Yoo Minna! Saya sengaja nambah fic baru nih. wkwkwkwwk habisnya saya bosen banget ngeliat fic saya sendiri. Jadi saya pengen tambah aja biar laen kali bisa nambah inspirasi.

Semoga gak ngebosenin ya... hehehe

Cerita ini baru aja kepikiran setelah saya sembuh dari sakit kemarin. Hehehehe... kayaknya saya pengen aja bikin cerita tentang dokter gitu.

DISCLAIMER : TITE KUBO

RATE : T

WARNING : OOC, AU, GAJE, MISSTYPO, Cerita pasaran dan mudah ketebak. Segala sesuatu yang ada dalam fic ini sama sekali tidak ada yang benar. semuanya hanya fiksi belaka dengan imajinasi indah saya.

ATTENTION : Fic ini adalah fiksi belaka. apabila ada kesamaan atau kemiripan di dalam fic atau cerita lain dalam bentuk apapun itu adalah tidak disengaja sama sekali.

.

.

.

Tubuh pria tampan itu dipukul sekencangnya dan dicabik-cabik tanpa ampun. Berkali-kali ditusukkan benda tajam hingga membuat lubang menganga di perutnya. Orang-orang brengsek itu tak menghentikan aksinya. Bahkan mereka tak puas melihat darah yang mengalir dari perut, dada, hingga kepala pria itu. Orang-orang yang tak dikenal itu mengarahkan benda tajam itu ke tubuh pria tampan itu. Mengoyak tubuhnya sampai memperlihatkan isi perutnya itu. Setelah puas mencabik-cabiknya, segerombolan orang menyeramkan itu pergi meninggalkan korbannya. Beberapa saat menahan dirinya, akhirnya pria berambut hitam itupun ambruk jatuh ke tanah.

"Kaien... dono...?"

Darah itu mengalir deras tanpa bisa berhenti sedikitpun. Mengalir bagai air sungai yang mengalir begitu deras seakan tak akan berhenti. Langit kelam yang seakan ikut menangis menyaksikan peristiwa berdarah itu. Gadis mungil berambut sehitam malam itu masih terpaku di tempatnya. Memeluk kencang seorang pria yang tak sadarkan diri. Tangan gadis mungil itu bergetar menyaksikan pakaian pria yang begitu disayanginya berubah menjadi warna merah pekat. Bahkan merah pekat itu sudah merembes ke baju tidurnya.

"Kaien... dono...?"

Masih gadis mungil itu memanggil pria yang dipeluknya kencang. Gadis itu hanya berharap suara lirihnya bisa terdengar ke telinga pria ini meski dia tahu, pria ini tak akan terdengar oleh pria ini lagi. Suaranya lirih dan tertelan oleh suara hujan. Begitu menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana peristiwa berdarah itu berlangsung tanpa bisa dicegah oleh siapapun. Dengan tangan gemetar, gadis bermata indah itu menyentuh wajah pucat milik pria berambut hitam ini. Tapi tidak... tangan mungilnya berhenti karena menyaksikan tangannya sendiri sudah berubah warna menjadi merah pekat. Air mata gadis cantik itu mengalir tanpa bisa dicegah. Sekarang gadis kecil itu berteriak sejadinya di tengah guyuran hujan itu. Berteriak kencang sampai tenggorokannya sakit. Lalu kemudian memeluk kencang lagi pria itu meski dia tahu mungkin... pria itu tak akan pernah bangun kembali.

"KAIEN DONOOOO!" jeritnya. Suara memilukan itu terus terdengar berharap langit akan mendengarkan jeritan hatinya.

Tak lama kemudian, gadis itu kembali melihat beberapa orang yang sempat membuatnya takut, gemetar dan penuh emosi. Perasaan itu bercampur aduk, tatkala beberapa orang pria tanpa dikenalnya membawa benda tumpul dan benda tajam bersiap menyerangnya kembali. Gadis itu masih terduduk di tanah lembab itu sambil mengeratkan kedua tangan mungilnya dipunggung pria tak sadarkan diri itu.

Bibirnya, suaranya, tangannya, tubuhnya... semuanya bergetar tanpa bisa dia cegah.

Tapi kemudian itu tak berlangsung lama...

Suara-suara memerintah datang. Serta cahaya yang menyilaukan mata membuat gadis itu memilih menutup matanya untuk tidak menatap langsung cahaya yang tiba-tiba datang itu. Begitu membuka matanya, gadis mungil itu berhenti bergetar. Di depannya sudah berdiri sosok orang yang akan melindunginya. Sambil mengangkat tubuh pria tampan yang tak sadarkan diri itu, sosok itu terus berusaha melindungi gadis bermata indah ini. Dan tak lama kemudian, gadis inipun ambruk.

Baru beberapa saat, gadis ini memejamkan mata, dia malah menyaksikan pria tampan yang bersimbah darah dalam pelukannya itu tak ada lagi di sampingnya.

