Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Summary : Hanya karena Kazekage tidak menginginkan anak perempuan, Sabaku Temari harus dibuang ke pengasingan. Kudeta bergulir ketika sang putri jatuh cinta.
-
-
-
-
=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=
=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=
-
-
-
Mari kita bayangkan Sunagakure sebagai sebuah kerajaan makmur akan kekayaan emas yang berada ditengah gurun pasir. Tembok-tembok tinggi dan kokoh melindungi kerajaan itu beserta seluruh rakyatnya dari ancaman luar. Seorang raja bergelar Kazekage tinggal di bawah atap istana yang berdiri megah di tengah kota.
Dua puluh tahun lalu di istana itu seorang putri terlahir kedunia. Namun sayang sang ayah tak menerima kelahirannya. Subuh itu juga dengan berat hati permaisuri merelakan putrinya dibawa jauh ke seberang lautan dengan hanya ditemani seorang pelayan.
-
-
Hari ini, setahun setelah Kazekage ketiga meninggal dunia
Rumah itu tidaklah besar, namun bertengger dengan manisnya diatas bukit. Halaman yang luas diselimuti rumput hijau dan puluhan jenis bunga. Pagar kayu berhias semak mengitari sekeliling rumah tua itu. Sebuah ayunan bergantung pada dahan pohon disebelah kanan jalan setapak yang mengarah lurus ke pintu depan.
Sunyi. Sepi. Tak ada satupun tetangga hingga 133 mil dari sana.
Shikamaru baru saja turun dari kereta kuda yang membawanya. Pemuda itu menurunkan barang bawaan sambil tetap mendengar penjelasan Baki yang tak juga habis sedari tadi.
"Tuan Putri kami tinggal disini sejak lahir," Baki meneruskan, "Sangat jauh dari istana. Beliau ditemani pelayan setia almarhum permaisuri, Nenek Chiyo."
"Tak pernah kemanapun?" tanya Shikamaru.
"Tidak. Putri tidak pernah meninggalkan tempat ini. Seumur hidup yang pernah ditemuinya selain Nenek Chiyo hanyalah Yang Mulia Kazekage, mendiang Permaisuri, Jenderal Sasori, Pangeran Kankuro, aku, dan seorang penjahit istana, Ayame. Karena itulah," Baki menatap penuh Shikamaru sebelum melanjutkan, " aku harap kau bisa menjaga sikapmu. Aku dengar dari Kakashi bahwa kau selalu mengucapkan satu kata yang kurang enak didengar telinga ningrat. Menyusahkan. Singkirkan kebiasaanmu itu. Aku tak mau barang sekalipun Tuan Putri mendengarkan kata tak sopan seperti itu."
Shikamaru mengangguk. Baki memberikan penekanan yang betul-betul ditekan pada kata 'menyusahkan'. Membuat Shikamaru tak punya pilihan lain selain menyodorkan anggukannya.
Kedua orang itu melangkah masuk. Nenek Chiyo yang telah menyadari kedatangan mereka tampak menyambut di depan pintu.
"Selamat siang, Tuan Baki" sapa perempuan tua itu.
"Selamat siang, Nenek Chiyo. Kenalkan, ini Nara Shikamaru. Dari Konoha."
Shikamaru menunduk kearah Nenek Chiyo, "Senang bertemu dengan anda."
"Sama-sama," sahut Chiyo, "Mari masuk. Tuan Putri ada di dapur."
"Padahal selalu kukatakan padamu," kata Baki, "Tuan Putri tidak semestinya memasak sendiri. Itu pekerjaan pelayan."
"Saya mohon maaf," Chiyo membalas singkat.
Shikamaru meninggalkan tas kopornya di bawah tangga sebelum mengikuti Baki kearah dapur. Lantai kayu dan aroma pinus yang merebak membuat kediaman itu benar-benar terasa seperti sebuah rumah dimata Shikamaru. Rumah yang hangat dan tenang.
Pintu terbuka, Baki melangkah masuk sementara Shikamaru mengekor dibelakangnya. Kemudian tampaklah seorang gadis berambut pirang pendek dikuncir empat sedang mencuci beberapa buah piring. Pekerjaannya segera terhenti ketika melihat dua sosok laki-laki memasuki dapur tempatnya berada.
