HOW WE MET

CHANYEOL


Plak.

"If you really hate me that much, just get out of my house and never come back!"

Dua mata sewarna sapphire itu menatapku nanar, penuh amarah dan mungkin kebencian yang menggebu-gebu. Dulu dia selalu memandangku dengan sorot penuh cinta, tapi sekarang, cinta itu sudah tak kutemukan lagi di sana. Tangan kurus yang baru saja menamparku keras-keras tampak bergetar di sisi tubuhnya—aku tidak tahu apakah dia gemetaran karena baru saja menyakitiku atau karena dia sedang berjuang keras untuk tidak menamparku lagi.

Dia adalah mum. Ibuku. Charlotte.

Wanita luar biasa cantik yang selalu ayahku agung-agungkan dan ia cintai sampai akhir hidupnya. Tak hanya ayahku, dulu aku juga sangat menyayangi mum dan tak pernah melawannya sedikitpun. Bahkan meninggikan suaraku di hadapannya saja aku enggan. Dia adalah ratu dalam kehidupan kami, ratu di keluarga kecil kami yang bahagia. Tapi itu dulu. Mum sudah berubah sekarang dan aku juga demikian.

"Honey, sudahlah. Arwah Park JoonYeol di surga akan bersedih kalau melihat kalian bertengkar seperti ini terus."

Ini dia alasan utama kenapa Charlotte berubah. Thomas. Suami mudanya yang berusia enam tahun lebih tua dariku.

Aku beralih menatap lelaki berwajah menjijikkan yang baru saja selesai bicara itu. "Barusan kau bilang apa, Sialan?"

Mataku memicing dengan senyum remeh tercetak di wajahku, "Apa kau baru saja menyebut nama ayahku dengan mulut kotormu itu?"

"Liam! Jaga bicaramu!" Charlotte sudah bersiap menamparku lagi tapi aku dengan cepat menahan pergelangan tangannya lalu menghempasnya kuat-kuat. Kupikir kena tampar sekali sudah lebih dari cukup. Mum merintih kesakitan karena perbuatan kasarku barusan, tapi aku sungguh tak peduli sedikitpun. Bahkan ketika aku merangsek maju dan mencengkeram kerah suami baru sialannya itu, dia berusaha melerai dan aku malah tega mendorongnya sampai ia jatuh.

"Akh!"

"Charlotte—" Thomas ingin menolong ibuku yang masih terduduk di lantai, tapi aku tak memberi celah untuknya sedikitpun. Cengkeramanku makin kuperkuat seolah ingin mematahkan leher lelaki kurang ajar yang membuat hidupku berantakan empat tahun belakangan ini.

"Kau tidak dengar aku bertanya padamu, Brengsek?" geramku penuh penekanan.

Bugh.

"Liam, stop it!"

"Kau harusnya menjawab kalau aku bertanya, Bodoh. Dimana sopan santunmu?"

Bugh.

"Liam! Stop it! Berhenti kataku!"

Charlotte menempatkan tubuhnya di antara kami berdua. Kedua tangannya terentang seolah ingin melindungi lelaki yang lebih pantas jadi anaknya ketimbang suaminya itu. Cih, bahkan sekarang dia lebih suka membela orang lain daripada aku putra kandungnya sendiri.

Seandainya saja dia tahu Thomas si Bajingan itu menyeringai sinis di balik tubuhnya. Ah, tentu saja mum tidak tahu. Dia terlalu dibutakan puber kedua sampai-sampai tidak bisa melihat kalau pria muda yang ia nikahi itu hidupnya dipenuhi kepura-puraan. Dia licik. Sebutan Jalang bahkan terlalu sopan untuk disematkan padanya.

"Memangnya kenapa kalau dia menyebut nama ayahmu?" Charlotte kembali menatapku seolah ingin membakar tubuhku hidup-hidup. "Hanya karena dia menyebut nama orang yang sudah mati lalu kau malah memukulinya seperti itu? Dasar sakit! Harusnya mereka menahanmu lebih lama di tempat rehabilitasi!"

Tanganku terkepal dan tubuhku bergetar hebat.

Di belakang badan mum, Thomas kembali tersenyum penuh arti dengan sebelah alis terangkat tinggi-tinggi. Lelaki itu mengejekku secara terang-terangan.

"Sekarang pergi! Keluar dari rumahku dan jangan datang kemari lagi!"

"Charlotte, tenanglah. Aku baik-baik saja. Jangan bicara seperti itu pada Liam." Thomas berkata dengan tampang menghiba yang dibuat-buat.

"Tidak. Anak ini memang harus diberi pelajaran, Thom! Tunggu apa lagi kau? Get out now!"

Sialnya, kakiku tak mau beranjak sedikitpun. Mum melontarkan caci maki dan hinaan yang sebenarnya sangat tidak pantas dia ucapkan untukku, bahkan wanita itu juga mendorong-dorong tubuhku dengan kasar agar aku segera pergi—tapi aku masih saja keras kepala dan tetap bertahan di tempat.

"Baiklah!" Mum menarik nafas panjang, "Aku akan panggilkan polisi untuk menyeretmu keluar dari sini." Dia mengeluarkan ponsel dan mulai menghubungi seseorang. Aku memang sudah beberapa kali berurusan dengan polisi, mungkin Charlotte sengaja menyimpan nomor mereka untuk jaga-jaga kalau seandainya suatu saat aku berbuat onar—seperti sekarang.

Bisa saja aku merebut ponsel mahal itu dan membantingnya ke lantai, atau kalau aku pengecut mungkin aku akan berlari ketakutan karena ancamannya dan pergi dari sini secepat mungkin—tapi yang kulakukan hanyalah diam.

