Disclaimer: Naruto©Masashi Kishimoto

Genre: Romance

Pair: Madara Uchiha x Hinata Hyuga

Rate: T

Warning: AU, OOC, Typo, gaje. Bagi yang tidak suka pair ini harap menekan tombol back.

.

.

Note:

"Bla bla bla" = Speak

'Bla bla bla' = Inner

.

.

Don't Like, Don't Read

.

~~* Hinata Uchiha? *~~

Happy Reading

.

.

.

Chapter 1

"Hah, akhirnya.."

Pria bersurai hitam panjang meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku akibat duduk berjam-jam mengerjakan proposal dan berkas-berkas lainnya.

"Hm, hujan?"

Ia menatap jendela ruangannya yang sudah basah. Ia sama sekali tidak sadar kalau diluar tengah hujan lebat dengan angin cukup kencang. Pantas saja AC diruangan terasa sangat dingin dibanding biasanya.

Pria itu berjalan menuju elevator, tidak ada siapapun disana. Jelas saja, ini baru jam 4 pagi. Mana ada pegawai yang datang di pagi buta seperti ini?

Madara Uchiha, nama si pria bersurai hitam panjang nan workaholic tersebut.

Ting..

Pintu elevator terbuka, ia melangkah masuk dan menekan tombol dengan huruf B. Lambat, ia merasa elevator itu berjalan pelan. Tubuhnya sudah sangat lelah dan kedinginan. Ia ingin segera sampai mobil kemudian pulang kerumah.

Pintu elevator kembali terbuka, hanya sebuah mobil sport berwarna hitam yang terlihat beberapa meter dari sana. Dengan sisa tenaga yang dimiliki pria tampan itu berjalan menuju mobilnya.

Ia masuk kedalam mobil. Hawa dingin terasa menusuk kulit. Ia memutar kunci dan menstarter mobilnya. Ia butuh sesuatu yang hangat untuk tubuhnya yang terasa hampir membeku.

Langit masih gelap, hanya ada beberapa anak muda yang masih asik berkumpul di depan toko yang masih tutup. Meski jalan sepi, ia tidak ingin mengemudikan mobil dengan kecepatan diatas normal. Ia harus tetap fokus pada jalanan yang basah akibat hujan yang masih mengguyur dini hari.

Tiba-tiba ia melihat sesuatu yang membuatnya cukup terkejut. Tubuh seorang perempuan yang tertelungkup di pinggir jalan yang terbilang sepi dengan keadaan basah kuyup. Spontan, Madara menginjak rem dan berhenti.

Tanpa ragu ia menghampiri tubuh tersebut. 'Semoga saja bukan korban asusila atau yang lebih buruk lagi'

Madara membalikkan tubuh perempuan itu kemudian ia baringkan dipangkuannya. Tubuh dan wajahnya nampak pucat serta bibirnya berwarna kebiruan akibat kedinginan.

Dalam hati ia menilai wajah gadis yang ia perkirakan berusia sekitar 18an itu. Rambutnya berwarna entah ungu atau hitam karena basah oleh air hujan.

Ketika kedua iris hitamnya menurunkan pandangannya, dapat ia lihat gadis itu memiliki ehm dada yang besar dan tubuh yang sintal.

"Ughh,,"

Tiba-tiba kelopak mata sang gadis terbuka perlahan, menampakkan iris berwarna lavender yang indah. Madara terpana dengan hal tersebut. Rasa lelah ditubuhnya mendadak lenyap.

"A-anda,,,"

Baru saja mengucap satu kata dengan lirih, gadis itu kembali terpejam. Madara segera menggendong tubuh gadis itu dan membawanya kedalam mobil. Kini rasa dingin serasa menusuk tulangnya, bajunya pun basah kuyup akibat hujan.

Madara bukanlah orang yang mudah menolong orang lain. Ia tidak jahat, hanya lebih selektif dalam berbagai hal. Gadis ini memang asing dan belum jelas asal-usulnya, tapi wajah lugu dan cantik gadis itulah yang membuat rasa kemanusiaannya tergerak.

.

.

Sesampainya dirumah, ia merebahkan gadis itu di sofa ruang tamu, lalu mengambil bathrobe bersih dari lemari. Dengan hati-hati ia membuka mini dress yang dipakai gadis itu. Syukurlah, gadis itu mengenakan kamisol dan celana stretch pendek didalamnya.

Ia memakaikan bathrobe pada tubuh gadis tersebut. Kulitnya sangat dingin dan pucat. Madara merasa iba melihat sang gadis yang entah terlelap atau pingsan. Bagaimana bisa seorang gadis sepertinya sampai pingsan ditengah hujan seperti itu? Pria itu penasaran.

Ia kembali menggendong sang gadis dan merebahkan tubuhnya di atas kasur miliknya. Kenapa ia membawa gadis itu ke kamarnya? Sebab kamar lainnya sangat berantakan dan bisa dibilang belum layak huni.

Ia mengambil selimut dari lemari pakiannya dan menyelimuti tubuh sang gadis yang masih terasa dingin.

'Sepertinya butuh lebih dari sekedar selimut untuk menghangatkan tubuhnya. Bahkan pemanas dikamar ini sepertinya tidak cukup'

Madara menatap gadis itu, tiba-tiba rasa dingin kembali menyerangnya. Ia juga sedang kedinginan, bukan?

"Tidak ada pilihan lain" gumamnya seraya membuka seluruh pakaiannya yang basah. Lalu pria itu mengambil bathrobe miliknya dan memakainya. Ia cukup malas untuk mengambil pakaiannya di lemari.

Kemudian pria itu masuk dalam selimut dan ikut berbaring disana. Ia memeluk tubuh gadis asing yang terlelap disampingnya. Rasa kantuk langsung menyerangnya, kelopak matanya terasa semakin berat.

Samar-samar dalam setengah kesadarannya ia merasakan tubuhnya menghangat, seperti ada yang memeluknya.

.

.

.

"Ahh, a-aku dimana?"

Sang putri tidur sudah terbangun dengan berbagai pertanyaan di kepalanya. Ia menatap sekeliling dengan was-was. Ia semakin cemas ketika melihat tubuhnya terbalut bathrobe, bukan pakaian yang di kenakannya. Fikiran buruk mulai menguasainya.

"Kau sudah bangun rupanya"

Gadis itu terkejut mendengar suara lelaki menyapanya. Ia menoleh ke sisi kirinya dan mendapati seorang pria yang terlihat dewasa berambut hitam panjang berdiri disana.

