu memang ada."
Mata hitam besar milik anak kecil itu mengerjap, sebelum akhirnya mengangguk.
Jaehyun tersenyum. "Siapa namamu? Aku Jaehyun. Jung Jaehyun."
Kali ini, uluran tangan Jaehyun diterima dengan baik.
"Lee Taeyong."
Begitulah awal pertemuan keduanya, sebagai teman.
Taeyong dan Jaehyun tumbuh bersama. Mereka menjadi teman yang dekat setelah beberapa tahun berlalu. Di saat Jaehyun memiliki banyak teman melingkari di sekitarnya karena sikapnya yang benar-benar ramah. Taeyong tumbuh menjadi anak yang pendiam. Memilih untuk hidup sendiri dan tidak bergaul dengan siapapun kecuali Jaehyun, yang rupanya dua tahun lebih tua darinya.
Jaehyun sudah merasa khawatir tentang hal ini. Ia sudah mencoba beberapa kali untuk membuat Taeyong bergabung bersama yang lain tapi Taeyong selalu bilang tidak mau. Dia juga pernah meminta pada teman-temannya untuk mengajak Taeyong bermain bersama, hanya untuk ditolak dengan sinis oleh Taeyong. Saat Jaehyun sedang sibuk bersosialisasi dan bermain hide and seek dengan teman-temannya, Taeyong lebih memilih bermain game di PSP atau membaca buku.
Taeyong memang seperti itu. Dia tidak suka jika Jaehyun berada dekat dengan yang lain selain dirinya. Karena Taeyong benar-benar menganggap Jaehyun sebagai temannya. Hanya Jaehyun yang memiliki hak istimewa untuk meminjam PSP miliknya, meminta makan siangnya, juga mencicipi kue terenak buatan ibunya. Taeyong, bahkan sedari kecil, memiliki sikap posesif terhadap hal yang dia anggap miliknya. Tapi dia mau berbagi apapun, asalkan itu dengan Jaehyun-hyungnya.
Itu di tahun ketiga sekolah dasar bagi tahun, tahun kelima bagi Jaehyun, saat Taeyong dengan sengaja mendorong teman perempuan sekelasnya karena berani memeluk Jaehyun. Anak itu menangis setelah jatuh dan langsung berlari ke ruang guru untuk melapor. Tapi saat guru datang, Taeyong tidak bicara apapun. Jaehyun lah yang meminta maaf untuknya dan mengatakan untuk tidak menelpon ibu Taeyong.
Ketika ibu guru pergi, Jaehyun bertanya pada Taeyong kenapa dia melakukannya. Dan Taeyong tanpa basa-basi mengatakan jika ia tidak suka melihat anak itu memeluk Jaehyun.
"Kau bahkan tidak pernah memelukku, hyung," kata Taeyong. Anak berusia kurang lebih sepuluh tahun itu cemberut.
Jaehyun tertawa mendengar alasannya. Ia menarik Taeyong dan membawanya ke dalam pelukan, berjanji bahwa Taeyong akan mendapatkan banyak pelukan darinya mulai sekarang.
"Mendorong orang itu tidak baik, Taeyongie. Jangan lakukan itu lagi, oke?"
"Umm." Taeyong hanya mengangguk. "Aku janji, hyung."
Jaehyun tersenyum senang melihat tautan jari kelingking mereka.
Jaehyun benar-benar memegang janjinya untuk selalu memeluk dan berada di dekat Taeyong. Dan Taeyong juga sudah berhenti melakukan hal-hal buruk, meski dia masih terus menyendiri dan sering berkata sinis pada semua orang, tapi paling tidak dia tidak mendorong setiap orang yang memeluk Jaehyun lagi. Mereka tumbuh bersama dan menjadi sangat dekat. Jaehyun benar-benar menyukai Taeyong. Kelakuan tsundere-nya terkadang menjadi sangat menggemaskan di mata Jaehyun.
Jaehyun sendiri tidak tahu kapan dirinya menjadi begitu tinggi. Bukan hanya dia, tapi Rufus, anjing kecil putihnya kini juga menjadi lebih tinggi dan besar. Ia sudah tidak kelihatan imut sekarang, tapi masih menggemaskan. Jaehyun benar-benar baru sadar dengan pertumbuhan tingginya saat Taeyong mulai memberikan protesan padanya agar berhenti minum susu.