"Yes? I'd like to report…."

Mum melirik tajam ke arahku dan menggumamkan wait here! tanpa suara. Setelahnya, dia berlalu pergi dari ruangan ini entah kemana—mungkin ke tempat aman dimana dia bebas mengadukan ulahku pada pihak berwajib.

"…he is my son, 24 years old. Yes, he punched my husband and…"

Telingaku panas dan hatiku benar-benar sakit. Sekarang adalah hari peringatan kematian ayahku yang ke-10 dan itulah sebenarnya alasan kenapa aku datang jauh-jauh dari Ghent menuju Bredenne. Yang kuinginkan hanyalah mum dan aku memberikan penghormatan di depan meja kecil yang penuh makanan kesukaan ayah, menuangkan bir kesukaannya lalu setelahnya kami akan saling berpelukan untuk menghibur hati masing-masing.

Tapi sepertinya harapanku terlalu tinggi. Mum bahkan tidak ingat dan tidak menyiapkan satu hidangan apapun untuk ayah. Malah foto ayah yang sedang memangku gitar yang tadinya dipajang di ruang tamu sekarang berganti foto pernikahannya dengan Thomas. Dan hal yang membuatku lebih terluka adalah ketika mengetahui lemari besar berisi barang-barang peninggalan ayah tidak ada di rumah ini lagi. Mum bilang dia sudah membuang lemarinya dan membakar habis seluruh isinya.

"Apa gunanya menyimpan sampah?" Dia bilang begitu.

Itulah awal mulanya kami bertengkar.

"Ck, ck, ck. Harusnya kau tidak perlu membuat ibumu marah, Nak. Sebaiknya kau pergi sekarang, sebelum polisi-polisi itu datang dan menjebloskanmu ke penjara."

Mum, seharusnya kau tidak meninggalkanku berdua saja dengan pelacur kesayanganmu ini.

Thomas melangkah lambat-lambat dan berdiri tepat di hadapanku. Dia mencondongkan tubuh lalu mendekatkan bibir bertindiknya ke telingaku, "Tentu saja aku tak rela kalau itu sampai terjadi. Tapi tak apa, aku akan mengunjungimu di penjara sama seperti waktu kau masih direhabilitasi dulu. Tentunya tanpa sepengetahuan ibumu, bagaimana?"

Tangan sialannya bergerak pelan meraba pahaku lalu berhenti di daerah selangkanganku. "Aku merindukan ini dan sama sekali tak keberatan kalau kita harus melakukannya di dalam sel yang sempit."

Dia tersenyum, merasa puas dengan apa yang sudah ia perbuat. Sayangnya senyum jelek itu tak bertahan lama karena hanya dalam hitungan detik, tinju besarku kembali melayang dan menghantam pipinya tanpa ampun. Bukan hanya sekali, aku memukuli wajahnya berulang kali seolah ingin melampiaskan seluruh amarah yang dari tadi kutahan-tahan. Aku semakin marah karena dia tidak mengelak atau membalas pukulanku sedikitpun.

"La-gi, Liam. Pu-kul aku lagi."

Malang sekali ibuku karena telah menikahi seorang jalang. Lihatlah bagaimana senyum menjijikkan itu masih bisa tersungging meski bibirnya nyaris hancur karena tinju-tinjuku yang menyakitkan. Mungkin baginya hantaman tanganku terasa bagai belaian alih-alih siksaan.

"Akh—nik-mat seka-li pukulanmu. Ayo pu-kul aku terus!"

Lelaki ini sakit. Memangnya lelaki sehat mana yang akan terangsang berat sampai-sampai celananya menggembung karena dipukuli seperti ini?

"Dasar gay menjijikkan! Mati saja kau!"

Bugh. Bugh. Bugh.

Sudah kubilang, mum. Jangan biarkan aku berdua saja dengan jalangmu ini karena aku bisa saja hilang kesabaran dan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Ya, mungkin saja aku akan membunuh Thomas kalau ibuku tidak datang dan menjerit histeris ketika mendapati suami kecintaannya hampir pingsan dengan wajah berdarah-darah di tangan anaknya sendiri. Dan lelaki itu memang tak sadarkan diri beberapa detik sebelum ibuku menghampiri kami. Entah betulan pingsan atau hanya pura-pura.

"Astaga, Thomas! Liam, hentikan! Liam, stop it!" Mum berteriak sambil menarik-narik lenganku sekuat tenaga.

Aku tak menghiraukan teriakannya sedikitpun. Satu tinju lagi bersarang di hidung Thomas dan benda itu langsung mengucurkan darah segar—tapi aku belum cukup puas, aku ingin menghajarnya lebih dari ini.

"PARK CHANYEOL, BERHENTI KATAKU!"

Park Chanyeol.

Tanganku terhenti di udara dan mum mengambil kesempatan itu untuk menjauhkan tubuhku dari Thomas. Layaknya adegan di drama, ibuku memangku kepala pria itu dan mulai menangis. Wanita ini—dia bahkan tak mengeluarkan airmata sedikitpun ketika ayahku pergi tapi dengan mudahnya terisak pilu untuk orang lain yang jelas-jelas tak mencintainya sedikitpun.

"Kupastikan kau membusuk dipenjara kali ini, Park Chanyeol! Dasar anak kurang ajar kau! Kau sama saja dengan ayahmu itu!" katanya di sela tangisan. Tangannya tampak gemetar hebat saat menyusuri wajah Thomas yang luka disana-sini.

"Ya Tuhan, Thomas!"

