"웃"
[ —please remember that every storms will end up with sunshines.]
Eyeshield 21 belongs to R. Inagaki and Y. Murata. I only own this story.
Warning!
OoC detected
Alternate Universe
1st Point of View (Kakei's PoV)
Typo(s) may be found
And others
Happy reading!
.
.
Tiga malam lagi menuju Christmas Eve.
Ya, waktu berjalan cepat tanpa kusadari. Atau aku terlalu sibuk dengan hidupku sebagai siswa SMA dan pelayan part time di sebuah café kecil di tengah kota. Padahal, aku seperti baru melewati musim panas dan menghabiskan libur musim panasku dengan datang ke kelas musim panas, jalur untuk memasuki universitas—bukan aku yang mau, aku termasuk salah satu dari tiga puluh siswa terbaik yang diharuskan ikut—dan juga bekerja di café ini.
Aku bersekolah di SMU Kyoshin. Aku adalah murid kelas tiga. Untuk membantu membiayai hidupku dan juga menabung untuk kuliahku nanti, aku pun bekerja paruh waktu di sebuah café kecil bernama Egao Café, dengan resiko harus pintar membagi waktu antara belajar dan bekerja. Karena aku sudah mulai bekerja sejak kelas dua, aku pun terbiasa membagi waktu dan memiliki jadwal yang padat tanpa harus membuat nilai menjadi jelek. Apalagi tahun ini aku akan menghadapi ujian kelulusan.
Meskipun sibuk dan melelahkan, aku menikmati kehidupanku sekarang, tapi memang tidak sebebas teman-temanku. Orang-orang banyak menilaiku sebagai sosok yang dingin dan tidak suka bergaul. Aku memang begitu, namun aku tetap memerhatikan sekelilingku, kok. Aku juga memiliki beberapa teman walaupun tidak begitu banyak. Dan aku tidak masalah dengan hal itu.
Lalu, kehidupanku di Egao, aku pun menikmatinya. Di sana hanya ada delapan orang termasuk aku. Tiga orang koki dan lima orang pelayan. Bahkan owner cafe itu pun ikutan bekerja. Selain itu, aku menjadi pekerja kedua paling muda di sini. Cafe ini mungkin agak spesial, karena prinsip cafe ini mirip dengan bimbingan konseling. Sebagai tempat makan sekaligus tempat konsultasi. Kalau kau memiliki masalah ketika datang ke cafe, pulang dari cafe kau harus melupakan masalah itu dan tersenyum. Egao sendiri artinya senyum. Jadi intinya, it's all about happiness.
Well, meskipun judulnya tersenyum, aku sendiri jarang tersenyum malah. Ada juga, sih, yang memiliki sifat dingin sepertiku. Dia adalah seseorang yang bekerja di dapur, seseorang yang sudah kuanggap kakak kandung, Taka Honjo. Karena kesamaan kami, kami pun menjadi dekat sendiri. Jika yang lain sibuk merusuh, kami berdua hanya duduk tenang dan memperhatikan.
"Kakei-kun." Sebuah suara yang sangat familiar membuatku kembali dari lamunanku ke dunia nyata. Pemilik suara itu juga menepuk bahuku, sehingga aku pun menoleh.
"Ayo pulang. Maaf sudah membuatmu menunggu lama," ujarnya sebelum aku sempat membalas sapaannya. Aku pun mengangguk dan berjalan mengikuti sosok 'ibu' bagi kami bertujuh—pegawai Egao—mengambil mantel yang tergantung di pojok belakang cafe. Dia adalah Haruto Sakuraba, salah satu pekerja yang memegang kasir di cafe ini.
"Niisan, bagaimana keadaan Takami niisan?" tanyaku begitu kami berdua sudah ada di luar dan Sakuraba sudah mengunci pintu masuk. Takami—Ichiro Takami—adalah pemilik Egao Cafe sekaligus 'ayah' bagi kami bertujuh. Kalau Sakuraba ibu kami, Takami-lah ayahnya. Yah, mereka berdua adalah pegawai paling tua dan mereka pun berpacaran, maka tidak ada salahnya, kan, kalau kami menganggap mereka sebagai orangtua? Haha.