Pria tampan dengan rambut hitam itu... sudah tak ada lagi.

.

.

*KIN*

.

.

Haahh... hhhh... hhaahhh...

Rukia terbangun dari tidurnya. Tubuhnya penuh peluh yang jatuh berbutir-butir dari keningnya. Karena refleksi cahaya terang dari kamarnya sendiri gadis bermata indah itu menutup matanya pelan. Memejamnya seketat mungkin sambil menggenggam ujung selimut di tangannya. Sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah menahan detak jantungnya yang tiba-tiba berpacu cepat. Berharap yang dilihatnya barusan adalah ilusi semata. Airmatanya turun tanpa bisa dicegah. Masih dengan tubuhnya yang bergetar, gadis itu bergerak dari futon-nya menuju lemari kecil di belakang tempat digelarnya futon-nya itu. Mencari-cari dengan gelisah tanpa sabar. Tangan mungilnya terus menjelajah laci tiap laci lemari kecil itu. Nafasnya kembali memburu tak beraturan. Kalau tidak ditemukan rasanya Rukia bisa mati.

Akhirnya... setelah mencarinya mati-matian, dia menemukan bungkusan plastik kecil yang berisi 2 atau 3 tablet berwarna pink pucat itu. Tanpa banyak berpikir, Rukia menelan semua tablet itu dengan paksa. Tanpa bantuan air minum. Tenggorokannya tiba-tiba terasa sesak dan pahit karena tablet itu. Tapi Rukia tetap memaksanya masuk ke dalam tenggorokannya.

Setelah yakin tablet itu masuk ke dalam tubuhnya, Rukia menyandarkan tubuhnya ke dinding kamarnya. Nafasnya sudah kembali stabil meski masih tersengal. Kalau saja tablet-tablet itu tidak ada, mungkin Rukia bisa menghancurkan rumahnya sendiri karena gelisah. Rukia mengangkat tangan mungilnya. Yah... tangannya masih bergetar.

Dengan satu tangannya lagi, Rukia menggenggam tangannya yang bergetar itu. Mencoba menghentikan tangannya yang bergetar tanpa henti itu.

Dadanya sesak. Ya sangat sesak.

Hatinya hancur. Ya sangat hancur.

Dirinya menderita. Ya sangat menderita.

Di malam itu, sekali lagi Rukia merasakan pilu yang amat luar biasa. Rukia menjambak rambutnya berkali-kali sampai melepaskan beberapa helai rambut hitamnya. Berteriak sekencangnya sampai tenggorokannya sakit. Mungkin pita suaranya akan segera putus. Terakhir, Rukia malah meninju kaca hias yang tertempel di sisinya tempatnya bersandar itu. Karena tak kuat lagi, akhirnya Rukia tak sadarkan diri. matanya terpejam begitu saja.

.

.

*KIN*

.

.

"Dokter Kurosaki..." panggil wanita cantik berambut orange itu dengan ceria. Langkah kakinya begitu cepat ingin menghampiri dokter yang berambut serupa dengannya. Dengan senyum sumringah gadis itu menyapa dokter yang sudah menjadi idola di rumah sakit Karakura Hospital ini.

"Oh, Inoue? Ada apa?" kata sang dokter berambut orange itu menyambut perawat cantik ini yang datang menghampirinya.

"Pasien di kamar 402... harus diperiksa hari ini. Sebetulnya aku bisa meminta bantuan dokter lain, tapi... dokter lain sedang sibuk. Apakah Dokter Kurosaki bisa membantuku?" jelas perawat bertubuh indah itu sambil menunduk dan memeluk lembar kemajuan pasien yang dijepit dengan papan itu.

"Tentu bisa. Aku sedang senggang. Hhh... bukankah sudah kubilang jangan panggil aku Dokter Kurosaki kalau kita berdua? Panggil seperti biasa saja Inoue."

"Ahh... maaf aku lupa. Kalau begitu bisa kita pergi sekarang... Kurosaki-kun?"

"Ya."

Kurosaki Ichigo. 26 tahun. Seorang dokter. Baru ditempatkan di Karakura Hospital sekitar dua setengah tahun lalu. Tak ada seorangpun yang menyangka, pria tampan berambut orange ini bisa menjadi seorang dokter. Bahkan ayahnya sendiri―yang notabene adalah seorang dokter―sudah tidak berharap banyak soal putranya yang kurang meyakinkan ini. Tapi Ichigo bisa membuktikannya bahwa dia bisa. Terlebih lagi... ada seseorang yang mendukungnya selama ini apapun keputusannya. Dan selalu menemaninya dari sekolah dulu hingga sekarang. Tanpa pernah berpaling pada siapapun. Ichigo begitu tenang menangani berbagai pasien. Jauh berbeda dengan sifatnya saat delapan tahun yang dulu. Yang begitu tempramen, mudah marah, egois, cuek, mau menang sendiri dan tidak peduli pada sekelilingnya. Dan kini semua sifat mengerikan itu berubah 180 derajat! Perubahan yang cukup mengagumkan. Mengagumkan karena umumnya seseorang akan begitu sulit menghilangkan sifat aslinya.

