20 Juli 2008

Doyoung menghela nafas berat. Kepalanya pusing. Sudah seminggu ini dia hanya tidur kurang dari lima jam sehari karena jadwalnya yang padat. Pulang kuliah Doyoung lanjut mengajar di sebuah tempat bimbel –sebagai latihan dan bekal untuk menjadi guru yang sebenarnya saat dia lulus nanti– lalu bekerja paruh waktu di sebuah minimarket hingga jam sepuluh malam, sesampainya di apartemennya Doyoung dihadapkan dengan tugas-tugasnya yang menggunung, menunggu untuk dikerjakan. Jadilah dia begadang hingga pagi, lalu tidur sebentar, kemudian harus bangun lagi untuk berangkat kuliah.

Doyoung lelah, dia butuh pelepasan. Sesuatu yang membuatnya lupa sejenak dengan semua kepenatan ini.

Pilihan Doyoung jatuh pada alkohol. Dia sudah dewasa, sudah berusia dua puluh satu tahun, tentu saja dia legal untuk minum-minum. Doyoung bukan tipe nerd atau anak polos yang menghindari alkohol, rokok dan teman-temannya. Paling tidak dua bulan sekali Doyoung akan mengunjungi bar langganannya. Tapi tetap saja Doyoung menghindari one night stand, membuatnya sering digoda teman-teman di kampusnya karena masih perjaka. Doyoung bukan tidak ingin, hanya saja ada sesuatu yang salah dengan tubuhnya hingga dia harus melempar jauh-jauh keinginan untuk having sex.

Malam itu Doyoung sudah menghabiskan setengah botol wiski. Kepalanya terasa ringan, berkebalikan dengan matanya yang terasa memberat. Doyoung belum berniat berhenti sampai sebuah tangan mengambil alih gelas yang akan diminumnya. Doyoung memandang tidak suka pada orang asing menyebalkan yang merebut gelasnya.

"Kembalikan."

Doyoung melemparkan death glare terbaiknya diikuti tangan yang berusaha mengambil kembali gelas miliknya.

Orang asing –yang sialnya tampan dan tipe Doyoung sekali– menyebalkan itu hanya tertawa dan menegak habis wiski milik Doyoung.

"Kau harus berhenti minum, kau terlihat sudah sangat mabuk. Aku Jaehyun, by the way. Siapa namamu?"

Jaehyun.

Ah- Doyoung merasa dia berkewajiban mengingat nama itu.

"Bukan urusanmu. Aku masih kuat minum, kembalikan gelasku dan tinggalkan aku sendiri."

Jaehyun menggeleng dan menggeser botol wiski beserta gelasnya menjauh dari hadapan Doyoung, menopang dagunya dan menatap Doyoung intens, "Aku tidak akan tenang dalam tidurku kalau meninggalkan pemuda manis sepertimu sendirian."

Doyoung mendadak salah tingkah diperhatikan begitu lekatnya oleh Jaehyun, seolah dia ditelanjangi dengan tatapan mata itu.

Ada sesuatu yang terbakar di dalam diri Jaehyun saat melihat wajah memerah dan tingkah malu-malu Doyoung. Tubuh Jaehyun bergerak di luar nalar, tangannya bergerak sendiri menarik tengkuk Doyoung dan menenggelamkan bibir mereka ke dalam ciuman dalam.

As expected, bibir Doyoung begitu luar biasa. Penuh dan manis bercampur pahitnya wiski ketika lidah Jaehyun menjelajahi mulut Doyoung, mengabsen deretan giginya dan mengajak lidahnya bermain.

Jaehyun benar-benar seorang good kisser, Doyoung terlena dengan permainan lidahnya. Doyoung belum pernah sekalipun berciuman. Dan dicium sehebat ini saat ciuman pertama membuat Doyoung hanya bisa menutup mata pasrah dan meremas kemeja depan Jaehyun sebagai pelampiasan rasa nikmatnya. Pengaruh alkohol tidak dapat dipungkiri ikut andil dalam kepasrahan Doyoung.

