Tak Pernah Ku Tahu

Disclaimer : J.K Rowling

Warning : jelek, typo(s) yang tidak sengaja, membosankan –mungkin-, sekedar pelampiasan dunia nyata,don't like don't read.

A/N : Cerita ini adalah lanjutan dari ff yang saya buat yaitu 'Tak Seamanis Bayanganmu' tetapi dengan setting waktu yang berbeda, dan saya mengambil sudut pandang dari Harry. Karena tiba-tiba ada motifasi dari Mrs. Y Malfoy jadi kepikiran membuat ff ini. Tenang saja tidak ada Voldemort disini. Jadi RnR oke..

Happy Reading

Kehidupanku adalah awalan. Awalan dari sebuah perjalanan. Yang sekarang kujalani dengan penuh senyuman karena seseorang yang sangat bermakna untukku. Aku hanyalah anak berumur 11 tahun yang sangat beruntung dengan keadaan yang sekarang telah menjadi milikku seutuhnya, maksudku adalah cinta.

Kuharap tahun ini adalah tahun yang sangat bermakna bagiku, bagian dari jalan yang sakarang aku lalui bersama sosok ayah yang sangat menyayangiku. Dia adalah orang yang paling baik sedunia. Tapi sayang ayah tak pernah bercerita banyak tentang ibu. Aku ingin tahu rupa ibuku, tapi aku tak pernah menemukannya. Jika aku menanyakan tentang ibu pada ayah, ayah selalu tersenyum sambil meneteskan air matanya yang bahkan aku tak mengetahui maksud dari air mata ayah sesungguhnya. Inseden kecelakaan yang menimpa ibu dan ayah ketika aku masih berumur belum genap satu tahun, yang membuat ayah kehilangan satu ginjalnya, dan ibu, dia meninggal ditempat. Setidaknya ayah pernah mengatakan itu padaku.

Kata ayah, ibu adalah wanita yang sangat cantik, menawan, baik, dan tak pernah menampakkan kesedihannya pada banyak orang. Ayah juga mengatakan bahwa sayang sekali tak ada lagi Lily yang selalu bersama ketika aku beranjak tumbuh berkembang. Aku tahu saat semuanya menjadi kacau ketika aku menanyakan tentang ibu. Ayah selalu sedih hanya karena sesuatu yang kutanyakan berkaitan dengannya.

Jadi aku tak berani banyak bicara tentangnya didepan ayah, karena itu akan membuatnya sangat terpukul. Sekarang adalah sekarang, yang lalu biarlah berlalu. Terlalu beruntung jika aku masih ada dalam genggaman ibu. Jadi aku punya ayahpun sudah sangat beruntung. Severus Snape. Ayah yang sangat sempurna dimataku.

Aku masih mengingat ketika ayah menarikan sebuah tarian yang ia ciptakan sendiri untukku dan menyanyikan lagu 'Hogwarts' untukku. Itu benar-benar menyenangkan. Ia mencitakannya hanya karena aku tak bisa tertidur ketika hari sudah malam yang membuatku menangis. Ya percayalah aku masih berumur tiga tahun. Dan setiap malam ayah akan melakukannya untukku agar aku bisa tertidur.

Sekarang tidak lagi. Aku banyak mencurahkan isi hatiku padanya. Dia bagaikan temanku, ibuku, ayahku, bahkan sesuatu yang membuatku selalu tersenyum. Ayah selalu mengajariku tentang bagaiman pelajaran yang kuterima disekolah nanti. Ayah memberiku sebuah kata bermakna yang tak pernah kulupakan, dan hampir setiap hari aku mengatakannya. Tetap tegar, selalu. Mungkin itu hanyalah tiga kata yang sangat sederhana yang pernah kau dengar. Tapi ditelingaku, respon yang kuterima adalah hal-hal yang selalu berputar yang membuatku sulit berfikir. Dan harapan dari ku hanyalah kata-kata ayah.

Tahun pertama disekolah ini membuatku sedikit takut akan membuat sesuatu yang berbeda tentang kenyataan. Pengalaman. Tidak sama sekali. Kau tahu tak pernah sedikitpun aku memikirkan mengapa Harry yang sekarang menjadi seorang yang lebih pendiam, setelah masuk di Hogwarts. Jikalau kau tahu bahwa guruku adalah ayahku sendiri.

