Naruto © Kishimoto Masashi.

Kimi No Shiranai Monogatari © Someiyoshino Amari

Sabaku No Gaara & Hinata Hyuuga & Sasuke Uchiha

OOC, Typos.


One.

Different Day.

.

.

.

.

.

"Lagi?"

Gadis itu hanya mengangkat bahu sebelum tersenyum simpul ke arah pelayan toko yang tengah berdiri di depan sebuah mesin kasir di toko swalayan di persimpangan jalan.

"Itu kesukaanku." Jawab gadis itu sebelum tersenyum lebar kearah lawan bicaranya.

"Wakatta, wakatta." Ucap pelayan kasir itu sambil memeriksa barang belanjaan Hinata, menghitungnya dan memasukkannya ke sebuah kantong putih yang di depannya terdapat stempel yang bertuliskan nama toko tersebut.

Hinata menyerahkan beberapa lembar uang sebelum mengambil kembalian dan barang belajaannya yang terbilang ringan.

"Terimakasih Matsuri."

"Sama-sama, datang lagi ya."

"Tentu."

Dan satu dentingan lonceng di pintu masuk kaca itu berdenting ketika Hinata keluar melewati pintu itu, hanya menyisakan Matsuri saja dengan segelintiran pelanggan yang masih berkeliaran di toko swalayan tersebut.

Hinata berjalan pelan di sebuah trotoar sepanjang jalan yang menyuguhkan pemandangan hamparan langit kelam dengan beberapa bintang yang menghiasinya, Hinata enggan mendongkak, dia memilih berjalan tenang dengan pandangan lurus kedepan. Kemeja lengan panjang yang ia lipat sebatas siku membuat angin malam dengan bebas bisa berhembus melewati tangan itu menyalurkan hawa dingin yang tidak begitu menusuk.

Tangan kirinya memegang kantong belanjaan putih itu sekaligus memegang bungkusan coklat stick dengan biskuit yang berisi pada sebuah kotak berwarna coklat panjang. Hinata terlihat khidmat menikmatinya.

Pekerjaannya seharian begitu menguras tenaga, terlebih ketika kau masih harus pulang di tempuh dengan berjalan kaki, sungguh itu hebat sekali.

Tepat di sebuah pagar rumah berwarna putih Hinata menghentikan langkah kakinya, dia mendorong dengan tenada rendah pagar besi itu, walau demikian pagar itu tetap terbuka dengan mudahnya karena tidak di kunci.

Lampu taman dengan cahaya remang-ramang itu menjadi penerang tatkala Hinata melewati jalan setapak di halamannya yang luas dan panjang. Warna-warni bunga tidak bisa dilihat dengan jelas dengan bantuan lampu taman yang nyalanya tidak seberapa terang, biasanya setiap pagi hari Hinata melewati taman ini dia akan disuguhi warna-warni tumbuhan bunga yang terawat subur karena tangan dingin ibunya yang handal dalam berkebun.

Hinata berangkat pada waktu pagi hari, dan pulang ketika matahari sudah tidak tampak lagi.

Sebagian besar waktunya dia habiskan untuk bekerja, bahkan hari libur saja dia sangat diwajibkan untuk datang ke pekerjaannya. Bagamana tidak? Karena di hari minggu lah pelanggan membanjiri resto tempatnya bekerja.

"Tadaima."

"Okaeri Hinata."

Sahutan itu terdengar dari arah tengah ruangan. Dimana sebuah televisi dan kursi santai diletakkan. Duduk dengan anggunnya wanita paruh baya yang tengah menikmati suguhan dorama di malam hari.

Hinata mencium pipi wanita itu sebelum mendudukannya diri di sampingnya, matanya ikut terfokus ke arah televisi yang sedang memutar tayangan iklan yang cukup panjang. "Kaa-san mau?" tawarnya seraya menyodorkan bungkusan berbentuk persegi panjang itu ke hadapannya ibunya yang tengah tersenyum lembut.

"Iie. Untukmu saja."

Hinata mengangkat bahu, dan melahap stick coklat yang berada di tangan kirinya.

"Bagaimana pekerjaanmu?"