Jaehyun melepaskan ciuman mereka karena wajah Doyoung sudah memerah, antara kehabisan nafas atau mungkin rasa malu yang menderanya. Jaehyun mendekat, mencium pipi gembil itu sekilas, lalu meniup telinga Doyoung sebelum berbisik dengan suara rendahnya yang sarat gairah, "Let's have some fun."

Dan Doyoung tidak punya kuasa untuk menolak.

.


Doyoung tidak terlalu ingat apa yang terjadi sebelumnya, tiba-tiba saja tubuhnya terhempas di atas kasur yang lumayan empuk dengan Jaehyun berada di atasnya, menatap lapar. Jaehyun tidak butuh waktu lama untuk membawa Doyoung kembali ke dalam ciuman hebat sedangkan tangannya sibuk bekerja mengenyahkan kemeja dan celana Doyoung sekaligus.

Jaehyun menarik diri, mengagumi tubuh indah Doyoung. Puting kecoklatan Doyoung yang menegang segera menarik atensinya, membuat Jaehyun seketika merasa haus. Jaehyun memulai dengan memelintir lembut puting kanan Doyoung, menjilat areolanya, ditutup gigitan kecil lalu hisapan kuat pada puncaknya.

Perlakuan Jaehyun membuat Doyoung mendesah tertahan dan menekan lembut kepala Jaehyun, memintanya untuk tidak berhenti.

Setelah merasa cukup memanjakan kedua puncak nikmat itu, Jaehyun turun ke bawah, memijat penis Doyoung yang menegang. Hanya memijat sebentar, jarinya dilarikan lebih ke bawah, mengusap-usap hole yang menggoda jika dilihat dari jarak dekat.

Jaehyun mengeluarkan lotion dari kantong celananya –jangan tanya kenapa dia bisa membawa-bawa benda itu kemanapun–, menuangkan isinya ke jari-jari panjangnya dan melesakkan jarinya jauh ke dalam hole sempit Doyoung.

"Ukh-"

Doyoung mengernyit, rasanya aneh dan sedikit perih. Tiga jari Jaehyun seperti sedang mengaduk-aduk anusnya, tapi walaupun begitu Doyoung tetap saja merasa lebih terangsang lagi dan lagi.

Setelah dirasa cukup longgar, Jaehyun segera mengeluarkan jarinya dan membuka resleting celananya. Penisnya sudah meronta minta dikeluarkan sedari tadi. Jaehyun mengoleskan lotion seadanya, karena sungguh, dia sudah tidak tahan lagi.

Jaehyun mengambil dompetnya, mencari pengaman. Shit, pengaman yang biasanya selalu siap sedia di dompetnya hari ini menghilang. Jaehyun baru ingat kalau dia kehabisan stok dan lupa membeli lagi.

Jaehyun masa bodoh, toh mereka sama-sama pria. Tidak memakai pengaman sekali tidak akan berakibat fatal.

Jaehyun melebarkan paha Doyoung, menggesek-gesekkan penisnya di depan pintu hole sempit itu, bersiap memasuki. Bibirnya memberikan kecupan-kecupan kecil di sepanjang garis rahang Doyoung, "Sebutkan namamu ..."

Doyoung menggigit bibirnya, menahan sakit saat penis Jaehyun masuk perlahan, "Do ... young-"

Penis Jaehyun sudah masuk seluruhnya, membuat Doyoung merasa begitu penuh. Jaehyun tidak suka menyia-nyiakan waktu, dia tidak membiarkan Doyoung terbiasa dengan penis besarnya. Jaehyun langsung menghantam Doyoung dengan sodokan-sodokan kuat di prostatnya.

Doyoung mendesah kencang dan mendongak, kepalanya pening dengan kenikmatan yang begitu tiba-tiba. Jaehyun menggigit jakunnya dan menghisap kuat, meninggalkan jejak.

Jaehyun tidak menurunkan tempo sodokannya dan malah menambah kenikmatan Doyoung dengan mengocok penisnya. Doyoung diterbangkan terlalu tinggi hingga ke puncak. Punggungnya melengkung, perutnya menegang, menanti detik-detik ledakan dirinya.

"Ahh! Ah! Gonna ... cum- uhh ..."

Jaehyun menggigit kecil telinga Doyoung, "Say my name."