Mum, kenapa kau malah menangisi dia? Tak tahukah kau selama ini apa yang telah ia perbuat padaku tanpa sepengetahuanmu?

"Aku benar-benar tak tahan lagi melihat semua tingkahmu, Chanyeol. Aku menyerah!"

"Mum—" kakiku melangkah pelan ingin menghampirinya, tapi langsung terhenti saat itu juga.

"Jangan pernah memanggilku dengan sebutan itu lagi! Aku jijik dipanggil ibu olehmu, apa kau paham?!"

Tanpa bisa kutahan, setetes airmataku jatuh begitu saja. Setelah menyingkirkan semua kenangan tentang ayah dalam hidupku, sekarang aku juga tidak boleh memanggilnya mum?

Benarkah dia Charlotte, ibuku? Dadaku bergemuruh hebat dan sakitnya tak tertahankan lagi. Hubungan kami memang memburuk secara drastis setelah ayah pergi dan mum menikah untuk yang kedua kali. Kuakui, aku memang bukan anak yang baik dan sering sekali melakukan hal-hal yang memprovokasi amarahnya. Tapi tetap saja hatiku masih menyimpan setitik keinginan untuk berdamai dengan mum dan kembali pada kami yang dulu.

Bagaimanapun juga, dia ibuku dan aku anaknya. Terlepas dari mataku yang tidak biru, rambutku yang bukan blonde atau gen ayahku yang orang Korea lebih mendominasi dari gen miliknya—aku tetaplah anaknya.

Dan ucapannya barusan secara terang-terangan memberitahuku kalau aku sudah dicampakkan. Aku dibuang oleh wanita yang melahirkanku, oleh satu-satunya keluarga yang kumiliki.

"Mum—" tenggorokanku tercekat oleh isakanku sendiri dan mataku tak bisa melihat dengan jelas karena tertutup oleh genangan airmata. Rasanya sakit. Hatiku sangat sakit sampai rasanya aku mau mati saja.

Dulu kami begitu bahagia. Selepas makan malam, ayah selalu memainkan gitarnya di ruang tamu lalu aku dan mum akan bernyanyi bersama. Mum juga suka menari. Dia mengajarkanku Zwierig Dansje dan kami bertiga selalu menarikan tari tradisional Belgia itu sambil tertawa. Mum juga selalu memeluk dan menciumku. Katanya aku yang paling ia cintai di jagat raya ini. Katanya aku yang—sudahlah, dia sudah bilang dipanggil ibu olehku adalah hal yang menjijikan.

Dari kejauhan, aku mendengar bunyi sirine meraung-raung membelah kesunyian malam.


Semua sudah siap.

Paspor, visa, tiket pesawat—aku tak punya banyak barang dan bukan tipe orang yang suka membawa berkoper-koper pakaian, jadi yang kubawa hanya sebuah ransel besar—semuanya sudah dipersiapkan. Tinggal melangkah ke konter check-in, mengikuti serangkaian alurnya yang membosankan lalu terbang.

Itu rencana Charlotte.

Malam itu, aku sama sekali tidak melawan ketika para polisi membawaku ke kantor mereka dan menjebloskanku ke dalam penjara. Aku pasrah-pasrah saja, toh kupikir tak ada lagi yang bisa kulakukan. Kalau melihatku membusuk di dalam sel bisa membuat Charlotte dan Thomas bahagia, kenapa tidak? Malah aku berharap ditembak mati saja sekalian supaya mereka bisa menari-nari di dekat peti matiku dan mengiringi pemakamanku dengan penuh tawa. Tak apa, biar mereka puas sekalian.

Untuk membela diri saja aku tidak bisa, dasar payah.

Aku dibebaskan dari penjara dua minggu kemudian—atas permintaan Charlotte. Dia datang menemuiku ke kantor polisi dengan wajah dingin lalu mengajukan berbagai macam persyaratan yang harus kupenuhi.

"Tinggalkan Belgia dan pergilah ke Korea. Ayahmu punya sanak saudara di sana dan berdoalah supaya mereka mau menerimamu," begitulah kata Charlotte waktu itu.

"Aku sudah mempersiapkan keberangkatanmu dan berjanjilah untuk tidak kembali ke sini lagi, mengerti?"

"Kau sepertinya serius sekali ingin menyingkirkanku, ma'am. Apa karena kau ingin rumah, tanah dan harta yang ayahku tinggalkan bisa kau nikmati sendirian? Ah, berdua maksudku—dengan jalang kesayanganmu itu tentunya." Ujarku sinis. Dia tampak kesal sekali tapi berusaha untuk tetap tenang.

"Pergi ke Korea atau dipenjara selamanya. Pilih salah satu."

"Kesalahanku tidak cukup berat untuk bisa membuatku dipenjara bertahun-tahun."

"Kalau begitu, aku akan membuatmu masuk tempat rehabilitasi lagi. Aku punya kuasa atas itu."

"Aku sudah berhenti memakai obat-obatan."

"Thomas bilang kau masih memakainya dan bahkan ikut mengedarkan barang itu ke teman-teman kuliahmu."

"Ah, Thomas yang bilang ya? Hm, baiklah. Kalau begitu, sepertinya aku memilih dipenjara saja." Aku menatap mata Charlotte tajam-tajam. "Tapi biarkan aku membunuh pelacur sialanmu itu dan menyebar potongan tubuhnya di jalanan."

"Chanyeol! Jaga ucapanmu!" Dia menggebrak meja dan nyaris saja menamparku lagi.

"Kenapa kau memanggilku Chanyeol, ma'am? Bukankah kau sendiri yang mengganti namaku menjadi Liam karena kau benci nama Koreaku. Liam~ Liam~, kau selalu memanggilku dengan nama itu, lupa?"

