-In This Rain-
Aku tak memerlukan bantuan orang lain untuk pergi darimu.
Aku tak menginginkan orang lain selain dirimu.
Aku tak menginginkan apa-apa selain dirimu.
Kau segalanya bagiku.
Kau hidupku.
Aku menikmatinya...
...apapun...
Semua perlakuanmu,
Aku menarimanya...
Asalkan itu dirimu, Kim Mingyu!
-In This Rain-
"Bodoh! Murahan! Menjijikkan!" umpat Mingyu seraya mendorong bahu Wonwoo dengan begitu keras hingga bahu pemuda manis itu terbentur tembok dengan kerasnya. Wonwoo hanya diam, tanpa melakukan perlawanan ataupun berusaha untuk menghindar. Ia menerima semua perlakuan Mingyu padanya, umpatan, hinaan, bahkan perlakuan kekerasan yang sebenarnya tak pantas ia dapatkan. Tapi, apa yang bisa ia lakukan? Dia sudah terlanjur jatuh dan mencintai pemuda itu hingga begitu dalam, jatuh ke dalam pesona pemuda Kim itu hingga ia terjerat dan tak bisa lagi keluar dari jeratan itu.
"Kenapa kau selalu membuatku seperti orang gila hyung? Kau selalu membuatku, malu! Aku sudah katakan padamu, jangan menganggap kita saling mengenal jika kita sedang berada di luar! Itu terlihat sangat murahan!" Mingyu kembali mengumpat dan Wonwoo kembali tak bergeming dari tempatnya.
"Hentikan ekspresi wajahmu yang membuatku ingin merusaknya! Kau benar-benar membuatku muak!" seru Mingyu kembali mendorong bahu Wonwoo hingga benar-benar membuahkan luka di balik punggung ringkih itu. Mingyu membanting pintu apartementnya dan pergi meninggalkan Wonwoo begitu saja.
Wonwoo meringis perlahan. Punggungnya entah kenapa terasa sangat perih.
"Argh!" pekiknya. Dengan perlahan ia menyandarkan punggungnya di dinding yang menjadi saksi bisu setiap perlakuan kasar yang ia terima dari Mingyu.
Wonwoo menghela nafas, kemudian ia tersenyum kecil. Senyuman yang begitu manis dan damai. Senyuman yang mengartikan betapa bahagianya ia selama ini hidup bersama Mingyu.
Perlahan entah kenapa bulir air matanya mengalir keluar dari ujung mata indahnya. Wonwoo menangis, tapi ia tidak tahu kenapa. Hatinya menangis, tapi ia tidak mau mengerti kenapa hatinya begitu terasa sesak dan terluka. Tubuhnya perih, tapi ia tidak mau tahu dimana ia terluka dan kenapa ia terluka.
Wonwoo sudah menyerahkan seluruh hidupnya untuk Mingyu. Seluruh nafasnya untuk Mingyu. Seluruh jiwanya untuk Mingyu. Seluruh cinta dan kasihnya untuk Mingyu. Hingga seluruh jiwa dan tubuhnya ia rela berikan untuk Mingyu. Mingyu, Mingyu, dan Mingyu. Mingyu adalah hidupnya, Mingyu adalah alasan kenapa ia masih bisa hidup hingga saat ini. Mungkin, kalimat satu ini perlu untuk diralat karena bukan Mingyu yang membuatnya memiliki kesempatan kedua untuk hidup di dunia, melainkan keluarganya. Masa lalu Wonwoo yang membuat Wonwoo merasa berbalas budi dengan keluarga terhormat itu, membuatnya jatuh ke dalam paras Mingyu yang penuh menjebak dan justru membuat hidupnya semakin sengsara dan tidak ada gunanya.
Wonwoo memeluk kedua lututnya, menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya. Air matanya tanpa henti terus mengalir, tanpa isakan dan tanpa sesak. Seolah seperti air kran yang tanpa henti mengalir karena belum juga dimatikan oleh pemiliknya.
Cklek!
Wonwoo mendongak dan menatap seorang pemuda tampan yang membuka pintu apartement Mingyu dengan pelan dan penuh perasaan.
"Wonu?" lirihnya terkejut. Wonwoo berdiri dari tempatnya dan menatap pemuda tampan itu, Jisoo—Hong Jisoo, anak rekan dari ayah Mingyu yang sekarang juga menjadi sahabat dekat Mingyu—dan Wonwoo tentu saja.
"Jisoo hyung?" panggil Wonwoo menghapus air matanya.
"Dimana Mingyu?" tanyanya.
"Pergi keluar hyung, baru saja—hm, ada apa hyung kemari? Mau bertemu dengan Mingyu?" tanya Wonwoo.
"Tidak! Aku tidak ingin bertemu dengannya, justru—aku ingin bertemu dengan dirimu!" Jisoo mendekati Wonwoo. Sementara, Wonwoo tetap berdiam diri ditempatnya.
Dengan penuh perasaan tulus, Jisoo mengulurkan tangannya dan menghapus jejak-jejak bekas air mata Wonwoo.