Inoue Orihime. 26 tahun. Seorang perawat. Sejak menyelesaikan akademi keperawatannya, gadis ini sudah ditempatkan di Karakura Hospital sejak lima tahun yang lalu. Dan tidak pernah sekalipun meninggalkan rumah sakit ini. Sejak kecil cita-citanya memang ingin jadi seseorang yang bisa menolong orang lain. Waktu kecil dia masih begitu bingung memutuskan antara menjadi dokter, perawat atau seorang guru. Tapi sejak mengenal seorang Kurosaki Ichigo, dia langsung ingin berubah menjadi seorang perawat. Menurutnya, Ichigo adalah orang yang selalu berada di sampingnya kapanpun Orihime membutuhkannya. Tidak pernah sekalipun meninggalkan Orihime. Selalu menolongnya tanpa peduli bahaya apapun. Hal itulah yang membuat Orihime begitu mengagumi sosok Kurosaki Ichigo. Bahkan tanpa sadar, perasaan kagum itu sudah berubah haluan. Berkembang jauh lebih pesat tanpa bisa dicegah. Dan Orihime sendiri sudah tidak bisa mengendalikannya. Yang dia lakukan sekarang hanyalah berusaha untuk menahannya. Karena dia... menginginkan yang terbaik untuk dokter satu ini.

Setelah memeriksa pasien yang dimaksud, Ichigo dan Orihime saling bertukar info tentang pasien yang ditangani Ichigo. Mereka tampak begitu serius berdiskusi masalah perkembangan pasien. Bagi Orihime, ini adalah saat paling menyenangkan untuknya. Berbicara dengan Ichigo dengan leluasa. Menatap wajah tampannya tanpa perlu menunduk malu lagi. Karena, sejak Ichigo dan Orihime berada dalam satu sekolah dan satu kelas, mereka sama sekali tidak pernah begini dekat. Paling hanya menyapa biasa dan mengobrol biasa.

"Kalian begitu bersemangat membahas sesuatu. Apa yang kalian bahas? Masalah pasien lagi?"

Sebuah suara menginterupsi perbincangan Ichigo dan Orihime di koridor rumah sakit. Ya... sepanjang bahasan tadi, mereka terus berjalan mengitari koridor rumah sakit.

"Ishida-kun?" ujar Orihime sambil tersenyum lebar.

"Memang salah? Itu'kan hal wajar. Kalau kau mau ikut berdiskusi itu bukan masalah." Sela Ichigo yang langsung memandang tidak suka pada dokter berambut biru dongker ini.

"Aku? Aku baru ditempatkan di sini. Mana kutahu kondisi pasien di sini. Tapi... mungkin Inoue-san bisa membantuku. Bukan begitu?"

"Ahh~ tentu saja. Kita'kan teman." Sahut Orihime.

"Heh? Teman darimana? Dia bukan temanku." Sela Ichigo lagi.

"Ayolah... tidak usah sungkan begitu. Waktu kau hampir mati dihajar oleh preman tidak jelas itu, aku dan Sado-kun menolongmu di saat kritis. Kau tidak ingat?" sindir Ishida.

"Tidak! dan perlu digarisbawahi! Aku tidak kritis! Kalian saja yang menginterupsi pertarunganku!" sangkal Ichigo.

"Aduh... Kurosaki-kun. Ishida-kun. Jangan bertengkar di rumah sakit. Kalian tidak memikirkan pasien lain?" kali ini Orihime yang ikut menyela.

Ishida Uryuu. 26 tahun. Seorang dokter. Baru ditempatkan di Karakura Hospital bulan lalu. Dia adalah siswa terpintar di sekolahnya dulu. Tidak heran kini dia mengikuti jejak ayahnya yang juga seorang dokter meski dulu menolak tawaran ayahnya ini. Tapi sejak tahu bahwa menjadi dokter adalah satu-satunya peluang, maka Ishida harus menyetujuinya. Sejak lulus sekolah kedokteran, Ishida pertama kali ditempatkan di rumah sakit milik keluarga Ishida. Yah... pertamanya untuk membiasakan dirinya dulu menjadi dokter dan menangani pasien. Begitu sudah lama, dia langsung minta ditempatkan di rumah sakit lain. Untungnya bisa dapat di Karakura Hospital ini. Meski akhirnya bertemu dengan teman yang sudah lama tidak ditemuinya. Hubungan Ishida dan Ichigo sebenarnya baik. Bahkan mereka pernah sama-sama mencari info tentang sekolah kedokteran. Yah... Ichigo memang gengsinya tinggi. Tidak mau kalah. Tapi akhirnya mereka tetap jadi teman baik. Kadang juga, Ichigo meminta saran dari Ishida soal kasus yang dia tangani. Apalagi Ishida memang jauh lebih pintar di atasnya. Juga lebih teliti dari Ichigo yang terkesan ceroboh dan sembarangan. Tapi untungnya, belum ada satupun nyawa yang tidak bisa diselamatkan Ichigo.

