"HUWAAAA! Dimana berkasnya? Mana kacamatakuuu?" teriak Hanji heboh di dalam ruangannya, kedua tangannya sibuk mengacak-acak meja kerjanya. Rambutnya awut-awutan, dengan kuncir kuda yang diikat asal. Pakaian pun terlihat berantakan dipakai, dengan kancing kemeja yang dipasang asal dan tidak rapi.
"Ugh! Mana sih?" sungutnya kesal, beberapa tumpukan kertas ia lempar sembarang kertas. Kedua mata ia sipit-sipitkan, efek mata rabun yang tak ditemani kacamata andalan.
Entah sepertinya pagi itu ia sedang bad mood parah. Maka, maklumilah kekumatannya pagi ini. Oya, lihatlah. Ruang kerjanya kini berubah macam kapal yang baru saja pecah dihantam badai dan bergulung-gulung ombak.
Satu sapuan keras pada mejanya, yang tanpa sadar membuat beberapa barang terlempar kencang ke udara. Termasuk salah satu barang berharga milik Hanji.
PRAAANG
Hanji menoleh ke sumber suara.
"Suara kaca pecah?"
Kemudian memperhatikan arah sumber suara sambil menyipit-nyipitkan mata.
Lalu, ia menenggak ludah, berat.
"Eh?"
KACAMATA HANJI (1)
[1 tahun setelah pertempuran di Shiganshina]
Disclaimer :
Shingeki No Kyojin Hajime Isayama
All characters belongs to Hajime Isayama.
Warning :
Typo(s), OOC, etc(s)
"Aargh! Itu kacamata terakhirku!" teriak Hanji frustrasi saat menyadari bahwa benda yang terlempar lalu pecah tadi itu adalah kacamata miliknya. Bingkai dan ganggang tak mengalami kerusakan parah, namun lensanya kini membentuk serpihan-serpihan kecil yang menyebar dan membahayakan kulit manusia.
KRIEEET
Pintu ruangan terbuka, menampilkan sang kapten yang kini raut wajahnya seakan ingin menyiksa Hanji.
"Oi Mata Empat,"
"Leviiiii... Kacamata terakhirku pecah!" rengek Hanji sambil berjongkok dengan wajah kusut, frustrasi.
"Tch! Salahmu sendiri. Dan lagi, apa-apaan ini, heh?" desis Levi seram. Aura disekitarnya berubah, mencekam.
Armin, Jean, dan Mikasa yang berdiri di belakang Levi hanya bisa menonton adegan demi adegan dihadapan mereka. Yha, tentu saja dengan jantung yang berdegup cepat, khawatir akan kelanjutan adegan.
Levi kini sudah berada dihadapan Hanji, murka karena di pagi hari yang harusnya adem ayem tentrem sejahtera ini ia malah di'hadiah'i pemandangan yang sangat 'indah'.
"Kupikir level kebersihanmu sudah meningkat tajam, Mata Empat." sindir Levi.
"Yha, hahaha. Maafkan kekacauan ini, Levi. Tadi ada berkas yang ku cari, dan kacamataku hilang entah kemana. Tau-tau terlempar lalu pecah." balas Hanji sendu. Tak mempedulikan death glare milik Levi. "Oya, ku ralat lagi ya, Cebol. Sekarang aku Mata Tiga, bukan Mata Empat lagi."
"Terserahmu saja." balas Levi kesal. "Sekarang bereskan kekacauan disini!"
"Eh? Bagaimana aku mau membereskan kalau aku saja tak bisa melihatmu dengan jelas?!"
Levi mendengus kesal.
Lalu lelaki itu menoleh pada tiga bawahannya. "Kalian, tolong bantu bereskan kekacauan disini. Berkas laporannya dikumpulkan nanti saja."
"Baik Kapten!" seru mereka bertiga, lalu bergegas masuk ke dalam ruangan.