Doyoung meremas kuat bed cover di bawahnya saat dia merasa akan keluar, "Jae ... Jaehyun!"

Doyoung tersentak-sentak, menikmati proses cumming yang luar biasa. Jaehyun menyusul tak lama setelah itu, memenuhi hole Doyoung dengan spermanya, dan Doyoung menyukai itu. Doyoung menyukai rasa hangat dan penuh sperma Jaehyun di perutnya.

Doyoung merasa dia melupakan sesuatu yang sangat penting. Sesuatu yang berhubungan dengan kelangsungan hidupnya. Sesuatu yang seharusnya tidak ia lupakan ...

Tapi Doyoung merasa terlalu lelah untuk berpikir, dia ingin tidur.

"Selamat tidur dan terima kasih Doyoung."

Kecupan singkat di bibirnya adalah hal terakhir yang Doyoung ingat sebelum kelopak matanya menutup perlahan dan ketidak sadaran mengambil alih tubuhnya.

.

.

.

21 Juli 2008

Doyoung terbangun. Matanya memandang langit-langit kamar yang sejauh dia ingat sangat berbeda dengan langit-langit kamar miliknya. Apa dia di tempat Winwin? Tapi kamar Winwin juga tidak seperti ini.

Doyoung mendudukkan dirinya di atas kasur sambil memijit kepalanya yang berdenyut. Matanya menjelajah ke seluruh isi kamar yang benar-benar asing. Doyoung berusaha menyusun kembali ingatan-ingatannya. Semalam ia minum, lalu bertemu pria asing, lalu ...

Doyoung membulatkan mata terkejut saat matanya menangkap pemandangan tubuhnya yang telanjang dengan beberapa bercak merah di dadanya. Doyoung juga baru menyadari bau sperma yang menyengat memenuhi kamar.

Anusnya terasa perih saat Doyoung bergerak menuruni kasur dan berdiri. Doyoung menampar pipinya, ini ... mimpi kan?

Sekelebat ingatan memasuki otaknya, ingatan tentang pergumulan hebat dirinya dan seseorang bernama Jaehyun. Orang asing menyebalkan yang merebut minumannya.

Doyoung jatuh terduduk, bersamaan dengan sebuah cairan putih yang mengalir keluar dari anusnya dan Doyoung tau jelas cairan apa itu.

Doyoung terlalu shock, bahkan dia tidak bisa menangis untuk sekedar meratapi nasibnya.

"Hidupku ... hancur."

.


Setelah puas merenung, Doyoung memutuskan untuk berpikir positif. Tidak mungkin sekali berbuat langsung 'jadi' kan?

Doyoung terus menanamkan sugesti itu, berjalan perlahan menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Butuh waktu lama untuk membersihkan hole-nya dari sisa-sisa sperma Jaehyun. Setelah mandi, Doyoung memakai kembali pakaiannya yang terlempar kesana kemari.

Doyoung keluar dari hotel –yang untungnya sudah dibayar Jaehyun– dengan perasaan kalut. Sekeras apapun dia menanamkan sugesti positif, tidak bisa dipungkiri ada rasa takut yang membayanginya.

Sesampainya di apartemen, Doyoung kembali mandi untuk memastikan dirinya benar-benar bersih. Berpakaian rapi dan keluar dari apartemennya.

Ada satu tempat yang biasa Doyoung kunjungi ketika dia merasa sedih dan tidak kuat lagi menjalani hidup. Tempat yang memberinya kekuatan.

Makam orangtuanya.

Doyoung merasa tenang dan dekat dengan kedua orangtuanya saat mengunjungi mereka di makam. Dia juga akan merasa lega setelah menceritakan semua keluh kesahnya pada mereka. Doyoung tau kedua orangtuanya mendengar, karena Doyoung akan merasa kuat setelah pulang dari sini.

Jadi di sinilah ia, duduk bersila menghadap nisan kedua orangtuanya, tersenyum sedih saat mengingat kedua orangtuanya yang pergi lebih dulu.

