Kucing Hitam dan Bulan di Atas Kepalanya
Haikyuu © Haruichi Furudate
{hearty's kurotsuki festival week – day 5: eternal}
.
Kucing hitam itu sudah lama hidup di jalanan.
Setiap hari makanan didapatkannya dari tong sampah restoran—atau umum, apa saja yang bertajuk tempat pembuangan. Dia mengorek-ngorek dengan kakinya, mencoba menyingkirkan sesampahan yang tak mampu dimakan. Sesekali kucing hitam itu berebut dengan kucing jantan lain. Saling menggeram panjang, mengancam. Kalau yang dihadapinya merupakan kucing pengecut, dia dengan mudah mengusirnya. Tapi tidak semua kucing adalah pengecut. Ada juga kucing besar, dekil dan ahli dalam pertarungan; si kucing penguasa wilayah. Dia enggan berurusan dengan penguasa wilayah, jadi jatah makan terpaksa ditinggalkan.
Pernah ia tidak makan selama empat hari, ia hanya memanfaatkan air di kubangan untuk melenyapkan rasa hausnya. Kelelahan, kelaparan dan penyakit membuat kucing hitam itu tak mampu berjalan. Dia hanya tergolek lemas di sudut kota, menunggu ajal. Waktunya sudah semakin dekat, rasa-rasanya. Ia tak lagi merasakan apa pun. Kedua kaki luar biasa lemas, perut tak ada isi (terus saja terdengar suara dari perutnya, menandakan kurangnya pasokan makanan), mata terpejam—lalu terbuka, walau separuh. Seakan yakin, dia pasti mati malam itu.
Tapi cahaya bulan di atas kepalanya terasa begitu indah. Kucing hitam itu berpikir, barangkali kematian adalah ketika dia melihat bulan menggantung bulat di atas kepalanya. Namun, ternyata ia masih hidup. Bulan tersebut menyingkir perlahan-lahan sebelum matahari muncul di atas horison dari Timur. Kematian belum juga datang. Sialnya, dalam hati kecil kucing hitam itu, ada harapan muncul berupa percik-percik, seolah mengungkapkan; betapa dia ingin kembali melihat bulan bulat yang indah itu di atas kepalanya.
Dan dia memang kembali melihatnya. Bulan itu.
Si kucing hitam teringat pada kehidupannya sebelum terlempar ke jalanan. Dia hanyalah kucing kecil, menyusu pada ibunya yang lalu pergi entah ke mana. Saudara-saudaranya mati. Dia sendirian. Hingga suatu hari, seorang nenek tua mengurusinya. Nenek tua itu tidak banyak bicara, hanya mengelus-elus puncak kepalanya. Setiap hari, makanan datang (ditambah susu, susu yang lezat sekali). Si kucing kecil tumbuh menjadi besar. Dia tidak pernah berani mencuri ikan nenek tersebut karena dia tahu dia sudah memiliki jatahnya sendiri.
Kadang terpikir, nenek itu hidup seorang diri. Tidak pernah ada orang lain di dalam rumah tua itu. Hanya si nenek dan seekor kucing hitam. Pada suatu pagi, nenek tersebut tiba-tiba saja banyak bicara, mengeluhkan anak perempuannya yang belum juga pulang dari perantauan. Keesokan harinya, nenek tersebut jatuh sakit. Kucing hitam hanya mampu berbaring di samping tubuh majikannya. Ketika cahaya bulan masuk melalui celah tirai jendela yang tidak tertutup sepenuhnya, si nenek menggumamkan sesuatu.
"Bulannya indah sekali malam ini."
Nenek tersebut tidak pernah bangun kembali.
Seperti juga kucing hitam itu kini. Seharusnya.
Namun, dia masih dan tetap hidup—meski dengan napas putus-putus. Cahaya rembulan yang remang-remang jatuh ke kedua bola matanya. Dia menyadari, bahwa bulan merupakan pertanda dekatnya seseorang pada kematian. Tapi kematian itu tampaknya terasa begitu menenangkan, seakan bulan mengatakan bahwa segalanya pasti baik-baik saja; kehidupan setelah mati—akan bagaimana? Kucing hitam tersebut bertanya-tanya, apakah seluruh makhluk yang mati kembali kepada bulan. Dia ingin segera mati, ingin segera menemui bulan.
Kucing hitam itu memandang bulan di atas kepalanya.
Tsuki ga kirei desu ne.[*]
10:05 AM – July 2, 2017
[*] The moon is beautiful. Bisa juga diartikan 'I love you' (merujuk pada Natsume Souseki)