Baki membungkukkan badan. "Selamat siang, Yang Mulia," salamnya.
"Siang," Temari menyahut pendek sambil melirik kearah Shikamaru, "Siapa yang kau bawa itu, Baki?"
"Ini Nara Shikamaru," Baki mengenalkan, "Pengajar bahasa yang didatangkan Yang Mulia Kazekage dari Konoha untuk mengajar anda, Tuan Putri."
"Selamat siang, Yang Mulia," Shikamaru memberikan salam seraya membungkuk.
Temari tertegun sesaat. Dipandanginya Baki dan Shikamaru secara bergantian lalu bertanya, "Pengajar bahasa? Apakah tata bahasaku sangat buruk sampai Gaara merasa perlu mengirimiku seorang pengajar bahasa? Maksudku, bukankah aku tak pernah bertemu banyak orang?"
Baki terlihat sibuk mencari akal-atau mencari alasan, lebih tepatnya. "Saya pikir Pangeran Kankuro sudah memberitahu bahwa Yang Mulia Kazekage berniat membawa Tuan Putri kembali ke istana dua bulan lagi, setelah ulang tahunnya yang ke-17."
"Ya. Dia memang sudah bilang. Karena itukah aku butuh pengajar bahasa?"
"Benar, Tuan Putri. Yang Mulia Kazekage ingin sekali membawa Tuan Putri kembali sejak almarhum Kazekage ketiga meninggal dunia. Tapi seperti diketahui, seorang Kazekage tidak diizinkan membuat keputusan sendiri sampai usianya genap 17 tahun."
"Aku mengerti, Baki," Temari menyambung, "Baiklah kalau begitu, kau mau makan siang disini? Aku baru saja memanggang kalkun."
"Terima kasih, Yang Mulia. Tapi saya harus segera kembali ke Sunagakure. Pangeran Kankuro menunggu saya."
"Ya sudah. Sampaikan salam dan ucapan terima kasih pada kedua saudaraku itu, Baki."
"Baik, Yang Mulia. Saya permisi," Baki kembali membungkuk sebelum mundur dan menghilang dibalik pintu.
Sepeninggal Baki, Temari memandangi pemuda berambut hitam didepannya baik-baik. Disandarkannya punggung pada meja dapur sambil melipat kedua tangannya didepan dada. Mengamati Shikamaru dari atas kebawah, lalu keatas lagi. Dari ujung kaki sampai ujung rambut, lantas beralih ke mata tajamnya. Mendetail dan mendasar. Per inchi dan terperinci. Bukan salah Shikamaru jika sekarang ia merasa sedang ditelanjangi.
"Jadi aku harus memanggilmu apa, Tuan Pengajar Bahasa?" tanya Temari seakan menginterogasi.
"Saya biasa dipanggil Shikamaru, Yang Mulia."
"Yang Mulia? Baki sudah pergi, panggil saja aku Temari. Di tempat ini tidak akan ada yang menyeretmu ke penjara sekalipun kau memanggilku tanpa embel-embel semacam itu."
Sekarang giliran Shikamaru yang tertegun, "Baik, Yang Mu-eh maksud saya, Temari."
"Sekarang kau panggil Nenek Chiyo kemari. Kita makan dulu. Setelah itu kau istirahat. Perjalananmu pasti melelahkan. Besok saja kita mulai pelajaran bahasanya."
Shikamaru membalik badan. Sekeluarnya dari ruangan itu, ia membatin, 'Harusnya kau lihat, Naruto! Bagaimana sekarang? Pelajaran bahasa macam apa yang harus kuberikan pada putri itu? Kenapa pula Kakashi mesti bilang 'pengajar bahasa'? Menyusahkan!'
-
=x=x=x=x=x=x
-
Esoknya
Sang surya baru saja menampakkan diri ketika Chiyo mengetuk pintu kamar Shikamaru dan mengabarkan bahwa Temari mencarinya. Dengan malas pemuda itu bangkit, mencuci muka lalu bergegas menyeret kedua kakinya secara paksa ke depan rumah.
Hari masih pagi. Nyanyian burung masih terdengar bersahutan. Dan senandung kecil yang dilantunkan Temari terdengar mengalun lembut di telinga Shikamaru. Gadis itu tengah duduk bermain ayunan sembari mengayun-ayunkan sepasang kaki putihnya di udara.