"Appa, eomma, apa kabar? Sehat kan di sana? Apa appa dan eomma hidup dengan baik dan bahagia? Ah- tentu saja, Tuhan pasti menempatkan appa dan eomma di surga. Enak sekali~ aku iri."

Doyoung mengerucutkan bibirnya, berakting merajuk, tetapi kemudian wajahnya menyendu, "Appa, aku telah melakukan hal yang sangaaat bodoh. Lagi-lagi aku melakukan sesuatu tanpa pikir panjang dan menyebabkan sesuatu yang berakibat fatal."

"Eomma, bagaimana ini? Aku ..." Doyoung terisak, tidak sanggup lagi menahan luapan perasaannya, "Aku takut ... takut sekali eomma. Aku mengecewakan kalian. Hidupku akan hancur. Maafkan aku ... uh- maafkan aku. Maafkan aku appa, eomma. Hukum aku, atau bawa aku bersama kalian. Disini sepi sekali tanpa kalian, sejujurnya aku tidak sanggup lagi. Tolong bawa aku ..."

Doyoung menutup wajahnya dan menangis sejadinya. Doyoung terus melafalkan maaf disela-sela tangisnya.

Sekitar dua puluh menit barulah akhirnya tangis Doyoung mereda, menyisakan mata sembab dan hidungnya yang tersumbat.

Doyoung berdiri dan membersihkan celananya dari debu, "Appa, eomma, aku pulang dulu. Tolong beri aku kekuatan untuk menjalani hari ke depannya, eotte? Sampai jumpa appa, eomma."

Doyoung berjalan lunglai meninggalkan area pemakaman. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, Doyoung tidak sepenuhnya merasa lega, masih ada batu yang mengganjal di hatinya.

.

.

.

24 Agustus 2008

Sudah lewat sebulan lebih sejak kejadian itu. Doyoung kembali beraktifitas seperti biasanya, seolah tidak ada yang terjadi. Dia sempat absen selama tiga hari dari kuliah dan pekerjaannya, sekedar untuk menenangkan diri.

Tidak ada yang salah dengan tubuhnya. Doyoung merasa sehat selama sebulan ini, walaupun nafsu makannya naik, itu mungkin disebabkan karena banyaknya kesibukan yang ia punya.

Namun ada yang berbeda saat dia bangun di minggu pagi hari ini. Doyoung terbangun akibat rasa mual yang teramat sangat. Doyoung berlari ke kamar mandi dan berjongkok di kloset, bersiap mengeluarkan seluruh isi perutnya. Tapi tidak ada yang keluar selain air.

Doyoung terus muntah hingga pipinya basah dengan air mata, rasa mualnya bukannya hilang malah makin menjadi. Doyoung membasuh mulutnya dan melangkah tertatih menuju kamar. Meraih ponsel dan men-dial nomor Winwin. Nada sambung terdengar sebentar diikuti suara polos Winwin, "Yeoboseyo, hyung? Ada apa pagi-pagi menelpon?"

"Winwin ... apa kau bisa ke apartemenku?" Doyoung menjawab dengan lirih, kepalanya pusing dan dunia seolah berputar dengan cepat, "Aku ..."

Tak! Bruk!

Ponselnya jatuh seiring tubuhnya yang ikut jatuh melemas. Doyoung terbaring tak berdaya di lantai kamarnya. Telinganya menangkap suara panik Winwin diujung sana, dengan sisa-sisa kesadarannya, Doyoung berbisik, berharap Winwin mendengar.

"Tolong aku-"

Lalu gelap.

.


Winwin menyambar jaketnya dan segera berlari keluar dari apartemennya dan Yuta. Melewati Yuta yang heran melihatnya tergesa-gesa dan bertanya ada apa dengannya. Winwin berlari sekuat tenaga menuju halte, tapi bus yang ingin dinaikinya belum datang. Winwin melompat-lompat tidak sabar, membuahkan tatapan aneh dari para penumpang lain yang juga sedang menunggu. Setelah lima menit dihabiskannya dengan melompat sebagai bentuk pelampiasan rasa gelisahnya, akhirnya busnya datang juga. Winwin tidak membuang waktu untuk segera melompat menaiki bus.