"Dasar anak kurang ajar!"

"Kau juga sama kurang ajarnya sepertiku, Nyonya."

Aku memprovokasi Charlotte. Dia marah sekali waktu itu. Tanpa pikir panjang, dia mencopot sepatu berhak tinggi yang ia pakai lalu memukulkannya kuat-kuat di kepalaku. Sakit sekali memang. Ketika aku menunduk, aku bisa melihat darah menetes dari kepalaku dan membuat kaos lusuh yang kupakai jadi merah.

Tapi itu semua tak lebih sakit dari hatiku di dalam sana yang sudah tercabik-cabik tanpa ampun.

"Aku tak mau berdebat lagi denganmu. Aku akan meminta kau dibebaskan dan setelah itu pergi jauh-jauh!"

Heish. Luka di kepalaku kembali berdenyut ketika aku ingat semua ucapan menyakitkan yang ia katakan padaku. Sudah empat hari berlalu tapi lukanya masih belum sembuh benar. Aku memperbaiki beanie hitam yang kupakai untuk menyembunyikan kepalaku yang ada perbannya lalu memperbaiki letak ranselku yang tidak terlalu berat. Aku berjalan menuju antrian tanpa semangat sedikitpun dan mulai menunggu giliranku tiba di konter.

Korea, huh? Aku belum pernah kesana karena seumur hidupku kuhabiskan di Belgia. Tapi tak mengapa, mungkin tinggal di tanah kelahiran ayah bakalan jauh lebih baik daripada di sini.

Tapi—kenapa rasanya ada sesuatu yang menghalangiku untuk pergi?

Selagi mengantri, aku terus berperang dengan pikiranku sendiri.

"Your passport, please."

Aku terlalu sibuk berpikir sampai-sampai tidak sadar kalau langkahku sudah terhenti di depan konter. Petugas wanita itu bahkan sampai mengulangi ucapannya tiga kali baru aku mau menyerahkan pasporku.

Haruskah aku mengalah dan pergi begitu saja? Kalau aku pergi, bagaimana dengan teman-temanku? Aku bahkan belum berpamitan dengan satupun dari mereka. Lalu bagaimana tentang rencana bermusik yang selama ini jadi impianku? Aku adalah anggota band lokal yang lumayan dikenal meski kami baru tampil dari klub ke klub dan di festival kecil—apa aku tega pergi begitu saja padahal kami sudah berjanji akan membuat band ini jadi besar? Dan lagi—aku sudah mati-matian belajar meski sempat terhalang masa rehabilitasi sialan dan berhasil diterima di program master di kampusku atas rekomendasi Prof. Ann yang luar biasa baik. Apa aku akan menyia-nyiakan kesempatan itu juga?

Hanya karena Charlotte yang membenciku?

"Maaf. Aku tidak jadi pergi."

Petugas wanita yang sedang mengecek pasporku terhenyak ketika aku merebut buku kecil itu dengan kasar. Aku meninggalkan terminal keberangkatan internasional dan berlari menuju stasiun kereta di lantai dasar bandara. Nafasku tersengal tapi aku masih sempat terkekeh ketika memacu lariku lebih kencang.

Ayah, nanti kalau sudah besar aku juga ingin jago bermain musik seperti ayah.

Bayangan wajah ayah menginvasi pikiranku.

Chanyeora, seorang pria sejati itu adalah pria yang teguh mengejar impian meski banyak duri yang menghalangi jalannya.

Aku menabrak orang-orang dan bahkan hampir jatuh saat berlari menuruni ekskalator. Seorang pria bermantel cokelat bahkan sempat memakiku dalam bahasa Perancis tapi hanya kubalas dengan cengiran lebar.

Begitu sampai di stasiun kereta, aku langsung mengeluarkan ponselku dan menghubungi Charlotte.

Hei, God—aku berdoa padamu kali ini. Kalau menurutmu tetap berada di Belgia adalah keputusan yang tepat, tolong restui aku—

"Aku sudah bilang jangan hubungi aku lagi!" Itu adalah hal pertama yang Charlotte katakan saat panggilannya terhubung.

"Charlotte…" aku menyebut namanya tanpa embel-embel mum, lalu berusaha menenangkan nafasku yang masih tersengal.

"… aku tidak peduli dengan harta atau apapun itu. Aku juga tidak peduli kau bakalan hidup selamanya dengan lintah bernama Thomas atau siapapun—aku sungguh tak mau peduli lagi."

aku hanya ingin menjalani hidupku dengan sebaik-baiknya. Bukankah hidupku yang berantakan ini adalah pemberianMu juga? Aku tak ingin seperti ini terus-terusan—

"Apa maksudmu?"

"Aku akan tetap di Belgia. Aku akan tinggal di Ghent dan melanjutkan kuliahku di sana," ujarku mantap. Charlotte diam dan selama setengah menit tak ada percakapan yang terjadi.

"Apa alasannya?"

Alasannya?

"—karena aku ingin saja."

Dia tertawa mencemooh di seberang sana, "Kau merencanakan sesuatu untukku dan Thomas, iya kan?"

"Cih, bukankah aku sudah bilang aku tak peduli pada kalian lagi? Jangan khawatir, Charlotte. Kalaupun aku bertemu denganmu suatu saat nanti, kuanggap saja aku sedang sial dan aku akan berpura-pura tidak mengenalmu sama sekali."

"Kau diam-diam ingin menghancurkanku, iya kan? Apa yang kau rencanakan sebenarnya?"

