Disclaimer: All characters, storyline, and dialouges belong to the original author. This author is in no way associated with the owners, creators, or producers of any media franchise. No copyright infringement is intended.
Sebastian menatap sosok di depannya dengan mata mengiba. Sosok itu, yang sebelumnya memancarkan kilau mata indah yang berwarna biru, kini terbujur kaku tak bernyawa. Sebastian ingin menangis, seandainya saja seorang iblis dapat menangis. Sayangnya, Tuhan begitu membenci para iblis hingga bahkan air mata tak ingin hinggap di sosoknya.
Ia mendesah, menggendong mayat tersebut dengan penuh kasih. Dulu, mayat ini dicintai, di peluk, di belai, dan disenangi. Sayang, sekarang, ia hanya berupa mayat yang terbujur kaku, tak lagi bernyawa dan bernafas. Sebastian mendesah, sembari melangkah ke arah taman belakang Phantomhive Manor.
Seandainya ia dapat mengulang waktu, ia ingin mendapat kembali satu jam yang lalu, satu jam saja. Ia ingin berada di samping sosok yang amat disayanginya itu, sosok bermata biru sedingin es, yang setiap hari selalu berdebat dan 'bermain' dengannya. Yang menjadi obat segala resah dan gundahnya.
Seandainya, Sebastian dapat memutar waktu.
Ia ingin menemani sosok bermata biru es itu menjalani detik-detik terakhir hidupnya, menemani perjuangannya menapaki nafas-nafas terakhirnya. Namun,ia tidak bisa. Sebagai butler dari Phantomhive Manor, ia tidak bisa meninggalkan tugasnya sedetik pun.
"Istirahatlah yang tenang di sana" ia selesai menguburkan sosok tersebut. Matanya dipenuhi dengan duka.
"Miaww"
Ah, anaknya. Anak dari sosok yang telah meninggalkan dunia ini, karena perjuangannya melahirkan anak-anaknya. Persalinan yang dibantu oleh Maylenne tadi malam, dan membuat tuan rumah mereka, Earl Phantomhive, berteriak-teriak sejak pagi.
"SEBASTIAN! SINGKIRKAN KUCING-KUCINGMU ITU DARI HADAPANKU!, SEKARANG!. YA, INI PERINTAH!"
suara Ciel Phantomhive menggema di udara.
"Yes, my Lord" adalah satu-satunya jawaban Sebastian. Apalagi? Kontrak sialan itu benar-benar telah menghabisi privasinya.