Winwin sudah menduga ada yang aneh dengan Doyoung belakangan ini. Doyoung menjadi lebih pendiam, tidak seceria biasanya. Lingkaran hitam di bawah mata dan muka kuyu Doyoung tidak bisa disembunyikan. Namun saat Winwin bertanya, Doyoung hanya membalas dengan gelengan dan mengatakan dirinya baik-baik saja.

Winwin diam dan berusaha mengerti kalau Doyoung belum siap menceritakan masalahnya. Dan pagi ini saat Winwin tiba-tiba mendapatkan panggilan dari Doyoung, Winwin tau ada yang tidak beres. Apalagi setelah mendengar suara seperti ponsel terbanting dan seseorang yang jatuh, belum lagi bisikan lirih Doyoung, tanpa pikir panjang Winwin berlari keluar dari apartemennya. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah memastikan bahwa Doyoung baik-baik saja.

Bus berhenti di halte tujuannya, hanya butuh lima menit berlari hingga Winwin sampai di depan pintu apartemen Doyoung dan mengetik password yang ia hapal di luar kepala.

"Hyung!"

Winwin berjalan masuk ke dalam dengan langkah cepat, memeriksa seluruh penjuru ruangan untuk menemukan sosok Doyoung, namun nihil.

"Hyung? Eodi?"

Kaki Winwin melangkah menuju kamar Doyoung. Pemandangan yang ia lihat pertama kali saat tangannya membuka pintu adalah tubuh Doyoung yang tergolek lemah di lantai.

Winwin mengeluarkan suara pekikan tertahan disusul tubuhnya yang berlari mendekati Doyoung. Lalu seketika terkesiap melihat wajah Doyoung yang luar biasa pucat. Tangannya bergetar merogoh ponselnya dan segera men-dial 119.

Winwin memeluk tubuh lemah Doyoung, "Hyung, kumohon bertahanlah."

.


Yuta melangkah panik di lorong rumah sakit Seoul. Dia mendapatkan telpon dari Winwin yang mengatakan Doyoung masuk rumah sakit. Doyoung itu juga sahabatnya, Yuta tidak bisa menghentikan rasa khawatir yang merasuki dirinya.

Yuta menangkap sosok Winwin dari kejauhan, sedang duduk dengan kepala tertunduk di kursi tunggu. "Bagaimana keadaannya?" tanya Yuta sesaat setelah dia sampai di hadapan Winwin.

Winwin mengangkat kepalanya. Yuta dapat melihat jelas mata yang sering menatapnya polos itu sekarang berkaca-kaca, air mata siap tumpah jika ia berkedip sekali saja, "Belum tau, dokter yang memeriksa Doyoung hyung belum keluar juga. Hyung ... bagaimana ini? Bagaimana jika Doyoung hyung kenapa-kenapa-"

Yuta menghela nafasnya dan mengambil tempat duduk di sebelah Winwin lalu membawa anak ayam itu ke pelukannya. "Gwaenchana, Doyoung akan baik-baik saja. Tenanglah."

Winwin semakin menenggelamkan dirinya ke dalam pelukan Yuta, di dalam hati terus berdoa agar Doyoung baik-baik saja. Ia hampir mati khawatir saat menemukan Doyoung tadi, sesaat Winwin berpikir dia akan kehilangan Doyoung.

Di samping itu, walaupun Yuta menyuruh Winwin untuk tetap tenang, jauh di dalam dirinya, dia juga tidak bisa tenang. Ada ketakutan besar apabila sesuatu terjadi pada Doyoung. Yuta mengusap punggung Winwin, memberikan ketenangan lebih.

Detik demi detik berlalu dalam keheningan yang membunuh itu akhirnya usai. Seseorang dengan jas lab putih keluar dari ruangan Doyoung diikuti seorang perawat.

Yuta dan Winwin berdiri dan mencerca dokter itu dengan pertanyaan seputar, "Bagaimana keadaan Doyoung?"

"Kim Doyoung-ssi baik-baik saja, hanya kelelahan disertai pola hidup yang tidak teratur. Apa kalian adalah keluarganya? Ada satu hal penting yang harus saya sampaikan."