Tak lama, mereka berlima sudah bergumul dengan kekacauan di ruangan itu. Sekalian membersihkan ruangan, tentu saja atas titah Levi yang masih tetap clean freak.
Jam makan siang sudah lewat, seharusnya lelaki itu masih berkutat dengan pekerjaannya di ruangan itu. Namun efek insiden tadi pagi, akhirnya ia dan Hanji sepakat untuk menunda semua pekerjaan mereka sampai Hanji memiliki kacamata baru.
Yha, sebabnya, Hanji tanpa kacamatanya bagai bencana.
Bencana buruk, terutama bagi Levi.
Levi merenggangkan tubuhnya sebelum menuangkan teh hitam yang menguarkan asap ke dalam cangkir miliknya. Menghela nafas lega. Sesekali 'libur' dadakan seperti ini menyenangkan juga. Sedikit mengistirahatkan tubuh dan jiwa dari rutinitas yang terkadang ia rasa membosankan. Apalagi setelah kejadian yang cukup menguras tenaga dan emosi.
Dan kini ia sedikit mensyukuri insiden tadi pagi.
Menyesap teh panasnya, kemudian terbentuk kerutan di dahinya. Menajamkan pendengaran baik-baik, Ia mendengar suara sesuatu yang diseret.
Penasaran, ia perhatikan sekelilingnya sambil menajamkan pendengaran. Namun Ia tak menemukan sesuatu yang janggal di kamarnya.
Ia memutuskan memeriksa koridor. Tepat saat membuka pintu, hal pertama yang Ia lihat adalah Hanji yang sedang meraba-raba dinding dan melangkah hati-hati.
"Sebegitu burukkah penglihatanmu tanpa kacamata?"
"Eh? Levi? Ah, aku tidak salah jalan ternyata. Hehe," ujarnya, sambil cengengesan. Levi mendecih.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Mata Empat."
"Sabar dong, Cebol! Kau tak lihat aku kesulitan seperti ini, huh?" sungut Hanji, melangkah masuk ke kamar Levi. Lelaki itu menatap datar kelakuan atasannya yang terkadang masih ajaib itu.
Satu langkah pertama, mulus. Langkah kedua, ketiga, lancar. Langkah keempa—
BUAAAGH
"Aduh duh," ringis Hanji setelah dirinya jatuh akibat tersandung kakinya sendiri. Levi menatap takjub. Bisa juga ya tersandung kaki sendiri, pikir lelaki itu terheran.
"Bantu dong, Cebol!" protes Hanji yang kini sudah berdiri, melangkah terhuyung menuju sofa di kamar itu - yang dilihatnya hanya bayang-bayang buram.
"Berisik." balas Levi, namun dirinya menuntun Hanji menuju sofa.
"Nah, gitu dong!" seru Hanji ceria.
"Apa maumu kesini, Kacamata Sialan?"
"Kacamata Sialan? Aku lho sedang tidak pakai kacamata. Kau buta?"
"Kau bodoh ya? Itu panggilan buatmu yang berkacamata." balas Levi kesal.
"Semacam panggilan kesayangan kah?" tawa Hanji, dengan wajah ceria macam sedang tidak ada beban di pundaknya.
"Tentu saja bukan! Tch!" kesal Levi, nyaris menjitak Hanji kalau tidak ingat bahwa perempuan itu kini adalah atasannya. "Jadi, apa maumu datang kesini?"
Hanji menatap rekannya itu, meski yang terlihat hanya bayang-bayang seseorang dengan rambut hitam.
"Temani aku pesan kacamata!"
"Ogah!"
"Ayolah, Cebol!"
"Tidak sudi! Kau bisa minta anak buahmu menemanimu!"
"Kau kan anak buahku, Cebol!"
Rasanya Levi ingin memutilasi perempuan bersurai coklat itu.
"Anak buahmu yang lain, maksudku!"
"Ayolah, Levi! Aku mau kau yang menemani!"
Levi mendengus kesal. Berhadapan dengan perempuan itu soal perdebatan hanya membuat pening kepala.
