Chapter 1

Sebenarnya aku tidak punya cukup alasan untuk tidak menikah. Kupikir, menikah itu menyusahkan. Aku tidak ingin cepat-cepat berpisah dengan keluargaku. Aku masih ingin merasakan kebersamaan yang hangat itu tanpa ditindih dengan beban yang lain.

Aku pun masih ingin berkelana sesuka hatiku. Tanpa terikat dengan benang merah apapun. Tanpa ada yang mengkhawatirkan diriku.

Di samping itu, menjalin hubungan sangatlah menyakitkan. Aku tidak mau merasakannya lagi. Kurasa jatuh cinta itu pahit.

Andai saja aku bisa mempertahankan persepsi itu.


Disclaimer BLEACH © Tite Kubo

Rubicon © ChapChappyChan

Pairing : Ichigo x Rukia

Rate: T

Genre : Romance, Family sedikit Hurt

Warning : no flame- OOC-Typo(s)-AU

Note : Fic setelah kemarau war. Ekh, maksud saya UKK. Saya mencoba yang baru, bukan yang sweet-sweet-bikin-sakit-gigi, tapi mencoba agak gloomy (saya bilang agak). Bukan hurt ataupun sad ending.


Special Thanks from Muach

numi-chan
Hehe, salam kenal juga Numi-chan. Arigatou riviewnya ya..^^

anita

Hehe, bagian mana yang mantab hayo xD

Oke, ini saya bikin lagi. Semoga suka. Arigatou reviewnya ^^

Yuki

Hehe, becanda. Kan namanya Yuki xD

Syukur deh kalo Yuki-san suka. Etooo..kalo itu sih saya ngebayanginnya pipi, soalnya kalo bibir...masa anak kecil gitu sih xD

Guruku tuh yang cerita. Saya sendiri pas diceritain jadi jawdrop sendiri kok xD

Kalo sequel kayanya nggak deh...hehe

Arigatou reviewnya ya..^^

darries

Hehe, tapi kalo menurut saya, dari topik satu ke topik lain, penghubungnya masih kurang nyambung...masih amatir sih ^^a

Hehe, kadang aku emang suka dengan karakter cowo yang (terlihat) polos sama cewe jutek xD

Itu guru aku yang cerita. Aku aja shock trus ngakak dengernya. Oke, arigatou reviewnya ya..^^

Enjoy, please ^^


"Langsung saja. Kau ingin acara pernikahannya kapan? Aku serahkan padamu." Pria yang dikenal dengan nama Ichigo itu melemparkan pertanyaan pertamanya setelah wanita di hadapannya duduk. Maksudku, itu adalah kalimat kedua setelah ia memperkenalkan dirinya. To the point.

Sangat wajar jika hal itu membuat wanita di depannya –Rukia mengerutkan alisnya.

"Aku tidak akan komplain dengan tanggal yang kau pilih." Ichigo melanjutkan setelah melihat isyarat Rukia.

"Ehm, kalau begitu bulan depan. Ku dengar itu hari ulang tahunmu." Tak beda jauh. Rukia juga tidak mau bertele-tele. Sekalipun untuk acaranya sendiri. "Untuk prosesinya terserah padamu." Lanjutnya diikuti anggukan halus oleh Ichigo.

Nampaknya setelah acara ini, mereka punya urusan yang lebih penting. Dan selanjutnya mereka bergegas melenggang dari cafe yang hanya beberapa menit itu mereka singgahi.

.

.

.

Rukia Kuchiki adalah gadis yang sudah beberapa tahun bekerja sebagai pengacara. Dia selalu sibuk seperti sekarang ini. Setelah pertemuan singkatnya dengan sang calon, dia harus bekerja lagi.

Sudah puluhan kali ini dia menghela nafas berat. Dan tambah berat lagi setelah ia bertemu dengan Ichigo. Ia tentu tidak meragukan pilihan dari orang tuanya, tapi sebetulnya dia masih betah menyandang tittle sebagai wanita single selama 28 tahun ini.

Hujatan dan tekanan dari komunitasnyalah yang berperan besar merubah pilihannya. Menjadi seorang ibu rumah tangga baginya adalah hal yang sangat berat. Ia harus rela berkorban. Bahkan hal yang paling disukainya sekalipun.

"Kenapa harus aku dan bukan seperti Yoruichi-san?" Rukia mulai membandingkan dirinya dengan seniornya. Seorang wanita yang sudah menyandang gelar janda 11 tahun. Yoruichi-san juga sendiri, namun dia tidak dituntut dengan pertanyaan "Kapan menikah?". Apa karena dia janda? Oh ayolah, ini tidak adil bagi Rukia.