"S-Saya keluarganya!" Winwin menyahut cepat. Ya, Kim Doyoung bukanlah sekedar sahabat, tapi sudah merangkap keluarganya sejak lama.

"Baiklah, kalau begitu mari ikut saya ke ruangan."

Winwin mengikuti dokter itu ke ruangannya, sedangkan Yuta berjaga di kamar Doyoung. Winwin duduk dengan raut tegang di hadapan dokter ber-platname Moon Taeil tersebut, menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi dengan hyung tersayangnya.

"Kalau boleh bertanya, anda siapanya Doyoung-ssi?"

"Saya adiknya, uisanim. Apa terjadi sesuatu pada Doyoung hyung?" Winwin meremas tangannya gelisah. Dokter di hadapannya tersenyum meneduhkan, membuat kening Winwin berkerut heran.

"Saat memeriksa Doyoung-ssi tadi, saya menemukan sesuatu yang janggal di bagian perutnya. Ada satu spekulasi yang hadir di benak saya, jadi saya berinisiatif untuk memeriksanya secara langsung menggunakan USG."

Dokter Taeil menunjukkannya beberapa lembar rekam medis dan foto USG. Winwin mengambil salah satu lembar tersebut dan membacanya dengan teliti. Seketika matanya terbelalak lebar saat membaca sebuah kalimat yang bertuliskan ...

'Kim Doyoung: Positif hamil'

"Selamat ya, saudara anda dinyatakan positif sedang mengandung dengan usia kandungan lima minggu. Jangan lupa untuk menghubungi suaminya, arra?"

Winwin menatap Taeil dengan rahang yang hampir jatuh ke lantai, "T-Tidak mungkin ..."

Bagaimana bisa ini terjadi? Doyoung laki-laki, dan Winwin tau benar bahwa Doyoung tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun selama ini, baik dengan perempuan maupun pria. Doyoung juga orang yang 'bersih', dia tidak pernah melakukan sex dengan orang manapun. Dan sekarang? Doyoung dinyatakan hamil?

Dan lagi ... suami? Pacar saja Doyoung tidak punya! Apalagi suami!

"T-Tapi Doyoung hyung ... kan laki-laki ..."

Winwin mengutarakan pertanyaan yang paling mengusiknya dibandingkan pertanyaan-pertanyaan lain yang berputar di kepalanya.

"Doyoung-ssi mempunyai kelainan genetik 'interseks' di mana kelenjar adrenal menghasilkan lebih banyak hormon yang membentuk perkembangan organ reproduksi wanita, tetapi memiliki lebih banyak fitur maskulin seperti suara yang lebih dalam atau bahu yang lebih luas."

Winwin mendengarkan penjelasan Taeil dengan seksama, mencoba mencerna dengan penjelasan medis yang sedikit berbelit.

"Jadi singkatnya Doyoung-ssi mempunyai rahim walaupun ia seorang pria. Dan bisa mengandung apabila sel telurnya dibuahi."

Diam tak berkutik, Winwin tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Semua fakta tentang Doyoung terlalu tiba-tiba. Winwin tidak tau bagaimana cara menanggapinya. Entah dia harus marah dan kecewa karena Doyoung menyembunyikan hal penting ini selama ini atau dia harus merasa sedih dan bersimpati dengan kejadian yang menimpa Doyoung.

"Saya harap anda dan suami Doyoung-ssi memperhatikan pola makan dan tidurnya. Kandungannya masih sangat lemah. Jangan lupa juga perbanyak asupan vitamin, saya akan menuliskan resepnya, anda bisa menebusnya di apotek rumah sakit."

Winwin mengangguk dan mengambil dokumen medis Doyoung, lalu keluar dari ruangan setelah membungkuk dan mengucapkan terima kasih pada dokter Taeil.

Berjalan lunglai menuju kamar rawat inap Doyoung, Winwin memutar keras otaknya untuk mencari cara bagaimana menjelaskan semua ini ke Yuta dan Doyoung sendiri.

Saat Winwin memasuki kamar rawat Doyoung, ternyata Doyoung sudah sadar dan sedang dibantu Yuta meminum air.

