PROLOGUE
Aku tidak pernah menduga jika pada akhirnya akan seperti ini. Aku hanya seperti sesuatu yang amat bodoh dan mengharapkan sesuatu berakhir dengan bahagia. Namun untuk kali ini, kumohon untuk kali ini biarkan keegoisanku mengalahkan apa yang seharusnya telah ditakdirkan untukku. Aku berharap ada sebuah keajaiban yang dapat mengubahnya, tapi seberapa lamapun aku menunggu semua itu sepertinya sia-sia karena keajaiban tidak akan pernah ada...
Aku merebahkan tubuh di atas kasur. Pandanganku mengarah pada langit-langit kamar yang dicat putih pucat. Kejadian hari ini membuatku amat lelah. Semua orang di rumah menganggapku seperti boneka yang akan menuruti apapun yang mereka harapkan. Mereka selalu berfikir bahwa apa yang telah mereka tetapkan atas diriku adalah yang terbaik, namun mereka tidak pernah mau mengerti tentang perasaanku sesungguhnya setiap kali mentukan sesuatu.
Mungkin dulu aku bisa menerimanya dengan sangat lapang dada atas semua itu walaubagaimanapun juga, aku adalah seorang manusia, sesuatu yang benyawa, dan bukannya benda mati seperti boneka!
Mereka—kedua orang tuaku—menentuka sekolah yang menurut mereka baik, lalu peraturan dan bahkan mereka menentukan tentang siapa yang pantas atas diriku. Aku bukan boneka! Aku punya hati yang tidak bisa diatur. Namun mereka dengan seenaknya menetapkan semua itu tanpa mempedulikan hatiku yang hancur berkeping-keping. Terutama saat mereka akan menunangkanku dengan seseorang yang tidak aku kenal sama sekali saat aku berumur 8 tahun. Meskipun begitu aku tetap diam dan menurut tanpa membantah, itulah hal yang paling aku benci saat di mana aku tidak bisa menolak apa yang mereka tentukan terhadap diriku.
Terkadang aku lelah seperti ini. Aku bukan boneka, meskipun sekarang aku sudah berusia 17 tahun, aku dan tunanganku, Kamui Gakupo, jarang bertemu. Kami seperti bukan sepasang tunangan. Kami hanya bertemu sesekali, ketika kedua keluarga kami menghadiri pesta—orang tuaku dan Gakupo adalah teman lama sehingga mereka melibatkan kami berdua dalam tittle pertemanan itu—karena aku selalu berusaha untuk menghindarinya. Tapi sepertinya tidak demikian dengan Gakupo. Iaseolah menerima pertunangan itu dengan senang hati, aku tidak mengerti jalan pikiran laki-laki itu, kami tidak pernah berbicara banyak setiap kali kedua orang tua kami menyuruh untuk saling berbicara dan mengenal. Dan dari semua itu, hanya satu hal yang dapat kutahu pasti tentang diriya, Gakupo adalah seseorang yang licik! Aku tidak peduli akan hal itu. Toh, pada akhirnya suaraku tidak akan di dengar mereka sekalipun aku meronta untuk pembatalan pertunangan.
Aku tidak punya alasan kuat untuk dibatalkannya pertuangan. Dan aku tidak pernah mencintainya. Lalu apa yang harus kulakukan jika sampai pernikahan itu tiba, aku tetap tidak mencintainya?
Aku menghela nafas panjang kemudian bangun dari atas ranjang. Aku berjalah ke kursi di dekat jendela. Pandanganku mengarah ke luar dengan tatapan kososong. Ini adalah bulan Mei, di mana bungan sakura mulai berkembang penuh. Dari sini aku dapat melihat dengan jelas keindahan pohon-pohon sakura di sepanjang jalan yang sedang bermekaran.
Lalu saat itulah aku mendengarnya...
Perlahan, sebuah alunan nada lembut mulai terdengar. Nada itu terdengar sangat indah sehingga membuat kesadaranku kembali. Ini adalah suara biola yang dimainkan dengan sempurna, aku belum pernah mendengarnya, namun disela-sela nada itu seperti ada kesedihan. Siapa yang memainkan biola? Aku tidak pernah mendengar suara biola disekitar rumahku sebelumnya. Pandanganku mengarah berkeliling, mencari-cari orang yang memainkan lagu ini. Dari jarak yang tidak begitu jauh kedua bola mataku menangkap sosok seorang laki-laki tengah memainkan biolanya di bawah salah satu pohon sakura.
Ia seorang laki-laki yang seumuran denganku, ia memakai seragam dari salah satu sekolah menengah atas, tubuhnya kurus namun garis wajahnya yang tirus membuatnya terlihat tampan. Kedua matanya terpejam, menghayati setiap nada yang ia mainkan dangan biolanya. Aku memperhatikan laki-laki itu. Dan pada saat itulah aku merasakan sesuatu aneh yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Jantungku mulai berdebar sangat cepat saat laki-laki itu membuka kedua matanya, tepat saat lagu yang ia mainkan selesai. Ia menarik nafas panjang. Dari wajahnya tersirat sebuah kesedihan yang tidak aku mengerti.
Saat itu aku belum sadar tentang takdir apa yang akan menungguku di depan. Yang kutahu hanyalah, aku melihat laki-laki muda seusiaku dengan lagu indah dari biolanya. Tidak mengira bahwa hal tersebut akan menjadi kisah besar dalam kehidupanku. Aku bahkan sampai tidak mengira hidupku yang kelabu dan seperti boneka ini...untuk pertama kalinya akan melawan hanya karena lagu itu...
To be continue...