Pemikiran tentang ramuan yang aku dengar dengan jelas, dari mulut ayahku sendiri membuatku antusias mendengar penjelasannya lebih banyak ketika dimulai semua kejadian-kejadian yang tak pernah kuduga selama ini. Ketika disekolah ayah menjadi orang yang lebih dingin, maksudku dia tak pernah membedakan murid-muridnya meskipun aku adalah anaknya sendiri. Iya aku tahu itu hal yang bijak. Ayahku memang bijak.

Dulu ayah masuk asrama Slytherin. Yang membuat aku tertawa adalah, ayah tak pernah punya teman baik selain ibuku. "Lily adalah satu-satunya temanku yang tak pernah kulepas, dia, hanya dia temanku saat aku masih dibangku sekolah, meskipun kami berbeda asrama dia tetap memperdulikan aku." Kata-kata ayah yang selalu terpikir olehku tentang ibu yang pikiranku selalu menganggapnya setia.

Jika hati bisa berbohong, mungkin kau akan ada dan selalu larut dalam kebohongan. Ayah orang yang paling jujur, dia tak pernah membohongiku, sekalipun, itu yang kutahu. Terpikat oleh pengharapan yang selalu kusadari betapa indah hidupku dengan adanya pengharapanku. Tentu ayah. Aku selalu ingin seperti ayah, keinginan pertamaku adalah Slytherin. Tapi mungkin ibu telah masuk dalam diriku. Gryffindor.

"Ayah," panggilku ketika aku duduk bersamanya dipinggiran koridor.

"Ya..?" jawabnya sambil menengok menatapku.

"Kau tahu, sesuatu yang pergi mungkin datang tapi dengan caranya sendiri,"

"Maksudmu ibumu?" Tanyanya. Aku tak pernah berfikir ayah akan menjawab itu. Aku hanya bermaksud untuk memberikannya sebuah kata mutiara untuk dokumen-dokumennya yang hilang.

"Dengar Harry, aku tahu kau akan selalu mencintai ibumu. Tapi dengarlah sesuatu yang hilang itu adalah.." Dia terdiam sejenak, lalu menghenbuskan nafas. "ibumu". Dengar ya.. aku juga tak bermaksud untuk mengingatkannya pada semua ini. Ibu, dokumen, bahkan arti kehilangan. Kuharap aku bisa mencabut kata-kataku tadi.

"Kau sangat merindukannya kan?" Ayah melingkarkan tangannya kebahuku dan.."Tetap tegar, selalu". Oh.. itu membuatku sangat tersentuh.

"Kau tak pernah memberikanku fotonya." Aku mencoba tidak larut dalam kesedihan. "sekarang waktunya aku tahu secantik apa ibuku,"

"Baiklah. Aku akan memberikannya untukmu," Aku tak pernah menanyakan ini sebelumnya pada ayah. Jadi apa yang harus kukataka ketika aku telah menerimanya.

"Untukmu,"

Sebelum melihatnya aku tersenyum pada ayah yang membuatnya tersenyum juga.

"Terbakar, ujungnya terbakar, kenapa?"

"Dokumen lama kau tahu" katanya. Dan sekarang matanya mulai berkaca-kaca. "Harry, kembali keruang asramamu, tidurlah, bulan akan selalu melindungimu."

Aku terdiam sambil memandangi foto itu. Sampai ayah memegangku untuk berdiri. Senyum terakhir hari ini yang kuberikan padanya. Lalu aku berjalan menyusuri koridor untuk menuju ruang rekreasi. Saat aku berjalan aku masih tetap memandangi foto itu dengan hati yang berdebar, otakku mulai mengartikan .Wanita dengan wajah yang keibuan ini adalah ibuku, persis seperti apa yang ayah katakan padaku, bunga Lily yang langka, telah punah, tiada lagi.

Tepat didepan ruang rekreasi. Aku masuk dan menuju kekamarku. Yang kulakuakan? Masih seperti sepuluh menit yang lalu. Aku tak bosan memandangi wanita dalam foto buram itu. Aku ingin sekali menjerit, menangis, mengatakan bahwa aku sangat menginginkan ibu kembali, disini, bersamaku dan ayah. Aku ingin memeluknya sekali saja. Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku mencintainya.