"Oh Winwinnie! Bagaimana hasil pemeriksaan Doyoung?" Pertanyaan Yuta membuat Winwin tersentak. Dia masih belum siap memaparkan kenyataan menyakitkan ini, apalagi Doyoung baru sadar. Winwin takut Doyoung semakin drop.

"Eung ... itu ... ung-"

Doyoung dan Yuta menatapnya, menanti jawaban. Winwin menghela nafas berat, mau sesakit apapun, Winwin harus memberitahukan kebenaran pada Doyoung. Winwin duduk di atas ranjang Doyoung, menggenggam erat tangannya, menyalurkan kekuatan.

"Hyung ... kumohon, katakan yang sejujurnya padaku. Apa hyung pernah berhubungan intim dengan seseorang?"

Doyoung membulatkan matanya terkejut, "A-Apa maksudmu Winwinnie?"

"Jawab saja hyung!" Winwin tanpa sadar menaikkan nada suaranya. Yuta memandang heran kedua orang di hadapannya, banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, tapi dia memilih untuk tidak menyela.

Doyoung mengalihkan pandangannya, enggan menatap Winwin ataupun Yuta. Matanya tidak fokus, sepertinya dia tau kemana arah pembicaraan ini dan apa yang terjadi dengan tubuhnya.

"Aku pernah ... aku pernah melakukannya." Doyoung menjawab lirih.

"Kok jadi membahas hubungan intim? Apa hubungannya dengan kondisi Doyoung?" Yuta yang tidak tahan akhirnya mengeluarkan isi kepalanya.

Winwin menutup matanya, "Doyoung hyung ... dinyatakan positif hamil."

Ah. Benar kan? Doyoung sudah bisa menduganya dari awal. Ketakutan terbesarnya terjadi. Doyoung tinggal menantikan detik-detik kehancuran hidupnya.

"HAH?! Kok bisa? Doyoung kan pria, mana bisa hamil. Winwinnie, kali ini bercandamu garing." Yuta menggelengkan kepalanya prihatin dengan selera humor Winwin.

Winwin membuka matanya dan memberikan dokumen medis Doyoung ke Yuta, "Hyung bisa membacanya sendiri." Winwin menangkup kedua pipi Doyoung, membawanya untuk menatap matanya, "Sekarang jelaskan dengan siapa dan kenapa hal itu bisa terjadi."

"Aku melakukannya dengan seseorang bernama Jaehyun yang ku temui di sebuah bar sebulan yang lalu. Entah karena pengaruh alkohol atau karena aku merasakan tertarik dengannya. Sehingga aku lupa ... aku lupa kalau aku berbeda."

Air mata Doyoung jatuh tidak terbendung. Doyoung terisak hebat, Winwin yang melihat sahabatnya hancur tidak kuasa menahan air matanya. Winwin membawa tubuh kurus Doyoung ke dalam pelukannya, menangis bersamanya.

"Aku takut- aku takut Winwinnie ... hidupku hancur. Mimpiku tidak akan pernah tercapai- dan ... dan anak ini akan lahir tanpa ayah, tanpa keluarga. Jika dia lahir, dia akan ikut hancur bersamaku ..."

Winwin mengeratkan pelukannya, tidak sanggup mendengar kata demi kata menyedihkan yang keluar dari bibir Doyoung, "Aku akan membantumu. Aku akan selalu ada disampingmu. Jadi kumohon hyung ... kumohon, jangan menyerah. Kuatlah. Hyung tidak sendirian, ada aku, ada Yuta hyung. Biarkan anak hyung lahir dan melihat dunia. Kumohon hyung ..."

Yuta yang melihat pemandangan memilukan di hadapannya menggigit bibir, sebelum ikut memeluk erat kekasih dan sahabat berharganya, ikut menangis bersama mereka.

.


Tiga puluh menit mereka habiskan untuk menangis bersama, yang tersisa sekarang hanyalah keheningan yang melingkupi. Yuta, Winwin dan Doyoung saling menatap, sebelum tertawa bersama.

"Wajahmu jelek sekali Yuta hyung, yakin kau semenya Winwin?" Doyoung sudah kembali ke dirinya yang dulu, yang suka menjadikan Yuta sebagai bahan ejekan.