Temari memalingkan pandangannya ke kiri setelah didengarnya langkah Shikamaru yang beradu dengan hamparan rumput di halaman. Diwajahnya tersungging satu senyuman termanis yang pernah dilihat Shikamaru seumur hidup. Pemuda itupun sontak terhenyak. Agaknya ia perlu banyak berterima kasih pada akal sehat yang baru saja menyelamatkannya dari adegan pingsan seketika.
Otak Shikamaru memutar ulang semua kesan yang terekam atas pertemuannya dengan Temari kemarin hari. Gadis pirang itu meruntuhkan semua bayangan tentang seorang putri yang selama ini ada di benak Shikamaru. Putri yang satu ini sungguh-sungguh…nyata. Sangat nyata. Terlampau nyata untuk diutarakan dengan kata-kata. Paras rupawan dan perawakan bagai pahatan pualam terbingkai anggun dalam sorot mata teduh yang mendebarkan seisi dada.
"Sudah kau bereskan barang-barangmu?" tanya Temari.
Mendadak saja Shikamaru tersadar dari lamunannya. "Iya, Tuan Putri. Sudah saya bereskan," jawabnya dengan kepala setengah menunduk. Tak mau ia kalau sampai Temari menyadari rona merah di sekujur wajahnya.
"Baguslah. Kemarin kulihat barangmu itu banyak sekali. Isinya pasti setumpuk buku. Benar, kan?"
Shikamaru tak menjawab pertanyaan satu itu. Mana mungkin ia bilang bahwa isinya sama sekali bukanlah buku.
"Pagi ini aku ingin jalan-jalan ke lereng bukit. Nenek Chiyo sudah kuminta menyiapkan bekal. Ikutlah denganku. Bawa alat tulis seperlunya saja. Kita mulai pelajaran bahasanya setelah sarapan."
"Baik, Yang Mulia."
"Kenapa pakai Yang Mulia lagi?" Temari protes, "Kemarin kan sudah kubilang, panggil dengan namaku saja. Tidak perlu ber'saya-anda' kalau kau tak mau terdengar tua seperti Nenek Chiyo."
Benar-benar seorang putri, pikir Shikamaru. Lengkap dengan setitik angkuh dan segenggam keras kepala.
-
-
-
Lereng bukit yang dimaksud Temari rupanya memang pantas untuk dikunjungi. Bayangkan saja salah satu gambaran paling indah tentang sebuah pemandangan alam yang pernah tertulis di buku cerita. Kelak-kelok jajaran pegunungan yang menjulang tinggi berselimut awan tipis dihadapkan pada jalan setapak berliku menuruni bukit yang diapit deretan pohon pinus. Dilain sisi, rumput dan rumpun bunga tumbuh subur menghampar sejauh mata memandang. Berdampingan mesra dengan hijau cemara dan jejer bebatuan.
Shikamaru dan Temari tampak duduk diam dibawah naungan sebuah pohon besar yang sesekali daunnya berguguran terhempas angin. Delapan langkah dari sana sebuah sungai kecil mengalirkan air jernihnya hingga ke muara. Sementara itu, suara angin sayup berhembus mengiringi nada daun-daun yang bergesekan, memainkan sebaris harmoni bersama suara aliran air. Kalau saja tidak ada Temari disana, Shikamaru pasti sudah memilih untuk memejamkan matanya sejak dua jam lalu.
Tapi nyatanya ia tak sendiri. Dan ditangan pemuda itu kini terpegang sehelai kertas yang sedang diperhatikannya dengan sabar.
Kupu-kupu itu bersayap
Beterbangan, hilir mudik setiap waktu
Dari satu bunga ke bunga yang lain
Hanya perlu membaca sampai disini bagi Shikamaru untuk menyadari bahwa harusnya ada seseorang yang mengatakan kalau Temari tak berbakat menulis sajak. Masalahnya sekarang, Shikamaru sendiri tak tahu apa hubungannya sajak dengan pelajaran bahasa. Tapi sepertinya pemuda yang satu ini memang sudah kehabisan akal.
"Kenapa? Jelek ya?" tanya Temari setelah menyadari perubahan raut wajah Shikamaru sejak 3 menit kebelakang.
Shikamaru kikuk. Untunglah ia tak perlu menjawab pertanyaan itu. Karena Temari sudah buru-buru mendahuluinya.