"Rencanaku hanyalah lanjut kuliah dan mendalami musik—setelahnya aku akan jadi musisi kelas dunia yang sukses dan punya banyak uang."

"Bohong!"

"Aku tidak bohong."

"Kalau begitu, jangan harap aku mau membiayai hidupmu!"

"Astaga, Nyonya Charlotte yang terhormat. Bukankah kau sendiri yang memutuskan hubungan ibu dan anak denganku dan bilang kalau kita ini adalah orang asing? Jangan khawatir, aku akan membayar uang kuliahku dan mencari makan dengan usahaku sendiri. Kau bisa hidup dengan baik bersama Thomas pakai uang peninggalan ayahku. Aku janji tak akan minta sepeserpun."

Dia diam lagi.

"Beritahu aku apa yang membuatmu ingin tetap tinggal. Aku curiga kalau kau punya maksud tersembunyi di balik keinginanmu itu."

Dasar wanita keras kepala. Tidak cukupkah aku menjadikan impianku sebagai alasan untuk tetap disini?

"Alasannya adalah—"

God, tolong katakan padaku apa alasannya.

"Hello? Annyeonghaseyo?! Annyeonghaseyo!"

Seseorang tiba-tiba menarik bajuku di bagian lengan dan memaksaku menoleh. "Ah! Sudah kuduga, kau pasti orang Korea. Iya kan? Akhirnya!"

"Liam? Jawab aku!" Suara Charlotte di seberang sana menuntutku untuk menjawab, tapi aku tak lagi memperdulikannya.

"Kau sedang menelepon?" Orang itu melirik ponsel yang masih melekat di telingaku.

"Memangnya kau tak bisa lihat?"

Dia menggembungkan pipi kemudian terkekeh. "Aku hanya berbasa-basi. Tapi kupikir, basa-basinya sudah cukup karena aku butuh bantuanmu. Segera."

"Mau ap—yak!"

Tubuhnya kecil tapi tenaganya lumayan. Dia mencengkeram pergelangan tanganku dan menyeretku kembali menaiki ekskalator. Aku tak lagi memperhatikan panggilan Charlotte dan buru-buru memasukkan ponselku ke dalam saku jaket.

"Hei! Apa yang kau lakukan?"

Dia menerobos kerumunan orang-orang dan berjalan cepat menuju konter pembelian tiket kereta. Beberapa wanita sempat melirik kami saat berpapasan dan itu membuatku sangat tidak nyaman.

"Lepaskan tanganku!"

"Ups, maaf." Dia tersenyum lebar lalu menengadahkan tangan kanannya di hadapanku.

"Aku pinjam uangmu, untuk beli tiket."

Aku memutar mata kemudian menggulirkan pandangan dari atas sampai bawah tubuhnya. Dia lelaki. Orang Asia dan dari caranya berbicara bahasa Korea tadi, bisa kupastikan dia orang Korea. Tubuhnya kecil, rambutnya hitam legam, kulitnya putih dan alam bawah sadarku langsung memperingatkan kalau makhluk ini berbahaya.

Wajah manis, perawakan mungil, kulit terawat—itu informasi yang lebih dari cukup untuk mengetahui kalau dia gay. Sebangsa dengan Thomas. Jenis manusia yang paling kubenci di dunia ini.

"Aku tak punya uang!" Habis bicara begitu, aku langsung berbalik tapi dia kembali menghalangi jalanku.

"Tapi kulihat ponselmu ada logo apelnya. Itukan ponsel mahal, tidak mungkin kau tidak punya uang."

Dia mengerucutkan bibir dan kembali menjulurkan tangan, "Pinjami aku 15 euro. Aku baru datang dari Korea dan karena berangkat terburu-buru jadi lupa menukarkan uang. Mereka tidak mau menerima won-ku sedangkan aku harus tiba di Ghent secepatnya karena ini sudah malam dan aku lelah sekali, butuh tidur. Kalau aku tidak tidur cepat-cepat, aku akan terlambat menghadiri acara tanda-tangan kontrak asrama yang diadakan besok. Dan kalau aku tidak datang ke acara itu, aku tidak akan dapat kamar di asrama, dan mungkin akan tinggal di jalanan—"

Aku memejamkan mata karena lelaki ini terus saja berbicara panjang lebar tanpa kuminta.

"—kalau aku tinggal di jalanan, ibuku di Korea sana akan sedih dan usaha kerasku untuk bisa datang ke negara ini bakal sia-sia. Dan—"

"Cukup." potongku cepat. "Aku tidak punya uang dan aku juga tidak peduli dengan ceritamu. Minggir, aku mau pergi."

Dia kembali menghalangi jalanku dengan merentangkan tangannya lebar-lebar. "15 euro saja. Aku akan segera menggantinya kalau sudah menukarkan uangku, janji!"

"Pinjam pada orang lain saja."

"Tapi mereka orang asing! Aku masih takut berbicara pada orang asing karena tidak percaya diri dengan bahasa Inggrisku. Lagipula tadi aku sudah berusaha pinjam pada wanita di sana itu tapi dia tidak mau meminjamkan uangnya. Pelit sekali."

"Kalau begitu sama, aku juga tidak mau. Minggirlah!"

Dia mulai merengek sambil menggoyang-goyangkan bahunya. "Ayolah, sesama orang Korea kita harus saling tolong-menolong."

"Aku bukan orang Korea."

"Tapi kau berbicara bahasa Korea!"

Orang-orang mulai memperhatikan kami dan melayangkan tatapan penasaran.

"Hei, dengar ya. Aku sedang buru-buru karena keretaku bakal datang sebentar lagi. Jadi, bye!"

