Iris Karma menerawang jauh ke angkasa warna lembayung itu, menatap kebahagiaan dan kesedihan yang sudah menebas tahun – tahun terakhir yang tersisa bagi si setan merah itu.
"Nee~ ini aku, Apa kau mendengarku?"
Tangan karma menggenggam kertas yang tampak mulai lusuh karena peluh yang membasahi telapak tangannya. Dua iris merkurinya menatap kosong pada helaian – helaian perkamen itu.
"Ini kertas ulanganku, yang membuktikan aku lebih hebat darimu!"
Karma berteriak pada si langit lembayung, langit oranye indah dengan cahaya lemah yang menyusup di antara dedaunan dengan susah payah. Bibir Karma membentuk sebuah lengkung ejekan… namun hampa.
Kaki karma tergerak untuk berjalan ke bibir jurang, ditaruhnya kertas – kertas lusuh bersepuh tinta merah dengan nilai sempurna diatas pohon horizontal di bibir jurang itu, dimana dulu dia pernah melompat sekali dari sana. Tangannya sedikit gemetar karena metakarpal dan falanks – nya kaku, seperti ribuan bunga es mulai muncul dan membekukan tulang – tulang di tangannya itu. Tangannya terasa dingin, sedingin memori yang sudah lama tidak tersingkap meski jari jemari Karma pandai menari diatas kertas ulangan lusuh yang mengingatkannya akan gelora yang kini telah mati.
"Hei, Asano Gakushuu! Ini aku, Karma Akabane, Kekasihmu" ucapnya lagi, matanya berkilat menatap dalamnya jurang yang dulu sempat dia gunakan sebagai rencana dadakan. Sesaat, Karma merasa takut.
"Dan aku memanggilmu"
Angin membelai surai merahnya dan meniup kertas – kertas itu berhamburan kedalam jurang.
Kebahagiaan dan kesedihan sisa umur milik Karma, membawanya terbang dan terhempas bersama sinar lembut milik lembayung senja. Berdansa dengan jeli diiringi angin sepoi. Jari – jari angin itu menari mengelus surai Karma, menangkup pipinya dan mendekapnya erat tanpa berniat melepaskan si merah itu.
Setitik memori berjatuhan dari tetes bulir bening yang mengalir di pipinya, yang lalu menghilang terkikis angin sebelum mencapai tujuannya– kehangatan si lembayung yang mulai pudar. Sebuah lengkung indah menghias bibir Karma. Suci tanpa penyesalan. Karma merasa begitu ringan, terombang – ambing terbawa angin dalam alunan nada barritone si lembayung senja.
"Bawa aku bersamamu…"
Bibir telah mengucap, mata telah terbuka. Tak bisa Karma reguk kembali kesungguhannya. Kelopak yang terbuka itu menampakkan lensa emas penuh keyakinan, kesepian dan rindu yang teramat dalam. Karma menangkap sosok helaian senja yang ia rindukan, lensa sewarna Asteria yang ia dambakan. Tubuhnya menari – nari bersama sosok itu bagai daun kering yang tertiup angin. Karma tersenyum tulus dan kembali menutup kedua matanya.
"Gakushuu…"
Kebahagiaan di penghujung hidup Karma dan kesedihan di akhir – akhir hidupnya membuat pandai jari jemari Karma menangkap sosok itu dan mendekapnya erat. Noda merah bak tinta menyepuh tubuh mantan setan merah andalan kelas E itu bagai nilai sempurna di helaian perkamen persembahan Karma untuk Gakushuu– Langit lembayung senjanya.
Kini Karma tidak perlu meraung dan meminta agar cahaya redup itu kembali. Seingatnya, Gakushuu tidak pernah menoleh balik. Sama seperti saat anak tunggal kepala dewan itu memilih untuk melompat dari jurang di dekat kelas E, kan?
Sekarang, Gakushuu tidak perlu lagi berusaha melampaui Karma, Karena sekarang Karma yang berlari menyusulnya. Membuang harga dirinya tanpa menoleh kebelakang… persis dengan apa yang dilakukan Gakushuu setengah tahun lalu. Karma terus mengejar senja itu… dan akhirnya mendapatkannya. Tanpa peduli helai – helai langit musim panas yang menunggunya melupakan si lembayung senja– dan harus menangis pahit melihat si surai merah itu tenggelam dan memilih mengakhiri semuanya.
"KARMA – KUN!"