"A-anda s-siapa?"

Madara menyunggingkan senyum yang membuat gadis itu merona.

'Pria tampan sepertinya nampaknya bukan orang yang jahat. Eh? Apa yang aku fikirkan!' Gadis itu mulai terpesona oleh ketampanan sang pria.

"Aku Madara. Aku menemukanmu pingsan di jalan dan membawamu kesini"

Gadis itu membulatkan bibirnya, ia mulai ingat apa yang terjadi meski samar.

"A-ari-gatou.."

Madara hanya mengangguk. Ia sedikit terganggu dengan cara bicara gadis itu.

'Gadis ini memang cantik, tapi cara bicaranya... Sayang sekali'

"A-ano, p-pakaianku, a-apa a-anda-"

"Ya, aku yang menggantinya. Tapi tenang saja, aku tidak melakukan hal lain. Kau bisa cek sendiri"

Madara memotong perkataan gadis itu, ia tidak sabar.

Gadis itu mengintip kedalam bathrobe-nya. Ia bersyukur Madara hanya menanggalkan baju luarnya saja. Ternyata Madara bukan orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Begitu fikirnya.

"Kau sudah percaya?" Gadis itu hanya mengangguk dengan canggung.

"Ayo kita sarapan bersama. Aku sudah menyiapkannya di meja makan" Madara keluar dari kamar dengan sang gadis mengekor dibelakangnya.

.

.

Sarapan telah mereka lakukan. Selama kegiatan berlangsung tidak ada sepatah katapun diantara mereka. Mungkin seperti itulah peraturan yang berlaku di rumah tersebut -fikir sang gadis.

"A-anda tinggal sendiri?" Hinata memberanikan diri. Ia sudah menelisik sekelilingnya dan tidak menemukan kehidupan lain selain dirinya dan pria tampan di sampingnya.

"Hm, seperti yang kau lihat" Madara menatapnya kemudian menyeruput kopi Americano kesukaannya.

Madara diam-diam bersyukur dalam hatinya, gadis itu tidak mengetahui kalau mereka tidur dikasur yang sama serta apa yang telah ia lakukan pada gadis tersebut -meskipun itu hanya sebuah pelukan- karena ia sudah bangun lebih dulu.

"Nah, sekarang bisa kau perkenalkan siapa namamu?"

"Na-namaku... H-Hinata"

"Hm.. Hinata ya? Lalu nama keluargamu?" Pria itu masih ingin tahu berasal dari keluarga mana gadis tersebut.

Maklum saja, ia seorang pria lajang yang memiliki harta melimpah. Siapa tahu gadis ini sedang berupaya mengeruk keuntungan darinya. Salahkan sinetron-sinetron yang selalu di tonton keponakannya -Itachi Uchiha- ketika di kantor.

"U-Uchiha" dusta Hinata.

Madara membelalakkan matanya. Bagaimana bisa gadis yang terlihat lugu dihadapannya ini mengaku-ngaku sebagai Uchiha? Berbagai asumsi memenuhi otak pria tampan tersebut.

'Apa yang gadis ini rencanakan? Sebegitu inginnya kah ia menjadi seorang Uchiha? Aku harus waspada. Tapi wajah gadis ini terlihat sangat lugu? Ah, aku harus tetap waspada!' Madara menatap tajam sang gadis yang nampak canggung dan lemah itu.

"Uchiha ya? Tidak ku sangka kau berasal dari keluarga pengusaha terkenal itu dan musuh bebuyutan keluargaku" kali ini Madara yang berdusta. Ia juga telah merencanakan sesuatu dengan cepat.

Hinata nampak terkejut. Gadis itu benar-benar tidak bisa menyembunyikan apa yang dirasakannya.

'Ah, gawat! Bagaimana ini!? Jadi pria ini adalah seorang Senju?!'

"Ja-jadi anda Ma-Madara Senju?" Madara mengangguk angkuh. Keringat dingin terasa mengalir di punggung gadis itu.

'Cih, Senju? Apa hanya nama Senju yang termasuk dalam daftar musuh Uchiha? Tapi tidak salah juga sih, Senju memang bisa dibilang Rival yang sebanding dengan Uchiha' inner Madara seraya menyilangkan kedua tangan di dadanya.

"Jadi apa yang kau lakukan dini hari di tengah hujan lebat seperti itu, Uchiha Hinata?"

Gadis itu menenggak ludah, ia cukup takut melihat Madara yang masih menatapnya tajam.

"A-aku k-kabur dari rumah" ucap Hinata dengan lirih dan wajah muram. Mendengar hal tersebut rasa iba kembali mencolek hatinya.

"Hm, kabur dari rumah? Uchiha sekali" cemooh Madara. Ia tidak menyangkal kalau itu salah satu sifat turun-temurun Uchiha yang memang keras kepala, kabur dari rumah. Ia juga pernah melakukan hal tersebut dulu sekali.

'Bahkan alasannya sangat tepat. Apa media memberitakan semua tentang Uchiha hingga sedetail itu? Tidak kusangka' Madara semakin kesal dengan ulah para kuli tinta dan media sosial yang selalu mengorek info mengenainya atau keluarganya.

"Ya a-aku se-benarnya diusir dari rumah... haha" Hinata memaksakan tawanya "Rasanya seperti cerita di sinetron"

Madara tak menyangka gadis itu juga penikmat sinetron seperti keponakannya. Ia berfikir kalau mereka berdua bertemu pasti suasananya akan seperti ibu-ibu komplek yang sedang berkumpul menceritakan serial india, apa namanya? Selatan? Uttaran?

"Sebenarnya aku tidak terlalu peduli bagaimana kau bisa diusir. Tapi setelah ini kau akan kemana?"

Hinata hanya tersenyum seraya menggeleng lemah.

"Aku tidak tahu. Mungkin aku akan mencoba ke tempat sanak saudaraku, walaupun kemungkinan mereka menerimaku sangat kecil. Aku hanya akan menjadi beban bagi mereka"

Tatapan gadis itu kosong. Madara mencoba menerka apa yang gadis itu lamunkan. Mungkin gadis itu memiliki jalan hidup yang berat.

"A-aku... aku.. t-tidak tahu harus kemana..." suara gadis itu bergetar menahan rasa sedih yang tengah melandanya.

Tiba-tiba sebuah telapak tangan terasa mengusap surai indigonya dengan lembut. Hal itu membuat Hinata merasa lebih tenang dan nyaman.

"Tidak perlu memaksakan diri" Madara masih mengusap kepala sang gadis. Tatapan matanya melembut.