Masih mengunyah pocky yang beberapa saat lalu masuk ke dalam mulutnya, Hinata diam dengan mata masih menatap ke arah layar kaca di depannya. "Seperti biasa, melelahkan." Dan mengambil satu lagi stick yang hanya tersisa beberapa buah saja. "Tapi menyenangkan." Lanjutnya.

"Kaa-san mengerti, kau harus berangkat kerja di pagi hari sekali, lalu kau kembali saat malam telah larut." Wanita itu mengambil remot yang dia taruh di meja samping tempat duduknya, mengarahkannya ke depan televisi dan mengecilkan volume suaranya. "Kaa-san selalu mengkuatirkanmu ketika kau harus pulang malam hari, sendirian dengan berjalan kaki." Mata wanita itu menatap Hinata kuatir, tangan kanannya mengelus-elus rambut Hinata yang lembut.

"Kaa-san akan meminta kakekmu untuk tidak mempekerjakanmu terlalu berat."

"Iie, jangan."

Sanggah Hinata serius, dia kemudian mengubah posisi duduknya, menjadi menghadap ke arah ibunya yang mulai mengabaikan suguhan dorama di layar kaca yang kini sudah kembali memulai kelanjutan ceritanya. "Aku menyukai pekerjaan ini bu, aku tidak mau jika pekerjaanku menjadi lebih ringan, dan aku akan memiliki banyak waktu luang karenanya." Keluh Hinata. "Dan itu akan sangat membosankan."

Wanita berambut gelap itu tertawa, "Kau memang keras kepala."

Hinata menaruh bungkusan pockynya ketika isinya sudah kandas, dan ikut tertawa menimpali ibunya.

"Tapi setidaknya bawalah mobilmu Hinata."

"Untuk apa?" Tanya Hinata polos.

"Agar kau tidak usah berjalan kaki lagi." Jawab wanita itu tidak kalah polosnya.

"Aku tahu, tapi- sudahlah." Hinata mengusap wajahnya gusar.

Kemudian berdiri dan menenteng belanjaannya sebelum melangkah pergi meninggalkan ibunya yang tersenyum senang.

"Kaa-san menaruh kuncinya di atas nakas di kamarmu." Ungkap wanita itu setengah berteriak.

"Haii.." Hinata menanggapinya dengan teriakkan bernada malas.

"Anak itu." Sedangkan wanita yang tengah duduk itu hanya terkekeh saja menyaksikan tingkah polah putrinya yang keras kepala namun tak pernah sekalipun bisa menolak perintahnya.

.

.

.

.

.


Hinata keluar dari pintu berdaun dua itu dengan langkah santai. Kehadirannya disadari oleh wanita paruh baya yang tengah menyiram tanaman-tanamannya. Hinata berjalan mendekat ke arahnya.

"Waw mereka tumbuh dengan cepat!" Seru Hinta ketika melihat tanaman bunga di bawah kakinya tumbuh subur dengan warna-warna indahnya. Sedangkan ibunya hanya menanggapi dengan senyuman.

"Nee Okaa-san." Panggilnya seraya bergelayut manja pada ibunya yang saat itu juga dihadiahi tawa oleh wanita tersebut.

"Aku pergi dulu." Dan melayangkan satu kecupan di pipi wanita bertubuh lebih tinggi darinya itu.

"Ya, berhati-hatilah."

"Haii.."

Dan Hinata berlalu memasuki mobil hitamnya yang tengah terparkir di halaman. Menarik tuasnya dan meningalkan ibunya yang menatap kepergiannya. Hei jangan lupakan satu hal, Hinata membunyikan klakson mobilnya sebelum benar-benar meninggalkan kediamannya itu.

.

.

.

.

.

Hinata turun dari mobilnya dan membunyikan alarm otomatis untuk mobil yang bisa dibilang mewah untuk gadis seusianya. Lapangan parkir masih lenggang. Hanya diisi oleh beberapa mobil saja yang terparkir saling berjauhan. Hinata melangkah dengan langkah tenang, melewati parkiran luas dan masuk ke restoran yang tak kalah luasnya dengan parkiran itu melalui pintu belakang yang hanya terbuka untuk mereka para karyawan dan orang-orang berpengaruh besar untuk tempat makan tersebut.

