Stories

"Dokter, boleh aku bercerita?"

Desclaimer: Hetalia is not mine

Warning: Crack-pair, Gaje, Abal, Dll

.

.

.

.

CH 1: Kiku Honda

Ivan Braginsky. Itulah nama seorang Psikiater muda yang disegani karena keahliannya menangani pasien. Dan, dari sekian banyak pasiennya, baru kali ini ia mempunyai pasien berumur 15 tahun. Seorang pasien bernama, Kiku Honda. "hei, apa yang membuat anak ini masuk Psikiatris?"Tanya Ivan pada sekretarisnya, Toris. "ehm, saya sendiri tidak tahu tuan, yang jelas…"Toris melanjutkan ucapannya ragu-ragu. "matanya selalu menatap kosong, dan tidak jarang kami melihatnya sedang merintih ketakutan, lalu berteriak minta tolong tanpa sebab." Ivan mendengar ucapan Toris dengan seksama, sambil terus membaca berkas-berkas Kiku. "dia, dulunya pasien Alfredkan?"Tanya Ivan lagi. "ehm ya. Tapi, Alfed tak mampu menyembuhkannya. Sebelumnya, sudah banyak Psikiater yang menanganinya, tapi, mereka tidak mampu."jawab Toris. "hm, kalau begitu, sebaiknya aku segera bersenang-senang dengannya, da?"gumam Ivan sambil pergi ke ruangan Kiku, dengan membawa Pipa keramatnya, dan tentu saja, aura ungunya. Meskipun ia seorang Psikiater, Ivan mempunyai sikap Psikopat yang membuatnya ditakuti semua orang, kecuali adiknya sendiri, Natalya. Akhirnya, ia sampai di bangsal Kiku, ruangan 1102. Perlahan, Ivan membuka pintu, dan mendapati Kiku—yang masih dengan tatapan kosong—bermain boneka. Ivan sempat shock juga melihat pasiennya. Di Berkasnya tertulis laki-laki, tapi, kenapa yang ia dapati justru anak perempuan? Apakah dia salah masuk ruangan? "kau siapa?" pertanyaan dari Kiku menyentak Ivan dari lamunannya, dan bertatap mata dengan mata coklat Kiku, yang seakan bisa menembus jiwanya.

"aku doktermu yang baru, da. Namaku Ivan Braginsky."jawab Ivan sambil duduk didekat Kiku. "I-van. Ivan..hihihi"Kiku terkikik sendiri. "ya, itu namaku. Siapa namamu, gadis kecil?"Tanya Ivan sambil memamerkan senyumnya yang mengerikan. "Kiku. Kiku laki-laki, bukan perempuan."jawab Kiku sambil memiringkan kepalanya. "oh, maaf, kukira kau perempuan, da."kata Ivan sambil melirik boneka-boneka di meja Kiku. "kau suka bermain boneka?"Tanya Ivan. "tidak, aku bercerita."Kiku menatap Ivan dengan tatapan kosongnya. "Dokter, bolehkah aku bercerita?" Ivan menganggukkan kepalanya, dan berkata, "tentu, da." Kiku tersenyum hampa, dan menaruh sebuah boneka wanita, dan laki-laki, serta boneka 4 anak-anak. "aku ingin cerita tentang keluarga. Ini Ibu, ini Ayah, dan ini Nii-san."jelas Kiku, sambil menaruh miniature boneka gadis jepang yang lebih kecil dari boneka si anak laki-laki, lalu melanjutkan, "dan ini aku!" katanya sambil menunjuk miniature boneka gadis jepang. "kenapa boneka? Apakah karena kau sangat suka dengan boneka?"Tanya Ivan kebingungan. "bukan. Tapi, karena sang boneka hanya diam, dan menyaksikan semua adegan dengan matanya sendiri, serta selalu dilupakan."jawab Kiku sambil tersenyum aneh, dan mulai bercerita. Dalam hati, Ivan merasa mengerti kenapa Psikiater yang lain tak mampu untuk menyembuhkannya.

Kiku POV's

Ibu adalah seorang wanita yang baik, dan cantik. Tetapi, entah kenapa, sepertinya ia selalu melupakanku. Sementara Ayah adalah pria yang sibuk, dan jarang sekali ia tersenyum padaku. Bahkan, berbicara pun tidak. Satu-satunya yang mau berbicara denganku, dan tidak melupakanku adalah Nii-san. Nii-san mempunyai rambut panjang yang dikuncir, dan selalu berkata 'aru' diakhir kalimatnya. Ia sering bermain, dan tidur bersamaku. Katanya, ia selalu merasa nyaman jika aku ada didekatnya. Tapi, entah mengapa, ia berubah. Dan perubahan itu bermula saat Ibu melahirkan adik untukku. 1 perempuan, dan 2 laki-laki. Adikku yang tertua bernama Yong soo. Ia agak menyebalkan, karena selalu merebut apa yang seharusnya milikku. Adik keduaku bahkan lebih buruk. Namanya Mei, Ia sangat takut denganku, dan pasti akan menjambakku jika aku satu ruangan dengannya. Tapi, aku lebih suka adik ketigaku, Xiao Ba. Ia tak banyak berbicara, meski aku tahu ia tak menyukaiku. Ia akan selalu menyingkir, dan menjauhiku begitu aku mendekat.