Pada akhirnya dia menyerah. Ia sudah pasrah dan akan menikah dengan siapa saja yang dipilihkan orang tuanya. Siapa pun itu dan bagaimana pun orangnya. Yang terpenting adalah bagaimana ia menjalankan peran istri dengan baik, dan drama rumah tangga pun bisa berjalan dengan lancar.

Pemikiran itu sedikit menyokong mental Rukia. Pada akhirnya ia menyunggingkan sedikit senyuman seraya menambah kecepatan mobilnya.

.

.

.

Ichigo hanya seorang dokter yang dikagumi banyak orang. Kubilang, hanya. Dia sama sekali tidak tertarik dengan apa yang orang-orang bicarakan tentangnya. Dalam hidupnya ada suatu misi, yaitu mengurangi penderitaan pengidap leukimia. Ichigo memfokuskan dirinya tentang itu. Berusaha keras mempelajari dan menemukan penawar serta cara rehab penderita penyakit itu.

Dia sudah janji pada ibunya. Ia tidak mau pembunuh nomor satu ibunya itu membunuh lebih banyak orang.

Saking fokusnya akan tugas mulia itu, dia lupa akan dirinya sendiri. Bahkan dia tidak berminat untuk menikah. Asalkan orang-orang bisa bebas dari leukimia, dia sudah sangat bahagia. Tanpa adanya pendamping sekali pun.

Tapi, walaupun dia tidak memerlukannya, bukan berarti ayahnya sependapat. Dia punya dua adik perempuan. Yuzu bersekolah di sekolah asrama, dan Karin mendapat beasiswa di sekolah atlet. Jadi sang ayah yang sudah beberapa tahun lalu pensiun pun harus hidup sendiri, mengingat Ichigo jarang berada di rumah.

Terkadang ia merasa kasihan dengan ayahnya. Ditinggal oleh wanita yang paling ia sayangi membuatnya layu. Semangat hidupnya terkuras sedikit demi sedikit.

Pesannya hanya satu. Agar dirinya cepat menikah. Senyuman konyol yang biasa sang ayah suguhkan bersamaan dengan permintaan itu membuat Ichigo kalut.

Pada akhirnya,

"Rukia-chan anak mantan pasien ayah dulu. Soalnya Hisana-san sangat baik hati, jadi kupikir Rukia-chan tak jauh beda dengannya."

Ichigo yang mengingat-ingat kejadian itu hanya bisa memijat pelipisnya. Dia tidak punya pengalaman khusus dengan wanita, dan dengan sekejap dia diharuskan untuk menikah. Sejujurnya, dia tidak tahu apa yang seharusnya dia lakukan pada saat bertemu calon istrinya tadi. Lebih-lebih cara memperlakukan istrinya kelak.

.

.

.

"Rukia, kau yakin?" si pemilik nama melirik sebal kepada seseorang yang melantunkan namanya itu.

"Rangiku-san, bukankah ini adalah jawaban dari rentetan pertanyaan kawakmu itu? Kenapa protes?" Rukia menjawab pertanyaan itu dengan arogan. Dia kembali meneliti kertas-kertas kerjanya.

Sementara itu Rangiku mendengus kesal. Dia pun mengambil alih dokumen yang Rukia pegang, agar childhood-nya itu fokus padanya.

"Bukan begitu. Hanya saja... akh, seriuslah Rukia. Bahkan kau baru bertemu dengannya sekali itu saja. Tepatnya dua minggu yang lalu." Rangiku begitu khawatir. Masalahnya, pria bernama Ichigo itu tidak hanya akan menjadi pacar Rukia. Tapi suami. Lelaki yang akan selalu menyanding Rukia.

"Dia orang yang sibuk. Kami tidak punya waktu untuk bertemu." Lebih tepatnya, Rukia tidak ingin bertemu dengan orang itu. Hal itu hanya akan membuatnya tertekan.

"Bagaimana jika dia tidak seperti harapanmu? Bagaimana jika ia melukaimu?" nada cemas itu tak luput dari pelafalan Rangiku. Rukia pun menghela nafasnya, lalu tersenyum tipis pada sahabatnya itu.

"Orang tuaku tidak akan memilih orang jahat. Setidaknya dia bisa menjalankan tugasnya sebagai suami, itu sudah cukup bagiku." Rangiku masih ragu.

"Tapi—"

"Maaf, Kuchiki-san. Ah, pintunya tidak dikunci." Seorang pria berperawakan kurus dengan rambut pirang menjuntai itu memasuki ruangan Rukia. Tangannya penuh dengan sesuatu.

"Izuru-san, ada apa? Dan..." pandangan Rukia tertuju pada sebuket besar mawar merah segar yang dibawa Izuru.

"Ada seseorang yang menitipkan ini. Kurosaki-san katanya."