"Dia mulai baikan sekarang. Aku kembali menginap di apartmennya malam ini. Dia memaksa masuk kerja besok," balas Sakuraba sambil tersenyum ringan. Takami memang absen sejak tiga hari yang lalu karena sakit demam, sehingga Sakuraba-lah yang memegang cafe sementara sekaligus merawat Takami di apartmennya.
"Semoga cepat sembuh," ujarku sambil memasukkan kedua tanganku di saku mantelku. Dingin sekali malam ini.
Sakuraba tertawa kecil. "Terima kasih, Kakei-kun."
Kami berdua berjalan menuju stasiun kereta. Kebetulan, apartmenku dengan apartmen Takami searah, jadi aku dan Sakuraba menaiki kereta yang sama. Lumayan, untuk teman mengobrol. Setidaknya, pukul sembilan malam di kereta ini tidak begitu sepi.
Setelah keretanya datang, kami pun naik dan tidak sulit bagi kami untuk menemukan tempat duduk di kereta.
"Kakei-kun." Sakuraba membuka topik lagi begitu kami sudah duduk dan kereta mulai melaju. "Apa kau masih ingat anak laki-laki bernama Takeru Yamato yang menjadi salah satu pengunjung yang rajin datang ke kafe?"
"Iya, masih," jawabku tanpa ragu. "Memang kenapa?"
Aku tidak mungkin melupakan si pengunjung itu. Anak laki-laki yang lima tahun di atasku itu datang di awal musim semi kemarin dan menghilang selama musim gugur, sampai sekarang. Padahal, harus kuakui, sih, dia itu sedikit menarik perhatianku. Sedikit, ya!
"Tadi siang saat aku memintamu belanja stok cokelat bersama Ikkyu, Yamato datang lagi. Dia bilang dia ingin menemuimu dan meminta maaf karena menghilang secara mendadak," balas Sakuraba. Anak laki-laki beriris emerald itu tersenyum jahil, dan aku pun menatapnya heran sekaligus agak malu. "Apa, Niisan?"
"Apa sesuatu terjadi di antara kalian, hm? Tampaknya Yamato ingin sekali bertemu denganmu. Namun sayangnya, dia tidak punya banyak waktu untuk menunggu. Katanya, ia harus membereskan apartmennya dan punya beberapa urusan lain." Sakuraba melanjutkan kata-katanya, lalu ia menepuk bahuku. "Tapi besok dia akan datang lagi, kok."
"Nggak ada apa-apa, sungguh," elakku sambil menggaruk pipiku yang tidak gatal. "Kenapa dia mencariku?"
Yaah, sesungguhnya, aku senang dia mencariku, sih. Sama sepertiku yang juga mencarinya diam-diam beberapa bulan yang lalu.
"Mana kutahu, Shun Kakei~" jawab Sakuraba sambil tertawa renyah. Ia menepuk bahuku lagi. "Besok, dia pasti datang, dan kau yang akan melayaninya. Oke?"
Meskipun masih bingung kenapa Yamato mencari dan kaget akan kemunculannya—hei, dia muncul lagi setelah hampir dua bulan pergi, aku pun mengiyakan saja.
Huft, jadi teringat waktu pertama kali bertemu di awal musim semi itu...
Ah, sudahlah! Untuk apa dipikirkan sekarang? Tidak ada gunanya menerka, ya kan? Just wait and let's see what will happen next.
Meskipun tidak bisa menahan rasa penasaran yang kerap muncul di otakku, aku hanya diam sambil mencoba menghangatkan diri dengan merapatkan mantel dan menyembunyikan tangan di saku mantel. Menunggu kereta ini berhenti, kemudian turun, lalu pulang ke apartmen, bersih-bersih, dan tentu saja tidur. Aku seketika merindukan kasurku.
.
Pukul delapan pagi, aku sudah berada di kafe. Kafe buka pukul sembilan, jadi aku datang sejam sebelum buka. Setiap liburan, aku memang sengaja datang pagi-pagi dan pulang malam saat kafe tutup, tidak sesuai shift saat hari biasa. Daripada berdiam diri tidak ada kerjaan selain belajar, mending aku bekerja sekaligus menghabiskan waktu dengan rekan-rekanku.