"Bagaimana bisa kau jadi setinggi ini, hyung? Lihat!" Taeyong berdiri tepat di samping Jaehyun, cemberut saat membandingkan tinggi tubuh mereka. "Bagaimana bisa kepalaku sejajar dengan bahumu? Aish!"
Jaehyun tertawa. Ia mengacak rambut Taeyong yang berwarna cokelat dengan gemas lalu mencubit pipinya. "Makanya kau jangan malas minum susu, Taeyongie~"
"Jangan panggil aku Taeyongie! Aku sudah lima belas tahun!"
Jaehyun tertawa lagi. "Iya, iya. Aku mengerti. Taeyongie-ku sekarang sudah besar," goda Jaehyun. Dia berlari keluar dapur tapi berteriak. "Dia sudah besar tapi tubuhnya masih pendek saja! Hahaha!"
"Hyung!" protesnya kesal.
Dengan mencak-mencak karena ditinggal, Taeyong mengambil susunya di meja makan dan menuju kamar Jaehyun. Taeyong mendekati hyungnya itu yang sedang asik bermain PS dan duduk di sampingnya. Perlahan dia mulai meminum susunya. "Kau mungkin lebih tinggi dariku, hyung. Badanmu juga lebih bagus. Tapi pada nyatanya aku tidak kalah tampan dan populer darimu," katanya sombong sambil mendengus.
Jaehyun hanya tertawa kecil. Dia tidak berani memprotes karena itu benar. Taeyong memang populer di kalangan gadis-gadis di sekolah mereka. Taeyong terlihat begitu keren, tipe cool city guy, dan semakin keren saat dia menari. Ia adalah penari unggulan dari klub dance sekolah mereka, sehingga banyak sekali penggemarnya. Mungkin karena tampilannya yang selalu dingin, menimbulkan kesan misterius. Meski begitu dia masih bertindak seperti anak kecil yang manja di depan Jaehyun.
Jaehyun juga tidak kalah. Dia adalah salah satu pangeran sekolah. Jika Taeyong berperan sebagai seorang idola misterius yang dingin maka Jaehyun menunjukannya sebagai salah satu flower boy sekolah yang bersikap hangat dengan senyum menawan berdimple miliknya. Menunjukkan keahliannya dengan masuk klub basket dan jadi vocalis band, membuatnya digilai banyak wanita.
Meski sangat berbeda. Jaehyun dan Taeyong, keduanya benar-benar dekat dan tak bisa terpisahkan.
Semuanya berjalan baik-baik saja.
Setidaknya sampai sisi posesif Taeyong terhadap hyungnya itu kembali di hari terakhir masa sekolah Jaehyun. Itu adalah hari wisuda, beberapa menit sebelum acara wisuda di mulai. Taeyong melihat seorang gadis berwajah imut berbicara pada Jaehyun dari kejauhan sebelum keduanya berjalan keluar menjauhi keramaian. Taeyong mengikutinya hingga keduanya berhenti di belakang gedung. Gadis itu terlihat ragu-ragu menggigiti bibir bawahnya. Dengan sekilas saja melihat, Taeyong tahu apa yang hendak gadis itu ucapkan. Pernyataan cinta.
"Ja-Jaehyun-s-sunbae s-s-sebenar-nya a-aku―"
Entah kenapa Taeyong benar-benar kesal saat itu. Jadi dia mendekati keduanya. Dengan sengaja dia merangkul bahu Jaehyun. "Hyung, aku sudah mencarimu ke mana-mana," katanya, berhasil memotong perkataan gadis itu tepat sebelum dia benar-benar selesai. Taeyong menatap gadis itu, dan menajamkan matanya. "Rupanya kau disini, hyung. Kau sedang apa?"
"A-aku p-pergi dulu." Gadis itu buru-buru meminta maaf dan pamit pergi. Dia jelas-jelas malu, melihat orang lain tiba-tiba datang saat ia sedang berusaha menyatakan cinta.
Taeyong tersenyum tipis dalam kemenangan.
"Untuk apa itu, Taeyongie?" Tanya Jaehyun, terdengar sedikit kesal, meski tidak sekesal itu.