"Tak perlu dijawab," sela gadis itu, "kurasa memang tidak bagus. Mungkin aku butuh sedikit contoh. Buatkan satu puisi untukku. Nanti biar kubaca dan kupelajari."
Persis setelah mengatakan kalimat terakhirnya, Temari langsung meraih keranjang rotan dan meninggalkan Shikamaru tanpa meminta persetujuan apapun. Shikamaru hanya tersenyum maklum, memandangi kelincahan Temari yang telah sibuk memetik bunga tak lama kemudian. Pemuda itu lalu mulai menulis.
Entah berapa lama waktu yang dihabiskan Shikamaru. Ketika helaian kertas itu penuh dengan tulisan tanganya, Shikamaru mengangkat wajah dan mendapati kalau Temari telah menghilang dari pandang.
Shikamaru panik. Celingukan kesana-sini. Temari masih tak tampak. Dengan hati was-was Shikamaru spontan berdiri dan mengarahkan kaki serta penglihatannya ke seluruh penjuru. Berusaha menemukan sosok tuan putri sambil tetap menggenggam kertas ditangannya.
Hari makin sore. Matahari makin condong. Shikamaru makin kalang kabut. Beribu pikiran buruk berkeliaran diotaknya. Bagaimana kalau Temari diculik? Dibunuh? Diperkosa? Diterkam binatang buas? Jatuh ke jurang? Maka habislah riwayat si rambut nanas kalau salah satu hal itu sampai terjadi.
Namun syukurlah fortuna masih berpihak. Bersamaan dengan kakinya yang mulai letih dan nafasnya yang mulai ngos-ngosan, Shikamaru menemukan Temari. Dalam keadaan hidup, baik, dan utuh tentunya. Gadis itu tampak asyik berlarian dengan kaki telanjang di tengah padang ilalang yang hampir menenggelamkan tinggi tubuhnya. Dari balik rumpunan ilalang yang bergoyang tertiup angin, Shikamaru menatap Temari tanpa berkedip. Poni rambutnya yang menari-nari, mata indahnya yang memancar elok, bibir merahnya yang merekah, dagu lancipnya, leher jenjangnya, hingga gaun pendek selutut tanpa lengan berwarna hijau tosca yang meliuk-liuk seiring sapuan angin. Membuat gadis itu terlihat bagaikan Dewi Artemis* yang tersesat dan kembali berburu di bumi. Ya, dia pasti titisan Artemis, pikir Shikamaru melantur.
Lamunan pemuda itu hanya sampai disana. Dihampirinya si tuan putri dan tak mau membuang waktu lagi untuk segera bertanya, "Tuan Putri kemana saja? "
"Tidak kemana-mana," jawab Temari, "aku kesini memang untuk jalan-jalan, bukan? Kau pasti tertidur."
"Sama sekali tidak," bantah Shikamaru.
"Jangan berkelit," sergah Temari, "aku sudah melihatmu menguap sebanyak 19 kali sejak kita sampai disini."
Shikamaru setengah tak percaya, "Anda menghitungnya?"
"Tentu saja," sambung Temari, "sekarang mana puisi untukku?"
Temari asal saja merampas kertas yang digenggam Shikamaru. Dibukanya lipatan kertas itu dan mulai membaca.
-
Syahdu…
Saat kutatap lirik matamu
Memenuhi rongga urat nadiku
Beriak hasrat luluh merayu
.
Candu
Saat kudengar lirih suaramu
Merajut khayal ditelingaku
Sejuk nirwana diterpa bayu
.
Pada sayup langkahmu kuterpana
Akan sambut hangatmu kuterpesona
Mengalahkan sendu semburat aurora
Merasuk jauh ke relung sukma
.
Bahagiamu bahagiaku
Merebakkan kasih dalam jiwa
Dan saat-saat bersamamu,
Inikah surga yang aku harap?
.
Hujan meratap rona tangismu
Awan berarak atas nafasmu
Mentari bertahta manis senyummu
Fajar menyingsing di matamu
-
BUKKK !!!
Keranjang yang dipegang Temari terayun menghantam jidat Shikamaru tanpa ampun. Bunga-bunga yang tadinya mengerami keranjang itupun jatuh berantakan. Muka gadis pirang itu tampak merah padam, padahal beberapa saat lalu wajahnya sempat melukiskan rasa takjub yang sangat jelas.