Hari ini hari Rabu, tidak banyak pesanan yang dia dapatkan. Hanya segelintir orang saja yang memesan sarapan sebelum mereka pergi untuk berhadapan dengan pekerjaan mereka. Hinata masuk pada suatu ruangan di ujung, jauh dari dapur tempatnya biasa menyajikan makanan untuk para pelanggannya.

Hinata megenakan seragam resminya. Menanggalkan pakaiannya semula yang terbilang kasual dan biasa saja. Sangat tidak mencerminkan seorang gadis yang memiliki kekayaan melimpah milik keluarganya. Dia terlihat seperti gadis biasa yang sederhana. Terlepas dari pandangan orang-orang dari mobilnya tentunya.

"Itu mobilmu?"

Tanya pemuda berambut pirang yang baru saja memasuki dapur utama yang tengah di isi oleh Hinata dan segelintiran koki-koki lainnya yang masih bersantai-santai saja dengan pekerjaan mereka.

"Menurutmu?" Hinata balik bertanya tanpa menatap si pemuda yang berada di sampingnya.

"Akhirnya kau mau menurutiku untuk membawa mobil itu bersamamu." Cengiran lebar pemuda itu tunjukan untuk Hinata yang masih saja sibuk dengan pekerjaannya.

"Ibuku yang memintanya Naruto." Sanggah Hinata dengan nada suara datar.

"Haa? Tapi setidaknya kau benar-benar menuruti ucapanku."

"Ibuku." Ralat Hinata dengan nada sedikit meninggi.

"Tapi itu perintahku juga."

"Terserah saja."

"Oi oi Hinata bagaimana-"

"Ganti pakaianmu Tuan, atau kau ingin gajimu berkurang?"

Hinata memotong ucapan Naruto yang memang tidak pada waktunya. Dia selalu saja seperti itu disetiap paginya, selalu berisik dan bersemangat. Terlalu bersemangat.

"Oh aku takut." Dan Naruto berlalu dengan raut ketakutan dan tingkah yang dibuat-buat.

Hinata kembali pada kegiatannya. Menyiapkan berbagai macam bahan, menilai dan menghitung. Hanya mengecek apakah bahan-bahan itu cukup untuk memenuhi pesanan.

Pekerjaannya memang tidak berat. Hanya mengecek beberapa bahan dan terkadang mencatatnya, melaporkan pada atasan dan terkadang dia sendiri yang harus turun tangan untuk menutupi kekurangan itu.

Kadang pula Hinata ikut memasak bersama yang lainnya. Tapi lebih sering dirinya hanya mengawasi para koki-koki yang bekerja sebagai bawahannya.

Pekerjaannya tidak berat, sungguh Hinata sangat membetulkan argumen itu. Tapi, karena dirinya yang harus berangkat pagi dan pulang malam hari membuat ibunya beranggapan lain.

Hinata berkeliling, mengawasi koki-koki lain yang tengah berkutat dengan kegiatannya. Hinata melihat Naruto yang baru kembali dari ruangan ganti dan kini berjalan menghampirinya. "Bagaimana Hinata?"

"Bagaimana apanya?" Hinata tidak mengerti.

Koki spesialis Pastry ini memang sering kali membingungkan Hinata.

"Bagaiamana apakah sudah ada yang memesan pastry?"

"Hei aku bukan maid!" Alisnya yang berkedut menandakan Hinata tengah kesal dengan rekan kerjanya itu.

"Kau atasan kami, kukira kau tahu segalanya." Ungkap Naruto sambil mengangkat bahu dan berlalu meninggalkan Hinata yang menghembuskan nafas kasar.

Kalau saja Naruto bukan sahabatnya, mungkin Hinata sudah memecatnya yang sering bersikap seenaknya dan menyebalkan seperti ini.

.

.

.

Jam sudah menunjukkan tengah hari, para koki semakin sibuk saja dengan pekerjaan mereka. Hinata pun demikian, dia menjadi orang yang paling sibuk ketika para rekan kerjanya juga sibuk. Dia berjalan kesana-kemari, menelpon beberapa pemasok olahan bahan makanan langganan resto milik kakeknya ini.

