Tittle : Always, Luhan

Author : nebula

Length : Chaptered

Main Cast :

Luhan (GS)
Sehun

Summary :

Luhan seharusnya sadar, betapa pentingnya untuk selalu berkata cinta kepada orang yang dicintainya, seperti tidak akan ada lagi hari esok yang menjelang. Dan bahwa mungkin memang ada seseorang yang selalu menjadi sebagian jiwanya dan tentang seseorang yang selalu ia cintai-through times.

"Beri satu alasan kenapa kamu lebih memilih Sehun."
"Karena mungkin kami berjodoh."

This story based on Andi Eriawan novel, but this story is belong to me.

Dilarang keras mengcopy, memperbanyak, atau menyalin sebagian kecil, setengah atau keseluruhan dari ff ini tanpa seijin penulis.

.

Prolog : Selamat Ulang Tahun

Seorang lelaki paruh baya sedang berdiri di depan sebuah rumah yang cukup besar. Dia seorang kurir pengantar barang. Lelaki itu kembali memencet bel yang ada di samping pagar rumah. Tak lama, Luhan keluar dari dalam rumah dan buru-buru menghampirinya.

Tangan keriput kurir itu menyodorkan sebuah kotak kecil yang terbungkus kertas berwarna coklat. Dalam sepersekian detik, ada sesuatu yang menahan Luhan menerimanya. Ia mengenali tulisan tangan yang tertera di sana. Tulisan tangan Sehun. Ia yakin itu. Dan Luhan membutuhkan waktu agak lama untuk terus terpaku sampai kurir memaksanya agar segera membubuhkan paraf di surat tanda terima.

Luhan kembali masuk ke rumahnya. Ia masih mengamati kotak kecil yang sekarang ada di tangannya. Pikirannya entah menerawang kemana. Ibunya yang sudah menjelang lima puluh tahun muncul di beranda, tepat saat Luhan masuk. "Paket dari siapa?"

Luhan tidak segera menjawab. Lututnya bergetar. Cepat – cepat ia menyandarkan punggung ke pagar agar tidak jatuh. Tangannya sedikit lemas memegang paket itu. "Dari Sehun," jawab Luhan lirih.

Ibunya menatap haru. "Anak itu belum menyerah juga. Dia masih ingat hari ulang tahun kamu. Buka kadonya di dalam, Lu."

Ia menggeleng lemah. "Tidak, Eomma," ujarnya setelah berhasil menguasai diri. "Sebaiknya Luhan segera berangkat. Sudah jam sembilan."

Dalam beberapa menit, Luhan sudah mengemudikan mobil putihnya, melintasi jalanan kota Seoul yang padat. Beberapa kali ia melirik ke bangku kiri. Berarti sudah lima bulan berlalu sejak ia berusaha menghindari Sehun, pikirnya. Dan hampir sebulan setelah lelaki itu berdiri di pintu rumah, memohon untuk bertemu. Kemudian tidak ada kabar lagi sampai paket tersebut datang di hari ulang tahunnya yang ke duapuluh lima.

Ponsel di dalam tasnya berdering. "Halo, Baek. Aku sedang perjalanan ke sana." Lalu ia putuskan telepon tanpa memberi kesempatan teman kantornya itu berbicara. Beberapa detik, ponselnya berdering lagi. Masih atas nama Baekhyun. Segera Luhan menghentikan laju mobil di tepi jalan.

"Luhan?" terdengar suara Baekhyun di ponsel.

"Ya."

"Aku cuma mau bilang selamat ulang tahun."

"Thank's, Baek. Maaf, tadi aku sedang menyetir."

"Kau baik-baik saja?" tanya Baekhyun dengan nada cemas. "Suaramu terdengar aneh."

"Aku... flu," bohongnya.

"Kalau begitu, kamu tidak usah masuk hari ini. Istirahat saja di rumah. Biar aku yang bilang ke Pak Kim kalau kamu lagi sakit."

Luhan menimbang-nimbang. Pikirannya memang sedang tidak menentu saat ini. "Tapi bagaimana dengan presentasi nanti siang? Aku sampai telat pergi gara-gara menyiapkan bahan-bahannya."

"Biar aku sama Chanyeol yang tangani. Lagian, aku tidak mau tertular olehmu," ujar teman kantornya itu diiringi tawa kecil. "Bye."

Meski pembicaraan telh selesai, Luhan tidak segera melajukan kembali mobilnya. Ia pun belum memutuskan untuk pulang ke rumah atau tidak. Diliriknya lagi paket itu. Agak lama, baru ia mengalihkan pandangannya ke arah depan. Ia memutuskan untuk akan mengembalikannya saja.

Mobilnya berbelok perlahan memasuki jalan yang sedikit lebih kecil dari jalanan utama. Belum apa-apa Luhan sudah menyesali keputusunnya pergi ke sana. Sejak beberapa bulan terakhir, ada perasaan tertekan setiap kali ia melewati jalan itu. Ia segera mengenakan kacamata hitam saat kafe milik lelaki itu semakin dekat.

Tapi hati Luhan langsung tercekat sesampainya di sana. Kafe itu bukan saja tidak buka. Papan reklame bertuliskan Luhan's Cafe tidak ada di tiangnya. Halamannya dipenuhi daun-daun yang menguning. Tak ada papan bertuliskan CLOSED yang seharusnya menempel di kaca pintu masuk kalau memang kafe itu sementara tutup. Tak ada siapa-siapa. Bahkan satpam yang biasa menjaga tempat ini tidak ada. Padahal Luhan bermaksud mengembalikan paket itu melalui dia.

