Disclaimer : Aoyama gosho dan Masashi Kishimoto
Chapter 1
.
Shinichi Kudo merasa kalau hari ini merupakan hari yang terberat dalam hidupnya selama ini, dia mendengus dan merasakan kalau tubuhnya terasa begitu kaku. Dua kasus pembunuhan dan satu kasus penculikan dalam satu minggu benar-benar menguras tenaga dan pikirannya. Dia tak pernah merasa selelah ini. Bahkan setelah pembunuhnya tertangkap dan bajingan itu bahkan tersenyum dengan penuh kemenangan ketika polisi memborgolnya pergi. Shinichi hanya bisa menatap kepergiannya dengan tanpa ekpresi dan mungkin malah sedikit gusar—karena nyeri menyergap saraf otaknya, membuatnya berdenyut-denyut. Pembunuh dengan kecendrungan psikopat itu paling susah ditemukan. Mungkin karena mereka jenius, mengerti seluk beluk cara kerja polisi dan selalu selangkah lebih maju sehingga sulit ditemukan.
Dia tak pernah mengerti kenapa orang harus membunuh orang lainnya, apapun alasannya, moralnya tidak pernah mengizinkan hal itu terjadi. Manusia tidak berhak mengambil nyawa sesamanya.
Shinichi menatap kepulan asap di cangkir kertas kopinya. Dia baru saja membelinya di salah satu konter bandara. Satu minggu di New York seharusnya membuatnya senang karena bisa bertemu dengan orang tuanya tapi dia sama sekali tak punya waktu untuk itu. Ibunya bahkan merasa kesal karena tidak mendapat kesempatan berjumpa dengan putra satu-satunya sementara itu ayahnya seperti biasa selalu sibuk dengan deadline novel misterinya.
Kasus kali ini menyita waktunya terlalu banyak, sakit kepalanya berulang kali kambuh dan telepon-telepon dari Ran membuatnya tambah buruk. Suasananya hatinya tak bertambah baik walau dia telah memecahkan kasus yang membuat FBI kerepotan.
New York, kota yang tak pernah mati. Penyelidikannya meliputi banyak malam-malam panjang yang diselingi dengan hujan rintik berjam-jam, menginterogasi puluhan orang, mencermati tumpukan berkas berisi bukti diselingi berkeliaran di klub malam dan menyusuri gang-gang sempit tak berujung untuk mencari informasi bersama dengan tim FBI. Shuichi Akai banyak membantunya kali ini, mungkin semacam balas budi karena mereka bersama menumpas Black Organization bertahun-tahun lalu. Misteri dan pembunuhan selalu memicu rasa ingin tahunya. Bagi Shinichi, tak ada misteri yang tak terjawab. Selalu ada pemecahan untuk setiap teka-teki, kode, puzzle sesulit apapun itu.
"KRING… KRING…"
Shinichi menyambar ponsel dari kantongnya, alisnya berkerut ketika melihat nama di layarnya.
"Ya, Ran?" katanya dengan lelah.
"Kau butuh berapa hari lagi di New York, Shinichi?" suara Ran nyaring menggema di speaker. Ada nada tuduhan yang bisa dipersepsikan dengan sedikit ketidaksenangan di ucapannya.
"Kau tau kalau aku benar-benar sibuk seminggu ini dan aku akan pulang—," Shinichi melihat jam tangannya, "dalam beberapa jam lagi. Pesawatku akan terbang pukul sepuluh pagi nanti."
"Oke, hati-hati… Shinichi. I miss you…" ujarnya lembut.
"I miss you too…" Shinichi menutup ponselnya. kepalanya kembali berdenyut. Dia menekan kedua ujung jarinya di dahi, merasa lelah.
"KRING…KRING…"
Detektif itu kembali menyambar ponselnya untuk kedua kali, matanya sedikit membesar melihat nama penelepon.
"Ada apa, Akai?" tanyanya sedikit lebih bersemangat.
"Kudo, kau sedang berada dimana?"
"Bandara. Aku akan kembali ke Tokyo pukul sepuluh nanti." Matanya menatap sosok orang lalu-lalang tanpa tertarik. Suara keramaian mendengung di telinganya, membuatnya hilang konsentrasi sejenak.
"Kudo? Kau mendengar kata-kataku?" tanya Akai.
"Ah, ya. Bisa kau ulangi kata-katamu? Tadi sedikit bising dan aku tak bisa mendengar suaramu."