Hinata mengusap keringat yang berada di pelipisnya, dia merasa lelah dan haus. Dia memutuskan untuk menghampiri meja di sudut ruangan yang menyediakan air mineral dalam jumlah banyak.

"Hinata-sama, Tuan memanggil anda ke ruangannya."

"Begitu? Baiklah." Jawabnya.

Walau sebenarnya Hinata tidak mau pergi meninggalkan rekan-rekan kerjanya yang sedang kewalahan menanggapi pesanan para pelanggannya, namun dia tidak memiliki pilihan lain selain menuruti perintah yang tidak bisa diabaikan begitu saja ini.

.

.

.

"Ojii-sama." Hinata membungkuk hormat pada pria berusia lebih dari setengah abad yang tengah duduk di hadapannya.

"Duduklah Hinata."

Hinata menurut saja sambil menduduki kursi yang berhadapan langsung dengan Tuan si pemilik resto mewah tempatnya bekerja itu. Hanya ada sebuah meja yang berukuran persegi panjang yang menjadi sekat diantara Hinata dan pria itu. Sebuah meja berwarna coklat dengan dipenuhi oleh berbagai macam kertas dan berkas-berkas yang Hinata tidak tahu isinya apa.

"Kau sudah bekerja dengan baik Hinata."

Suara baritonnya membuat Hinata menunjukkan fokus penuh pada atasan di hadapannya. "Kau pasti sangat lelah 'kan Hinata?"

"Iie." Sangkal Hinata cepat, "Aku menyukai pekerjaan ini Ojii-sama."

Hinata menduga bahwa ini adalah ulah ibunya.

"Restoranku berkembang pesat berkat dirimu." Pria tua itu menerawang. "Kau berhak mendapatkan hadiah."

"Kurasa itu tidak perlu." Hinata bersikeras, "Kau terlalu berlebihan, Ojii-sama."

"Tidak." Pria itu jauh lebih keras kepala dari Hinata.

"Itu pantas untukmu."

Sesuatu dalam dirinya memaksanya untuk menolak. "Terimakasih Ojii-sama."

Tapi dia ingin menjadi seorang yang baik dengan tidak menolak tawaran baik orang lain.

"Aku akan mengirim hadiahmu nanti." Pria itu benar-benar baik.

"Hontou ni Arigatou."

"Sekarang kau tidak usah kembali ke dapur. Kau boleh pulang atau ke tempat manapun yang kau inginkan."

Tidak salah lagi, ini ulah ibunya.

Lelaki tua itu beranjak dari duduknya, mengambil pipa berisi rokok yang kini pria tua itu nyalakan.

"Tapi-"

"Aku tidak ingin cucu kesayanganku terlalu tertekan dengan pekerjaannya." Tampaknya Pria tua itu sama sekali tidak ingin mendengar protes.

Hinata mengulum senyuman, dia merasa menjadi seorang Kaichou yang tidak bertanggung jawab dengan pulang disaat-saat penting seperti waktu istirahat. "Ini perintah sayang."

Namun apa boleh buat? Dirinya tidak pernah sekalipun di didik untuk membantah, terlebih pada seorang kakek yang sangat di hormatinya.

"Hontou ni Arigatou Ojii-sama."

"Ya. Sekarang kau boleh pergi Hinata."

"Baik." Hinata membungkuk hormat pada sosok kakek tua yang kini tengah berdiri membelakanginya. Menghisap rokok yang menyebabkan candu, menyaksikan panorama memukau dari jendela lebar yang menyuguhkan horuk-pikuk kehidupan masyarakat Konoha.

Hinata pun berlalu dengan satu debaman pelan di pintu berdaun dua tersebut.

Hinata berjalan melewati parkiran. Melayangkan pandangan pada mobilnya sebentar sebelum benar-benar menghilang dari parkiran. Dia melepas topi yang menjadi bagian vital dari seragam kerjanya yang berwarna putih, melipatnya dan memasukkannya ke dalam saku baju seragam yang dikenakannya.