Ketiga adikku ini, selalu lengket dengan Nii-san, membuatnya semakin lama, semakin jauh dariku. Awalnya, aku mencoba memaklumi, dan pada minggu ketiga adikku dekat dengan Nii-san, Nii-san mulai suka membentakku. Dan setiap membentakku pula, ketiga adikku langsung tersenyum penuh kemenangan. Bukan hanya itu, Nii-san juga sudah mulai kasar, dan tidak mengijinkan aku tidur bersamanya lagi. Yang paling menyedihkan adalah, saat Nii-san nyaris membunuhku, dengan cara mencekik karena Yong soo menuduhku mendorong Mei sampai menangis, dan tentu saja itu tidak benar. Untungnya, saat itu Ibu datang disaat yang tepat. Membuat nyawaku terselamatkan. Setelah Nii-san berubah, aku benar-benar terlupakan, dan sering bersembunyi dibalik pot bunga yang lumayan besar. Tempat itu benar-benar menguntungkanku, karena aku bisa melihat semua aktifitas saudara-saudaraku, Ayah, dan Ibu.

Tapi, ketika lapar, aku akan duduk dibawah meja sambil memandang Ibu yang sedang mencuci piring. Tak ada gunanya untuk memberitahunya bahwa aku sedang kelaparan, dan ini adalah jam makanku, karena dia pasti tak akan bergeming, dan hanya melanjutkan pekerjaannya. Begitu ia selesai, Ia melihatku yang sedang duduk dibawah meja, dan menghampiriku, lalu bertanya, "Kiku, kenapa kau bersembunyi dibawah meja sayang?" "aku lapar"jawabku sambil menatapnya yang terlihat terkejut. "oh, ya ampun! Ini sudah lewat jam makanmu! Ibu macam apa aku ini, yang lupa dengan jam makan anaknya sendiri?"Tanya Ibu kepada dirinya sendiri, lalu mulai memasak, sembari menyuruhku untuk duduk di kursi. Dia terus saja menggumamkan 'maaf, maaf' sambil menyiapkan makananku. Setelah itu, ia akan memperhatikanku yang sedang makan, sambil berkata bahwa aku adalah satu-satunya yang membuatnya sangat senang, dan bangga. Tetapi, begitu Ayah pulang, wajah Ibu berubah menjadi keruh. Dan, dia segera menghampiri Ayah, sambil marah-marah. Aku tetap melanjutkan makanku, sembari memperhatikan mereka. "sudah kuduga! Seharusnya aku menceraikanmu dari dulu!"seru Ibuku marah. "Ah! Tahu apa kau, sampai ingin menceraikanku? Asal kau tahu, aku selalu memberimu nafkah!"seru Ayah yang tak kalah marah. Setelah makananku sudah habis, aku kembali ke tempat persembunyianku, mendengar pertengkaran Ayah, dan Ibu, sampai akhirnya aku tertidur.

Ivan mengedipkan matanya beberapa kali saat cerita itu berakhir. Matanya mengawasi Kiku yang balas menatap matanya. Dan di mata Kikulah, ia melihat kesedihan, penderitaan, dan emosi yang selalu disembunyikan si pemilik manic coklat itu. "Kiku"panggil Ivan sambil tersenyum lembut yang sangat jarang ia tunjukkan. "apakah itu cerita kehidupanmu?"lanjutnya. Kiku hanya mengangguk. "lalu, kenapa kau merintih?"Tanya Ivan lagi. "suara itu. Suara penuh kemarahan Ayah, Ibu, serta saudara-saudaraku. Terus mengalun seperti musik abadi yang mengerikan. Membuatku takut. Dan, ada suara lagi. Suara itu, jauh lebih menakutkan…"jawab Kiku sambil gemetar. Lalu, ia mulai menutupi telinganya sambil merintih. "hentikan…hentikan…" mendapati Kiku yang sepertinya kembali merintih, ia mengguncang-guncangkan tubuh Kiku sambil berkata. "Kiku, Kiku, dengar aku, suara itu tidak ada. Tidak ada siapapun disini selain kau, dan aku, da!" Kiku menatapnya dengan mata berkaca-kaca ketakutan. "tidak.. tidak… mereka.. ada… disekitarku, mengawasiku…"rintih Kiku sambil menjambak rambutnya, lalu menjerit, "HENTIKAN! HENTIKAN! HENTIKAN SUARA ITU! HENTIKAN!" lalu Kiku pingsan pangkuan Ivan. Meninggalkan Ivan terdiam sendiri, kebingungan, dan akhirnya membawa Kiku ke tempat tidurnya, dan kembali ke kantornya. Untuk, membuat catatan tentang Kiku.

TBC

Hanny: bukannya ngelanjutin fic lama, malah bikin fic baru.

Kiku: nee, Hanny-san, kenapa aku jadi seperti orang berpenyakit jiwa?

Hanny: ska-suka aku dong! Ngoahahaha.

Haikal: woi! Author sarap! Lanjutin fic Teacher's problem 2!

Hanny: ok lah, Please Review!