Begitu mereka bertiga bertemu, Inoue akan banyak bertanya pada Ishida mengenai beberapa keluhan pasien. Dan Ishida dengan senang hati menolongnya. Melihat mereka yang asyik bicara dan Ichigo yang tidak mau menginterupsi apapun juga mau mendengarkan apapun memilih agak menjauh sambil mengeluarkan ponsel dari saku jubah putihnya. Ini hampir tengah hari tapi tetap tidak ada satupun kabar. Biasanya akan ada kabar meski hanya satu pesan.

Ichigo mulai tidak nyaman. Akhirnya dia memilih menelponnya. Tapi berkali-kali nadanya terputus. Tidak biasanya begini.

Dengan wajah tidak tenang, Ichigo bergegas menuju ruangannya.

"Ehh? Kurosaki-kun kau mau kemana?" pekik Orihime.

"Makan siang!" balas Ichigo sama berteriaknya walau tidak terlalu kencang.

Bukan... bukan makan siang. Orihime tahu itu.

.

.

*KIN*

.

.

Rukia membuka matanya pelan. Dia merasa kepalanya pusing tak terkendali. Tangan kanannya juga sedikit perih. Dan sulit digerakan.

"Tunggu. Jangan bergerak dulu. Pasti masih sakit'kan?"

Rukia menoleh ke samping futonnya. Seorang pria berambut orange sedang membalut tangan kanannya dengan perban. Sangat hati-hati dan telaten. Kekacauan yang semalam dia buat sudah tak begitu kelihatan. Sepertinya pria orange ini sudah membereskannya.

"Kulihat, kau menelan semua obatmu lagi ya? Sudah kubilang bukan? Kalau kau merasa tidak nyaman, telan satu tablet saja. Jangan semuanya. Itu tidak bagus untuk jantungmu karena terus-terusan dihantam oleh obat-obatan seperti itu."

Rukia tersenyum lemah menanggapi omelan temannya ini. Ahh... entahlah...

Kuchiki Rukia. 26 tahun. Seorang pelukis. Sebenarnya bukan pelukis terkenal. Tapi karyanya selalu dibeli oleh kolektor terkenal di dunia. Rukia memang tidak pernah menampakkan dirinya. Dia hanya menggunakan nama palsu untuk setiap lukisannya. Lalu dengan bantuan seseorang yang bekerja di museum seni, dia membantu Rukia menjual dan memajang karya seninya. Kebanyakan, Rukia membuat karya seni berupa alam, pemandangan musim salju, suasana malam, pokoknya yang menggambarkan keindahan alam. Apalagi pemandangan dari atas udara. Makanya Rukia suka pemandangan tempat tinggi. Tapi satu hal yang tabu di lukisannya. Rukia tidak pernah menggunakan warna merah apapun. Kecuali pink. Karena menurutnya itu bukan merah. Seluruh pernak pernik di dalam rumahnya tak ada warna merah. Kalau ada satu orang yang membawa warna merah ke dalam rumah Rukia atau kepada Rukia langsung, jangan salahkan dia kalau orang sial itu berakhir hidupnya. Setelah lulus sekolah, Rukia memilih melanjutkan sekolahnya ke sekolah seni. Sebenarnya Rukia tak benar-benar tinggal sendiri. Dia punya kakak kandung. Tapi kakaknya sekarang sedang berada di luar kota untuk kerja. Kakak Rukia adalah Panglima besar di Angkatan Udara. Jadi... sangat jarang untuk kakaknya pulang ke rumah. Kalaupun pulang paling Cuma 6 bulan sekali. Dan hanya dua sampai lima hari ada di rumah. Setelah itu panggilan tugas lagi. Rukia tak keberatan tinggal sendiri. Karena dia sejak kecil memang terbiasa sendiri. Apalagi dia tidak punya orangtua. Di rumah bergaya Jepang tradisional ini, hanya ada beberapa pembantu yang membereskan rumahnya. Tapi tidak menginap di rumahnya. Pembantu lepas begitu. Datang untuk membersihkan saja.

"Apakah... kau menelan obatmu setelah melihat tanganmu terluka? Atau sebelum... itu?" tanya Ichigo lagi, si pria berambut orange ini.

"Setelah minum obat. Aku tidak ingat tanganku terluka. Sampai kau datang." Jelas Rukia dengan suara serak.

"Suaramu aneh? Apa tenggorokanmu sakit?"

"Ya..." kata Rukia lagi. Dan serak.

Ichigo bergerak mendekati futon Rukia dan memeriksa suhu tubuh gadis itu. Panas.