"Seperti yang kau lihat, aku memang tinggal seorang diri. Bukan berarti aku kesepian dengan tinggal seorang diri. Hm, kau boleh tinggal disini untuk sementara waktu" Perlahan kabut diwajah gadis itu memudar.

Madara menarik tangannya yang sedari tadi berada dikepala gadis itu lalu menyilangkannya di dada.

"Apa kau sudah bekerja, Hinata?" Gadis itu menggeleng lemah.

"Aku baru saja tamat sekolah sebulan yang lalu"

"Hm, begitu ya. Bagaimana kalau kau bekerja disini?"

Hinata mengedip-ngedipkan kedua matanya, bingung. "Bekerja disini?"

"Ya. Kau akan bekerja disini mengurus rumahku. Dengan kata lain, menjadi pelayanku"

Kedua iris lavender itu membulat dan berbinar-binar. Ia tidak percaya.

"A-apa tidak masalah? A-aku takut keberadaanku hanya akan merepotkan anda, Se-Senju-sama"

"Entahlah? Kita lihat saja nanti. Ah ya, panggil aku Madara. Jangan memanggilku dengan nama itu" Hinata mengangguk walau dalam hati ia bertanya-tanya, 'kenapa ia tidak suka dipanggil dengan nama keluarganya?'

Madara bangun dari kursi, "Selamat datang dirumahku, Hinata. Kuharap kau melakukan pekerjaan dengan baik dan jangan berbuat hal yang mengecewakanku"

Madara kembali mengusap surai indigo itu. Tangannya reflek melakukan hal tersebut. Mungkin ia menyukai sensasi halus dari surai gadis tersebut.

Sedangkan Hinata menyunggingkan senyum lebar seraya menganggukan kepalanya. Ia sangat senang ada seseorang yang berbaik hati menerimanya.

Tanpa Hinata tahu, Madara merasakan sesuatu -yang sulit dijelaskan- pada dadanya ketika mengusap surai indigo halus itu.

.

.

.

Gadis cantik bersurai indigo telah selesai melakukan beberapa pekerjaanya. Ini adalah hari ke-2 nya ia tinggal disana.

Makanan sudah disiapkan, piring dan pakaian sudah selesai dicuci, lantai dan jendela-jendela juga sudah mengkilap. Ia tidak tahu harus mengerjakan apa lagi?

"O-ohayou, Ma-Madara-sama" ia melihat Madara keluar dari kamarnya dengan pakaian yang sudah rapi.

"Aa, ohayou, Hinata. Apa sarapan sudah siap?"

"Um, sudah ada di meja makan, Madara-sama" pria itu berjalan menuju meja makan dan sudah ada roti bakar serta segelas susu disana. Madara menyantap makanannya dengan lahap.

Hinata senang sang majikan tidak complain dengan sarapan ala kadarnya tersebut. Mulai sekarang ia bertekad untuk mengetahui makanan apa saja yang disukai dan tidak disukai majikannya itu.

"Kau tidak ikut makan, Hinata?" Madara baru menyadari sang gadis hanya berdiri memandanginya dengan tatapan intens. "Suman, karena terbiasa sendiri aku lupa menawarkanmu. Ayo duduk disini" Madara menepuk kursi disampingnya.

"Ti-tidak usah, Madara-sama"

"Sudah, duduk saja disini. Jangan membantah!" Hinata hanya mengangguk lalu duduk disamping sang majikan.

"Kau juga harus sarapan. Ini-" Madara terdiam. Terdengar suara tawa tertahan dari sampingnya.

Madara menatap sang gadis tajam. Hinata segera menghentikan tawanya.

"Go-gomen-nasai. A-aku sengaja membuatnya untuk anda saja, Madara-sama. Anda lebih membutuhkan sarapan dibandingkan aku"

"Cih, seharusnya kau katakan itu diawal" Madara menatap kesal piring yang tadinya berisi beberapa roti bakar -entah ia juga tidak ingat sudah berapa banyak memakannya?- wajahnya tampak merona karena malu.

Kemudian ia meminum segelas susu yang sudah disiapkan Hinata.

"Kau juga perlu sarapan, Hinata. Kau butuh tenaga untuk mengurus rumah ini. Aku tidak mau namaku terpampang di koran atau TV dengan headline Madara si Majikan kejam, tidak manusiawi, tidak memberikan makan pada pelayannya. Itu bisa menjatuhkan reputasiku"

Hinata kembali terkikik. Walaupun candaan itu terbilang garing tapi entah mengapa itu membuat hatinya senang.

"Anda terlalu berlebihan, Madara-sama. Aku akan sarapan setelah ini. Oh ya, anda belum mengenakan dasi. Boleh aku yang pasangkan?" Hinata melihat dasi yang masih terjulur di dadanya.

"Baiklah, silahkan" Madara memutar tubuhnya menghadap Hinata. Dengan posisi duduk seperti ini, Hinata tidak akan kesulitan memasangkan dasi untuknya.

Dengan sedikit gemetar jemari lentiknya memasangkan dasi berwarna dark blue itu. Jantungnya berdetak cepat. Ia dapat mencium dengan jelas aroma parfum yang dikenakan majikannya serta melihat dada bidang yang terbungkus kemeja berwarna biru muda dengan rapi.

Keadaan Madara tak berbeda jauh dengan gadis tersebut. Posisi hinata yang sedikit menunduk membuatnya dapat menghirup aroma mawar yang berasal dari rambut pelayannya. Tubuhnya terasa rileks dan perlahan ia mencondongkan tubuhnya.

Cup

Madara mengecup pucuk kepala Hinata kemudian membenamkan hidungnya disana serta menggenggam sejumput helaian indigo itu dengan lembut. Ia ingin menghirup lebih aroma dari shampoo yang gadis itu pakai.

Hinata terkejut dengan apa yang Madara lakukan. Untung saja pekerjaannya memasangkan dasi sudah selesai, sehingga ia tidak akan melakukan kesalahan akibat perbuatan Madara yang tiba-tiba.

Gadis itu tidak menolak atau berusaha menjauhkan tubuh pria yang tengah menciumi pucuk kepalanya. Tubuhnya serasa tak berdaya namun itu membuatnya nyaman.

"A-ano, Ma-Madara-sama. Se-sebaiknya anda segera berangkat" Hinata hanya bermaksud mengingatkan. Kemarin sang majikan mengatakan bahwa hari ini ada rapat penting dan ia tidak boleh terlambat.