Aku mengedarkan pandanganku. Di dapur sudah ada Riku, anak laki-laki yang menjabat sebagai pegawai termuda di sini (umurnya berbeda satu tahun denganku), Sakuraba, lalu Takami yang sedang menata buku menu di luar, dan Heracles yang baru saja melepas mantelnya dan menggantung mantel miliknya di pojok ruangan. Sisa tiga orang lagi yang belum datang, yaitu Ikkyu, Taka, dan Akaba. Mungkin ketiganya akan datang sebentar lagi. Di antara kami, yang paling sering telat sebenarnya adalah Riku. Namun, hari ini agak sedikit berbeda. Dia lagi kesurupan sepertinya.
Aku pun melanjutkan kegiatanku menyapu lantai. Saat menyapu, aku jadi teringat kata-kata Sakuraba semalam saat di kereta. Mengenai orang yang bernama Takeru Yamato itu.
Hei, ini kali pertamaku memikirkan seseorang sampai semalaman begini! Padahal, Sakuraba hanya memberitahu tentang kedatangan anak itu ke kafe setelah beberapa bulan menghilang, tapi, kenapa aku harus kepikiran?
Hal yang tidak penting seharusnya tidak usah dipikirkan, Shun. Sekarang saatnya fokus, tidak usah memikirkan hal sekecil dan sesepele itu.
"Kakei-chan! Sini, biar aku yang menyapu." Heracles memanggilku seraya berjalan mendekatiku. Dia memang kadang suka memanggil orang dengan nama panggilan buatan. Dan panggilan 'Kakei-chan' itu mirip dengan panggilan sahabatku Mizumachi di sekolah. "Kau membereskan meja saja."
"Hai," ujarku sambil mengangguk patuh, lalu menyerahkan sapu kepada pemuda berbadan gemuk itu.
Sejam setelah kafe buka, kafe ini mulai diisi dengan beberapa pengunjung. Paling banyak adalah pegawai kantor yang mampir sebentar untuk sarapan dan minum kopi. Ada juga beberapa mahasiswa yang langsung membuka laptop di meja setelah memesan minuman. Aku mulai bertugas untuk mencatat menu dan memberikannya ke orang dapur bersama Akaba dan Heracles.
Semakin siang, di jam makan siang ini kafe tentunya menjadi lebih penuh. Kali ini, Takami pun sampai ikut melayani para pengunjung. Jam crowded ini sudah biasa bagiku, jadi aku tidak begitu linglung mengingat pesanan dan bolak-balik pantry untuk mengantar makanan dan minuman. Aku bisa merasakan badanku berkeringat sedikit meskipun hari ini dingin. Kesibukanku ini membuatku bisa menyingkirkan pikiran tentang Yamato itu. Yes, sekarang aku fokus dengan sendirinya.
Hari berganti menjadi sore. Kali ini tamu sudah tidak seramai barusan. Sakuraba menyuruhku untuk beristirahat dan makan siang yang telat di dapur dan hanya sedikit pegawai yang ditaruh di depan untuk jadi pelayan. Kami semua di sini diberi jatah makan siang gratis oleh Takami dan dimasakkan secara gratis pula oleh koki kebanggaan kami, Taka. Setiap kali aku datang ke dapur, tanpa aku pinta, ia langsung menyodorkan jatah makanku. Taka itu benar-benar bisa membaca pikiranku kurasa, tanpa perlu aku ataupun dia sama-sama bicara. Makanya aku menganggapnya seperti kakak kandungku sendiri. Jika aku punya kakak, aku ingin kakak yang seperti Taka. Tidak banyak omong namun kami tetap bisa kompak dan mengerti satu sama lain.
Saat aku menyantap makan siangku, aku kembali teringat dengan Yamato. Ah, inilah mengapa aku benci gabut. Aku pasti akan teringat tentang hal tidak penting yang sebelumnya kupikirkan. Kalau boleh jujur, aku sejak tadi menantikan kehadiran si Takeru Yamato yang katanya akan muncul lagi itu, namun dari pagi bahkan sampai jam segini, dia tidak muncul juga. Aku jadi tidak begitu menikmati makananku kali ini karena orang itu.