"Ada kasus baru masuk yang mungkin akan menarik perhatianmu dan ada sesuatu yang ingin kutanyakan nanti."
Shinichi tampak ragu sejenak tapi dia kemudian tersenyum, "Well, aku akan tiba di kantormu dalam satu jam."
"Dua kasus pembunuhan terjadi berturut-turut hanya dalam waktu seminggu. Mereka meninggal karena kehilangan darah. Liliana Maximova, 23 tahun, belum menikah dan terbunuh dengan lima tusukan. Yuriko Olivenko, 25 tahun, sedang dalam proses perceraian dan dibunuh dengan tujuh tusukan. Tusukan pada korban Yuriko yang terakhir begitu dalam hingga mengenai tulang. Bisa dipastikan pelaku dalam keadaan emosi kebencian yang memuncak. Senjata tidak ditemukan di lokasi kejadian. Diperkirakan merupakan pisau pemburu yang tajam. Panjang tiga puluh senti. Tim CSI sedang mencari sidik jari, DNA ataupun petunjuk yang tertinggal. Kedua korban memiliki rambut pirang strawberry yang panjang dan rambut korban digunting secara sembarangan." Shuichi Akai berkata dengan lambat dan penuh tekanan. Dia menatap Shinichi dengan pandangan tajam.
"Jadi tujuannya perempuan dengan kriteria rambut pirang strawberry tertentu. Bukankah warna rambut itu sangat jarang terlihat di tipe wanita asia kecuali blasteran," ujar Jodie sambil menyerahkan setumpuk berkas dan foto ke tangan Shinichi.
Shinichi mengambil salah satu foto dan merasakan ketakutan menyelinap di hatinya. Dia hanya mengenali satu orang yang memiliki warna rambut itu.
"Dimana semua korban ditemukan? Apa motif yang berhasil kalian gali selama ini?" tanya Shinichi sambil mengernyitkan alisnya. Dia meletakkan foto-foto itu kembali ke meja. Tak sanggup melihatnya lebih lama lagi. Setiap foto menampilkan pose wanita-wanita itu dari beberapa sisi. Yang terakhir sisa-sisa guntingan rambut korban bercampur dengan darah—membuat kekhawatiran Shinichi mencengkeramnya makin kuat.
"Semua korban ditemukan tewas di rumah masing-masing. Mereka tinggal sendirian saat kejadian terjadi. Kami telah menyebarkan peringatan untuk setiap wanita yang tinggal sendirian untuk berhati-hati terutama di kalangan wanita asia dan memiliki darah campuran," kata Andre Camel.
"Yuriko Olivenko ditemukan tetangganya karena seharian tidak keluar dari kamar. Korban selalu bekerja sebagai manajer di Debuss Ltd setiap hari sehingga ketika Olivenko tidak kelihatan di tempat kerjanya, sang manajer menelepon tetangga yang merupakan teman akrab korban. Walau keadaan apartemen korban letaknya sangat strategis tapi tidak ada saksi mata yang melihat orang tak dikenal keluar masuk. Bisa berarti sang pelaku telah mengenal suasana lingkungan tempat tinggal korban dengan baik," ujar Jodie dengan lancar, "Liliana Maximova telah mati lima jam sebelum ditemukan sepupu korban. Korban bekerja sebagai asisten dosen di Bradsrough University. Korban telah berjanji dengan sepupunya untuk berbelanja di Times dan dia tidak dapat dihubungi setelahnya sehingga sepupunya merasa khawatir. Peringatan telah disebar pagi ini lewat tv nasional untuk berhati-hati, "
Shuichi meneliti berkas di tangannya dengan cermat, lalu dia menggumam,
"New York kota yang besar, setiap orang tanpa diberi peringatan tentu akan berhati-hati karena pembunuh ini—berhasil masuk ke dalam rumah korban dengan begitu saja, berarti mereka percaya pada pembunuh. Pembunuhan biasanya menggunakan pisau itu melibatkan emosi dan kemarahan yang memuncak. Kadang merupakan pembunuhan tidak berencana… dan kemungkinan besar korban mengenali pembunuhnya. "
"Betul, Akai-san. Terutama wanita yang memiliki rambut pirang strawberry. Apa kesamaan kedua korban ini selain warna rambut?" tanya Camel.