Menyebalkan sekali, pikirku. Aku cepat-cepat melesat pergi tapi teriakannya kembali menghentikanku.

"Ponselmu ada padaku! Hey, kau tak mau ponselmu kembali?"

Sial. Aku berhenti dan merogoh saku jaketku dengan kasar. Aku sangat yakin tadi sudah kumasukkan ke dalam saku, tapi kenapa sekarang tidak ada?

"Hei! Ini dia ponselmu!"

Di belakang sana, pria kecil itu melambai-lambaikan tangan dengan senyum yang kelewat lebar. Ponsel hitamku memang ada di tangannya. Entah bagaimana caranya aku juga tidak tahu. Aku kesal sekali tapi terpaksa berbalik dan kembali ke tempat ia berdiri.

"Sini ponselku," kataku datar.

"Pinjami aku uang dulu. Kalau aku sudah dapat tiket, baru kuberikan ponselmu kembali."

"Kau mengancamku?"

Dia mengedikkan bahu, "Kalau tidak mau, ya sudah. Aku akan menggadaikan benda mahal ini untuk beli tiket."

Lelaki itu menatapku dengan wajah yang tanpa ada rasa bersalah sama sekali. Kalau bukan karena mengingat ini adalah tempat umum, mungkin aku sudah memukulnya sekarang juga.

"Wah, ponsel ini harganya pasti ribuan euro. Tidak sebanding dengan harga tiket." Dia membolak-balik ponselku dan mengamatinya dengan gaya yang dibuat-buat. "Bagaimana? Boleh kugadaikan?"

"Jangan membuatku marah, Anak Kecil. Kembalikan!" Aku nyaris saja berhasil merebut ponselku tapi lelaki itu sudah berlari cepat menuju meja konter. Tubuh kecilnya membuat dia lolos dengan mudah. Dia menjulurkan lidah dan mengatakan sesuatu pada petugas penjual tiket.

Aku kembali menarik nafas dan berusaha untuk tidak lepas kendali. Kenapa orang-orang selalu saja memancing emosiku? Meski kesal, aku akhirnya berjalan menghampiri pria itu dengan kaki terhentak.

"Baiklah, aku akan membayar tiketmu. Puas?"

Dia tersenyum senang ketika melihat aku mengeluarkan kartu debit berwarna orange milikku. "Kau baik sekali, terima kasih."

Aku memutar mata dan mengetikkan sandi kartuku dengan cepat.

"Kau hanya beli satu? Apa kau sudah punya tiket?" Aku bergidik ketika dia berdiri rapat sekali ke bahuku. Wangi tubuhnya menyerang hidungku tanpa ampun. Aku mendorong tubuhnya karena terkejut dan cepat-cepat mengambil kartuku kembali.

"Aku punya kartu pass tahunan. Ini tiketmu, kembalikan ponselku sekarang."

Dia mengambil tiket keretanya dengan wajah sumringah. Namun sesaat kemudian, raut wajahnya berubah sedih sambil menunjuk sesuatu yang bergerombol di bawah pilar dekat pintu keluar.

"Selanjutnya, bisakah kau bantu aku membawakan itu semua? Please, aku sudah sangat letih dan tadi saja aku minta tolong petugas keamanan untuk membawakannya dari tempat pengambilan barang sampai ke sini. Sebenarnya aku tidak ingin bawa barang banyak begitu, tapi ibuku bilang harga pakaian di sini bakal lebih mahal daripada di Korea, dan lebih baik berhemat daripada menghabiskan uang untuk beli pakaian baru, dan—" Dia terus saja berceloteh tanpa kuminta.

Dua buah koper berukuran besar, dua yang berukuran sedang dan dua buah ransel yang terlihat menggembung karena isinya dipaksa untuk masuk. Sempurna.

Masih dengan menahan rasa kesalku yang mulai mendidih, aku menunjuk ke arah deretan troli yang berjejer di dekat dinding, agak jauh dari tempat kami berdiri.

"Kau lihat troli itu tidak? Gunakan otakmu dan bawa barangmu sendiri. Begitu saja tidak bisa."

Dia tercekat dan menatapku tak percaya. Kami sama-sama terdiam dan oke, kupikir aku sedikit kasar barusan.

"Aku tidak akan mengembalikan ponselmu kalau begitu!" Dia kembali cemberut dan mendelikkan mata sipitnya padaku.

"Yak!"

Lelaki asing itu cepat-cepat memasukkan ponsel kesayanganku ke dalam celananya. Benar-benar ke dalam celananya. Maksudku, ke celana dalamnya. Bersentuhan langsung dengan alat kelaminnya.

"Apa yang kau lakukan?" Bentakku. Dia hanya mengedikkan bahu dan tersenyum mengejek.

"Aku sudah tak butuh bantuanmu, Pelit. Bye!" Dia kembali menjulurkan lidah dan melenggang santai menuju deretan troli.

Charlotte, bukankah tadi kau bertanya tentang apa alasanku untuk tetap tinggal?

Aku masih terpaku di tempat—menatap sosok bertubuh mungil yang berusaha keras menarik troli dari rangkaiannya dan berkomat-kamit kesal karena benda itu sulit untuk diambil. Sesaat kemudian, dia berhenti dan berdiri menghadapku. Jarak kami terpisah kira-kira dua puluh meter.

Jawaban apa yang harus kuberi, Charlotte?

"Hei! Masih ingin ponselmu kembali tidak?"