"Ah, tentu saja. Aku tidak lupa dengan schedule-ku" Madara kembali mendaratkan kecupan, kali ini pada pony yang menutupi kening Hinata. Gadis itu hanya membulatkan matanya.

"Arigatou untuk sarapan dan dasinya, Hinata. Ittekimasu" pria itu berjalan menuju mobilnya, meninggalkan Hinata yang menatap sang majikan dari jendela seraya bergumam pelan.

"Aa, itterashai, Madara-sama"

Sepanjang perjalanan Madara tak henti-hentinya tersenyum. Moodnya sangat baik hari ini. Ia jadi tidak sabar untuk menyelesaikan segala urusannya dan kembali pulang. Ia hanya ingin menggoda gadis itu lagi karena entah mengapa ia merasa senang saat melakukannya.

Lain halnya dengan Hinata, ia mulai merasakan sesuatu yang berubah pada hatinya.

.

.

"Sudah jam segini Madara-sama belum juga pulang. Sedangkan pagi nanti ia harus kembali berangkat" Hinata menunggu kepulangan sang majikan. Sudah jam 12 malam tapi pria tampan itu belum juga datang.

"Aku tunggu sambil menonton tv saja agar tidak tertidur" Hinata menyalakan tv dan menemukan sebuah film yang nampaknya bergenre romance. Ia menonton film tersebut ditemani setoples camilan cinamon roll kesukaannya.

.

"Hahh, syukurlah bisa selesai lebih cepat" Madara melonggarkan dasi yang dipakainya. Waktu sudah menunjukkan jam 11.30 malam. Lebih cepat dari yang diperkirakannya memang. Ia merapikan dokumen-dokumen yang memenuhi mejanya dan bersiap untuk pulang kerumah.

"Hm, Hinata. Apa ia sudah tidur? Sudah beberapa hari ini aku pulang larut dan tidak disambut olehnya. Tapi kasihan juga jika ia harus menungguku semalaman" Madara merasa sedikit sepi ketika ia pulang tanpa sambutan sang pelayan.

Sudah 2 bulan gadis itu berada dirumahnya, mengisi hari-harinya yang datar dan kosong. Pria itu tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah 180 derajat.

.

"Tadaima" Madara masuk ke dalam rumahnya. Ia tahu ucapan salamnya tidak akan mendapat jawaban tapi karena sudah terbiasa jadi agak sulit untuk diubah. Saat ini waktu sudah menunjukkan jam 1 malam.

Ketika pria itu berjalan keruang tamu, sayup-sayup di dengarnya suara yang berasal dari ruang keluarga. Ia melihat tv yang masih menyala dan menampakkan adegan ketika si pria dan wanita sedang bercumbu dalam kamar.

"Tayangan tengah malam memang tidak baik untuk anak dibawah umur" gumam Madara seraya mematikan tv. Lalu dilihatnya Hinata tengah tertidur pulas pada sofa dengan toples -yang isinya sudah separuh- dalam pelukannya. Apa Hinata bermaksud menunggunya?

"Hinata,,, bangun,,," pria itu menepuk pelan pipi sang gadis.

Nihil. Gadis itu masih dalam alam bawah sadarnya.

"Hinata, jangan tidur disini. Bangunlah" Madara kembali menepuk pipi gadis tersebut sedikit lebih keras.

"Ngghh... ja-jangan..." igau Hinata dalam tidurnya.

Madara melongo. Apa yang sedang gadis ini mimpikan? Tiba-tiba ide jahil terbersit di kepala pria tampan itu.

"Hei, Hinata. Apanya yang jangan" ucap Madara tepat ditelinga pelayannya dengan suara yang sengaja dibuat se-sexy mungkin seraya membelai wajah mulus gadis tersebut.

"A-ah, ja-jangan, Ma-Madara-sama"

Bukan main kagetnya pria Uchiha tersebut. Jadi Hinata memimpikan dirinya?

"Jangan apa, Hinata?" Lagi. Madara melancarkan aksinya. Kali ini seraya mengusap pucuk kepala sang pelayan.

"Ngghh, jangan men-ciumi ahh le-herku" Hinata mendesah disela igauannya. Benar-benar membuat pria Uchiha tersebut mematung.

Blink-blink

Madara mengedipkan mata.

Gadis yang terlihat lugu ini ternyata memimpikan hal eechi dengan dirinya? Kini Madara yang malah terpancing berkat fikirannya.

Tuk

Madara menyentil dahi sang pelayan yang masih belum juga sadar.

"Aw,," Hinata bangun seraya mengelus dahinya. Ia melihat Madara berdiri disampingnya dengan tatapan tajam serta tangan yang dilipat didada.

"Ma-Madara-sama. Okaeri. Sumimasen aku malah tertidur disini" jelas Hinata dengan wajah yang masih mengantuk.

"Jadi kau menungguku pulang, Hinata?" Gadis itu mengangguk. Ada rasa senang dalam hati pria tersebut. Ia jadi merasa bersalah sudah menyentil dahi pelayannya.

"Arigatou, Hinata. Tapi sebaiknya jangan memaksakan diri. Aku masih harus pulang larut hingga beberapa hari ke depan" Madara menepuk pelan kepala Hinata.

"Anda juga jangan terlalu memaksakan diri, Madara-sama. Bagaimana kalau anda sakit nanti?" Hinata sangat khawatir dengan kondisi majikannya.

"Tenang saja. Kalau aku sakit kan ada kau yang mengurusiku" Madara menatap Hinata seraya tersenyum sangat manis. Hinata dapat merasakan wajahnya memanas. Dilihat dari sudut manapun pria itu terlihat tampan.

"Oh ya. Apa yang tadi kau mimpikan, Hinata?" Gadis itu terkejut. Kenapa Madara mempertanyakan mimpinya?

"E-eh, bu-bukan apa-apa, Madara-sama" Hinata terlihat panik.

"Benarkah? Sepertinya aku mendengar kau menyebut namaku. Apa yang aku lakukan di mimpimu?" Madara semakin menggoda gadis tersebut.

Betapa malunya Hinata saat ini. Ternyata Madara mendengar igauannya.

"Ti-tidak. A-ano, aku permisi ke kamar, Madara-sama" Gadis itu segera berlari ke kamarnya meninggalkan Madara yang masih terdiam disana.

"Kau semakin membuatku tertarik, Hinata" gumam Madara lalu berjalan menuju kamarnya.

Sementara itu Hinata di dalam kamarnya hanya bisa terduduk lemas di lantai. Ia sangat malu Madara mengetahui dirinya yang memimpikan pria tersebut.