"Mereka tidak saling mengenal satu sama lainnya. Liliana Maximova memiliki darah Jepang dari ibu, mereka pindah ke New York beberapa tahun lalu. Hidupnya normal, tak ada kejadian yang berarti. Sedangkan Yuriko Olivenko memiliki darah Jepang dari kakeknya. Wajah kedua korban mirip, sama-sama memiliki kecantikan yang khas—yang jarang dimiliki wanita asia umumnya. Yuriko Olivenko sedang menjalani sidang kedua perceraiannya, suami korban telah dihubungi tadi pagi dan sedang bersama tim FBI—"
"Haibara…" desis Shinichi tak sadar.
"Huh? Ya, betul. Dimana Haibara Ai atau Shiho Miyano sekarang?" tanya Jodie.
"Miyano," sahut Shinichi lagi dengan penuh tekanan, "M-miyano... Aku harus menelepon dia sekarang."
Shuichi dan Jodie bertukar pandang sejenak, lalu detektif FBI itu bersuara, "Ini yang ingin kutanyakan padamu. Terakhir aku bertemu dengan gadis itu saat penyerangan final black organization. Aku sudah lama tak mendengar kabar gadis itu, dia masih tetap tinggal di Tokyo bukan?"
"Tidak. Dia pindah bersama Hakase ke Los Angeles beberapa bulan lalu," Shinichi mengambil ponselnya dan segera mencari nama di deretan speed dial-nya. Nomor Shiho Miyano berada di deretan kedua speed dialnya setelah Ran.
"Dia pindah kesini, Kudo?" tanya Shuichi tajam. Ada gurat kecemasan yang muncul di raut wajahnya.
"Ya, dan aku sudah tidak meneleponnya paling tidak dua minggu. Terakhir aku bertemu dengan mereka saat baru pindah ke Los Angeles. Miyano selalu tidak ingin diganggu kalau dia sedang sibuk dengan pekerjaannya."
"Beritahui dia soal pembunuhan ini. Dia harus hati-hati," kata Jodie.
"Tidak ada nada sambung. Sial! Apa dia ganti nomor? Nomor Hakase juga tak bisa dihubungi." gumam Shinichi khawatir, jemarinya sibuk memencet layar ponselnya dengan cepat.
"Kau tau nomor telepon rumahnya di Los Angeles? Bukankah kau bilang dia tinggal bersama Professor Agasa?" desak Shuichi.
"Mereka belum memasang saluran telepon..."
"Alamat email atau orang lain yang bisa dihubungi untuk mengecek keadaan Miyano?" tanya Shuichi lagi.
"Kau tak melihat kalau aku sedang mengirim email padanya? Aku tak kenal siapapun kenalan Hakase atau Miyano di sana," kata Shinichi. Suaranya terdengar lebih tinggi, tangannya masih sibuk mengutak-atik ponselnya. Ada sepuluh email yang telah dikirimnya, delapan ke alamat email Miyano dan sisanya untuk Hakase.
Shuichi mengernyitkan alisnya, "Aku akan mencarinya langsung di Los Angeles. Aku harus memastikan kalau dia baik-baik saja. Berikan alamatnya padaku. Jodie, kau dan Camel memimpin tim dari sini. Aku tidak akan lama, mungkin besok aku sudah kembali disini. Penerbangan ke Los Angeles hanya beberapa jam saja dari sini." Dia kemudian sibuk mengambil berkas-berkas di tangannya dan membalik-balikannya.
"Aku ikut bersamamu, Akai." Gerakan Shuichi terhenti, dia mengangkat wajahnya menatap Shinichi lekat-lekat.
"Kudo, kau lebih baik bersama timku disini. Aku akan memberitahuimu tentang keadaan Miyano nanti." desis Shuichi.
"Tidak. Dua pembunuhan telah terjadi dan semua mengincar gadis blasteran berambut pirang strawberry. Kau pikir aku bisa tenang-tenang saja membiarkan hal itu terjadi?" bentak Shinichi kasar.
"Kudo, aku yang akan memastikan kalau Miyano baik-baik saja. Dia sepenuhnya akan berada di dalam pertanggungjawabanku," desis Shuichi lagi.
"Tidak. Aku ikut denganmu." Shinichi menatap Shuichi dengan penuh determinasi.
Udara terasa sesak sejenak, Jodie mengamati mereka berdua dengan menyipitkan matanya.