Taeyong melepaskan rangkulannya dan memandang polos hyungnya. "Apa?"
Jaehyun tahu dia tidak pernah bisa benar-benar marah dengan Taeyong. Apalagi jika anak di depannya ini memasang wajah polosnya. Jadi Jaehyun hanya akan menyerah. Lagipula ia tidak benar-benar berniat menerima gadis itu. Hanya saja Jaehyun merasa kasihan padanya karena gadis itu belum sempat untuk mengakui perasaannya. Jaehyun tahu jika itu membutuhkan banyak keberanian dan tekad yang harus disiapkan jauh-jauh hari, tapi semua itu hancur karena gangguan, yang tidak tahu untuk apa tadi, dari Taeyong.
Dibanding semua itu, Jaehyun hanya benar-benar penasaran.
Taeyong kini sedang memberinya tatapan yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Jaehyun tidak bisa menguraikan apa itu. Mata hitam besar Taeyong tampak lebih redup saat memandangnya. Tapi tiba-tiba, dia malah memasang wajah polos. "Hyung~ Jangan lihat aku seperti itu. Aku baru saja menyelamatkanmu dari gadis itu." katanya bangga sambil tersenyum riang.
Jaehyun benar-benar merasa geli sekarang. "Dasar kau ini!" Jaehyun mengulurkan tangannya untuk mencubit pipi Taeyong gemas.
"Apa sih, hyung!" Taeyong menepis tangan Jaehyun menjauh dari wajahnya dengan kesal. Jaehyun tahu jika Taeyong tidak suka dengan perlakuannya. Ia akan selalu kesal dan membuat cemberut lucu ketika orang mencubit pipinya, yang kini sudah tidak chubby lagi. Tapi Jaehyun malah mencubit pipi Taeyong lagi, kali ini di kedua sisinya. Ia menariknya keras sambil tertawa dengan mengabaikan protesan Taeyong.
"Ini hukumanmu, Taeyongie! Karena kau merusak kesempatan hyungmu untuk mendapatkan teman kencan! Rasakan!"
"Hnhynhunhg! Lhep-patsssshhh!"
"Tidak mau! Hahahaha!" Jaehyun menggerakkan pipi Taeyong ke kiri dan kanan.
Prosesi wisuda berjalan cukup cepat. Setelah sesi foto berakhir dan Jaehyun selesai mengucapkan selamat tinggal kepada semua temannya, baru dia sadar jika Taeyong tidak ada. Ia sudah bertanya pada kedua orang tuanya dan mereka bilang Taeyong belum kembali sejak ia pamit ke kamar mandi. Ketika sudah waktunya untuk pergi, Jaehyun harus mencari ke seluruh sekolah hingga ia menemukan Taeyong berdiri tepat di tengah lapangan basket. Sendirian.
"Yah! Aku sudah memeriksa seluruh tempat untuk mencarimu dan kau malah berdiri di sini," kata Jaehyun dengan nada mengejek, ia melepas topi toganya. "Aku lelah, kau tahu?"
"Aku tahu," kata Taeyong lembut, ia menoleh untuk melihat Jaehyun. Senyum kecil, bukan senyuman sinis seperti biasa, muncul di wajahnya dan membuatnya seperti anak kecil yang benar-benar polos. Jaehyun entah bagaimana selalu bisa menemukannya di manapun. "Kau tidak akan tega meninggalkanku, hyung," katanya.
Jaehyun mendekat dan berdiri di samping Taeyong. Menatap dengan penuh rasa ingin tahu. "Apa yang salah, Taeyongie? Kenapa berdiri di tengah lapangan?"
Taeyong mengangkat bahu. "Aku hanya berfikir jika aku akan merindukanmu bermain basket di sini, hyung," jawabnya langsung. Taeyong memang seperti ini, dia akan selalu mengatakan apa yang ia pikirkan pada Jaehyun. Walau nadanya ketus tapi itu tulus.
"Bagaimana kau bisa kau merindukanku saat aku masih di sini?" Jaehyun mengacak rambut Taeyong sambil tersenyum sayang. "Aku hanya akan kuliah, dan itu masih di Seoul. Kita akan tetap sering bertemu, Taeyongie."