"Emh, terima kasih." Setelah menyelesaikan tugasnya, Izuru pun pergi. Rukia menutup pintunya, takut ada gosip yang tersebar jika ada yang melihatnya dengan sebuket mawar merah.

"Itu dari calon suamimu?"

"Siapa lagi Kurosaki yang kukenal?" Rukia sedikit tertarik dengan bunga itu, ah, lebih tepatnya, sebuah kartu yang ada di dalam bunganya.

"Maaf tidak bisa mengunjungimu. Dua minggu ini aku lembur. Akan sangat menyenangkan jika bisa bertemu denganmu sebelum hari pernikahan kita. Aku sangat menantikannya. Calon suamimu. Ichigo Kurosaki." Rangiku membantu Rukia melafalkan isi kartu ucapannya. Ia sedikit tersenyum jahil. Setidaknya mawar merah ini cukup romantis.

"Aku tidak suka senyumanmu itu." sinyal buruk. Rangiku yang seperti ini akan lebih merepotkan daripada yang sedang khawatir tadi. Itu yang Rukia pikirkan seraya menaruh bunga indah tadi di sudut ruangan. Kebetulan ada vas kosong.

"Paling tidak, Gin dulu juga sering memberiku itu."

"Terserah..."

.

.

.

Hal yang paling memalukan dalam hidupnya. Benar-benar memalukan.

"Onii-chan tak perlu khawatir. Aku sangat yakin jika Rukia Nee-chan suka." Gadis berseragam sailor itu tengah berkeliling di ruangan berukuran sedang milik kakaknya. Wajahnya yang ceria itu sangat menggambarkan karakternya. Apalagi perbuatannya barusan. Sangat menggambarkan identitasnya.

"Kau tahu? Aku akan lebih khawatir dengan apa yang akan dia pikirkan tentangku. Lebih baik aku meneleponnya dan meminta maaf." Ichigo buru-buru mengambil gagang telepon yang ada di ruangannya. Namun dengan cepat dicegah dengan gadis yang notabene adalah adiknya.

"Onii-chan, jangan! Akh, sebuket mawar merah adalah hal wajar yang diharapkan wanita. Kurasa Rukia Nee-chan akan berpikir jika kau adalah lelaki yang baik." Yuzu—adik bungsu Ichigo itu mencoba meyakinkan kakaknya.

"Dan kartu ucapan yang ditulis langsung oleh adik dari calonnya adalah hal wajar yang dia harapkan juga?" Ichigo pun bersikeras untuk meminta maaf pada Rukia. Hal itu membuat Yuzu merasa ikut bersalah."Moshi-moshi? Hm, ini Ichigo Kurosaki. Kuharap kau tidak salah paham. Tidak. Bukan itu. Maaf, yang mengirim mawar itu adalah adikku. Sekali lagi aku minta maaf. Baiklah." Kebohongan tetap saja kebohongan. Ichigo tidak mau berlarut-larut dengan hal itu. Meskipun dalam kejujuran itu akan menyakitkan, tapi akan lebih baik jika kau berkata yang sebenarnya.

"Onii-chaaan" Yuzu masih tidak percaya jika Ichigo benar-benar menelepon Rukia untuk minta maaf."Dia pasti kecewa."

"Bagaimana denganmu? Ini sudah hampir sore. Cepat kembali ke asrama."

"Kuharap kau tidak menyesal, Onii-chan."

.

.

.

"Apa yang dia katakan?"

"Katanya bunga itu yang mengirim adalah adiknya."

"Termasuk kartu ucapannya?" Rukia hanya mengangguk lemah dengan pertanyaan itu. Sebagai wanita, tentu tercipta rasa sakit karenanya. Tapi mau bagaimana lagi? Ini sudah takdirnya. Lagipula, hal ini hanya sepele. Tak perlu dibesar-besarkan. Dia sudah bilang jika menjadi ibu rumah tangga adalah hal yang berat. Pastinya Rukia sudah siap hanya untuk mengahadapi hal seperti ini.

"Rukia?"

"Lelucon yang bagus, huh? Aku tidak tahu jika calon suamiku punya selera humor."

.

.

.

"Deg-degan?" Rangiku dengan dandanan yang sangat menggoda itu sedikit merapikan tatanan rambut Rukia. Sosok keduanya terlihat jelas karena refleksi kaca super besar yang terpajang hanya untuk Rukia.

"Anehnya aku tidak merasa demikian." Rukia memasang raut datarnya. Ini adalah hal penting bagi sejarah hidupnya. Seharusnya begitu. Tapi dia merasa biasa saja. Ini terasa seperti ketika ia berhasil memberi pembelaan yang kuat hingga hakim memutuskan bahwa tersangka tidak bersalah."Aku akan lebih merasa seperti itu ketika klien yang kubela adalah orang yang bersalah."