"Ada apa?" suara Taka memecah lamunanku. Aku agak bingung, sedikit mengernyit. Aku menatap punggungnya yang membelakangiku karena sedang mencuci piring.
"Ada apa apanya?"
"Kamu," jawabnya singkat. Mungkin takut aku tidak mengerti lagi, ia melanjutkan, "daritadi kamu makan sambil melamun, Kakei. Sambil melihat ke ruang tengah itu."
Masa? Aku sendiri tidak menyadarinya. Jadi dari tadi aku kelihatan seperti orang bego, ya.
"Nggak apa-apa," jawabku sambil kembali fokus kepada makananku. Sesaat sebelum aku menyuap nasi ke mulut, aku menambahkan. "Nggak penting juga."
"Ya sudah. Jangan melamun lagi. Aneh," balas Taka, kali ini ia sedang mengelap piring basah. Aku mengangguk meskipun dia tidak akan melihat. Itu caranya memberikan perhatian kepadaku, dan aku agak tersentuh dibuatnya. Mungkin karena aku tidak pernah merasakan punya kakak.
Setelah selesai menghabiskan makananku, aku pun kembali ke depan. Ada dua meja yang baru saja ditinggalkan oleh tamu yang sudah beres makan. Aku pun lantas membersihkan dan merapikan kembali meja tersebut, lalu Takami datang dan meminta tolong untuk mengecek stok bahan di gudang penyimpanan belakang. Sang 'Ayah' pun pamit pergi sebentar karena ada urusan. Aku pun mengangguk patuh dan segera melangkah menuju gudang. Begini nasibku dan Riku, paling sering disuruh-suruh karena berusia paling muda di antara yang lain dan sama-sama masih sekolah. Mungkin jika aku lulus nanti, aku juga lulus dari gelar pesuruh.
Meskipun begitu, aku menikmati saja diberi tugas-tugas lain. Ya, setidaknya aku punya pekerjaan untuk mengalihkan perhatian dan pikiranku yang ternyata sudah bermain trik kepadaku. Otakku membuatku merasa aku menunggu, padahal aku tidak!
.
"Psst! Shun Kakei!"
Suara Riku dan kehadiran orangnya yang muncul di pintu membuatku buyar. Aku sedang fokus menghitung stok bahan seperti yang Takami suruh, lalu siulan usil itu menghancurkan segalanya. Aku langsung berdecak dan menyipitkan mata menatap Riku, melempar tatapan sinis. "Aku sedang fokus menghitung dan kau menghancurkan semuanya. Aku nggak mau dengar yang nggak penting."
Riku masuk ke jajaran orang tukang bercanda di café ini bersama Heracles, Ikkyu, dan Sakuraba, ya meskipun bercandaannya tidak kelewat batas tapi aku kadang suka kesal dibuatnya. Malah Heracles bilang aku yang terlalu serius. Ada benarnya sih. Aku bukan orang yang suka membuang waktu untuk hal tidak berguna.
"Galak banget," cemooh Riku. "Itu, ada yang mencarimu."
Aku mengangkat satu alisku. "Siapa?"
"Kalau aku nggak salah ingat, tadi Sakuraba niisan bilang itu Takeru Yamato."
"HAH?"
Oke, Shun Kakei. What kind of reaction was that?
Aku langsung mengutuk diriku sendiri begitu Riku tertawa puas melihat reaksiku yang lebay. Anak berambut perak itu kembali memasang muka isengnya. "Cie cie, akhirnya dilamar."
"Dilamar kepalamu! Ngaco!" sentakku menahan malu, lalu membuang muka karena aku tahu pipiku memerah. Harga diriku akan jatuh bebas jika Riku menjadikanku bahan ejekan penghuni café selama seminggu. Bisa-bisanya mem-bully kakaknya sendiri. Sialan!
Setelah mengumpulkan keberanian dan membangun tameng agar aku tidak terlihat seperti gadis kasmaran yang dijemput pacarnya untuk kencan pertama, aku pun keluar dari gudang dan berjalan menuju ke dalam café. Aku bisa melihat dari jauh si Takeru Yamato Sialan itu duduk membelakangi arahku. Rambut liarnya yang familiar itu membuatku bisa menemukannya dengan mudah. Ketika jarak sudah semakin mengikis, entah kenapa dadaku berdegup kencang, membuatku kecewa berat kepada diriku sendiri. Kecewa kenapa aku harus deg-degan hanya karena bertemu Yamato setelah sekian lama tidak bertemu. Jangan sampai Riku tahu juga tentang fakta ini.