Itu benar. Mereka akan tetap sering bertemu karena Taeyong bisa mendatangi Jaehyun di rumah bahkan tanpa diminta. Dan Jaehyun akan menerima kedatangannya dengan senyuman yang sama. Yang manis dengan dimple. Tapi Taeyong benar-benar tidak bisa membayangkan ia akan kehilangan sosok Jaehyun-hyungnya itu dari kesehariannya. Itu tidak akan sama. Jika dulu mereka akan makan siang bersama, pulang sekolah pun bersama, sekarang setelah Jaehyun lulus dan meninggalkannya di sekolah ini sendirian maka semuanya akan berubah. Jaehyun akan sibuk dan melupakannya.
"Hei, hei, jangan menangis!" panik Jaehyun.
"Aku tidak menangis, hyung! Hanya kelilipan!"
Bohong sekali. Karena jelas-jelas Jaehyun melihat mata dongsaengnya itu merah. Taeyong juga mengusap matanya beberapa kali dan mengipasi wajahnya. Mungkin memang belum menangis, tapi Jaehyun yakin itu akan menjadi tangisan sebentar lagi. Dan demi apapun yang Jaehyun benci di dunia ini, Jaehyun benar-benar benci jik Taeyongnya menangis.
Jaehyun merangkul bahu Taeyong. "Dasar cengeng," ejeknya.
Taeyong menggigit bibirnya.
"Belajarlah yang benar, Taeyongie. Belajar yang benar dan segera susul aku ke Universitas. Dan kita akan bersama lagi." Jaehyun tersenyum dan mengusapkan tangannya di bahu Taeyong dengan pelan. "Dan sambil menunggu itu. Mari kita berkencan setiap minggu, hari libur ataupun setiap aku atau kau punya waktu kosong. Arraseo?"
Bagi Jaehyun berkencan dengan seseorang yang lain menjadi tidak begitu penting selama ia bisa menghabiskan waktu bersama sahabatnya, adik tersayangnya. Karena setelah semua yang mereka lalui bersama. Jaehyun akan terus menjaga Taeyong dan memeluknya seperti ini. Seperti janjinya sejak dulu. Taeyong akan selalu menjadi orang yang paling dekat dengannya. Selalu.
Jaehyun mencium puncak kepala Taeyong lama, lalu berbisik tulus, "Hyung menyayangimu, nae dongsaeng."
Nae…
…dongsaeng?
Jaehyun menjalani kuliahnya dengan lancar. Ia mendapat teman-teman baru yang baik di kampusnya. Selain fakta tugas yang semakin menggunung dan beberapa dosen menyebalkan, itu baik-baik saja. Ia masih tetap berhubungan dengan Taeyong lewat telepon dan pesan singkat, meski sangat disayangkan jika ia tidak bisa sering-sering berkencan dengan dongsaengnya itu seperti janjinya. Rumah Taeyong harus dicapai dengan hampir satu jam perjalanan dengan bus dan bukan hanya berjalan kaki beberapa menit seperti dulu karena ia memilih menyewa rumah dekat kampus. Dan Jaehyun benar-benar sibuk karena jadwal kuliahnya yang selalu sampai sore, bahkan cukup malam.
Jaehyun memang sedikit khawatir. Taeyong benar-benar menempel padanya dan kesulitan memiliki teman lain karena sikap ketusnya. Sekarang ia meninggalkannya sendirian? Apa dia akan baik-baik saja? Mereka sudah melewati fase ini sebelumnya, saat Jaehyun mulai masuk SMA dan Taeyong masih di kelas 2 SMP. Tapi Jaehyun berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya.
Buktinya saat ini dia masih bisa melihat tingkah pemuda lucu pemuda itu, tidur di kasur, bergelung di bawah selimut miliknya sambil menggigil dan gemetaran seperti kucing malang yang baru tersiram air es. Siapa suruh nekat datang meski lupa membawa payung saat hujan sangat deras hanya untuk menginap? Jaehyun tidak habis pikir dengan kelakuan Taeyong.
"Hyung, dingin…"
Jaehyun mendekat ke kasurnya dan ikut menyelinap di balik selimut, hanya untuk memeluk Taeyong dengan erat dan memberinya perasaan nyaman dan hangat. Mereka banyak membicarakan tentang segala sesuatu. Intensitas pertemuan mereka yang semakin jarang membuat keduanya memiliki banyak hal untuk diceritakan saat bertemu seperti ini.