Dan kini Hanji sibuk menarik-narik ujung kemeja Levi yang memang sengaja dikeluarkan dari celana.
Levi mendengus. Merasa kasihan juga kalau junior-juniornya harus jadi korban ke'absurd'an atasannya itu.
"Tch! Kau membuatku muak, Kacamata Sialan!" desis Levi, lalu berjalan menuju pantry. "Katakan kau mau pergi jam berapa."
Kedua mata Hanji membola. Senyumnya merekah sempurna. Macam bocah yang akhirnya dibelikan permen setelah merengek seharian.
Levi berjalan mendekati sofa tempat Hanji duduk.
"Kau mau menemaniku, Levi?"
"Tentu saja ti-"
"Aw! Terima kasih banyak, Levi!" potong Hanji ceria, spontan melompat ingin memeluk Levi. Namun malah terhuyung, akibat keseimbangan yang buruk.
Mudah, Levi menangkap tubuh atasannya. Kemudian, karena terlalu kesal, menyentil dahi perempuan itu.
"Lebih baik kau diam saja, Kacamata Sialan!" desis Levi, lalu mendudukkan perempuan itu diatas sofa.
"Kita berangkat sekarang saja! Kemudian, kita bisa berjalan-jalan sebentar. Kau juga pasti sudah lama tidak berjalan-jalan kan, Levi?" celoteh Hanji ceria, seakan tak ada beban yang memberatkan pikirannya.
"Lama tidak berjalan-jalan katamu? Kau itu pikun atau apa? Jelas-jelas kemarin kita sibuk berjalan-jalan mengurus berbagai laporan ke pusat, Mata Empat!" Levi ingin mengumpat, tapi authornya tak sanggup tulis terlalu banyak kata umpatan.
Hanji mengerjap-ngerjapkan mata.
"Kau anggap itu jalan-jalan?"
Levi membalas tatapan Hanji, tak merespon.
"HUAHAHAHAHAHAHAHAHAHA uhuk, uhuk." tawa Hanji begitu keras, sampai terbatuk-batuk. Levi memperhatikan rekannya itu dengan tatapan yang berbeda. Sudah berapa lama sejak Hanji terakhir tertawa selepas dan segila ini? Rasanya sudah lama sekali. Kalau tak salah ingat terakhir itu saat pesta bir kecil-kecilan dengan Erwin, Mike, dan Nanaba. Tiba-Tiba Levi merasa tak enak pada sosok didepannya.
"Aduh, aduh. Maaf, aku kelepasan." desah Hanji dengan wajah cerah setelah menenangkan dirinya yang masih terbatuk. Akibat tawa yang terlalu 'gila'.
"Kau sih lucu, Tuan Tanpa Ekspresi. Jangan terlalu serius dong. Apa kau tak pernah berjalan-jalan dalam konteks bersantai dan menghibur diri?" tanya Hanji sambil menatap rekan diseberangnya yang bentuknya tak jelas dimatanya.
"Pekerjaan kita masih banyak, Hanji. Tak ada waktu untuk jalan-jalan bersantai." tutur Levi, cuek.
"Astaga! Kalau begitu kau harus mengantarku memesan kacamata. WAJIB!" tekan Hanji sambil tersenyum sumringah. Levi menatapnya dengan tatapan protes.
"Setelah itu, kita jalan sebentar. Terserahmu kemana. Mau kau beli sapu baru, alat pel baru, sabun baru, kemoceng baru, terserah! Nanti ku traktir!" ucap Hanji sambil berdiri, lalu menarik tangan Levi yang bebas. " Ayo berangkat sekarang! Sebelum terlalu sore!"
Levi hanya berdehem pelan, ikut berdiri. Dilihatnya kini Hanji macam bocah berumur 7 tahun yang membujuk abangnya pergi beli mainan.
"Ayo Levi!"
