A/N: Akhirnya kita sampai pada tahap ini… sebenernya saya sedikit ragu dengan tema politik yang mungkin sedikit gimanaa gitu, tapi emang hubungan mereka itu sangat menarik untuk dieksplor lebih jauh! /plak
Cerita ini sebenernya kelanjutan dari Transition, jadi mungkin agak membingungkan Anda semua.
Enjoy Reading! ^^
Hetalia Fan Fiction
Hetalia (c) Hidekazu Himaruya
Warning: AU, OC, political issue, menyinggung negara Amerika (just for safe), Fem!Indonesia, OOC (?)
"Jadi itukah jawabanmu, America? Kau tetap bersikeras akan mempertahankan hegemoni itu?"
"Maaf, England—"
"Kalau begitu, sampai bertemu di perang selanjutnya—itu pun jika kau masih bersikeras dengan segala omong kosongmu tentang hegemoni…"
(Transition)
.
.
.
Masa transisi itu kini memasuki babak akhir. Dunia mulai menemukan apa jati diri dan tujuan mereka sebenarnya. Seperti yang saat ini terjadi dalam pemerintahan Indonesia—di mana perlahan rakyatnya mulai kembali dengan ideologi Pancasila yang diciptakan oleh the founding father mereka. Dalam kurun waktu kurang dari dua dekade, Indonesia berhasil meminimalisir masalah-masalah negara seperti kasus korupsi yang dulunya marak terjadi di negara itu. Suatu prestasi yang cukup membanggakan untuk negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara tersebut.
Namun keberhasilannya dalam menyelesaikan permasalahan negara tak lepas dari campur tangan negara-negara lain yang ikut membantunya, seperti Inggris, Jepang, China, dan Russia. Keempat negara maju itu turut menyumbang demi perbaikan negara tersebut ke depannya nanti. Apakah bantuan yang mereka berikan diberi secara cuma-cuma? Entahlah—tapi jika hati sudah ikut campur dalam urusan politik, maka politik itu tidaklah semurni tujuannya dulu. Karena jika akal disertai dengan perasaan, hasilnya bukanlah suatu pemikiran yang relevan. Tetapi sebuah permainan politik yang kejam.
Seperti halnya apa yang dirasakan America saat ini kepada England. Setelah pertemuan mereka di London beberapa tahun yang lalu, ia mulai merasakan sesuatu yang aneh pada diri mantan motherland-nya. Sebut saja sebuah negara yang berada jauh di seberang Samudera Pasifik itu—Indonesia. Dalam pikiran America saat itu, alasan England yang mengkhianatinya tak pernah terlintas sedikitpun. Ia mengira England ingin memonopoli Indonesia dengan Russia dan China—tapi ia salah total.
Dan seperti memang sudah digariskan oleh Sang Pencipta, kata-kata England menjadi kenyataan. Ia teringat akan kata-kata terakhir England sebelum mereka berpisah di London Bridge lima belas tahun yang lalu,
"Sampai bertemu di perang selanjutnya—itu pun jika kau masih bersikeras dengan segala omong kosongmu tentang hegemoni…"
America menatap pelataran Gedung Putih yang sekarang dipenuhi bunga mawar dan daisy yang bermekaran. Kerumunan wartawan di seberang pagar besi tinggi yang membatasi area halaman Gedung Putih masih tetap berdiri di sana sejak pagi tadi. Terkadang blitz kamera diarahkan tepat ke jendela ruang kerja Presiden dan suara petugas keamanan yang menghalangi mereka mengambil gambar terdengar. Sepertinya para wartawan itu tak akan pergi sebelum keinginan mereka terpenuhi—nasib negara ini.
Dari balik tirai di lantai dua, America membalikkan tubuhnya, menatap pria nomor satu di Amerika itu dengan senyum yang biasa ia perlihatkan. Pria yang biasa di panggil Presiden itu menatap America ragu sebelum akhirnya membuka suaranya. "Aku kalah. Seperti yang kau inginkan, aku akan menandatangani perjanjian kerja sama itu."