"Tunggu sebentar. Biar kuambil―" gerakan Ichigo terhenti kala tangan Rukia yang masih dibalut perban itu menggenggam tangannya lembut. Rukia tersenyum lemah sambil memandangi wajah tampan temannya itu.

"Di sini saja... tolong..." pinta Rukia.

Ichigo kembali bersinggut dan menggenggam balik tangan gadis yang terluka itu. Sebelah tangannya lagi mengelus puncak kepala Rukia penuh sayang. Dan Rukia sendiri tampak begitu menikmati tangan Ichigo yang bergerak lembut diatas kepalanya. Ichigo dan Rukia adalah teman sejak SMA. Rukia awalnya adalah siswi pindahan dari Seireitei. Sejak kakaknya jadi Panglima, kakaknya memindahkan Rukia ke Karakura. Dari sinilah awal dia mengenal Ichigo. Ichigo sendiri sejak mengenal Rukia, dia langsung tahu kebiasaan gadis ini. Maniak kelinci, takut pada darah, suka ketinggian, pandai berkelahi―dan Ichigo salah satu korban keganasan Kuchiki Rukia bila dia sedang mengamuk―dengan siapa saja, pintar melukis dan cukup pandai dalam pelajarannya. Walaupun bertubuh mungil, tapi gadis ini punya segudang tenaga dan kekuatan kalau berkelahi. Dan Ichigo salut, gadis ini masih tetap seperti dulu. Walaupun ada saat dimana Rukia akan merasa lemah dan tak berdaya. Contohnya seperti sekarang.

Bagi Ichigo... Rukia adalah teman paling penting untuknya. Demikian juga Rukia.

Mereka seolah ditakdirkan sama.

"Apa kau... mimpi buruk semalam?" tanya Ichigo perlahan.

Bukan jawaban yang Ichigo dapat, tapi mata indah gadis itu yang memerah. Tangan dalam genggaman Ichigo juga bergetar.

"Baiklah! Jangan bahas itu. Maafkan aku... aku tidak tahu. Apa kau sudah makan?" kata Ichigo mengalihkan pembahasannya. Rukia menggeleng pelan.

"Ok. Kali ini biarkan aku pergi sebentar. Kau harus makan sesuatu."

Ichigo beranjak keluar dari kamarnya dan menutup pintu geser itu. Diam-diam Ichigo bersandar pada dinding sebelah pintu geser kamar Rukia. Rukia masih sama.

Sebagian orang yang tak mengenal Rukia, pasti akan menganggap gadis ini adalah gadis biasa yang pendiam. Mereka tak tahu apa sebenarnya yang terjadi pada Kuchiki Rukia.

Ada sesuatu yang menyebabkan Rukia begini lemahnya. Bahkan sejak Ichigo mengenal gadis ini... Ichigo mulai menyadari bahwa sebenarnya...

Mental Rukia sedikit terganggu.

.

.

*KIN*

.

.

Sekali lagi Orihime mengintip ke ruangan dokter itu. Dan masih kosong. Biasanya setelah makan siang, dokter itu pasti akan kembali lagi ke rumah sakit. Tapi kali ini tidak. Orihime bersandar di dinding ruangan dokter orange itu sambil memeluk map kemajuan kesehatan pasien. Apakah sebaiknya Orihime menyusul saja?

Menyusul?

Menyusul kemana maksudnya?

Apakah Orihime akan diterima di sana?

Tentu. Kenapa tidak?

Orihime tahu ada satu tempat di mana Ichigo akan berhenti lama. Dan bagi Orihime sendiri, tempat itu begitu menarik untuk Ichigo. Tak pernah sekalipun Ichigo absen dari tempat itu. Memang mereka hanya teman. Hanya teman.

Orihime tahu itu.

Mereka tak mungkin punya hubungan yang lebih dari teman. Tapi kenapa hati Orihime mendadak tidak nyaman? Sudah sepuluh tahun ini dia merasakannya. Merasakan perasaan kalut seperti ini. Tapi apa haknya? Dia tidak punya hak.

Orihime mengeluarkan ponsel dari saku seragam perawatnya. Menekan ragu beberapa nomor. Orihime menggigit bibir bawahnya pelan. Hatinya galau. Apakah menelpon atau tidak. teman... mereka teman bukan? Tentu saja...

"Oh... Kuchiki-chan. Apa kabar? Apa kau... sakit? Boleh aku ke sana?"

.

.

*KIN*

.

.

"Inoue?"

Orihime begitu terkejut melihat sosok pria berambut orange yang membukakan pintu utama di rumah khas Jepang ini. Seluruh bangunan ini dipagari oleh dinding setinggi dua meter dengan hanya satu akses masuk. Yaitu pintu sedang yang terbuat dari kayu. Ternyata dugaannya tepat. Tapi bukan itu tujuannya. Walaupun sebagian keinginannya memang ingin memastikan ini. Setelah bekerja tadi dia langsung menuju kesini.