"Kau bahkan mau pergi dengan rambut berantakan macam jalinan benang arum manis begini?" tanya Levi sambil membalikkan tubuh Hanji yang semula menghadapnya. Kemudian, salah satu tangannya melepas ikat rambut Hanji dan tangan lainnya cekatan menyisir surai coklat itu hingga cukup rapi. Tak lama, rambut Hanji sudah terikat rapi, tertata sedemikian rupa sesuai gaya tatanan yang biasa.
Dan Hanji hanya bisa terdiam karenanya. Semburat kemerahan muncul begitu saja di pipi.
"Ayo, Mata Empat! Sebelum aku berubah pikiran!" panggil Levi yang entah sejak kapan sudah berada di samping pintu, bersiap melangkah ke koridor. Hanji masih mengerjap-ngerjap, seketika kelimpungan.
"Levi, tunggu dong! Aku tak bisa jalan cepat tanpa kacamataku!" desah Hanji sambil melangkah. "Bisa-bisa malah jatuh lagi seperti tadi."
Kedua tangan Hanji meraih sebelah lengan Levi, kemudian cekatan menggenggam tangan lelaki itu. Sang pemilik rambut kehitaman tak merespon macam-macam.
"Menyusahkan." ucap Levi datar. Padahal dalam hatinya ia prihatin dengan rekannya itu.
"Apa kau tak malu kalau namaku masuk koran dengan judul besar 'Seorang Komandan Terlihat Tersandung di Jalanan'? Bisa hancur reputasi Scouting Legion kalau begitu!" protes Hanji. Levi mencebik.
"Kau tak pakai kacamata khusus misimu itu?" tanya Levi, dibalas gelengan Hanji.
"Kacamata misiku juga hancur, sekitar dua bulan yang lalu. Terbakar saat percobaan di lab. Biasanya aku menyimpan beberapa buah kacamata biasa dan kacamata misi, tapi semua sudah hancur." perempuan itu kemudian terkekeh. Tanpa beban.
Levi mendesah. Ia merasa sedikit pening.
"BIBI KATJA! PAMAN THEODOR! Aku pulang!" teriak Hanji senang, satu langkah setelah memasuki satu toko kacamata di pinggiran jantung kota Stohess.
"Hanji?" takjub seorang perempuan yang sudah berumur, melangkah terburu keluar dari salah satu ruangan. Kemudian raut wajah Hanji terlihat amat bahagia.
"Bibi!" sapanya sambil memeluk perempuan yang kulit keriputnya terlihat jelas dimana-mana.
"Ya ampun! Siapa yang kau bawa? Suami mu?" tanya Bibi Katja dengan nada bercanda, sambil menoleh pada Levi yang masih berdiri di luar toko. Sontak kedua insan berbeda gender itu melotot.
"Haha, saya bercanda, tentu saja." kekeh Bibi Katja. "Silahkan masuk, Kapten Levi."
Setelah dipersilahkan, Levi baru bersedia masuk ke dalam toko itu.
"Dimana Paman?" tanya Hanji sambil melongok ke dalam salah satu ruang di toko itu.
" Di belakang, sedang mengawasi pekerja merapikan gagang kacamata." balas Bibi Katja yang muncul sambil membawa nampan berisi dua cangkir dan sepiring kecil kue kering.
"Kau pasti kesini untuk pesan beberapa kacamata kan?" tebak perempuan berumur itu sambil terkekeh. Hanji hanya menyengir. Sedangkan Levi hanya diam saja. Ia bukan tipe yang mudah berbaur di lingkungan baru.
Tak lama, sesosok jangkung dengan jenggot dan kumis lebat macam sinterklas muncul. Tubuhnya masih terlihat segar dan kuat meski langkahnya mulai sedikit tertatih. Faktor umur.
"Sudah kuduga suara itu milikmu, Hanji." sapa sosok jangkung itu ramah. "Oh, ada Kapten Levi juga ternyata. Siang, Kapten."
"Siang, Paman." balas Levi.