"Itu bukan hanya keinginanku, tapi juga keinginan negara ini…" America tersenyum hangat—ia meletakkan sebuah map portofolio berisikan selembar kertas. Bukan hanya sembarang kertas, kasarnya kertas itu adalah surat perjanjian kerja sama antara negara-negara yang memilih tunduk patuh padanya. Bagi orang awam ini hanyalah sekedar kerja sama multilateral untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sektor lainnya bagi masing-masing negara. Namun bagi mereka yang duduk di puncak, perjanjian ini bukan sekedar meningkatkan perekonomian masing-masing negara, tetapi sekaligus membuat sekutu untuk perang yang kapan saja dapat terjadi.
Saat ini ada beberapa negara yang menurutnya dapat membahayakan pengaruh Amerika. Sebut saja negara yang sejak dulu memang pernah bersiteru dengannya seperti Russia, China dan Inggris serta beberapa negara yang bisa dibilang diluar dugaannya seperti Indonesia. Setelah kunjungan Perdana Menteri Inggris ke Indonesia, terlihat jelas hubungan kedua negara itu semakin erat. Dan berkat bantuan Inggris pula Indonesia menjadi negara yang kedudukannya semakin menguat di mata dunia. Dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat pesat seiring perbaikan kualitas SDM yang beberapa tahun terakhir ini digencarkan pemerintah Indonesia, negara itu sudah resmi menjadi negara maju kedua di kawasan Asia Tenggara menyusul Singapura. Indonesia juga kini menjalin kerja sama dengan Russia, China, dan Korea Utara. Meski demikian, ia tetaplah negara netral walau Inggris mengajaknya untuk bergabung menjadi sekutunya.
"Kalau begitu, lebih baik Anda segera pergi ke ruang konferensi untuk memberitahukan seluruh dunia. Aku tak sabar melihat reaksinya..."
.
.
.
"Indonesia, kenapa kau menolak tawaran untuk bergabung dengan kami?" Sebuah pertanyaan menghentikan aktivitas personifikasi negara kepulauan terbesar itu. Mata coklatnya memandang gestur pria yang menghampirinya seusai rapat kerja sama bilateral dengan beberapa menteri terkait. Gadis itu kembali duduk di kursinya dan menghadap ke kiri—melihat pria Inggris itu duduk di tempat sebelumnya Presidennya berada. Seulas senyum ringan ia perlihatkan sebelum ia membuka suara.
"Tidakkah kau lupa dengan peristiwa yang sudah terjadi beberapa puluh tahun silam? Seperti yang telah dilakukan oleh Bapak Bangsaku yang membuat Gerakan Non Blok saat itu, sekarang ini aku—bangsaku tak tertarik untuk ikut berpartisipasi sebagai pemain, England." Suara itu begitu tenang dan jernih, tanpa sedikitpun keraguan dan rasa takut. England tersenyum kalah mendengar pernyataan gadis yang dalam waktu duapuluh tahun terakhir menjadi sangat akrab dengannya. "Kalau itu memang pilihanmu, apa boleh buat. Aku tak akan memaksa…"
"… Tapi pengecualian untuk beberapa situasi…" Personifikasi Indonesia itu tersenyum nakal pada England yang tak menduga perkataan tersebut. Ia kemudian berdalih, "peranku selalu berada pada posisi netral, karena aku tak suka dengan peperangan. Tapi aku tak bisa diam saja melihat seseorang dengan enaknya mengeruk keuntungan demi dirinya sendiri dari posisi yang ia dapatkan."
"Kalau begitu kau setuju?" England mengerutkan alis tebalnya. "Dengan syarat, England." Nada sopran itu penuh peringatan—matanya menerawang jauh ke depan, tak memedulikan England yang terdiam menunggu. Ia teringat akan masa dimana negaranya berhubungan baik dengan America. Personifikasi negara adidaya itu sangatlah baik dan senang membantu orang lain. Namun, dibalik senyum lebar yang biasa ia perlihatkan tiap harinya pada orang-orang, Indonesia dapat merasakan sesuatu yang janggal. Salah satu negara yang mempunyai hak veto dalam dewan keamanan PBB itu nampaknya sedang merencanakan sesuatu yang besar, entah apa.