"Kau tak pantas untuk menangis, wajah manismu terlihat benar-benar lenyap kau tahu itu?" gurau Jisoo. Wonwoo hanya tersenyum kecil.
"Apa kau sibuk?" tanya Jisoo. Wonwoo menggeleng. "Mau pergi bersamaku? Aku sedang bosan sekarang!" pinta Jisoo, Wonwoo berfikir sejenak kemudian ia mengangguk perlahan. "Bagus! Ayo, kita pergi sekarang!" Wonwoo terkejut saat tiba-tiba Jisoo meraih tangannya dan menariknya untuk pertama kalinya.
Wonwoo menurut, tak memberontak ataupun tak menolak saat ia tidak akan tahu dimana Jisoo akan membawanya pergi.
...
"Kita akan kemana hyung?" tanya Wonwoo saat mobil buggati merah Jisoo berhenti di depan salah satu gedung pencakar langit di Seoul. Jisoo tersenyum seraya melepaskan seatbelt Wonwoo secara perlahan.
"Kau akan tahu nanti! Ayo, kita keluar sekarang! Hyung ingin menunjukkan sesuatu padamu!" ajak Jisoo, Wonwoo hanya mengangguk dan keluar dari mobil Jisoo bersamaan dengan si pemiliknya.
Wonwoo mengedarkan pandangannya, kedua matanya tertuju pada plat besar yang dengan jelas menuliskan "Hong Holding" membuat Wonwoo tahu dimana kini ia berada.
"Kenapa kau diam saja! Tenang saja, tidak ada orang di gedung ini! semua orang sudah pulang!" Jisoo kembali menarik tangan Wonwoo dan Wonwoo kembali hanya menurut.
"Apa hyung sengaja memulangkan semua orang lebih pagi?" tanya Wonwoo.
"Hm, bisa dibilang seperti itu! Aku hanya ingin berbagi sesuatu denganmu!" Jisoo menghentikan langkahnya saat keduanya sampai di depan lift gedung. Jisoo menekan sekali tombol lift itu dan langsung terbuka. Jisoo kembali menarik Wonwoo ke dalam lift dan Wonwoo hanya diam tanpa berkata apa-apa.
Jisoo menekan tombol dimana ada lambang huruf R yang melekat pada tombol lift itu. Hening, lift dalam keheningan tidak ada satupun dari mereka yang membuka pembicaraan baik Wonwoo maupun Jisoo.
Kling!
Bunyi lift membuat Jisoo maupun Wonwoo tersadar jika lantai yang Jisoo tuju sudah ada di balik pintu lift itu. Dan lagi, Jisoo kembali menarik tangan Wonwoo dan mengajaknya untuk berlari di atas atap gedung yang benar-benar sangat tinggi.
"Aku sengaja menyuruh semua karyawan pulang pukul 4 sore, supaya kita bisa melihat matahari terbenam disini! Kau tahu, jika kau sekali melihatnya kau akan selalu merasa terus ingin melihatnya!" Jisoo menatap arlojinya dan berdiri di ujung pembatas atap sementara Wonwoo masih berdiri diam di sampingnya tanpa lagi tangan yang terpaut antara keduanya.
"Kau bisa melihat pemandangan Seoul di atas sini! Bukankah, ini sangat indah?" tanya Jisoo dan Wonwoo hanya mengangguk.
Wonwoo menikmati pemandangan di sekitarnya. Terpaan angin yang mengenai wajah manisnya dan helai rambutnya. Udara yang begitu tenang dan menyejukkan. Tanpa Wonwoo sadari, Jisoo terus menatap Wonwoo yang melihat takjub pemandangan disekitarnya. Wonwoo menoleh dan kedua matanya tak sengaja bertemu dengan kedua mata Jisoo.
"Ini, sudah dua tahun kita berteman bukan?" tanya Jisoo tanpa berkedip dan menatap kedua mata Wonwoo lebih dalam. Wonwoo tersenyum kecil.
"Apa kau selalu menghitungnya hyung?" Wonwoo balik bertanya. Jisoo tersenyum tampan dan mengalihkan pandangannya menatap lurus dengan kedua tangannya yang terlipat diatas pembatas atap gedung.
"Lihatlah, Wonu-ya! Mataharinya sudah terbenam!" Jisoo menunjuk pancaran sinar matahari di depan mata mereka.
Wonwoo yang melihat sinar matahari terbenam terlihat begitu indah itu membuat senyum takjub di wajah manisnya. Jisoo menunduk tersenyum dalam diam beberapa saat kemudian ia kembali mendongak menatap kearah pandang Wonwoo.
"Jadilah seperti matahari itu Wonu-ya!" lirih Jisoo, Wonwoo menoleh tapi Jisoo tetap lurus pada pandangannya.
"Maksud hyung?" tanya Wonwoo tidak mengerti. Jisoo kembali tersenyum.
"Ada kesempatan untukmu keluar dari duniamu yang sebenarnya. Kau bisa berlari, kau bisa lagi bersinar seperti matahari itu, kau sudah bertahan cukup lama Wonu-ya!"