Saat aku berdiri di hadapan Yamato, laki-laki itu yang awalnya sedang fokus pada tab di tangannya mengalihkan pandangannya kepadaku. Ia menengadah, menatapku tepat di mata, lalu tersenyum 1000 watt. "Kakei-kun! Ayo duduk. Sudah lama sekali, ya!"
'Kamu yang kemana saja, Bodoh,' batinku membalas, sementara aku hanya mengangguk datar dan duduk di hadapannya. Aku bisa melihat Sakuraba dari kasir sana tersenyum penuh arti, bersama Heracles, juga Ikkyu yang berbisik-bisik kepada Heracles sambil melihat kepadaku. Aku jadi badut tontonan.
"Apa kabar?" tanya Yamato lagi, tidak luntur senyuman di wajahnya. Ia menyimpan tab-nya di meja, lalu tangannya diletakkan di meja. Badannya agak condong ke depan, ke arahku. Aku mendadak jadi gugup jika ditanya serius seperti ini. Yamato benar-benar ingin bertemu dan mengobrol denganku seperti yang dikatakan Sakuraba kemarin. Well, aku agak kagum juga karena ternyata dia tidak main-main.
"Baik-baik saja. Kau?" tanyaku berusaha terdengar biasa saja. Aku merasa seperti terkunci jika berpandangan seperti ini dengannya. Aku biasa dengan eye contact. Semua orang yang menatapku pasti segan karena katanya, tatapan mataku begitu tajam. Namun sepertinya dengan manusia ini jadi terbalik. Aku yang ingin mundur, Yamato malah mendominasi.
"Begitulah. Things happened," ujar Yamato, kemudian ia melanjutkan lagi kalimatnya. "Ada banyak yang ingin kuceritakan. Aku senang jika aku bicara denganmu."
"Ahaha," tawaku aneh. Iya, aneh. Aku tertawa sinis namun tidak ingin terdengar terlalu sinis, jadinya aneh. "Mendengarmu berceloteh seperti mendengarkan radio bagiku."
Yamato ikut terkekeh. "Kurang lebih seperti itu. Sebelumnya, kau pesan makan atau minum dulu. Aku traktir."
Aku pun menggeleng. "Nggak usah." Namun, Yamato mengintimidasiku lewat tatapan matanya. Akhirnya, aku pun mendesah pelan dan mengangguk. Lelaki berambut liar ini pun memanggil rekanku dan Ikkyu-lah yang dengan senang hati datang. Setelah memesan, kami pun kembali fokus ke pembicaraan kami.
Satu jam ke depan kuhabiskan dengan mendengarkan Yamato bercerita. Ingat tentang konsep café ini? Sekarang aku sedang menjalankan tugasku menjadi 'konselor' bagi manusia di hadapanku ini. Meskipun aku yakin dia sebelum dan sesudah mengunjungi café ini pasti tersenyum. Aku pun menikmati menjadi pendengar. Sudah tak kuhiraukan pandangan rekan-rekanku yang sedang meledekku dan mengirimkan sahutan 'cie-cie' jarak jauh. Mereka juga sudah capek sendiri mungkin.
Yamato bercerita apa yang dilakukannya selama menghilang kemarin. Ia kembali ke Amerika untuk menata kehidupannya. Terdengar berat, memang. Namun aku cukup maklum. Ia menceritakan tentang New York. Kami berdua memang sama-sama pernah tinggal di Negeri Paman Sam, jadi mengobrol tentang suasana dan keadaan di sana pun masih nyambung bagiku. Sebelum ia menghilang, kami—lebih tepatnya dia yang bercerita—banyak mengobrol tentang Amerika. Dan karena kami pernah melalui masa dimana kultur barat menjadi hal yang harus kami ikuti, Yamato menyuruhku untuk tidak memanggilnya dengan embel-embel niisan seperti yang kulakukan kepada kakak-kakakku di sini.