"Jadi, kau kesini mau pesan kacamata, ya?" tanya Paman Theodor sambil mengacak rambut Hanji gemas.
"Hehe, maafkan aku yang datang hanya saat sedang butuh kacamata, Paman, Bibi." balas Hanji tak enak hati.
"Kami maklum kok. Pekerjaanmu pasti banyak dan menyita waktumu." balas Bibi Katja. "Tapi, sebanyak itu kacamata, rusak semua?"
Hanji hanya terkekeh malu. "Hancur malah."
"Dasar gadis ceroboh."
Dia bahkan bukan lagi gadis, batin Levi.
"Jadi, apakah minusmu bertambah? Kalau tidak, tak perlu repot mengukur lagi. Catatan mu masih ada padaku." ucap Paman Theodor.
Hanji tersenyum ragu.
Sedangkan Levi bersiap angkat bicara.
"Sepekan terakhir dia sering mendekatkan dokumen-dokumen lama ke arah mata. Biasanya tidak pernah." ucap Levi dengan nada datar.
"Ah, begitu ya? Terima kasih banyak informasinya, Kapten Levi. Kupikir minus mu bertambah, Hanji. Ayo ke ruangan." simpul Paman Theodor, lalu melangkah menuju ruangan khusus periksa.
"Levi, aku pergi dulu." bisik Hanji pada rekannya. Lelaki itu hanya mengangguk pelan sambil menatap punggung rekannya yang mulai menghilang dibalik pintu.
"Ah, entah kenapa jadi teringat saat dia sering kesini bersama tiga temannya dulu." desah Bibi Katja, seakan sedang bermonolog. Tak peduli Levi akan tertarik mendengarkan, perempuan berumur itu melanjutkan.
"Beberapa bulan setelah ia bergabung dengan Scouting Legion, dia mampur kesini sambil membawa — ah, siapa saja ya? Kalau tak salah namanya Erwin, Mike dan Nanaba. Ah, iya, namanya itu."
"Ah, sepertinya Hanji belum bercerita padamu, ya?" tanya Bibi Katja kemudian.
"Begitulah." balas Levi sekenanya.
"Dia masih merepotkan ya?"
"Tapi dia pula yang banyak membantu kami, Bibi."
"Begitu ya? Dan masih ceria seperti itu?" tanya Bibi Katja. Levi mengangguk.
"Dia tak seperti yang kau duga. Masa lalunya cukup pedih. Tapi dia tipe orang yang tak suka dikasihani. Kau tak tau tentang keluarganya, bukan?" lanjut Bibi Katja.
Levi menghela nafas.
"Dia memang tak pernah bercerita. Namun saat dulu beberapa rekan bertanya tentang desa keluarganya, dia hanya bilang di dalam dinding Rose. Tapi tatapannya cukup sedih. Aku yakin dia menutupi sesuatu. Sayangnya, Ia tak pernah memberi kesempatan rekan-rekannya untuk tahu lebih banyak."
Bibi Katja mengangguk-angguk. Lantas menatap Levi lekat.
"Hanji perempuan yang tabah. Bahkan pandai menutupi dukanya." perempuan berumur itu menghela nafas. Memulai kisah. "Kedua orangtuanya dibunuh dengan sadis oleh aparat pihak kerajaan."
.
.
.
Halo!
Mungkin sebagian kalian pernah membaca ff ini sebelumnya, entah itu di platform lain. Yaps, ff ini memang pernah di publish di watty dan fb. Atas permintaan salah satu pembaca, yaitu petalflakes, dan pertimbanganku sendiri maka akhirnya ku putuskan untuk mempublishnya disini juga!
Sampai saat ini, sudah ada 5 bab yang di publish di platform jingga. Rencanaku, aku akan mempublish bertahap disini setiap seminggu sekali.
Oya. Versi ff di platform biru ini merupakan versi revisi. Ada beberapa bagian yang kutambahkan, sebagian lagi kukurangi.
Sekian! Terima kasih sudah membaca! Love you all!