Anak itu berteriak dari ujung sana ke arahku. Suaranya yang nyaring nyaris teredam oleh suara orang-orang yang ramai berlalu-lalang. Anehnya, aku bisa mendengarnya dengan jelas. Seolah-olah suara itu memang hanya ditujukan untukku. Bahkan aku bisa melihat tubuh kecilnya dengan jelas walau terhalang tubuh orang lain yang berjalan kesana-kemari. Padahal belum ada lima belas menit kami bertemu, tapi rasanya—entahlah. Aneh.

Tiba-tiba saja aku mendapati diriku berjalan menghampirinya. Dengan kepala kosong yang tak bisa berpikir apapun. Dengan langkah gontai seolah-olah aku ini robot yang digerakkan oleh kekuatan tak kasat mata. Dengan jantung yang terus berdebar kencang entah karena apa.

Benarkah aku datang padanya hanya karena ingin meminta ponselku kembali?

"Ck. Kau baru mau dimintai tolong kalau diancam terlebih dahulu." Dia mengerucutkan bibir dan membiarkanku menarik troli. Dasar bodoh, sampai kapanpun dia tak akan bisa mengambil trolinya karena rodanya tersangkut.

Bahkan sumpah serapah yang harusnya kukatakan padanya menguap begitu saja dan aku tahu-tahu sudah mengikuti dia dari belakang dan berjalan ke tempat dimana barang-barangnya berada tanpa bantahan sedikitpun.

Kepalaku kosong. Aku seperti tidak berada di manapun. Tidak di bumi, tidak juga di awang-awang.

"Ugh, berat sekali."

"Biar aku saja."

Aku merebut koper yang susah payah ia angkat, membuat jari kami tanpa sengaja bersentuhan. Kulitnya dingin dan sempat kulihat sekilas kalau jemarinya kurus-kurus tapi lentik semuanya.

"Eh, maaf." Dia menarik tangannya dan melangkah mundur, membiarkanku memindahkan koper-kopernya ke atas troli. Dia minta maaf karena jari kami bersentuhan tapi merasa santai saja karena sudah mengancamku pakai ponsel?

"Ini seperti di drama, iya kan? Kedua pemeran utamanya bertemu di suatu tempat, mereka terlibat pertengkaran kecil, tapi lama-lama jadi baikan setelah bertemu kembali dan akhirnya mereka jatuh cinta. Iya kan? Astaga, aku selalu berharap punya kisah cinta yang seperti itu." Dia tersenyum girang sambil menepuk-nepuk pipinya.

Aku tidak mengerti kenapa dia bisa mengatakan itu dengan mudah.

"Sudah selesai." Kataku datar. Semua barangnya sudah tersusun di troli meski harus saling berdesakan.

"Aku sudah tak butuh ponselku lagi—aku bisa mencari uang untuk membeli yang baru. Kalau kau mau, kau bisa menjualnya atau buang saja sekalian, tak jadi masalah untukku."

Dia menatapku dengan wajah bingung.

"Dan satu lagi—"

Aku sedikit merundukkan tubuh agar mata kami sejajar. "Aku benci hal-hal yang seperti itu. Kisah cinta dan semacamnya hanyalah omong kosong buatku. Apalagi kalau salah satu pemeran utamanya adalah kau."

"Me-mangnya aku kenapa?"

"Kau gay. Aku benci itu."

"Aku ap—GAY?"

Ah. Mungkin tadi itu aku hanya terbawa suasana. Ya, aku datang padanya karena ingin ponselku kembali. Tapi sekarang aku tak terlalu menginginkannya lagi karena benda itu sudah bersentuhan dengan alat kelamin gay yang mungkin sudah tertular virus menjijikkan—oke, aku hanya terbawa suasana.

"Anak Kecil, kisah cinta yang seperti itu tidak ada di dunia ini. Jangan terlalu banyak membaca novel, mengerti? Karena itu, aku harap kita tidak bertemu lagi di masa depan. Ini yang pertama dan terakhir kalinya."

Mulutnya komat-kamit seperti ingin mengatakan sesuatu.

"A-aku hanya bilang pertemuan kita seperti di drama dan aku ingin punya kisah cinta yang seperti itu. Tapi bukan berarti aku jatuh cinta padamu!"

"Terserah." Aku menatapnya dengan wajah malas.

Dia tampak tak terima. "Hei, kau salah paham! Aku hanya bilang—"

"Sudahlah. Aku harus pergi sekarang. Bye!"

Kali ini aku benar-benar pergi. Aku melangkah dari sana secepat yang kakiku bisa dan mengabaikan pria kecil yang meneriakiku di belakang sana itu. Huh, apa-apaan membahas tentang cinta pada pertemuan pertama?

Aku menghela nafas berat. Dari ujung sana, kereta express berwarna merah-putih-kuning yang akan membawaku kembali ke Ghent tampak melaju semakin dekat. Orang-orang mulai berkerumun di pinggiran rel, bersiap untuk segera memasuki gerbong begitu keretanya berhenti.

Aku tak mau buang-buang waktu. Langsung saja aku masuk ke gerbong, mencari tempat paling nyaman, menaruh ransel di kompartemen di atas kepalaku, lalu meletakkan bokongku di tempat duduk. Kereta ini berhenti tak terlalu lama, mungkin semenit lagi akan jalan kembali. Aku menyandarkan kepala di jendela dan memandang ke luar tanpa minat.

Charlotte, aku akan tetap tinggal dan aku punya alasan kuat untuk itu. Cita-citaku, impianku—

"Terima kasih atas bantuannya. Kalian tampan-tampan sekali. Dah~"

Oh, astaga. Harusnya aku ingat dia juga mau naik kereta yang tujuannya sama denganku.