Hinata menggulung lengan bajunya sebatas siku sambil terus berjalan di tengah-tengah trotoar yang banyak dilalui oleh orang-orang. Tubuhnya yang ideal berkali-kali hampir terseret oleh langkah-langkah lebar para pekerja yang berjalan sangat cepat untuk menuju resto tujuan karena perut mereka yang keroncongan, waktu istirahat yang terbatas membuat mereka berjalan dengan demikian.

Hinata memutuskan untuk berhenti, menyebrangi pertigaan ketika lampu merah di nyalakan. Dan sosoknya pun tidak terlihat lagi di jalanan ketika dia memutuskan untuk memasuki sebuah swalayan.

Sapaan 'Selamat datang' dari sebuah pintu otomatis yang akan terbuka ketika dia memasukinya di abaikannya begitu saja. Dirinya yang sudah menjadi pelanggan setia bagi swalayan itu membawa kakinya melangkah ke arah deretan rak-rak tinggi yang menyediakan berbagai macam camilan dengan berbagai rasa dan ukuran yang bermacam-macam. Pilihannya jatuh pada sebuah snack yang selalu menjadi kesukaannya. Mengambilnya beberapa buah dan berjalan menuju mesin kasie.

Hinata menghembuskan nafas kasar ketika di depan kasir itu dipenuhi oleh barisan orang-orang yang mengantri dengan tangan menenteng belanjaan. Hinata rasa waktunya untuk menunggu akan cukup lama, sehingga dia memytuskan untuk mengambil handphone touch screen dari saku celananya dan menghubungi seseorang yang nomornya sudah sangat ia hafal.

Antrianpun berjalan walau lamban. Hinata mengetik beberapa huruf yang membentuk sederetan kalimat pendek sebelum Hinata menekan send yang tertera di layar ponselnya.

'Kau sedang istirahatkah, Gaara-kun?'

"Hinata?!" Seruan itu mengambil perhatian Hinata sepenuhnya. "Kau, kenapa berada disini? Tidak biasanya." Penjaga kasir itu bertanya sambil menatap bingung ke arah Hinata sebelum benar-benar menekuni pekerjaannya.

"Ini hari yang berbeda dari biasanya." Hinata menanggapi dengan senyuman manis di akhir kalimatnya. Sedangkan penjaga kasir berambut coklat sebahu itu hanya membentuk huruf O pada bibirnya tanpa bersuara seraya mengangguk-ngangguk tanda mengerti.

"Hanya ini?" tanya Matsuri sambil memasukkan beberapa buah belanjaan Hinata pada kantong yang tersedia disana, dan menyerahkannya kepada Hinata.

"Ya Terimakasih."

"Tentu. Silahkan datang lagi." Keramahan itu Matsuri layangkan untuk Hinata yang kini sudah berjalan pergi.

Hinata melirik sekilas jam berwarna hitam yang tertengger di pergelangan tangan kirinya. "Masih jam istirahat." Gumamnya.

Lalu Hinata memutuskan untuk pergi ke sebuah taman di pusat kota yang belakangan ini sangat jarang sekali ia kunjungi.

Hinata kembali mengeluarkan ponselnya, tertera di layar beningnya bahwa seseorang disana sudah membalas pesan yang beberapa waktu lalu Hinata kirim untuknya.

'Ya. Ada apa?'

Setelah melihat balasannya Hinata memutuskan untuk menekan tombol call.

"Ya?"

"Aku sedang diluar. Kau dimana?"

"Kenapa begitu?" kebingungan sangat jelas dirasakan Hinata dari suaranya walau dia tidak langsung melihat wajah pemuda itu. "Aku masih di kantor. Terlalu malas untuk makan siang di luar."

Sudah kuduga.

Hinata menyebrangi perempatan bersama para pejalan kaki lainnya. Hiruk-pikuk langkah yang saling beradu dengan aspal dapat di dengar oleh lawan bicaranya. "Mau aku temani makan siang, Gaara-koi?" Nadanya dibuat menggoda. Gaara pun tertawa.

"Aku tidak bisa menolak itu."

Kali ini Hinata yang terkikik geli. "Dimana kita akan makan?"

Hinata berfikir sejenak, "Bagaimana dengan cafe di pinggir taman di pusat kota?"

"Tidak buruk."

"Baik aku menunggu."

Sambunganpun terputus.