.

.

"Ohayou, Madara-sama" sapa gadis bersurai indigo ketika melihat Madara keluar dari kamarnya.

"Ohayou, Hinata" balas Madara seraya menepuk pelan kepala Hinata lalu berjalan keruang makan. Sang pelayan mengekor dibelakang majikannya dengan wajah yang nampak menyimpan sesuatu.

"Ada apa, Hinata? Katakan saja" ucap Madara seraya melumuri pan cake dengan madu. Hinata terkejut sang majikan selalu bisa mengetahui kalau ia memiliki hal untuk dibicarakan. Sepertinya Madara memang memiliki kekuatan cenayang -itulah fikiran sang gadis.

"Ano, Ma-Madara-sama" Hinata meremas rok yang dikenakannya.

"Hm, doushita?" Madara menanggapinya dengan santai.

"Etto, bolehkah aku pergi ke pantai?" Ah gadis itu ingin ke pantai rupanya. Tunggu, pantai? Madara mulai penasaran.

"Pantai? Kapan?"

"Hari ini, Madara-sama" Madara menghentikan sejenak kegiatan sarapannya. Ia seperti memikirkan sesuatu.

"Apa kau ingin menemui seseorang, Hinata?" Madara menatap Hinata yang terlihat sedikit gugup.

"Tidak. Aku hanya ingin kesana, sudah lama aku tidak berlibur" Hinata sudah lebih rileks sekarang. Ia sangat berharap Madara mengizinkannya.

"Ah, jadi kau ingin liburan?" Hinata mengangguk dengan wajah berseri-seri.

"Sayangnya aku tidak mengizinkanmu" senyum berseri itu menghilang begitu saja menjadi wajah yang penuh kekecewaan.

"Ke-kenapa, Madara-sama?" Tanya gadis itu dengan suara bergetar. Kenapa sang majikan tidak mengizinkannya? Baru kali ini ia memohon izin bukan?

"Aku saja belum pernah berlibur selama ini, sedangkan kau baru 3 bulan bekerja disini sudah meminta liburan" alis Hinata berkedut. Terkadang pria itu cukup mengesalkan. Kalau tidak ingat siapa dirinya, sudah gadis itu pangkas habis surai panjangnya diam-diam menjadi botak.

'Itu kan salahmu sendiri' Hinata hanya bisa mengomel dalam hati.

"Baiklah kalau begitu, aku permisi" Hinata segera undur diri. Tidak ada gunanya juga ia berlama-lama disana. Ia tidak peduli jika Madara kesal dengan sikapnya.

'Ah gadis itu kesal. Aku juga tidak tega melihatnya sedih seperti tadi, tapi aku juga tidak bisa membiarkannya pergi. Bagaimana kalau ternyata ia tidak kembali kerumah ini?'

Berbagai dugaan muncul dalam fikiran pria tersebut. Diam-diam ia takut kehilangan sang pelayan yang selama ini menemaninya.

.

.

Hinata tengah membersihkan ruang tamu dengan vacuum cleaner ditangannya. Sebenarnya baru kemarin ia membersihkan ruang tamu dan seluruh ruangan dirumah ini tapi ia melakukannya lagi sebagai pelampiasan rasa sedihnya karena tidak diizinkan pergi ke pantai.

Jam sudah menunjukkan angka 1. Bila Madara mengizinkannya ia sudah berangkat saat ini. Menurut info yang didapatnya melalui internet, jarak dari rumah ini ke pantai memakan waktu sekitar 1 setengah jam.

"Hah,,," gadis itu menghela nafas.

"Jangan menghela nafas seperti itu, kebahagiaan akan menjauh darimu" Hinata segera memutar tubuh. Pria setinggi 179 cm itu sudah ada dibelakangnya.

"Ma-Madara-sama? Anda sudah pulang?" Hinata melihat Madara sudah melepas jasnya dan menenteng tas kerjanya.

"Hm, Kenapa? Kau tidak suka aku pulang cepat, Hinata?"

"A-ah bukan begitu. Okaeri, Madara-sama" Hinata segera berojigi pada majikannya. Madara mengusap surai indigonya seraya tersenyum.

"Ayo bersiap, kita pergi ke pantai" Hinata membulatkan mata, kedua tangannya sedang menutup mulutnya yang terbuka. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Be-benarkah, Madara-sama?" Pria itu mengangguk dengan senyum yang tersungging diwajahnya.

"Tapi, tidak masalah kan kalau aku juga ikut denganmu?" Madara menggaruk pipinya yang tidak gatal.

"Tentu saja! Aku sangat senang anda bisa menemani- ups!" Hinata segera menutup mulutnya. Ia merutuki mulutnya yang sudah keceplosan.

"Hoo, jadi kau berharap pergi bersamaku, Hinata?" Madara menunduk, mensejajarkan tingginya dengan Hinata seraya tersenyum miring.

"E-eh, etto, um iya" jawab sang gadis dengan malu-malu.

"Begitu ya" Madara kembali mengusap surai indigo pelayannya. "Ku kira kau ingin pergi dan tidak kembali" gumam pria itu dengan rasa lega.

"Eh? Maksud anda?" Hinata memiringkan kepala, ia tidak menangkap apa yang Madara ucapkan.

"Ah, tidak-tidak. Hora, cepatlah berkemas, aku juga akan bersiap-siap" Madara meninggalkan Hinata. Ia berjalan menuju kamarnya.

'Duhh bagaimana ini? Ayolah Hinata, ini hanya pergi ke pantai bukan kencan!' Hinata menepuk kedua pipinya seraya menggelengkan kepala.

.

.

Akhirnya mereka tiba di pantai. Pasangan majikan-pelayan itu mengambil tempat duduk dekat bibir pantai. Hinata lah yang memilih tempat tersebut. Dengan sangat antusias gadis itu mendudukkan diri di atas pasir seraya memandangi laut.

Madara hanya mengikuti kemauan gadis tersebut. Ia sangat penasaran, apa yang ingin gadis itu lakukan dipantai?

"Hm, hampir semua pengunjung disini adalah pasangan dan anak-anak muda" Madara menatap sekeliling. Kebanyakan pengunjung yang datang adalah para remaja bersama pasangannya.

"Mungkin mereka ingin melihat sunset, Madara-sama"

"Begitu ya. Jadi melihat sunset merupakan keinginan anak muda jaman sekarang ya?"