"Aww!" Shikamaru menahan sakit, "apa salah saya, Yang Mulia?"
"Aku bilang buatkan puisi," Temari membentak, "kenapa kau malah merayuku begini?!"
"Apa? Merayu?"
"Sudahlah! Kita pulang!"
Temari mendengus kasar. Shikamaru memegangi jidatnya. Entah sudah berapa kali kata mendokuse terlontar diam-diam dari mulut pemuda itu.
Alhasil di penghujung sore Chiyo hanya bisa terbengong-bengong melihat kelakuan aneh majikannya dan memar di jidat si pengajar bahasa. Tak seorangpun bertegur sapa di meja makan.
-
=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=
-
Langit gelap. Bulan tak tampak. Tengah malam itu Temari terjaga dengan perasaan risau. Suara parau burung elang terdengar memekakkan telinga. Hening seakan terbelah. Suara burung itu sangat asing, tak biasanya ada di daerah ini. Tentu saja itu karena Temari tak pernah melihat burung elang pembawa pesan sebelumnya. Ditengoknya lewat celah jendela, dan dilihatnya seberkas kilatan cahaya. Api, barangkali.
Diawal menit selanjutnya terdengarlah suara langkah tergesa yang berhenti persis di depan pintu kamarnya.
Greeekkkk !!!
Gadis itu baru saja bangun dan menelusupkan kakinya kedalam sepatu ketika pintu kamar dibuka paksa oleh Shikamaru. Tanpa bicara apa-apa pemuda itu menarik tangan Temari dan menariknya keluar sambil berlari.
"Hey! Apa-apaan kau ini!" Temari berontak, "Lepaskan aku! Dasar tidak sopan!"
Temari sibuk memukul-mukul dan mengoyak cengkeraman Shikamaru sampai akhirnya pemuda itu berkata dalam kepanikan yang nyata, "Kudeta sudah berlangsung! Kita harus pergi!"
Dari sinilah Temari terperangah. Matanya membelalak tak percaya, "Apa? Kudeta?"
"Ya! Pamanmu yang sinting itu melakukan kudeta!"
Temari berusaha sekuat tenaga dan secepat mungkin mencerna keadaan, "Paman Sasori? Melakukan kudeta?"
Shikamaru terus menggelandang Temari menuruni tangga tanpa menjawab.
"Bagaimana dengan Nenek Chiyo?" tanya Temari.
"Tidak ada waktu untuk memikirkannya. Kita harus cepat."
"Aku tak mau pergi tanpa Nenek Chiyo!"
Dengan satu sentakan keras Temari melepaskan tangannya dari genggaman Shikamaru dan berlari kearah kamar Chiyo. Shikamaru mengumpat sekenanya lalu berbalik mengejar gadis itu.
Pintu kamar Chiyo sendiri sudah terbuka saat Temari sampai disana. Dan ketika kepalanya melongok masuk, ia melihat Chiyo sudah tergeletak di lantai dengan jantung tertembus anak panah dan darah yang membanjir.
Tak ada waktu bagi Temari untuk berteriak histeris. Hanya dalam satu hitungan, puluhan anak panah berhambur menghujani rumah itu. Memecahkan kaca, merangsek masuk lewat celah atap. Beberapa diantaranya bahkan tersulut api. Sekali lagi Shikamaru menangkap sigap tangan Temari dan menariknya keluar lewat pintu belakang. Keduanya berlari menghindari lesatan anak panah dan rambatan api yang membabi buta.
-
-
-
-
TBC
-
-
-
-
*Dewi Artemis adalah putri Dewa Zeus dari salah seorang selirnya, Letto(maaf, yang ini nama selir, bukan nama band). Dalam mitologi Yunani kuno, Ia merupakan dewi hutan, perbukitan, perburuan dan malam-malam bulan purnama yang terkenal cantik jelita.
a/n: Saya agak ragu mengenai penulisan kata 'di matamu' yang saya gunakan sebagai judul. Haruskah pakai spasi atau tidak. Bagi yang mengetahui, mohon bantuannya. Bagi yang baru saja berhadapan dengan ujian nasional, saya doakan kelulusannya. Review anda sekalian sangat saya nantikan.