"Soal Amerika—serahkan yang satu itu padaku." Rasa penasaran membuat England menatap wajah khas Melayu itu lekat. "Apa yang mempengaruhimu sampai-sampai kau berkata seperti itu?" Ia teringat akan hubungan antara Indonesia dan Amerika beberapa puluh tahun silam. Saat itu keduanya memiliki hubungan yang baik sampai suatu hari Indonesia menyadari bahwa kerjasama dengan America lebih banyak mendatangkan kerugian bagi rakyatnya. Yah, hanya itu yang ia tahu menurut keterangan dari Indonesia sendiri. Terlepas dari alasannya, ia masih merasa ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu, entah apa.
"Kau tentu tahu bahwa alasan kita sama, England." Pria itu tahu kalau perempuan berpenampilan 17 tahun di depannya itu hanya mengelak.
"Apa kau punya perasaan khusus terhadap America?" England hanya menebak-nebak. Raut Indonesia yang tenang seketika menegang, mata coklatnya menatap bola mata hijau itu kaget. "A—hah? Perasaan khusus apa!?" suara sopran itu meninggi karena gugup. England mengedipkan matanya, ia tak menyangka dengan reaksi Indonesia yang diluar perkiraannya. "Jadi ada?"
"Kenapa kau menanyakan hal aneh seperti ini, sih? Itu tidak penting!" tukas Indonesia segera beranjak dari tempatnya. Personifikasi negara pecinta teh itu hanya mengamati wajah Indonesia yang sedikit memerah dan kemudian menyerah. "Baiklah, maafkan pertanyaanku. Tapi satu pesanku, jangan terlalu melibatkan perasaanmu dalam permainan politik. Berpikirlah secara realistis. Karena kau akan lupa dengan tujuan awalmu bila kau terlalu tenggelam didalamnya, Indonesia." England tersenyum hangat dan mengalihkan pandangannya pada dokumen yang dibawanya. Tanpa disadarinya, Indonesia menatap pemuda itu seraya mengikuti langkahnya.
"Apa itu berdasarkan pengalaman pribadi?" dengan nada suara yang dibuat sepolos mungkin, ia meluncurkan kata itu dari mulutnya yang langsung membuat England berhenti menggerakkan kakinya. "Mungkin... ya. Tak ada guru yang sebaik pengalaman... seperti itulah kira-kira." suara England melembut begitu menatap gadis dengan pakaian batiknya. "Lebih baik nanti saja membahas hal itu. Sekarang konsentrasi saja pada tujuanmu!"
Indonesia hanya bisa merengut dan kembali berjalan beriringan keluar dari gedung pertemuan yang berada di salah satu kawasan di Jakarta. Sebelum keduanya berpisah di lobby utama, langkah kedua personifikasi negara itu terhenti saat melintasi sebuah TV plasma besar yang sedang menyiarkan sebuah berita. Di headline berita itu tertulis bahwa Amerika resmi sepakati perjanjian kerja sama dengan Perancis, Jepang, Kanada, dan beberapa negara Eropa serta Timur Tengah.
England menatap sosok pria berkacamata di balik layar televisi itu. America berdiri di serong belakang Presiden Amerika yang sedang memberikan pidato kenegaraannya di depan media. Sosok itu seperti biasa—selalu tersenyum tanpa beban dengan kacamata yang selalu dipakainya.
"Apa itu artinya pernyataan perang secara tak langsung?" Indonesia membuka suara. Diam-diam ia mengepalkan tangannya, menahan emosinya. Pria di samping Indonesia hanya menjawab dengan nada datar,
"Ya."
A/N: mayaoreo here~
jadi, saya bingung nentuin ini UKxNes atau USUK... -_- /lupakan
seperti yang tertera di kalimat pembuka, cerita ini bisa dibilang sebagai kelanjutan dari transition. apakah ini akan berlanjut? ya kita lihat saja nanti...
anyway, terima kasih bagi Anda yang sudah membaca.. Jika ingin menyampaikan krtik, saran atau komentar, monggo silakan :)