"Hihihi. Tidak begitu juga, Madara-sama. Tapi bisa juga seperti itu. Jaman sekarang ini banyak drama yang menampilkan scene sunset dan saat itu juga hero dan heroinnya bercium-" Hinata tidak melanjutkan ucapannya. Lagi-lagi ia merutuki mulutnya yang berbicara begitu saja.

'Baka! Apa yang sudah ku katakan!' Hinata melirik pria disampingnya dengan malu-malu. Madara nampak tersenyum, ia tahu apa yang hendak Hinata katakan.

"Ah, naruhoto. Memangnya harus menunggu sunset ya, jika ingin berciuman? Haha lucu sekali" Madara tertawa geli. Ia cukup heran dengan paham tersebut.

"Huh, jangan menertawakannya, Madara-sama. Saat sunset itu adalah saat-saat paling romantis" Hinata menggembungkan kedua pipinya. Ia kesal sang majikan ternyata tidak mengerti suasana romantis saat sunset.

"Aa, gomen-gomen. Hanya saja sejak kapan tradisi itu dimulai? Menurutku saat paling romantis itu adalah malam hari, ditambah langit yang penuh bintang" Madara tersenyum seraya mengacak rambut Hinata dengan gemas.

"Tidak ku sangka anda memiliki sisi romantis juga, Madara-sama" Hinata baru tahu majikannya memiliki selera yang bagus.

"Tentu saja. Memangnya aku ini diktator yang haus darah?"

"Um, habisnya anda terlihat seram, Madara-sama. Orang pasti mengira anda sosok yang selalu serius dan kejam" Hinata santai saja mengutarakan pendapatnya. Toh, ia tahu majikannya adalah sosok yang pekerja keras, perhatian dan hangat.

"Hoo, jadi selama ini kau menganggapku begitu, Hinata? Kalau begitu kau akan ku beri hukuman" Madara menunjukkan seringaiannya. Hinata sedikit takut melihat ekspresi majikannya bak rubah yang hendak menerkam anak ayam.

"Su-sumimasen, Madara-sama. Aku tidak bermaksud seperti itu" cicit Hinata ketika Madara mendekatinya perlahan.

Dan yang terjadi selanjutnya adalah Hinata yang di kelitiki habis-habisan oleh majikannya. Terkadang Madara bisa kekanakan juga.

"Ahahaha! Yamette kudasai. Madara-sama, perutku sakit! Ahahaha" seru Hinata yang sudah tidak kuat menahan geli. Tanpa sengaja Hinata menarik kerah T-shirt yang Madara kenakan. Pria itu jatuh diatas tubuh gadis tersebut dengan hidung yang hampir bersentuhan.

Lavender bertemu dengan onyx. Waktu pun terasa berhenti. Mereka nampaknya masih nyaman dengan posisi tersebut. Perlahan pria itu semakin mendekatkan wajahnya dengan mata terpejam.

Sadar dengan apa yang terjadi, Hinata segera bangkit dan sedikit menjauh dari Madara. Ia membelakangi pria tersebut, berusaha menenangkan detak jantungnya yang sangat kencang seperti hendak keluar. Madara pun tak jauh berbeda, ia menjadi salah tingkah.

"Hi-nata-"

"Ano, a-aku ingin membeli minuman. A-apa anda ingin menitip s-sesuatu, Madara-sama?" Hinata segera menyela, ia tidak ingin berlama-lama larut dalam situasi awkward tersebut.

"Biar aku yang membelinya, kau tunggu saja disini" Madara bangun seraya membersihkan pasir yang menempel pada celana denimnya.

"Eh? T-tapi-" Hinata reflek menoleh. Ia tidak ingin merepotkan tuannya.

"Kau disini saja, Hinata. Aku juga ingin membeli rokok, tidak baik bila kau yang membelikannya. Kau ingin minuman apa?" Tidak ada lagi ekspresi hendak membantah dari gadis bersurai indigo itu. Madara tersenyum tipis.

"Ah, sou ka. Etto, aku ingin es kelapa saja, Madara-sama. Sumimasen sudah merepotkan" Hinata menyerah. Ia tidak akan bisa membelikan rokok untuk sang majikan, seumur hidup gadis itu bahkan belum pernah menyentuh benda tersebut.

"Tidak apa, Hinata. Tetap disini, aku akan segera kembali" Madara mengusap pucuk kepala Hinata kemudian berlalu meninggalkannya sendirian disana.

"Kami-sama, apa yang akan terjadi bila aku tidak menghindarinya?" Gumam Hinata seraya menangkupkan kedua telapak tangan di dadanya.

"Hinata? Kau kah itu? Siapa yang kau hindari?" Suara itu sangat familiar ditelinganya. Dengan gugup gadis itu memberanikan diri menoleh kesamping kirinya. Yap, ia sangat terkejut. Seorang pemuda berambut kuning jabrik dengan iris sapphire berada disampingnya saat ini.

"Naruto-kun!"

Pemuda itu hanya menunjukkan cengiran lima jari andalannya.

"Ah ternyata benar kau Hinata. Aku tidak menyangka kau ada disini. Ku kira kau masih di Konoha" pemuda bernama Naruto itu terlihat sangat santai dan friendly seperti biasanya. Tidak ada yang berubah dari pemuda yang sudah lama di cintainya itu.

"Um, aku juga tidak menyangka akan bertemu Naruto-kun. Aku sudah beberapa bulan tinggal disini (Suna)" untuk pertama kalinya Hinata tidak tergagap saat berbicara. Naruto senang gadis itu sudah tidak takut atau gugup lagi saat bertatap muka dengan dirinya.

"Wah, kau sudah tidak gagap lagi Hinata! Hm, begitu ya. Jadi-"

"Sayang... disini kau rupanya" tiba-tiba gadis bersurai blonde panjang dengan model rambut yang mirip dengan Hinata menghampiri mereka kemudian bergelayut manja pada Naruto.

"Ah, Shion-chan. Gomen, habisnya kau tadi sedang asik selfie. Oh ya, kenalkan ini temanku sedari SD, Hinata Hyuga. Dan Hinata, ini Shion calon istriku" Naruto saling memperkenalkan kedua gadis yang tampak mirip tersebut.

Tanpa pemuda itu tahu gadis Hyuga itu merasa sedikit sedih.

"Ah, ha-halo. Senang bertemu denganmu" Hinata berusah memberikan senyum terbaiknya dan menjabat tangan gadis tersebut.

"Ah, sama-sama" Shion membalas jabatan tangan itu singkat, bahkan senyumnya sangat terlihat sekali dibuat-buat. Ia juga terlihat malas untuk bertatap muka dengan Hinata.