"Kalian buang waktu saja disini—aku akan memesankan tiket ke Los Angeles untuk kalian berdua malam ini," gumam Jodie sambil pergi keluar dari ruangan. Camel mengikutinya sambil mengepit berkas ditangannya.
Shuichi menghela nafas dan mengalihkan perhatiannya kembali pada berkas di mejanya. Disampingnya Shinichi sibuk menelepon nomor Miyano lagi dan mengirim email.
"Kenapa Miyano dan Hakase pindah ke Los Angeles?" tanya Shuichi. Dia sedang menyetir Chevrolet hitamnya menembus kegelapan malam. Dia dan Shinichi segera menyewa mobil begitu pesawat mereka menjejak tanah. Mereka bahkan belum sempat berganti pakaian dan hanya sempat membeli makanan di kios sepanjang perjalanan.
Shinichi yang sedang duduk disampingnya menoleh, "Miyano mendapat tawaran kerja di Hakuba Labs sebagai kepala riset. Hakase mengikutinya pindah ke Los Angeles."
"Kenapa tak ada orang yang memberitahuiku?" tanya Shuichi lagi. Dia terlihat kesal. Tangannya mencengkeram setir dengan begitu kuat, kakinya menginjak pedal untuk mempercepat tekanan.
"Kenapa kau tak bertanya langsung padanya?" Shinichi berbalik menghadapnya, tangannya masih sibuk memencet ponselnya.
"Dia tak akan memberitahuiku." Shuichi menipiskan bibirnya. Mata tajamnya tetap berkonsentrasi pada jalan didepannya.
"Apa dia tak ingin kau akan mencarinya?" Shinichi tersenyum kecil. Detektif FBI itu tak menjawab, alih-alih dia hanya menggertakkan giginya dan memaju mobilnya lebih cepat.
"KRING… KRING…" Shinichi menyambar ponselnya tanpa berpikir.
"SHINICHI. DIMANA KAU SEKARANG?"
"Ouch, Ran—aku…"
"Kau membuatku menunggu dua jam di bandara dengan cemas! DIMANA KAU SEKARANG?"
"A-ku sedang berada di Los Angeles… bersama Akai. Ada kasus pembunuhan mendadak dan aku harus mengikutinya…"
"Kenapa kau tak memberitahuku? Ponselmu bahkan tak bisa dihubungi berjam-jam, sampai ada yang memberitahuku kalau kau tidak jadi pulang ke sini. Kenapa, Shinichi? Kenapa kau selalu berbuat begini padaku?" tanya Ran. Nada suaranya begitu sedih dan rapuh.
"Maafkan aku, Ran. Aku tak bermaksud begitu, aku hanya—terlalu sibuk sehingga tidak sempat meneleponmu. Aku mematikan ponselku selama di pesawat. I'm so sorry, Ran…"
"TUT…TUT…"
"Sial." desis Shinichi sambil membanting handphonenya. Shuichi mengangkat alisnya, "Got trouble, Kudo?"
Shinichi menyenderkan tubuhnya yang terasa begitu lelah ke belakang jok. Matanya terpejam.
DOK… DOK…
Shuichi menggedor pintu dan Shinichi menekan tombol bel berulang kali. Rumah yang disewa Hakase merupakan rumah mungil di deretan jalan salah satu sudut Los Angeles yang ramai. Tapi saat itu keadaan rumahnya gelap gulita, tanpa ada sinar satupun yang kelihatan yang menunjukkan kalau ada penghuni.
"Miyano! Miyano!" seru Shinichi sambil ikut menggedor pintunya, "Hakase!"
Shuichi memperhatikan keadaan pintu dan jendela, matanya membesar ketika melihat ada sesuatu yang bergerak di bayangan jendela ruang yang sepertinya merupakan ruang keluarga.
"Hey, ada orang di rumah?" seru Shuichi. Dia menyiapkan kokangan pistolnya di sabuk celananya.
Lampu menyala. Langkah kaki mendekat. Dan pintu depan terbuka.
Seorang pria berusia kira-kira sekitar dua puluh tahunan dan berambut hitam acak-acakan muncul. Dia masih mengenakan baju singlet putih dan celana pendek yang menyembunyikan postur tubuh tegapnya.
"Ada apa? Siapa kalian?" tanyanya sambil mengernyitkan alis. Wajah tampan aristokratnya kelihatannya seperti baru bangun tidur—masih ada sisa-sisa kantuk yang membayangi.