"Eh? Kau yang tadi itu kan? Hai, kita bertemu lagi! Sepertinya ini memang takdir, iya kan?"

Aku tahu kalau dia sengaja mengikutiku.

Tampaknya dia meminta bantuan dua remaja yang juga akan naik kereta untuk membawakan barang-barangnya masuk ke dalam. Remaja-remaja itu tersenyum genit kemudian berlalu pergi setelah dihadiahi flying kiss. Tanpa seizinku, dia duduk di sebelahku tepat saat keretanya melaju. Tadinya aku mau pindah tempat, tapi dia tiba-tiba saja menarik tanganku dan memaksaku kembali duduk.

"Koperku kuletakkan di gerbong sana, dekat pintu. Supaya kalau turun nanti kau bisa mengeluarkannya dengan mudah. Aku membuat pekerjaanmu jadi gampang, iya kan?"

"Kenapa aku?"

"Kalau bukan kau siapa lagi?"

"Ya, jadi kenapa harus aku? Itu kan barangmu, jadi seharusnya kau yang mengurusnya sendiri."

"Karena barangku berat-berat semua dan kau satu-satunya orang yang kukenal di sini."

"Aku tidak mengenalmu."

"Kalau begitu, perkenalkan—namaku Baekhyun. Byun Baekhyun."

Dia mengulurkan tangan dan tersenyum. Bukannya menyambut uluran tangannya, aku malah mendengus dan pura-pura tidur.

"Hei, jangan tidur dulu! Kubilang namaku, Baekhyun—ayo berkenalan denganku!"

Dia menarik tanganku dengan paksa dan menjabatnya seolah kami sedang bersalaman. "Namamu siapa?"

Aku menepis tangannya dengan kasar, menggeser tubuhku lebih dekat ke jendela dan kembali berpura-pura tidur tanpa mengindahkannya sedikitpun. Dia terus merengek, mengoceh, menggoyang-goyangkan bahuku, menceritakan apa saja, menggangguku dengan ratusan pertanyaan konyol—aku sangat jengah dan benar-benar terganggu oleh tingkahnya.

"—sudah kubilang, ini seperti di drama-drama…"

"Berhenti bicara dan—"

Kepalanya tiba-tiba saja terkulai lemah. Matanya terpejam rapat tapi bibirnya masih bergerak-gerak perlahan. "—le-tih seka-li…"

Dan selanjutnya, dia tertidur nyenyak dengan kepala yang bersandar di pundakku.

Charlotte—bukankah kau adalah ibuku? Bisakah kau memberitahu apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam hidupku saat ini?

Anehnya, yang kulakukan hanyalah memandanginya tanpa berusaha menyingkirkan dia dari tubuhku. Padahal gampang saja untuk menjauhkan kepalanya atau bahkan pindah kursi diam-diam—tapi tak satupun dari itu yang kulakukan. Mungkin dia memang benar-benar kelelahan. Perjalanan dari Korea menuju Brussel membutuhkan waktu belasan jam, dan barusan aku mendengar suara perutnya keroncongan—mungkin karena tidak punya euro jadi dia tidak bisa membeli makanan di bandara tadi.

Charlotte, apa yang terjadi padaku sebenarnya?

Udara musim gugur bulan September memang tak sedingin Desember atau Januari. Itu jelas. Tapi hembusan anginnya yang tak menentu bisa membuatmu kedinginan kalau kau tak memakai jaket atau setidaknya pakaian yang hangat.

Itulah yang terjadi pada pria itu, yang tadi memperkenalkan dirinya sebagai Baekhyun atau apalah, aku tak peduli.

Dia sedikit menggigil meski sebenarnya udara di dalam kereta cukup hangat. Ah, aku lupa kalau dia hanya mengenakan kaos berlengan pendek saat ini. Dasar bodoh. Setidaknya persiapkan dirimu sebaik-baiknya kalau kau ingin pergi ke luar negeri. Merepotkan saja.

Sebenarnya aku bukan tipe orang yang gampang menaruh kepedulian pada orang lain. Aku juga bukan tipe orang yang akan melepas jaketku dan memakaikannya pada orang yang kedinginan—seperti yang kalian tonton di drama. Oh, mungkin pengecualiannya untuk wanita cantik yang butuh bantuanku di tengah jalanan. Tapi masalahnya, dia adalah pria dan aku sendiri tidak tahu kenapa lenganku bergerak merengkuh tubuhnya dan membawanya ke dalam pelukan. Aku juga mengatur posisi kepalanya agar lebih nyaman dan aku melakukan itu semua sepelan mungkin agar dia tidak terbangun.

Charlotte, bisakah kau menjawabku?

Dia bergumam tak jelas tapi setelahnya kembali mendengkur pelan. Terkadang dia mengeluarkan suara seperti anak anjing dan tersentak kecil ketika kereta melewati tikungan tajam. Tanpa sadar, aku mendapati diriku sendiri sedang asyik memperhatikan dirinya.

Ayah, tolong beritahu aku.

Aku menarik nafas panjang karena merasa dadaku dihimpit beban berat. Tak ada jawaban yang bisa kudapatkan. Rasanya roda hidupku berputar terlalu cepat dan aku sampai pada babak baru dalam kehidupanku tanpa tahu apa yang sedang Tuhan rencanakan dari atas sana.

"Hei, bukankah tadi kau bertanya siapa namaku? Baiklah, namaku Liam. Tapi khusus untukmu, kau boleh memanggilku Park Chanyeol," bisikku di telinganya.

aku tidak pernah menduga kalau alasanku untuk tetap tinggal dan berjuang menjalani sisa hidupku adalah karena Byun Baekhyun.