Aku terkejut ketika Yamato bercerita bahwa ia gagal menikah. Di umurnya sekarang, baru saja memasuki 24 tahun, memang tergolong muda. Namun, aku sendiri yakin bahwa ia sudah mapan secara mental maupun finansial. Meskipun bisa dibilang pernikahan ini berawal dari perjodohan. Ia dinikahkan dengan anak dari rekan ayahnya. Aku seperti mendengar cerita anak-anak konglomerat pewaris tunggal yang dijodohkan dengan anak sesama konglomerat untuk melanjutkan harta dan tahta. Dan memang ada di kehidupan nyata. Contohnya, orang di depanku ini.
"Aku sangat beruntung karena dijodohkan dengan gadis ini. Kami dulu teman masa kecil. Kami saling kenal dari masa dimana aku masih lebih pendek darinya karena dia puber duluan. Hahaha. Bisa dibilang, ia cinta pertamaku, Kakei-kun. Tapi, sejak SMA, dia ikut pindah ke Perth bersama orang tuanya. Dan aku bukan tipe yang bisa mempertahankan hubungan jarak jauh, jadi kulepas begitu saja."
Jika kebanyakan cerita di film menceritakan tentang dua orang yang saling benci namun dijodohkan lalu akhirnya saling jatuh cinta, aku setuju Yamato ini beruntung karena dijodohkan dengan cinta pertamanya sendiri. Kata orang, cinta pertama itu tidak terlupakan. Aku belum tahu jelasnya karena aku belum pernah benar-benar jatuh cinta kepada seseorang, sih.
Yamato menyesap americano-nya sebelum lanjut bercerita. Aku juga ikut meminum earl grey-ku karena selama ia bercerita, aku tidak sama sekali melakukan apa-apa karena terlalu fokus.
"Ketika SMA, aku bertemu dengan anak laki-laki ini. Dia mirip denganmu, persis. Long story short, yah kita menjalin hubungan. At that time, it feels amazing to fall for someone else. I never thought I can get rid of her but I did it. But I finally met that boy. And I love him. I do really love him." Ekspresi Yamato agak berubah sekilas. Meskipun masih tersenyum kecil di sela ceritanya, aku bisa melihat sisa kesedihan yang terpancar dari matanya. Aku menjadi mulai bersimpati.
"I may sound gloomy now, maaf ya. Nggak apa-apa, kan?" tanyanya. Aku menggeleng sambil tersenyum.
"It's okay. So, what happened?"
"Sampai akhirnya aku dijodohkan dengan gadis cinta pertamaku. I never expect I would be having a serious commitment with this boy. Aku sudah tahu sejak dulu jika nasibku akan berakhir di perjodohan konyol oleh orang tua untuk melanjutkan bisnis. Harta, tahta, and shits. Lulus kuliah aku masih bersama laki-laki ini. Aku sudah berpikir aku akan rebel saja dan memperjuangkan dia." Yamato tertawa, bukan tertawa karena lucu. Tapi itu suara tertawa penuh sesal seperti menertawakan hal bodoh yang telah dilakukannya. "But knowing that my future wife is my ex, my first love, I chose to marry her instead. Yep, Kakei-kun. I broke up with my boyfriend because I was gonna marry my ex. Funny, isn't it?"
Kepalaku kosong dan tidak terpikirkan apapun saat ini. Aku speechless, definitely. Mungkin sekarang ekspresiku seperti orang bodoh, bengong tidak percaya. Tapi aku tidak peduli. Aku lebih peduli cerita Yamato.
"Kalau boleh jujur, I couldn't chose. I loved them both. I was greedy. I admit that. But I chose to marry my ex because it's her. It's my first love. Siapa yang nggak senang mengetahui pasangan sehidup sematinya adalah cinta pertamanya sendiri. Gila, that was beyond awesome! Pada awalnya aku berpikir seperti itu. So, here is the worst part."
"Apa?" tanyaku spontan. Aku menjadi sangat antusias berikut gugup mendengar cerita cinta yang berat ini. Anak SMA yang sibuk belajar dan kerja sepertiku tidak bisa menempatkan diri berada di posisi yang sungguh rumit seperti dia.