"Kami mencari Miyano, apa dia berada disini?" tanya Shuichi tegas. Shinichi tak berbicara, dia hanya menatap pria itu dengan pandangan mata menusuk.
"Oh, Shiho? Kenapa malam-malam mencarinya, ada hal penting apa?" tanya pria itu sambil menyipitkan matanya menatap Shuichi dan Shinichi berganti-ganti.
"Uh, kami temannya dari Tokyo. Ya, Shiho Miyano. Kami ingin bicara dengannya," ujar Shuichi kalem. Padahal ketenangannya sudah mulai terusik dilihat dari nafas patah-patahnya.
Shinichi sebenarnya ingin segera masuk dan mencari Shiho di dalam ketika dia mendengar suara yang amat dikenalinya, "Kudo? Sedang apa kau disini?"
Ai Haibara atau sekarang yang lebih dikenal dengan Shiho Miyano berjalan mendekati pria itu dari belakang. Gadis itu mengenakan baju tidur satin yang menunjukkan lekuk tubuhnya dengan begitu jelas.
"Miyano? D-dimana Hakase?" tanya Shinichi gagap. Dia menatap Shiho dengan seksama, gadis itu juga sepertinya baru bangun tidur. Hatinya tak ingin percaya. Siapa pria ini. Siapa pria ini yang enak-enak menyandarkan tangannya pada pinggang gadis itu sekarang. Siapa pria yang sepertinya tinggal bersama Shiho dan tampak begitu akrab dengannya.
"Kudo, Hakase… dia sekarang sedang berada di New York—mengunjungi Fusae-san." Shiho melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya menatap Shinichi dan Shuichi dengan pandangan tanpa ekspresi. "Ada apa kalian berdua kemari malam-malam? Ada hal penting apa?"
"Siapa dia? Kenapa ponselmu tak bisa dihubungi?" tanya Shinichi, bibirnya sedikit bergetar menahan kemarahan. Entah kenapa amarahnya meluap lalu ditambah sakit kepalanya yang berdenyut dan reaksi Shiho yang acuh tak acuh.
"Apa maksudmu dengan dia? Ponselku hilang dua hari lalu." tanya Shiho sambil menaikkan alisnya.
"Dia bertanya tentang siapa aku, Shiho… aku Sasuke Uchiha—Shiho's fiancé."
Sasuke tersenyum menawan, menatap Shinichi dan Shuichi dengan tatapan menantang. Shiho meyodok perut Sasuke dengan lengannya, "Hey, aku belum bilang ya."
Shinichi tak berkata apa-apa, dia cuma menatap pasangan di depannya dengan pandangan menusuk.
"Uchiha-san, bagaimana kalau kita masuk dan bicara di dalam saja. Ada hal yang ingin kami bicarakan dengan Miyano," kata Shuichi tajam.
"Oh, baiklah." Sasuke membuka pintu lebih lebar dan membiarkan Shinichi dan Shuichi masuk ke dalam rumah. Shinichi berhenti sejenak di depan Shiho, memperhatikannya dengan seksama. Gadis itu tak berubah dari semenjak pertemuan mereka terakhir, sewaktu dia mengunjungi Hakase beberapa bulan lalu—kecuali rambutnya menjadi lebih panjang. "Kenapa aku tidak tau apa-apa tentang Uchiha ini?" bisiknya di telinga Shiho. Gadis itu balas berbisik, "Kalian pasti akan berteman baik nantinya."
"Hn." Desis Shinichi kesal sambil meninggalkan Shiho dan melenggang masuk ke dalam.
Shiho tersenyum samar dan menutup pintu.
.
.
.
tbc
A/N : Halo, gw harap kalian belum bosan sama gw karena gw muncul lagi dengan fic baru :)
Di fic ini gw menambahkan dua karakter baru dari Naruto-yang satu sudah muncul yaitu Sasuke dan ada satu tokoh pria lagi. Gw ragu antara menaruh ini di cross-over karena jelas-jelas dunia ninja Naruto dan Detective Conan itu sama sekali tidak berkaitan plus gw cuma menggunakan dua karakter dari Naruto saja, tapi jika kalian keberatan maka gw akan menaruhnya disana.
Fic ini juga kemungkinan besar akan menjadi M-Rated tergantung kemana cerita berkembang.
Thanks for reading.
PS : Seperti biasa OTP gw sepanjang masa, pairingnya tetap Shinichi/Shiho.