"Taeyongie."
"Um?"
"Apa mimpi terbesarmu?"
Taeyong yang saat itu hampir tertidur dan menutup rapat kelopak matanya di pelukan hangat sang hyung, hanya bergumam tidak jelas. Ia masih bisa sadar dan mendengar ucapan Jaehyun, tapi dia benar-benar mengantuk saat ini dan tak berniat bersuara. Jadi dia akan hanya membiarkan Jaehyun-hyungnya mengatakan apapun yang dia inginkan.
Jaehyun yang saat itu sedang memainkan tangannya di helai rambut coklat Taeyong tersenyum. Ia sendiri tidak tahu mendapat dorongan dari mana tapi dia ingin mengatakannya. Mengatakan pada Taeyong tentang mimpinya, mimpi terbesarnya.
"Kau tahu, Taeyongie? Impian terbesarku adalah aku ingin menjadi seorang ayah yang luar biasa, seperti ayahku," katanya kepada Taeyong yang tiba-tiba kehilangan seluruh rasa kantuknya. "Aku ingin mempunyai seorang anak dan melihat mereka tumbuh. Aku ingin mengajarkan mereka bagaimana caranya untuk menjadi orang baik," lanjutnya.
"Kau terdengar tua, hyung," komentar Taeyong yang tiba-tiba bangun dan duduk bersila.
"Yah! Kenapa kau tiba-tiba bangun?!" Jaehyun kaget karena itu. Ia juga duduk di depan Taeyong dengan cemberut, karena ejekan Taeyong pada impiannya. "Apanya yang tua? Itu adalah mimpi yang realistis. Lagipula, setiap laki-laki pasti akan menjadi ayah dalam kehidupan mereka, kan?"
"Benarkah?"
Jaehyun tidak mengerti dengan nada tidak peduli yang dia dengar barusan. "Hei! Nada bicara apa itu? Memangnya kau tidak ingin punya anak ketika sudah menikah nanti?"
Taeyong diam beku untuk sisa menit mereka.
"Taeyongie?" tanya Jaehyun khawatir.
"Aku memang tidak berpikir aku akan punya, hyung," lirihnya. Ketika Taeyong menatapnya, Jaehyun bisa melihat mata Taeyong kembali redup. Dan senyum itu… apa arti senyum itu?
"Ke-kenapa?" Tanya Jaehyun. Kaget dan bingung.
"Aku tidak akan punya anak, hyung," kata Taeyong perlahan, dengan ekspresi aneh yang tidak bisa Jaehyun baca. Taeyong menarik nafasnya berat. "Tidak, kecuali seseorang menemukan cara untuk membuat seorang laki-laki hamil."
Jaehyun berada di saat di mana ia kehilangan seluruh kata-katanya. Untuk beberapa saat itu, ia masih mencoba untuk memproses apa yang baru saja sahabatnya itu katakan kepadanya. Berusaha mempercainya, tapi sulit. "Apa… maksudmu, Taeyongie?" tanyanya pada akhirnya setelah keheningan lama yang terasa menyakitkan.
Taeyong tersenyum sedih. "Kau tahu apa yang aku maksud, hyung."
Jaehyun menunduk dalam keraguan. Apa yang Taeyong katakan? Apakah itu benar seperti apa yang dia pikirkan saat ini? "Taeyongie. Apa kau… apa kau ingin mengatakan bahwa kau tertarik pada laki-laki?" Jaehyun, akhirnya, berhasil menyuarakan pikirannya dengan hati-hati. Jantungnya berdegup keras sekali di dalam sana kini.
"Jika aku mengatakan 'ya' maka hyung… kau akan memandangku seperti apa?" Tanya Taeyong dengan nada yang bahkan lebih lirih lagi.
Jaehyun tidak tahu harus berkata, terdiam beku.
Jaehyun tahu jika dirinya ingin menjadi seorang ayah sejak berusia lima tahun. Tapi Taeyong, dia yakin tidak akan menjadi salah satu dari mereka saat ia berusia enam belas.
Lanjut?
Review Please