"We were engaged. And knowing that she doesn't love me anymore hurts me. Imagine being married with someone who doesn't love you back. Dan ya, dia bilang dia nggak bisa lanjut. She chose another man. We are both supported by our parents yet we still can't make it. Jadi, pernikahanku gagal." Yamato menyandarkan punggungnya ke kursi kemudian menyilangkan tangan. Ia tersenyum menertawakan ekspresiku yang hampir melongo. Aku cepat-cepat mengatur ekspresi wajah. Saking terbawa suasana dan membayangkan kejadian dimana aku gagal menikah itu sungguh berat. Aku akan berhenti membayangkan itu untuk kontrol ekspresi wajah yang lebih baik.
"Speechless. That must be so hard for you," balasku sambil menggaruk pipi.
"Kau lucu ketika bengong begitu." Yamato tertawa lagi, ia menggelengkan kepala. "Kadang hidup lebih ribet dari drama. Gagal menikah itu sudah wajar. Tapi jangan sampai kau mengalaminya."
"Nggak kebayang," balasku singkat. "Mending nggak nikah, deh."
"Exactly."
Lalu, kami berdua diselimuti hening. Yamato meminum kembali kopinya yang sisa setengah dan sudah dingin, begitu pula dengan tehku. Hening yang seperti ini tidak masalah untukku. Rasa gugup tidak jelasku tadi menghilang ketika kami sudah mengobrol dan atmosfer di antara kami sudah sesantai ini. Aku nyaman seperti ini.
Tab Yamato yang diletakkan di atas meja tadi bergetar dan menampilkan sebuah notifikasi. Sang empunya pun meraih benda elektronik itu, membaca apapun itu yang ada di layar, lalu kembali menatapku. "Sebentar, ya. Ada yang harus ku-email. Tadi aku minta izin ke Sakuraba untuk meminjammu lebih lama. Untuk jadi konselor. Katanya boleh banget."
Aku tertawa pelan dan kaku, diam-diam berterimakasih kepada Sakuraba. Aku mencoba mengirim telepati kepadanya karena aku diizinkan tidak bekerja untuk melayani satu tamu yang baru patah hati ini.
Sambil menunggu Yamato dengan urusan pekerjaannya, aku menghabiskan tehku sambil menatap orang ini diam-diam. Sekarang, raut wajahnya menjadi serius. Dahinya berkerut. Jika sedang berpikir, tangan satunya memagut dagu. Sekarang fokusku pindah kepada penampilannya. Jujur saja, aku tadi menyimak ceritanya tanpa memperhatikan penampilannya. Kemeja hitam yang lengannya digulung sampai siku, celana jeans dengan warna sama, dan jam tangan Rolex yang tadi kulihat sekilas melingkar di pergelangan tangan kirinya. Lengannya terekspos menampilkan otot lengan yang bisa dibilang besar dan urat lengan yang samar. Kemejanya membingkai badan kekarnya dengan pas.
Oh, crap.
What the hell did I just stare at?
Aku menampar diriku sendiri, mentally. Hal memalukan adalah ketahuan sedang memperhatikan orang dengan begitu detail. Lagipula, untuk apa pula aku memperhatikan seintens itu! Semoga tidak ada yang melihat tatapanku tadi, Ya Tuhan. Apa lagi kalau yang melihatnya orang macam Riku, Heracles, Ikkyu… runtuh sudah harga diriku.
Butuh sepuluh menit sampai Yamato menyelesaikan urusannya di tab entah dengan siapa itu untuk akhirnya menegurku lagi dan berbicara. Ia meminta maaf karena memakan waktu cukup lama, meskipun tidak lama banget, sih. Orang ini memang bermulut manis sekali, ya. Belum lagi senyuman 1000 watt dan kata-kata yang keluar dari mulutnya terkesan absolut. Image seorang pewaris tunggal yang akhirnya menjabat sebagai CEO perusahaan ternama memang cocok untuk seorang Takeru Yamato.
"Kakei-kun, terima kasih, ya, sudah mau menemaniku," ujar Yamato di akhir pertemuan kami. Aku agak kecewa. "Oh ya, give me your number so I can catch you up later."