Hinata memasuki taman yang dipenuhi oleh orang-orang. Penuh sesak dapat ia rasakan ketika ia benar-benar melangkah masuk ke dalam taman tersebut. Nyaris tidak ada tempat untuknya duduk, semua bangku panjang yang berciri khas bangku taman tersebut telah di penuhi oleh orang-orang.

Hinata merasa bingung, tidak mungkin baginya jika dia kembali keluar dari taman itu, mengingat dia sangat merindukan tempat ini. Salah satu tempat pfavorit di kotanya yang sungguh sangat jarang dia kunjungi.

Hinata memutuskan untuk berjalan berkeliling. Tak apa jika dia tidak bisa duduk, toh menikmati pemandangan taman ini tidak selalu harus dengan duduk manis 'kan?

Dia tidak tahu kalau mereka yang menghabiskan waktu makan siang ada juga yang pergi ke taman. Dia kira, para karyawan dan pekerja kantoran lainnya akan pergi ke resto yang sewajarnya, tapi ternyata?

Kaki jenjang itu melangkah di jalanan kecil yang disela-selanya terdapat rumput liar yang tumbuh menjalar. Tumbuhan itu terlihat gepeng karena banyak orang yang sering menginjaknya, namun tumbuhan itu tidak mati. Hinata dia mengamati langit siang hari, dipenuhi oleh awan yang menandakan polusi.

Sejenak dia memutuskan untuk berhenti. Melihat ke arah air mancur di tengah taman dengan lampunya yang tidak dinyalakan. Akan lebih inda jika pergi ke taman itu ketika malam hari, panorama yang disuguhkan bukan main indahnya.

Hinata melangkah lagi, mungkin sekarang dia akan berkeliling lagi. Menunggu telepon dari seseorang untuknya menemui orang tersebut. Perutnya tidak terasa lapar, dia hanya merasa haus yang tidak seberapa. Mungkin jika dia benar-benar merasa kehausan dia akan segera menyingkir dari taman yang terasa semakin di padati oleh pengunjung ini.

Hinata menepi, melihat sebuah bangku panjang berwarna putih yang hanya diisi oleh seorang bocah laki-laki yang tengah terfokus pada sebuah game di tangannya. Hinata menghampiri, mungkin tidak buruk jika dia duduk dengan seorang bocah laki-laki itu, toh dia tidak akan mengganggu kok.

"Hai adik kecil, bolehkah Nee-chan duduk disini?"

Hinata membungkuk, menyamakan tingginya dengan tinggi anak itu yang tengah duduk dan mulai mengarahkan fokus matanya.

"Terserah." Jawabnya tak acuh dengan nada ketus.

Hei jika itu bukanlah anak balita, mungkin Hinata sudah memaki-makinya.

Tidak mau memperpanjang masalah, Hinata lekas duduk di samping anak itu. Menaruh kantong pelastik yang sedari tadi di tentengnya di antara dia dan bocah itu. Menjadikannya sekat ketika Hinata merasa anak itu tidak benar-benar seperti anak pada umumnya.

Hinata membuka satu bungkus pocky yang rasa coklat. Sungguh dia lebih menyukai strawbery, tapi ketika tangannya tengah memilih yang coklat dan membukanya, tak ada pilihan lain bagi Hinata selain menikmatinya. Toh dia juga menyukai rasa itu.

"Tch." Seseorang di sampingnya menyuarakan sesuatu dengan nada kesal.

Sontak Hinata mengalihkan pandang pada bocah kecil di sampingnya. Hinata kira dia tengah kesal dengan permainannya di sebuah game yang berada di tangannya. Namun ketika melihat langsung pada objek yang dituju, Hinata begitu yakin kalau bocah di sampingnya mendecih bukan karena itu.

"Sepertinya dia menyukaimu." Hinata terkikik geli menyaksikan seorang gadis seumuran bocah di sampingnya yang tengah mengedip-ngedipkan matanya pada seseorang yang tengah berbagi tempat duduk bersamanya.

Bocah di sampingnya melayangkan tatapan tajam bak elang dengan mata hitam legamnya. "Ayolah, kau tidak perlu bersikap seperti itu adik kecil."

"Aku membenci makhluk bernama perempuan."