"Oh... Kurosaki-kun. Kau ada... di sini?" tanya Orihime.

"Ya... tadi aku menelpon Rukia, sepertinya dia tak enak badan. Jadi aku menemaninya di sini. Kau mau menengoknya? Masuklah ke dalam..." kata Ichigo sambil menyilakan gadis bermata abu-abu itu masuk.

Sambil menggenggam kotak roti yang dibawanya, Orihime berjalan menuju paviliun kecil yang terpisah-pisah ini. Setelah dari pintu utama, kalian akan menyaksikan sebuah jalan setapak kecil ada taman-taman kecil di sana dan beberapa meja batu khsusu untuk bonsai yang berderet rapi. Lalu pohon-pohon tinggi dipinggir bangunan seperti sakura dan kesemek. Rukia pasti suka pemandangan di rumahnya sendiri. Apalagi ada sebuah taman kecil yang memuat sebuah kolam ikan dan ditengahnya ada jembatan dari batu.

Dari rumah utama, mereka berjalan menuju kamar Rukia yang terpisah dari rumah utama. Kamar Rukia seperti rumah mungil bergaya tradisional Jepang. Di sana ada dua kamar, satu kamar tidurnya dan satu galeri lukisnya sekaligus ruang tamu kecil. Ada sebuah koridor yang menghubungkan kamar Rukia dengan rumah utama itu. Kini, Ichigo menuju koridor itu untuk masuk ke kamar Rukia. Dia membuka pintu gesernya dan menyilakan Orihime masuk. Ichigo sudah seperti hapal seluk beluk rumah ini. Di depan kamar Rukia itulah ada kolam itu dan pohon sakura yang tumbuh tinggi. Meski malam, tapi pemandangan di rumah ini begitu indah.

Begitu Orihime masuk, ada Rukia yang tengah terbaring di kamarnya. Rukia berbaring di atas futonnya sambil diselimut tinggi hingga di dadanya. Kamar Rukia cukup luas. Tentu saja. Mengingat sebenarnya Kuchiki adalah bangsawan dulunya. Dan hingga kini.

"Inoue?" panggil Rukia. Suaranya masih terdengar lemah dan serak. Ichigo membantu Rukia bangun dari tidurnya.

"Ehh! Tidak usah Kuchiki-chan! Aku tahu kau masih sakit. Maaf aku mengganggu malam begini... aku hanya khawatir. seharusnya aku datang besok pagi saja..." ujar Orihime sambil menunduk merasa bersalah.

"Tidak apa-apa. Aku baik-baik―uhuk!" Rukia terbatuk ringan. Kali ini sepertinya tenggorokannya kembali sakit.

"Sudah kubilang jangan banyak bicara dulu. Nanti bertambah sakit tahu! Dasar bandel..." sela Ichigo yang langsung memberikan minum pada Rukia. Gadis itu menerimanya segera dan meminum air putih hangat itu untuk meredakan tenggorokannya. Orihime masih duduk agak jauh dari mereka. Seperti biasa, Ichigo selalu memperlakukan Rukia begitu. Penuh perhatian. Meskipun... Ichigo selalu perhatian pada siapa saja. Karena dia... dokter.

"Aku tahu. Sudah lebih baik. Jangan begitu Inoue. Aku senang kau berkunjung kemari. Sudah lama'kan kita tidak bertemu?" kata Rukia penuh senyum.

Yah... mereka adalah teman baik. Teman baik yang saling mengerti satu sama lain.

"Ahh ya. Mungkin karena aku terlalu sibuk. Nanti aku akan menemuimu lagi dan mengobrol lebih lama. Sekarang sudah malam. Aku tidak mau mengganggumu istirahat. Sampai nanti Kuchiki-chan." Kata Orihime mohon diri.

"Cepat sekali? Kalau begitu aku―" Rukia yang berusaha untuk berdiri segera jatuh lagi, tapi langsung ditangkap oleh Ichigo. Sepertinya kepala dan tubuhnya masih lemah.

"Jangan mengantarku Kuchiki-chan. Kau masih sakit. Aku tidak apa-apa sendirian kok. Yah?" bujuk Orihime yang melihat Rukia bersusah payah berdiri untuk mengantar Orihime pergi.

"Aku jadi tidak enak. Maafkan aku Inoue... kalau begitu biarkan Ichigo mengantarmu pulang." Kata Rukia.

"Apa?" ulang Ichigo.

"Ehh? Kurosaki-kun? Tapi... kau...?" sela Orihime bingung.

"Kenapa? Ini sudah malam. Lagipula, Ichigo sudah cukup menemaniku seharian hari ini. Aku sudah lebih baik. Ichigo harus mengantarmu pulang. Malam hari tidak aman gadis sepertimu pulang sendirian." Jelas Rukia.

