from kuroakane, with love.
Disclaimer: Hetalia belongs to Hidekaz Himaruya.
Warning: AU, OOC, Shonen-ai, Lime… Ya, pokoknya gitu.
"Tuan, sebentar lagi tempat ini akan tutup. Apakah anda berkenan untuk pulang?" Ujar seorang pelayan, menatap iba seorang pemuda dengan setelan tuxedo elegan dan rambut dirty blonde-nya yang tersisir rapih. Pemuda itu tak mengucap sebuah kata, hanyalah embun yang melapisi kacamatanya itu menyamarkan setetes air, turun dari mata sebelah kirinya.
Setelah beberapa penantian panjang, pemuda itu akhirnya menyerah dan berdiri meninggalkan meja. "Terima kasih.", Ujarnya. Beberapa langkah setelah itu, seorang pria muda berambut pirang dan mata zamrud menyahut, "Hei, anak muda," dengan sedikit hentakan. pemuda berkacamata tadi segera menoleh, seakan tertarik dengan panggilan 'anak muda' yang tadi diucapkan seseorang. "Pelayanku tak bilang kau diperbolehkan makan gratis di lahan bisnisku, kan?"
Kesunyian. Keheningan. Isi kepala pemuda berkaca mata itu dapat ditebak jelas olehnya. "Tapi-kan-aku-nggak-makan-sama-sekali.", itulah yang terbersit jelas di benak sang manager restoran. Ia melambaikan selembar kertas di udara, lalu menghempaskannya di meja nomor 4 bersama sebuah pulpen. Meja dimana pemuda berkacamata didepannya terduduk selama empat jam, menanti datangnya seseorang yang pada akhirnya tak datang juga sehingga akhirnya ia sendiri yang harus membayar untuk 'makan malam' yang bahkan tak ia makan.
Pemuda itu berjalan mendekat dengan ratapan, sedih bagai rembulan. Embun di kacamatanya belum hilang—sama seperti kerinduannya. Kerinduan terhadap seseorang yang sudah 4 tahun tak ditemuinya. Janji makan malam itu sirna ditelan waktu.
Tulisan tangan yang nampak di kertas itu dibaca olehnya. Merasa tak yakin dengan apa yang dibacanya, matanya bertemu dengan si manager galak beralis tebal didepannya. Si pelayan yang dari tadi menonton segala perkara akhirnya meninggalkan tempat itu tanpa sebuah kata. Setelah itu, yang terdengar hanyalah bunyi goresan pulpen diatas kertas.
"Selamat malam, semoga hari-harimu setelah ini jadi menyenangkan."
New York, August the 26th, 20xx.
.
"Alfred-san, mau kubuatkan sarapan?"
Tak ada jawaban. Hanyalah hentakan jari yang terdengar dari seluruh penjuru ruangan itu. Pemuda asia dengan sumpit di sela-sela jemarinya itu sudah mengerti apa yang harus ia lakukan untuk teman sekamarnya yang sedang galau.
Pagi di musim panas yang tak begitu ceria. Kenapa ia tak bisa habiskan liburan ini untuk bertemu sang pujaan hatinya?
Oh iya, lelaki yang empat tahun lebih tua darinya itu sedang kuliah di Rusia. Sebenarnya, ia sudah menyelesaikannya dari beberapa waktu lalu, namun entah kenapa sampai sekarang ia belum juga kembali.
Pemuda yang disapa 'Alfred' itu menghembuskan nafasnya. "Aku mau sushi," Ujarnya pada Kiku Honda, teman serumahnya. "Aku sudah bisa menebaknya dari dua menit yang lalu, Alfred-san,"
Keheningan kembali menyelimuti. Hanya bunyi lembaran plastik gulungan sushi yang terdengar saat itu. Kiku sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Hampir setiap hari Senin Alfred murung. Mungkin, ia fobia pada hari senin.
Sepiring sushi ia taruh diatas meja. "Kau hanya membuat seporsi?" Ujar Alfred, heran. Tapi Kiku lebih heran lagi. "Bukannya biasanya kau tak berselera makan di pagi hari Senin? Kukira tadi kau mau sushi itu hanya bercanda, Alfred-san," Dugaannya salah.
Kemurungan Alfred semakin menjadi-jadi. Ia meninggalkan meja, Kiku, dan sushi-nya yang baru matang. Makanan itu tampak lezat, namun jadi menyebalkan bagi Alfred. Yah, semua hal yang ada di hari Senin itu menyebalkan—setidaknya menurut pemuda bermata azure itu.