Ia beranikan diri untuk turun dari mobil dan mendekati jendela. Lalu ia intip ruangan di dalamnya. Gelap, tapi dapat dipastikan bahwa ruangan itu kosong. Sama sekali tidak ada barang apapun di dalam. Meja dan bangku pun sepertinya sudah diangkut semua. luhan meraba kaca dan merasakan lapisan debu tipis di jarinya.

Dengan penuh tanda tanyadi kepala, ia kembali ke dalam mobil dan menatap paket itu. Mungkinkah semua jawaban ada di sana? Ia menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan semua keberanian. Dengan hati-hati, ia buka kertas cokelat pembungkusnya. Ternyata jam tangan cantik dan sepucuk surat tanpa sampul.

Jantungnya semakin berdebar. Ia buka lipatan kertas surat itu lebih dulu. Di muka tertulis tanggal 30 maret. Berarti Sehun menulisnya hampir sebulan lalu. Sambil bersandar pada kursi mobil, matanya menyapu seluruh halaman.

Seoul, 30 maret 2015

Luhan sayang,

Sudah lima bulan, dan kamu masih juga tidak memberi kabar.

Satu-satunya petunjuk bahwa kamu baik-baik saja adalah tidak adanya undangan untuk menghadiri pemakamanmu-meskipun aku tidak yakin bahwa kamu akan mengharapkan aku datang. Dan adakah kamu peduli tentang aku?

Sejak kamu pergi tanpa alasan dan penjelasan, segalanya hilang. Yang tersisa hanya kenangan kita, dan itu pun aku mulai tidak percaya. Satu per satu terlihat hitam putih. Tanpa warna. Tidak seperti waktu kita masih bersama.

Bahkan gemerisik daun di tengah malam tidak lagi membisikkan namamu. Bening air sungai tidak lagi mengingatkan aku pada biji matamu. Rintik hujan tidak lagi melagukan langkah kakimu. Dan wajahmu semakin samar di langit kamar. Tapi rindu terus menyiksa, tanpa tahu harus bagaimana.

Luhan sayang,

Aku tidak akan lagi bertanya-tanya tentang kabar atau pun alasan perpisahan kita. Aku lelah dan terluka. Apa yang pernah dan belum kita miliki telah aku anggap mati. Dan ternyata kamu keliru. Karena hingga malam ini, aku masih tidak mengerti.

Selamat ulang tahun...

-Sehun-


Pagi itu Luhan merasa tidak sanggup untuk bangkit dari ranjangnya. Matanya merah bukan saja karena tak bisa tidur, tapi juga karena tangisan yang tak bisa ia tahan semalaman. Tangannya masih menggenggam surat itu. Surat dari Sehun, mantan kekasihnya.

Kertas surat itu tampak lusuh seakan Luhan sudah membacanya ratusan kali. Ia tak menyangka akan mendapat dampak yang begitu dalam. Ia adalah gadis yang kuat. Setidaknya, begitulah penilaian orang-orang.

Sejak dulu Luhan tak pernah karut dalam kesedihan. Orang-orang yang mengenalnya hampir tak pernah mendapatkan ia meneteskan air mata. Kecuali saat kakenya meninggal dunia dua tahun yang lalu. Juga... saat ia mengira Sehun akan meninggalkannya delapan tahun yang lalu. Dan selama itu pula ia mengenal Sehun.

Luhan menundukkan kepala dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sekujur tubuhnya gemetar. Isak tangisnya kembali keluar.

Delapan tahun. Selama itukah ia mengenal lelaki itu? Kemana saja waktu berlalu?

Oh, Tuhan... jeritnya dalam hati.

Luhan membayangkan sosok Sehun sekarang, sosok yang takkan pernah terbayangkan sebelumnya. Isi surat itu menggambarkan dengan jelas bagaimana Sehun kehilangan dirinya. kehilangan yang begitu besar. Sosok lelaki periang yang memandang hidup begitu ringan itu kini tengah terluka, marah, dan berusaha keras menutupinya.

Rasa haru yang dalam terus menguasainya sejak kemarin. Luhan tak mampu lagi menahan gejolak di hatinya yang berbulan-bulan ini coba ia simpan. gejolak itu kini telah pecah keluar tidak tertahan seperti membanjiri paru-parunya. Untuk sesaat Luhan seperti sulit bernapas.

Bagaimana mungkin ia salah menilai tentang Sehun? Lelaki itu takkan pernah terluka oleh apapun dan siapapun. Luhan bahkan tidak pernah melihat Sehun berwajah murung selama ia mengenalnya. Sekali pun. Karena itu Luhan berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja saat ia memutuskan untuk meninggalkan Sehun setidaknya dirinyalah yang terluka, pikir Luhan. Sebab, ia sendiri tidak sanggup untuk menjelaskan semua.

Dan bagaimana mungkin ia salah menilai tentang dirinya? Bukankah sudah diputuskan untuk meninggalkan lelaki itu dan melupakannya? Tapi kini surat itu telah membuat Luhan ragu. Dan ia mulai bertanya-tanya, masih sanggupkah ia bersembunyi dari masalah ini, setelah selama berbulan-bulan berusaha mengurung hati dan perasaannya? Dan sekiranya ia memutuskan untuk kembali, masih maukah lelaki itu menerimanya apa adanya? Luhan tak tahu dan ingin mencari tahu.

TBC

Halo, readers! Saya balik dengan dengan ff baru. Maaf buat ff 'Denial'-nya belum bisa dilanjutin untuk sementara waktu. Soalnya, filenya keselip entah kemana. Mungkin ketumpuk file-file tugas akhir :' *lagi TA sempet-sempetnya bikin ff*

Sebagai gantinya, saya bikin ff yang baru ini. Semoga ff yang ini mengobati rasa kecewa kalian hehe.

Review, please! Kalo review nya banyak, fast update deh ^^