"Kau yakin sudah tidak apa-apa?" tanya Ichigo yang melihat khawatir pada Rukia.

"Jangan begitu! Kau pikir aku ini selemah itu? Aku tidak apa-apa. Sudah lebih baik. Pulanglah. Jangan buat Karin dan Yuzu cemas."

"Baiklah. Tapi ini terakhir kalinya kau tidak mengangkat telepon dariku. Kalau kau tidak mengangkat telepon lagi, aku akan langsung membawamu pulang ke rumahku agar aku yakin kau baik-baik saja!" ancam Ichigo.

"Ahh! Sudahlah! Kau seperti ingin menculikku saja! Aku akan baik-baik saja Dokter Kurosaki! Kau puas?"

"Itu karena kau selalu memandang remeh penyakitmu!"

"Aku tidak begitu!"

"Kau begitu! Mau menyangkal lagi? Kau bahkan hampir mati kalau aku tidak segera datang!"

"Kau berlebihan..."

"Apa katamu?"

Orihime mulai merasa diasingkan jika mulai melihat mereka begini dekat dan akrabnya. Sekilas Orihime juga melihat tangan kanan Rukia yang terbalut perban. Itukah sebabnya Rukia begini?

Kapan Orihime bisa begini dekat dengan pria berambut orange ini?

.

.

*KIN*

.

.

"Maaf jadi harus mengantarku pulang." Kata Orihime ketika berada di dalam mobil Ichigo.

"Tidak apa. Aku memang bermaksud mengantarmu pulang. Oh ya, bagaimana rumah sakit?" tanya Ichigo. Masih fokus pada kegiatannya.

"Eh? Oh... tidak ada apa-apa. Semuanya baik-baik saja kok. Kurosaki-kun... dekat ya dengan Kuchiki-chan..."

"Hah? Tentu saja dekat. Kami'kan teman. Kita juga teman. Semua teman'kan dekat? Bukan begitu?" jawab Ichigo santai.

Tidak Ichigo... tidak semua teman sedekat dirimu dan Rukia.

"Tapi... kalian tidak terlihat seperti teman... kalian lebih dari itu." Ujar Orihime.

"Oh ya?"

"Tentu... apakah... Kuchiki-chan orang yang spesial untukmu?" tanya Orihime hati-hati.

"Ehh! Tidak perlu dijawab. Aku Cuma asal saja tadi... maaf ya..." potong Orihime cepat. Dia takut nanti dia salah bicara. Tapi Ichigo tak menanggapinya. Dia hanya diam.

Dan lagi-lagi Orihime merasakan kekalutan ini lagi. Dia ingin... entah bagaimana caranya bisa sedekat itu dengan Ichigo. Apapun caranya.

Ichigo dan Rukia selalu mengatakan mereka teman baik. Tapi entah kenapa Orihime tidak begitu. Rasanya ada yang aneh.

Tapi hati kecilnya tetap meyakinkan dirinya. Bahwa Ichigo... baik pada semua orang tanpa pandang bulu. Karena itulah sifat Ichigo yang sesungguhnya.

.

.

*KIN*

.

.

Pagi ini, ketika Ichigo baru tiba di rumah sakit, ponselnya mendadak berdering nyaring. Kali ini dari Rukia. Syukurlah gadis itu menghubunginya. Paling tidak Ichigo tidak khawatir kalau―

"Apa? Tunggu! Ini siapa? Ada apa dengan Rukia?" kata Ichigo panik. Penik karena yang menghubungi bukan Rukia. Melainkan suara wanita lain. Dan latar belakangnya terdengar bunyi teriakan yang aneh juga bantingan barang-barangan lainnya yang terdengar heboh.

"10 menit lagi aku akan tiba!" potong Ichigo karena panik dan dia sendiri tidak bisa menangkap apa yang dibicarakan wanita itu padanya.

Orihime baru juga datang ke rumah sakit, dan langsung melihat Ichigo yang tidak melepas jas putih panjangnya berlari menuju pintu keluar rumah sakit.

"Kurosaki-kun!" panggil Orihime dan berlari menyusul Ichigo. Ichigo berhenti dan langsung menoleh ke belakang. Orihime sudah tiba di dekatnya.

"Kau mau ke mana?" tanya Orihime bingung.

"Ahh! Bagus ada kau! Ikut aku..." kata Ichigo terkesan lega lalu langsung memberikan isyarat pada Orihime untuk mengikutinya.

Tanpa banyak berpikir, Orihime mengikuti Ichigo menuju mobilnya dan langsung pergi. Orihime bingung mau kemana Ichigo sepagi ini. Tapi wajah paniknya tak bisa disembunyikan. Dia begitu gelisah bahkan saat menyetir. Orihime tak berani bertanya. Dia takut nanti pria itu hilang kendali karena gelisah begitu.

Tapi mendadak Orihime tahu kemana ini.

Jalan ini menuju rumah Kuchiki Rukia.