Hal indah yang tak pernah kubagi padanya, aku merindukannya, pelukannya. Aku tak mengingat sama sekali kapan terakhir kali aku dalam pangkuannya. Aku ingin sekali menyekop tanah merah dan akan tertidur bersamanya. Kehilangannya membuatku tahu aku akan mencoba sekuat tenaga untuk melindungi satu-satunya keluargaku yang tersisa. Dan ketika aku mulai mengantuk, ku ucap kata-kata yang tak pernah didengar siapapun. 'ayah jangan pernah tinggalkan aku.'

Tak pernah ku tahu apa yang selalu membuatku bimbang, temanku hanyalah Hermione dan Ron. Perkenalan yang membuatku tahu arti penting seorang teman. Anak perempuan dengan rambut semak yang mengilaukan cahaya hazle dari matanya. Dia anak pertama yang memberiku sebuah ucapan salam yang mengesankan, menurutku. Dan anak laki-laki berambut merah dengan kata yang tak pernah kudengar sebelumnya, kata-kata aneh yang... 'sesuatu seperti daisy ada didepan pintu rumahku dan membuat tikusku takut'. Aneh? Apa maksudnya?

Hermione ingin tahu banyak tentang ayah. Dia banyak mempelajari buku yang diberikan ayah padaku. Dia menanyakan apa kesukaan ayah, warna favorit ayah, bunga favorit ayah, dan yang lainnya. Hermione Granger, anak perempuan ini membuatku mengetahui arti pentingnya banyak tahu membuatmu seperti dalam surga. Jikalau saja ayahku bukanlah seorang guru di Hogwarts mungkin dia tak akan menjadi seperti ini. Dan makhluk yang menanyakan tentang sesuatu seperti daisy padaku ini adalah anak keturunan darah murni yang sangat sulit peka terhadap sesuatu. Ron tak pernah menyukai Hermione. Katanya dia mau berteman dengan gadis kecil ini hanya karena aku dekat dengannya.

Pelajaran yang membuat ku sangat menginginkannya lagi adalah ramuan. Kau tahu? Karena ayah. Saat bersama teman-temanku aku hanya memikirkan apa hal yang berbeda dintara kami. Tak pernah ku tahu sesuatu yang membuat aku menjadi Harry dengan penuh senyuman. Dan hanya karena kedua temanku ini aku dapat tersenyum setelah tak lagi dipangkuan ayah. Ketika semua kejadian telah berlalu dengan tatanan yang sangat apik dan mengesankan. Aku hanya diam meratapi hidup dengan menjalaninya.

Tahun pertama yang melelahkan. Tidak ada kata diam dalam hidupku selama aku tinggal di Hogwarts. Saat ini adalah saat dimana aku harus melakukan semua masalahku sendiri tanpa bantuan ayah. Seperti menata ulang buku-bukuku, menata kasurku, menyelesaikan semua tugasku, dan tentunya menyiapkan ujian tahun pertamaku. Ayah selalu mengatakan bahwa kejadian yang menimpa hidupku ini, bukan hanya aku yang mengalaminya. Kehilangan dan tak pernah merasakan kembali adanya seseorang yang telah berusaha membuatmu hidup didunia ini. Yang membuatmu dapat merasakan kehangatan yang diberikan alam padamu. Yang membuat semua hidup seseorang begitu berarti.

Hanya satu hal yang kupertanyakan selama aku masih ada di Hogwarts. Yaitu, apakah aku bisa menjalani ujian pertamaku dengan tenang dan tak akan mengacewakan ayah? Pertanyaan itu terus berlanjut dengan anak-anak pertanyaan yang muncul kembali. Dan taka henti-henti. Setidaknya Hermione sangat banyak membantu. Meskipun presepsiku yang menganggap aku harus melakukan hal-hal ini sendiri adalah benar. Ada titik kecil dihatiku yang menganggap semua itu adalh salah. Aku tak akan bisa mengerjakan ini sendirian. Hanya sendirian. Sedikit bantuan dari temanku ini mungkin akan membuatku terbantu. Dan Ron. Pasti. Dia membantu sangat banyak. Terkadang aku merasa bosan dengan apa yang membuat diriku menjadi bosan karena ocehan Hermione yang sangat duakali membuatku bingun, Ron membuat lelucon yang mengesankan yang membuat Hermione tak fokus dan menjadi tertawa bersamaan denganku.