"Shion, jangan seperti itu" Naruto menegur kekasihnya yang terlihat sangat tidak ramah pada temannya.

"Apa yang salah, sayang? Aku sudah tersenyum dan berjabat tangan dengannya. Ah, Jadi kau ya gadis yang selalu menguntit calon suamiku sejak SD hingga saat ini? Bahkan kau mengikuti sampai kesini? Cih" gadis blonde itu melipat kedua tangan didada seraya menatap Hinata dengan tajam.

"Shion! Jaga ucapanmu! Hinata bukan orang seperti itu! Kau ini, bersikap baiklah pada teman-temanku. Hinata, tolong jangan di ambil hati. Shion sedang dalam masa menjelang itu, kau tahu kan perempuan" Naruto merasa sangat tidak enak pada gadis yang selalu baik dan tidak pernah marah pada siapa pun itu meski dirinya kerap di bully.

"Tidak apa, Naruto-kun. Aku bisa mengerti" Hinata masih tetap tersenyum dan hal itu membuat Shion semakin tidak senang.

"Cih, kau ini memang benar-benar-"

"Hime, maaf membuatmu menunggu. Ah apa mereka teman-temanmu?" Madara segera merangkul Hinata seraya mengecup pipi gadis tersebut.

"Jangan panggil aku dengan suffix-sama" bisik Madara yang nampaknya tidak diketahui oleh pasangan didepan mereka. Hinata hanya mengangguk.

"Sumimasen, anda siapa?" Naruto tidak terlalu menyukai pria tersebut. Pria itu terlihat sangat dewasa dan angkuh. Bagaimana bisa Hinata kenal pria tersebut?

"Jadi, kau belum menceritakannya, Hime? Perkenalkan aku adalah suaminya, Madara" pria itu tersenyum -yang Naruto lihat seperti senyuman evil. Bahkan ia merasa tangannya sedikit diremas ketika berjabat tangan dengan pria itu.

Sedangkan Shion melongo, ia tidak menyangka Hinata sudah menikah dan dengan pria yang sangat tampan seperti Madara. Tapi ia merasa tidak asing dengan pria berambut hitam panjang dihadapannya saat ini.

"Jadi kau adalah suami gadis ini? Benarkah itu, Hinata?" Shion masih tidak percaya.

"Ralat nona, ia bukan lagi seorang gadis. Hinata adalah istriku, wanita yang sangat berharga dalam hidupku"

Madara kembali merangkul pinggang ramping Hinata. Ia mencoba memberi dukungan mental pada gadis itu secara tidak langsung.

Lalu Hinata mengangguk,

"Kau bisa melihatnya sendiri Shion-san. Aku sudah menikah dengannya, dan dia memang suamiku" Hinata menggeggam tangan Madara yang melingkari pinggangnya. Rasanya sangat nyaman dan hangat.

"Menikah? Sejak kapan?! Kenapa kau tidak mengundangku dan yang lain? Ku kira kau menolak perjodohan itu?" Naruto frustasi dirinya tidak mengetahui hal tersebut. Dan kenapa pemuda itu harus frustasi?

"Sudah 3 bulan kami menikah dan tinggal disini, Naruto-kun. Aku memang menolak perjodohan itu karena aku mencintai Madara-kun. Kami menikah secara sederhana saja karena aku tidak terlalu suka pesta meriah" Hinata berhasil melakukan akting dengan sangat baik.

Dalam hati Madara sangat senang bila ucapan Hinata adalah tulus dari hatinya, tapi ia sadar kalau itu hanya akting belaka.

"A-ah sou ka. Kalau begitu selamat ya" Naruto nampak kikuk.

"Dimana kalian bertemu? Setahuku kau sangat menyukai Naruto? Bagaimana bisa kau mengatakan kau cinta pada suamimu ini?" Shion masih tidak percaya.

'Gadis yang merepotkan dan menyebalkan. Selera pemuda ini aneh sekali' Madara menatap tidak suka pada Shion.

Madara kemudian menatap Hinata, ia khawatir gadis itu tidak sanggup lagi menghadapi perempuan tersebut.

"Kami bertemu tidak sengaja di mall saat aku masih di Konoha. Madara-kun menolongku menangkap pejambret yang mengambil tas milikku. Sejak itu kami jadi sering bertemu dan saling menyukai"

Madara tidak menyangka gadis yang masih dalam rangkulannya sangat mahir mengarang cerita. Pasti gadis itu selalu mendapat nilai bagus saat pelajaran mengarang. Ah kenapa pria itu sempat-sempatnya berfikiran konyol?

"Wah, tidak ku sangka kisah kalian seperti drama di tv. Cukup romantis. Kurasa semua sudah cukup. Karena kau sudah menikah, jadi aku tidak perlu khawatir lagi Naruto akan tertarik padamu. Gomen ya Hinata"

Kali ini Shion tersenyum tulus meski ucapannya sedikit menyinggung. Tapi Hinata tidak mempedulikannya. Toh ia juga sudah merasa biasa saja dengan pemuda pecinta ramen tersebut. Hinata tersentak, sejak kapan ia merasa biasa saja pada Naruto?

"Tidak apa, Shion-san. Dulu aku memang menyukai Naruto-kun, tapi sebatas mengagumi, tidak lebih. Aku sangat kagum dengan semangat pantang menyerahnya dan sifatnya yang selalu ceria. Semoga kalian langgeng ya" Hinata terlihat sangat tulus mengatakan hal tersebut. Tapi Madara yakin itu adalah akting terbaik yang gadis itu lakukan.

"Jadi begitu ya. Gomen aku sudah salah sangka. Dasar Ino, sudah memberi info yang tidak valid!" Gerutu Shion ditengah ucapannya. Ternyata Ino yang memberitahu hal tersebut. Pantas saja sangat akurat, begitulah fikir Hinata.

"Arigatou, Hinata. Aku akan mengundang kalian di hari pernikahanku. Akan ku kabari lagi nanti tanggal dan bulannya" Shion bersikap sangat baik sekarang. Ia tidak lagi menganggap Hinata sebagai rival.

"Kalau begitu kami permisi. Jaa, Hinata, Madara" kedua orang itu hanya mengangguk seraya membalas lambaian tangan Naruto dan Shion yang berjalan meninggalkan mereka.

Hinata menghela nafas lega sepeninggal dua sejoli tersebut.

"Hari yang berat ya" Madara sudah melepas rangkulannya. Entah mengapa hal itu membuat Hinata merasa kosong.