Kali ini Hinata tertawa cukup keras, semakin membuat bocah di sampingnya menampakkan muka kusut. "Hei hei jangan seperti itu." Hinata mendekatkan posisinya dengan bocah itu, menyingkirkan kantong belanjaannya yang kemudian ia taruh di bawah.

"Aku sungguh membencinya."

Hinata merangkul pundak bocah itu. "Kau terlalu tampan. Tapi cobalah bersikap biasa saja, abaikan saja." Hinata mengedipkan matanya pada bocah umur lima tahunan yang tengah menatapnya, mendengarkan perkataannya.

Tanpa Hinata sadari, gadis kecil itu justru kini menghampirinya dan bocah itu. Hinata bingung, bocah di sampingnya kesal.

"Hai adik manis." Hinata mencoba mengambil alih keadaan, "Kau menyukai adikku?" Tanya Hinata.

"Ya, a-aku sangat menyukainya Anee-san."

"Hontou ni gomenasai." Hinata mengusap-usap pelan pipi chubby si gadis berambut coklat tersebut, "Adikku adalah seorang yang nakal, dia akan menjahilimu kapanpun dia mau." Hinata menatap ke arah bocah itu yang menyeringai lebar. 'Mengerikan.' Fikirnya.

"Anee-san," Gadis kecil di hadapannya ketakutan.

"Pergilah, dia tidak akan berani mengganggumu jika kau jauh darinya."

Dan gadis kecil itu berlari dengan langkah kakinya yang mungil untuk menjauh, meninggalkan bocah disampingnya dengan senyuman yang mengembang.

"Aku sangat berterimakasih, Anee-chan."

"Tentu." Hinata tersenyum ramah padanya. "Kau mau?" Hinata menawarkan camilan yang berada di tangannya.

Bocah itu mengambilnya tanpa ragu, Hinata mengulum senyuman.

"Hei siapa namamu?"

"Zuko."

"Zuko? Nama yang bagus."

"Terimakasih."

"Apa yang sedang kau lakukan disini sendirian?"

"Hanya bermain."

Hinata mengangguk-ngangguk tanda mengerti sambil menikmati pocky yang dia bagi kepada bocah di sampingnya.

"Lalu Anee-chan, apa yang sedang Anee-chan lakukan disini?"

"Menunggu seseorang."

Lalu hening diantara mereka berdua.

Hingga getaran kecil di saku celana Hinata membuatnya menjatuhkan pocky yang sedang di pegangnya. Hinata mengabaikan itu. Dia lekas menempelkan benda canggih itu ke telinga kanannya. "Moshi-moshi?"

"Kau dimana? Aku sudah sampai."

"Ah! Cotto mateo."

"Mendokusai nee."

Dan Hinata memutuskan sambungan itu, kuatir seseorang di seberang sana akan mengumpat kepadanya.

"Anee-chan?" Bocah di sampinya kebingugan.

"Gomen ne, Nee-chan harus pergi."

Anak itu mengangguk. "Cepatlah pulang, Zuko-chan." Dan Hinata tersenyum sebelum bergegas berdiri, lalu melangkahkan kaki setengah berlari. Menjauhi bocah lima tahunan yang tengah memandang kepergiannya dengan sebuah senyuman.

Zuko berdiri. Namun dia sedikit terlonjak ketika kakinya menginjak sesuatu. Sebuah kotak berisi coklat stick yang isinya berhamburan di tanah.

Dia menunduk memungut sesuatu yang lain. Sebuah kantong putih yang berisi benda yang sama dengan yang ada di tanah. Beberapa bungkus pocky dengan rasa berbeda. Zuko tersenyum, "Kakak yang baik." Dan memungutnya, "Namun teledor."

.

.

.

.

.

.


CONTINUE

.

.

.

.

Segitu dulu ya? Saya sempet ragu buat update fic ini tapi yah begitulah.

Saya membutuhkan review buat fic ini,

Tentang bagaimana pendapat kalian, saran, atau bahkan kritik juga bolehlah, (asal masuk akal aja ya) demi fanfic ini agar menjadi lebih baik lagi.

Thanks.

Salam saya

Someiyoshino Amari, 16 April 2014