"Rukia. Kau pikir ini apa? Pengadilan? Ini acara pernikahanmu, Rukia." Rangiku terlihat sebal.

"Lebih baik jika hari ini aku bekerja." Kepalanya ia tundukkan. Terkesan sangat pasrah dengan apa yang akan dialaminya hari ini.

"Rukia-chan. Sudah waktunya." Tiba-tiba saja sang ibu masuk. Rukia sungguh tak merasakan kehadirannya. Mungkin karena tidak fokus. Memang dari awal dia tidak fokus dengan semua ini."Kau sangat cantik. Berikan senyum termanismu pada Ichigo-kun."

Dan Rukia pun tersenyum.

.

.

.

Prosesi yang melelahkan itu sudah berlalu. Dan acara non formalnya telah tiba. Saatnya makan dan berfoto dengan pengantin.

Kedua mempelai tampak bahagia. Memang seharusnya begitu. Jadi mereka harus begitu. Namun tanpa seorang ketahui, mereka tidak bertemu pandang sama sekali kecuali saat prosesi.

Untuk suatu alasan yang normal, mungkin mereka malu. Namun tidak demikian. Rukia berpikir jika suami adalah seseorang yang layak untuk ia hormati. Jadi dia harus bersikap sopan padanya. Tidak boleh memperlihatkan sikapmu yang tidak penting padanya.

Ichigo punya alasan tersendiri. Seorang gadis adalah sosok yang rapuh, jadi dia tidak ingin menyakitinya di hari ini dengan bertingkah tak sepantasnya. Dia sudah mengacaukannya dengan sebuket mawar dua minggu lalu, dan dia tak ingin mengulanginya di hari ini.

"Rukia-chan. Selamat atas pernikahanmu." Senyuman tulus, Rukia dapatkan dari mertua tunggalnya. Senyuman itu tak kuasa membuatnya untuk ikut tersenyum.

"Arigatou gozaimasu, Ji-san."

"Hahaha...Otou-san saja."

"Ah, Ichigo-kun. Omedetou gozaimasu." Kini giliran ibu dari Rukia.

"Arigatou gozaimasu." Ucapan Ichigo diiringi tundukan kepala ringan.

"Jaga Rukia baik-baik." Pesan ayah Rukia—Byakuya. Ayah dengan usia kepala 5 itu terlihat tidak rela dengan acara ini. Namun keputusan mutlak yang telah terjadi ini adalah hasil diskusinya dengan sang istri. Jadi dia harus ikhlas menerimanya.

"Oh ya, Ichigo-kun tidak perlu repot membeli rumah. Semua sudah kami siapkan dan hari ini kau dan Rukia-chan bisa langsung menempatinya." Hisana—ibu Rukia yang baik itu telah merencanakan hal ini jauh-jauh hari. Ia ingin kehidupan anaknya bersama sang suami tidak diganggu oleh orang-orang tua seperti dirinya.

"Tapi kami bisa tinggal di—" ujar Ichigo namun terpotong dengan gelengan kepala ayahnya. Dia berusaha mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Kau seharusnya menikmati pernikahanmu.

Senyuman yang tersuguh dari Isshin—ayah Ichigo itu membuat Ichigo terkejut. Niatnya menikah adalah agar ayahnya tidak kecewa, agar ayahnya tidak kesepian.

Rukia yang melihat perubahan ekspresi Ichigo, hanya bisa menebak-nebak bahwa Ichigo tidak ingin tinggal di rumah baru dan memilih tinggal di rumahnya sendiri. Hal ini semakin sulit saja. Baru beberapa menit menikah, dan dia sudah menentang keinginan suaminya. Lalu bagaimana ke depannya? Apa dia bisa berperan sebagai istri yang baik?

Helaan nafas panjang tak sengaja keluar dari mulut Rukia. Dan hal itu tiak luput dari pandangan ibunya.

"Rukia-chan? Kau kenapa?"

"Aku sedikit pusing."

"Kalau begitu akan kuantar kau ke dalam." Rukia pun menjauh bersama ibunya. Ichigo memperhatikannya. Ia merasa bahwa ia telah melakukan hal yang menyakiti istrinya. Dia sangat yakin jika itu adalah salahnya.

To be Continued


Fic baru setelah UKK. Yey! UKK telah lewat. Huft... beban pikiran serasa terbang entah ke mana. Sebenarnya ide ini udah sangat lama, tapi untuk menciptakan perasaan suram mereka sangat sulit... ini juga menurut saya belum begitu suram... gimana menurut readers?

Ah, kisah cinta yang dipaksakan. Tapi tenang, bagi yang benci hurt atau sad ending, ini bukan fic semacam itu kok..hehe...

Oke deh, semoga readers suka dan bisa buat temen begadang atau sebagai camilan..^^