"Hyung—" Wonwoo menghela nafas. "Bukankah kau tahu, jika aku sangat mencintai Mingyu?"
...
Wonwoo menutup pintu apartement Mingyu perlahan. Apartement masih gelap pertanda jika masih tidak ada orang disini, Mingyu pasti belum pulang. Wonwoo menekan saklar lampu dan seketika ia terkejut saat melihat mata tajam Mingyu yang menatapanya garang dengan kedua tangannya yang terlipat di depan dada setelah semua lampu apartement Wonwoo nyalakan. Wonwoo terkejut namun tetap berdiam diri di tempatnya berdiri.
"Apakaha sekarang, pelangganmu beralih pada seorang pengusaha muda? Heum, bukan-bukan mungkin kau menggunakan paras manismu itu untuk menggaet semua teman-temanku!" Mingyu berjalan mendekati Wonwoo. "Berapa uang yang kau dapat dari Jisoo hyung, hm?" remeh Mingyu berjalan mengitari Wonwoo yang tanpa berniat membalas ucapan pedas yang keluar dari mulut Mingyu.
"Kenapa kau diam saja? Bukankah yang aku katakan ini benar, Wonu-ku sayang?" bisik Mingyu tepat di telinga kiri Wonwoo.
Wonwoo seolah seperti terhipnotis, pandangannya lurus tanpa membantah atau membela dirinya atas tuduhan Mingyu yang sama sekali tidak benar mengenai dirinya. Mingyu menarik tangan Wonwoo kasar dan membanting punggungnya hingga tertabrak dinding. Wonwoo tetap diam meskipun ia merasakan nyeri pada punggungnya. Mingyu memegang kedua bahu Wonwoo, mencengkeramnya erat dan menatap kedua netra menyedihkan milik Wonwoo.
"Lihatlah betapa menyedihkannya dan murahannya dirimu! Kau benar-benar lihai dan benar-benar handal dalam menarik daya tarik orang-orang kaya. Aku tidak habis pikir, kenapa eomma dan appa mau menolong orang sepertimu? Cih! menjijikkan! Melihatmu, sudah membuatku muak!" Mingyu berbicara sangat dekat dengan Wonwoo, namun Wonwoo tetap dalam sikap diamnya. Sebenarnya memang itulah yang selalu ia lakukan jika Mingyu mengucapkan berbagai umpatan, ejekan, hinaan pada dirinya. Ia tak menahan dirinya, ia juga tak ingin mengelak, tapi ia juga tidak melakukan apa yang semua Mingyu tuduhkan padanya. Tidak terima? Entahlah, tidak ada yang tahu bagaimana perasaan Wonwoo yang sesungguhnya.
Mingyu berdecak sebal, dengan kasar ia mendorong tubuh Wonwoo kesamping hingga tanpa terduga kepala Wonwoo terbentur vas bunga yang terpajang di dekat mereka berdiri. Wonwoo mengerang, tangan kanannya menyentuh kepalanya perlahan hingga menyentuh cairan kental berwarna merah yang berasal dari kepalanya.
Mingyu yang mengetahui keadaan Wonwoo, entah ia memiliki hati atau tidak ia lebih memilih meninggalkan pemuda ringkih itu dengan darah yang semakin banyak keluar dari kepalanya. Wonwoo memejamkan kedua matanya mencoba untuk berdiri dengan kepalanya yang terasa berat, pusing dan sangat perih dan sakit. Wonwoo meraba-raba dinding untuk menompang berat tubuhnya yang terasa lemas pada kedua kakinya.
Wonwoo melangkah menuju kamar mandi dengan langkah lunglai, perlahan ia menutup pintu kamar mandi dan menguncinya. Wonwoo menjatuhkan dirinya tepat di bawah shower seraya langsung menyalakannya. Buliran air itu semakin deras mengguyur tubuhnya bagaikan air hujan yang selalu membuatnya tenang dan membuatnya merasa kuat setiap saat. Wonwoo menangis tanpa isakan dengan membiarkan darah yang berasal dari kepalanya mengalir bersama air shower hingga memenuhi lantai kamar mandi menjadi seluruhnya hampir dipenuhi oleh genangan air berwarna merah.
Wonwoo memeluk kedua lututnya dan lebih merapat pada dinding kamar mandi. Bibirnya tak berhenti mengatakan sesuatu, kata-kata yang seharusnya tak pantas ia ucapkan.
"Aku mencintaimu Gyu~hiks! Aku sangat mencintaimu~"
TBC
Annyeong readerdeul. Aku bawa ff baru semoga pada suka ya, kkkk...
Aku mencoba untuk hal-hal yang baru lagi, aku ingin membuat sesuatu yang menyentuh hati para readerdeul, heum semoga itu berhasil, memuaskan dan tidak mengecewakan.
Want to next?
Don't forget to review, follow and favourite, arra?
Kamsahamnisa,
Bye bye
Kokoya Banana