Ataupun seseorang yang tak terlalu kukenal dekat. Tapi dia sangat dekat dengan ayah. Ayah sangat membanggakannya karena. Satu dia anak perempuan yang punya jalan sendiri terhadap kehidupannya. Kedua dia pandai dalam segala hal. Meskipun kepandaiannya tak akan bisa melebihi temanku yang berambut semak. Aku tahu Hermione lebih mementingkan baca buku, memahaminya lalu menggunakan bahasa buku untuk ia gunakan dalam memperdalam pelajaran. Tapi Pansy lebih ke memperdalam bacaannya, memahaminya dan menggunakan bahasanya sendiri untuk menjawab suatu soal. Yang ketiga ayah memang kepala asrama Slytherin.

Aku masih mengingat betul bagaiman ia beradu cekcok dengan anak laki-laki berambut platina yang sedang mencoba mengejekku saat pertama kali kami masuk ke kastil Hogwarts.

"Hey, kau! Iya kau yang berambut platina!.. bisakah kau menutup mulutmu sejenak, kenapa kau suka sekali mengomel" celetuknya sembari Draco menengoknya.

"Apa masalah mu, aku tak pernah mencari masalah denganmu, siapa kau?" balasnya dengan kata yang lebih mengerikan "Seharusnya kau yang diam, bodoh"

"Siapa aku? Kau tanya siapa aku? Istrimu dimasa depan, memangnya aku juga kenal denganmu. Sekarang yang kuinginkan hanyalah menyumpat mulutmu dengan buku."

"Kau yang seharusnya diam, dasar gadis bodoh tak tahu diri,"

Tapi tatapan sinis yang ia berikan pada Draco membuatku tahu, mungkin dia gadis baik. Dia menyelamatkanku dari ancaman rambut platina yang membuatku tak berani sekalipun untuk menyahut omongannya. Karena kata ayah dia anak orang bermartabat yang kelakuannya sama sekali tidak bermartabat. Tapi hal aneh terjadi, dia sama sekali tak pernah menjadi pihakku atau pihak Draco yang sesama Slytherin-nya.

Katanya hanya ada satu hal yang bisa membuatnya mau berteman denganku. Jika aku mau berusaha untuk menjadi lebuh pintar darinya dia mau menjadi temanku. Dia benci orang-orang bodoh. Sesutu yang membuatnya bicara banyak denganku adalah Hermione. Menurutku dia mau berteman dengan Hermione hanya karena Hermione anak pandai. Dan pada saatnya aku tahu rencana kejinya, yaitu menusuknya dari belakang. Sudah bebrapa kali aku memperingatkan Hermione untuk menjauhi gadis itu tapi sia-sia. Keras kepala.

Tak pernah kutahu bagaiman aku bisa menjadikan gadis itu, maksudku Pansy menjadi orang yang percaya padaku. Terakhir kali ia mengatakan, 'aku yakin Prof. Snape akan lebih menyukaiku dari pada anknya sendiri.' Itu tak akan terjadi dasar gadis bodoh, ayahku tahu mana orang yang berperilaku seperti musang. Dan aku tahu benar itu adalah kau, Pansy. Tapi tak selebihnya benar, kata-kataku tentang Pansy. Terkadang ia menjadi baik pada Ron, ataupun aku. Sangat jarang, hampir tidak sama sekali.

Ayah pernah mengatakan padaku. Sesuatu yang kau inginkan sudah ada didepan, tapi bagaimana kau bisa merainya dengan caramu sendiri yang membuatmu merasakan adanya kepuasan batin atas apa yang telah kau capai. Dan kali ini aku tak akan mengecewakannya hanya karena nilai yang buruk.

Dan hari ini adalah saatnya dimana aku akan mendapatkan informasi mengenai nilaiku sendiri. Lulus, selamat datang ditahun keduamu. Kata itu bercetak miring setelah adanya tulisan rapi bertuliskan nilai-nilai yang aku raih selama aku bersekolah. Dan itu tak akan terlalu mengecewakan ayah.

Setelah aku akan pergi menghabiskan liburan musim panasku bersama ayah, dimana letak yang selalu ku rindukan selama aku disekolah. Rumahku, kebersamaan bersama ayah yang sangat kuinginkan kembali. Dan kali ini aku akan mencoba mengetahui apa yang selama ini membuat ayah sedikit merasakan kebencian setelah kembalinya dirumah. Dan petualanganku akhirnya dimulai.

BERSAMBUNG