"Ya! Begini-begini kalau di ranjang aku yang menang."

"Aaa! Yuta hyung!" Winwin merasa malu mendengar perkataan Yuta. Diam-diam dia bernafas lega, Doyoung sudah mulai ceria kembali.

"Tapi hyung, hyung kenal kan dengan orang yang bernama Jaehyun ini? Bagaimana- bagaimana kalau minta pertanggung jawabannya?" Winwin menjilat bibirnya gugup.

Doyoung menggeleng lemah, "Aku tidak kenal. Yang aku tau hanya nama dan wajahnya. Dan ada banyak Jaehyun di Korea, jadi ... kurasa mustahil." Doyoung tersenyum sedih. "Tapi tenang saja, aku sudah memutuskan untuk tidak menyerah. Aku akan merawat anakku sendiri."

"Aniya! Aku dan Yuta hyung akan ikut merawatnya. Iya kan, hyung?" Winwin menatap Yuta, meminta persetujuan.

"Ne, tentu saja. Kami akan menjadi paman yang baik." Yuta mengangguk semangat. Lagian dia sangat menyukai anak kecil.

"Gomawo hyung, Winwin. Aku banyak menyusahkan kalian."

"Tak masalah, toki-ya. Jangan memasang wajah merasa bersalah seperti itu." Yuta mengacak rambut Doyoung yang dibalas erangan tidak suka.

Sepertinya sehabis ini Doyoung harus ke gereja, berterima kasih kepada Tuhan karena telah mengirimkan Yuta dan Winwin ke hidupnya.

.

.

.

28 Agustus 2008

Iya. Doyoung kemarin memang berkata dia berterima kasih kepada Tuhan karena telah mengirimkan Yuta dan Winwin, tapi sekarang dia ingin menarik kembali perkataannya.

Doyoung sudah keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu, dia sudah merasa segar seperti sedia kala walaupun masih dilanda morning sickness setiap hari. Tapi Yuta dan Winwin masih memperlakukannya seperti orang sakit parah. Mana mereka memutuskan menginap di apartemen Doyoung selama dua minggu untuk memperhatikan pola makan dan tidurnya. Apartemen Doyoung yang sempit kelihatan semakin sempit dengan tambahan dua orang itu dan barang-barang mereka yang dibawa juga. Sudah kelihatan seperti akan pindah sepenuhnya ke apartemen Doyoung.

Doyoung menghela nafasnya lelah, dia suka diperhatikan, tapi tidak begini juga!

Doyoung sudah sehat wal afiat. Bahkan dia bisa pergi kuliah dan bekerja. Ya, dia memanfaatkan perutnya yang belum kelihatan membesar untuk pergi kuliah dan bekerja. Kalau kehamilannya sudah memasuki usia tiga bulan, baru dia akan mengambil cuti.

Doyoung baru saja akan makan siang sebelum teriakan Yuta menginterupsinya, "Doyoung! Minum susunya dulu!" Yuta berlari ke arah Doyoung dengan membawa susu hamil yang dibuatnya tadi pagi dan dimasukkan ke dalam botol.

'Demi apa Yuta? Ini kantin kampus, jangan berteriak memalukan seperti itu.' Doyoung memelototkan matanya memberi kode.

"Hyung, jangan makan ramyeon, tidak sehat! Makan ini saja!" Winwin mengambil alih ramyeon yang baru saja Doyoung beli dari kantin kampus dengan salad.

Doyoung menutup wajahnya malu saat seisi kantin memperhatikan mereka. Ah- makan siangnya yang tenang sirna sudah.

Terpaksa Doyoung mengikuti perkataan Yuta dan Winwin, karena kalau dibantah mereka akan lebih rewel lagi. Doyoung memakan saladnya malas dengan mata memperhatikan parkiran kampus yang memang berdekatan dengan kantin.

Doyoung menghentikan suapannya saat netranya menangkap sosok yang sangat familiar. Sosok yang menyebabkan semua mimpi buruknya.

Jaehyun!

.

.

.

TBC

Wahahahahahaha, spoiler: saya suka membuat bunny tersiksa :'v /ketawanista/ /kabur/