Yamato menyerahkan smartphone-nya agar aku mengetikkan nomorku di sana. Aku pun menurut, mendadak merasa senang dan seketika pula merasa aneh karena sudah senang diminta nomor telepon. Setelahnya, aku mengembalikan HP itu sambil tersenyum kecil.
"Thanks." Yamato mulai berdiri setelah memasukkan tab-nya ke dalam tas dan mengantongi HP di sakunya. Aku pun ikut berdiri. Aku menjadi pegawai paling tinggi di café, meskipun tinggiku dengan Takami dan Akaba sepantar beda satu senti. Tapi, Yamato lebih tinggi beberapa senti. Terbiasa selalu menjadi yang paling tinggi, aku merasa kecil di hadapannya.
"Oh, ya, malam natal nanti kosong, kan?" tanya Yamato sebelum benar-benar pamit pulang. Aku mengangguk sambil mengangkat sebelah alis. Di malam natal memang tidak ada yang spesial di keluargaku. Selesai gereja, pulang, makan malam, tidur. "Good. Aku mau mengajakmu makan malam berdua. Tidak ada penolakan."
Belum sempat aku merespon, Yamato sudah pamit duluan kepadaku. Mukanya tidak semurung tadi, sudah lebih cerah dan bersemangat meskipun ada gurat lelah. Ia juga pamit kepada Sakuraba di kasir dan rekanku yang lain. Aku berusaha tidak memperlihatkan bahwa aku excited diajak makan berdua. Setelah mengantarnya ke pintu, menyaksikannya melangkah menjauh dan masuk ke mobil, aku pun kembali ke meja kami dan kembali bertugas sebagai pekerja yang membersihkan meja. Dan begitu seterusnya sampai malam tiba dan café pun tutup.
Sadar tidak sadar, aku merasa aku benar-benar menantikan makan malam itu. Malam ini, aku seperti mendapat sesuatu yang baru. Aku merasa tidak sehampa sebelumnya. Tidak bohong bahwa aku merasa sedikiiiiiit kehilangan saat Yamato menghilang waktu itu. Kupikir itu karena aku kehilangan pengunjung yang biasa aku temani, makanya agak terasa sepi setelah dia tidak datang lagi ke sini.
Dan sekarang, kedatangannya membuatku menyadari bahwa aku memang merasa kehilangan Takeru Yamato selama ini.
.
—to be continued—
a/n
Oke.
EHEM
Setelah tiga tahun lebih maybe, guys, akhirnya YUNNA BALIK KAMPUUUUNNNNGGGGG!
Buat yang MUNGKIN kepo kemana aja yunna selama ini, karena aku selama heyatoz juga ga melancong ke fandom mana-mana, ya yaudah diam tanpa karya selama bertahun-tahun, jawabannya adalah MELANJUTKAN HIDUP AHAHHAAH.
Going through many hells, heartbreaks, dramas, dan tentunya sebagai pelajar yang disibukkan dengan tugas dan ujian sampai akhirnya aku sudah menamatkan 12 tahun sekolahku baru balik. Sekangen ini coy sama FESI GILAAAA. Pengen summon satu-satu authornya gila gila kangen :")
Apa kabar kalian? Gimana sekolah, kuliah, kerja, dan keluarganya? :")
Kalo kata The Script, memang I'm The (Wo)Man Who Can't Be Moved. Mungkin yang lain udah cabut dari sini, aku juga udah nemu fandomku yang lain, but still I always remember FESI karena… disinilah aku debut jadi author FFN. Aku tumbuh di sini, belajar banyak hal di sini, tua di sini juga anjir. Aku selalu ingat kalian lengkap dengan karya-karya kalian wahai ex author FESI. :3
Ini kebanyakan cincong gak sih
Yasudah intinya yunna balik kampung gais. Menyumbang fanfiksi lagi di sini biar ga tandus krik krik. Nostalgia sama Eyeshield 21 sama Bapak Inagaki dan Bapak Murata nya sekalian. Mencoba membuat Sena jadi tinggi, Hiruma jadi budak, Shin jadi youtubers, Agon bercucu, Taka cukur rambut, dan Clifford jadi bangsawan beneran.
Sampai jumpa di chapter depan ^_^