"Ya, begitulah" Hinata kembali duduk diatas pasir, diikuti Madara yang juga duduk disampingnya.

"Ini, minumlah. Aku juga membeli yakisoba untukmu" Madara menyodorkan makanan dan minuman tersebut. Hinata menerima keduanya. Ia segera meminum es kelapa yang terasa segar ditenggorokannya.

"Ayo kita makan, Madara-sama" Hinata sudah memegang sumpit dan bersiap menyantap yakisoba tersebut. Tapi Madara tidak terlihat memegang sepiring yakisoba.

"Ano, dimana yakisoba milik anda, Madara-sama?" Madara hanya tersenyum seraya meminum es kelapa ditangannya. Hinata menelisik dan tidak menemukan tanda-tanda keberadaan yakisoba. Gadis itu membulatkan matanya.

"Jangan bilang anda hanya membeli ini untukku, Madara-sama!" Bukannya menjawab, Madara malah mengacak rambut Hinata.

"Kau ini, selain pandai berakting dan mengarang cerita, ternyata kau gadis yang cerewet juga ya" Hinata mengerucutkan bibirnya. Seenaknya saja pria itu mencap dirinya demikian.

"Aku tidak seperti itu, Madara-sama. Anda lah yang membuatku harus berbohong" protes Hinata yang membuat Madara malah tertawa.

"Tapi selanjutnya kan kau yang mengarang cerita, Hime. Ah iya, kemana embel-embel -kun yang tadi kau sebut?" Pria itu semakin menggoda Hinata. Jujur saja, dalam hati ia sangat suka dipanggil seperti itu oleh Hinata.

"Iya, iya, aku tahu. Bukannya anda juga yang menyuruhku untuk tidak memanggil dengan suffix -sama?" Madara diam. Gadis ini semakin pandai berbicara. Begitulah menurut Madara.

"Baiklah, aku lupa soal itu. Sudah makan dulu sana, kalau sudah dingin nanti tidak enak" Hinata sedikit terkikik lalu menyuapkan yakisoba pada mulutnya.

Madara menatapi Hinata yang asik menyantap makanannya. Merasa diperhatikan, Hinata kembali menoleh kesampingnya dan menemukan Madara menatapnya lekat.

'Kasihan sekali.. Sepertinya Madara-sama juga ingin makan yakisoba ini' gadis itu sedikit iba melihat tampang Madara seperti memelas. Hinata mengambil yakisoba dengan sumpitnya.

"Sumimasen, aku sudah egois. Silahkan dimakan, Madara-sama" Hinata menyodorkan sumpitnya ke depan mulut Madara. Pria itu segera membuka mulutnya dan melahap yakisoba tersebut.

"Hm, enak juga. Boleh aku minta lagi?" Hinata mengangguk, ia senang bisa makan bersama sang majikan.

'Akhirnya Hinata mau menyuapiku. Masa bodo kalau aku dianggap kekanakan' jadi itu maksud Madara hanya membeli 1 porsi saja. Namun sayang, Hinata bukannya menganggap Madara kekanakan tapi celamitan.

Setelah beberapa kali menyuapi sang majikan, Hinata menyadari sesuatu.

'Aku menyuapi Madara-sama dengan sumpit ini. Itu berarti, ciuman tidak langsung!' Hinata menatap bibir tipis Madara yang berminyak akibat yakisoba yang dimakannya. Sexy, itulah yang ada dibenaknya ketika iris lavendernya menangkap lidah pria itu menyapu bibirnya.

"Hinata, ada apa?" Madara khawatir melihat gadis itu tiba-tiba diam. Ia mengira Hinata masih memikirkan kejadian tadi.

"Ah, tidak apa, Madara-sama" kini giliran Hinata melahap yakisoba dengan sumpitnya. Tanpa Madara sadari, pipi gadis itu tampak merona.

"Kau masih memikirkan soal tadi? Jadi dia orang yang kau sukai?" Hinata terkejut Madara mengetahui hal tersebut.

"Tidak. Sungguh aku tidak sedang memikirkan itu. Aku memang menyukainya, tapi sekarang tidak lagi" Hinata pun bingung dengan perasaannya. Sejak kapan perasaannya berubah?

"Hn? Benarkah? Apa kau menyerah?"

"Entahlah. Aku juga tidak tahu. Mungkin iya, mungkin juga tidak" lavender itu menerawang laut yang mulai berwarna jingga.

"Jadi kau masih mengharapkan dia?" Rasa nyeri menyentil hatinya. Ia merasa tidak rela bila gadis itu masih mengejar bocah tadi.

"Aku tidak tahu..." mengerti gadis itu tidak ingin di interogasi lebih jauh, Madara kembali meminta Hinata menyuapi yakisoba yang tinggal sekali lahap tersebut. Acara makan bersama selesai.

"Wah, sudah hampir terbenam" seru Hinata dengan antusias. Madara yang sedang memeriksa ponselnya segera menatap ke arah yang Hinata tunjukkan.

Matahari berwarna jingga yang terlihat besar sudah mulai terbenam. Ia menengok sekeliling dan mendapati pasangan muda-mudi tengah merangkul pasangan mereka, malah ada yang sudah bersiap untuk berciuman.

Madara kembali menatap Hinata yang masih menatap sang surya dengan khusyuk. Ia memberanikan diri merangkul pundak gadis itu. Merasa pundaknya disentuh, Hinata menolehkan kepalanya dan melihat wajah Madara yang cukup dekat dengan wajahnya.

Sinar jingga membuat wajah pria itu nampak lebih tampan, begitupun sebaliknya. Wajah polos Hinata nampak cantik dan indah dimata pria itu.

Seperti ada gaya magnet, mereka berdua semakin dekat hingga hidung mereka saling bersentuhan. Hinata dan Madara saling memejamkan mata, tinggal sedikit lagi bibir mereka saling bersentuhan.

.

.

.

TBC

Hai... Haru's back. Kali ini gue coba bikin pair MadaHina. Mungkin ide cerita agak pasaran ya, tapi tetap aja gue publish. Haha.

Oh ya, ini udah suntingan ulang, jadi silahkan dibaca kembali ya.

Jangan tanya kenapa fic ini judulnya Hinata Uchiha, coz Haru juga bingung mau kasih judul apa. Hahaha.

Ditunggu review positifnya ya. Disini tidak menerima flame dalam bentuk apapun. Whatever you wanna say. Jangan terlalu dibawa serius apalagi dibawa perasaan. Hohoho. So, see you next... ;)