.
Suara gebrakan pintu terdengar dari atas. Kiku menghela nafas pelan. Pemuda itu memang harus bersabar tinggal bersama seorang yang temperamental dan moody.
Tapi, hari ini pasti ada yang tidak biasa. Alfred kerap marah karena hal-hal sepele seperti tugas kuliah atau bahkan dietnya yang selalu gagal. Namun kemarahan itu tak terasa aneh seperti ini—kau tahu, matanya bengkak dan wajahnya pucat pasi. Semalaman ini pasti ia menangis sendirian di kamarnya.
.
Pemuda sembilan belas tahun itu membanting tubuhnya sendiri ke kasur. Hamparan selimut yang lembut dan empuk mengingatkannya kepada seseorang yang dahulu, sampai sekarang, dicintainya. Sebenarnya yang membuat dada pemuda itu sesak bukanlah cinta, melainkan rasa rindu dan cemas yang sampai sekarang membakar hatinya.
"Apakah kau masih mengingatku?" Ia berucap pelan. "Dekapan di tanggal 4 Juli, 4 tahun yang lalu itu belum hilang dari benakku, sayang."
Air mata membasahi kain yang menjadi alas kepala Alfred. Sebuah tempat bersandar yang telah lama hilang, kini malah digantikan oleh bantal dan selimut. Tragis memang, namun itulah sebuah kenyataan.
Pemuda itu memejamkan matanya, mencoba mengulang kembali semua kenangan yang ada. Hangat sentuhan seorang Ivan Braginsky yang memabukkannya, erat genggaman yang menenggelamkannya dalam kebahagiaan.
Namun semua itu sirna setelah dua tahun bersama.
Di hari keberangkatannya, Ivan berpesan sesuatu kepada Alfred, yang ia cintai mati-matian.
"Bila 'ku tak kembali, jangan salahkan Tuhan melainkan takdir. Ya tebya lyubyu, Alfred F. Jones."
Air mata mengalir lagi, namun mata biru itu hanyalah tak bisa terpejam—ia takut kegelapan akan menelan semua yang ada di kepalanya. Sekarang ia tersadar, cinta yang selama ini ia tunggu mungkin saja takkan kembali ke rengkuhannya.
Namun ia terbangun, menasihati dirinya sendiri. Ungkapan seperti "Aku ini seorang hero!" atau "Aku tak boleh menangis!" terus terucap dari bibirnya—namun tak sebutirpun air mata yang berhenti membasahi pipi pucatnya.
Andai saja waktu bisa terulang, itu yang ada di pikirannya. Akalnya seakan buntu, kehilangan seseorang yang kau cintai bukanlah hal mudah bahkan untuk sekedar kau pungkiri. Enam tahun mengenal seorang yang kau tahu hampir mendekati sempurna, bukan pekerjaan mudah untuk melupakannya begitu saja. Namun waktu terus bergulir, dan pada akhirnya semua orang akan hilang bersamanya.
.
Alfred menyeka air matanya berkali-kali sampai pipinya memerah karena tangannya yang sedikit kasar. Ia tak menyemangati dirinya sendiri—memang percuma kalau ia bahkan tak mendengarkan kata hatinya sendiri. Hati nurani yang sudah terlalu tumpul—seharusnya ia melupakan Ivan saja.
Pemuda itu menuruni tangga dengan seronok, membuat Kiku dan seorang temannya terheran-heran. Namun tak hanya mereka yang heran—Alfred F. Jones, yang telah membuat keributan hanya dengan menuruni tangga, terkejut dengan keberadaan teman rekan sekamarnya itu.
Ia berusaha menyembunyikan rasa kagetnya. Pemuda yang terduduk didepannya itu bukanlah seseorang yang benar-benar asing—orang itu bahkan sudah memiliki nomor ponselnya disaat Alfred tak memiliki nomor ponsel orang itu.
.
"Hai," Orang itu menyapa Alfred seraya tersenyum. Arthur Kirkland, 18 tahun, yang diam-diam mendambakan Alfred.
.
.
.
to be continued
HAAAAAAAIIIIII READERS! :3 *kuroakane digebuk*
Ini FF pertama saya disini, jadi mohon bimbingan para sesepuh (?) yang lebih ngerti tentang tempat ini (?). Kritik dan saran dibutuhkan, jangan jadi silent reader yaaawww! :3
- kuroakane