Tak sampai 10 menit, mereka sudah tiba di kediaman Kuchiki. Sebelum turun dari mobilnya, Ichigo berpesan pada Orihime untuk membawa tasnya. Dengan langkah cepat Ichigo segera masuk ke dalam rumah itu. Menerobos tanpa peduli apapun. Orihime masih setia mengikutinya dari belakang.

Pria berambut orange itu langsung menuju paviliun milik Rukia. Begitu sampai di sana, beberapa wanita agak tua, mungkin pelayan Rukia, memandang panik ke paviliun itu. Dan begitu masuk pula, kamar Rukia sudah berubah jadi kapal pecah. Segala pecahan apapun ada di sana. Bahkan galeri lukisannya jadi kacau balau. Entah apa yang sebenarnya terjadi.

Begitu Orihime melongo ke dalam kamar Rukia.

Gadis berambut hitam itu tanpa mengamuk dan berteriak histeris. Tangan kanannya yang kemarin diperban kembali mengeluarkan darah. Dan bukan hanya tangan kanannya. Berikut lengan atasnya dan tangan kirinya pula. Rukia meronta ketika dua pelayannya memegang tangan Rukia untuk membuatnya berhenti meronta dan berteriak. Rukia tampak begitu kesakitan dan ketakutan. Apalagi setiap kali matanya melihat darah di tangannya. Dia begitu histeris dan tidak terkendali. Jujur saja. Ini pertama kalinya Orihime melihat sosok Kuchiki Rukia yang seperti ini sepanjang dia mengenal gadis itu.

Dan begitu Ichigo datang, pria itu langsung mengambil alih Rukia dan memegang kedua tangannya dengan erat. Pria itu mendekap Rukia berusaha menghentikan tangisan dan teriakan histerisnya. Tapi gadis itu masih tetap seperti itu. Orihime terkejut dengan sikap spontan dari Ichigo yang langsung memeluknya seperti itu.

"Inoue! Cepat kemari! Kau bawa tasku 'kan! Keluarkan suntikan yang ada di dalamnya! Cepatlah!" teriak Ichigo ke arah Orihime sambil tetap mendekap gadis itu, meski Rukia terus mendorong tubuh Ichigo menjauh darinya dan menendang pria itu. Karena terlalu kaget, Orihime lambat merespon perintah Ichigo, sehingga Rukia sesegera mungkin memukul dada Ichigo sekencangnya. Tapi Ichigo tidak berhenti, dia tetap masih berusaha menenangkan gadis itu dengan memeluknya.

"Inoue cepatlah! Kau bisa membunuh Rukia kalau kau lama!" bentak Ichigo karena Orihime terus mematung di sana.

Mendengar Ichigo setengah berteriak padanya, Orihime langsung merespon dan mengeluarkan suntikan yang ada di dalam tasnya. Dengan gugup Orihime membuka tutup suntikan itu dan berjalan menuju ke arah Ichigo yang masih tetap mendekap gadis itu sambil meringis kesakitan setiap kali Rukia memukul dada dan punggungnya. Begitu melihat Orihime mendekat, Ichigo langsung membaringkan Rukia paksa dan menahan kedua tangannya. Mata Rukia begitu mengkilat marah dan berteriak terus seperti kerasukan sesuatu.

"Suntik lengannya! Cepat suntik lengannya sebelum dia lebih jauh lagi!" perintah Ichigo lagi. Kali ini Ichigo sangat panik menghadapi Rukia. Orihime tak tahu harus berbuat apa, hanya menurut pada Ichigo. Tapi begitu akan menyuntikan suntikan itu pada Rukia, gadis itu meronta dengan paksa sekuat tenaga, dan bisa terbebas dari Ichigo. Orihime gagal menyuntiknya. Malah, tangan Orihime sedikit sakit ketika Rukia menepisnya sekuat tenaga. Jelas saja sakit. Tenaga Rukia sekarang lebih mirip tenaga orang gila daripada seorang gadis. Sekali lagi Ichigo berusaha menangkap Rukia dan memeluknya lagi.

"Kumohon Rukia! Tenangkan dirimu! Aku di sini! Kau tidak akan apa-apa!" ujar Ichigo tepat di telinga Rukia. Gadis itu lumayan tenang begitu Ichigo berkata seperti itu, meski dia masih meronta dan memaksa melepaskan diri dari pelukan Ichigo.

"Inoue! Sekarang!" teriak Ichigo menyadari kesempatan itu.

Dengan cepat Orihime segera menyuntikkan cairan itu ke lengan atas Rukia.

"AARRGGGGHHHHHH! AAHHHHHHH!" teriak Rukia ketika suntikan itu menancap di kulitnya. Dia memang berteriak, tapi kemudian, dia tidak lagi meronta atau berteriak lagi. Mata ungunya langsung meredup dan merosot dalam pelukan Ichigo. Sepertinya itu obat penenang untuk Rukia. Orihime masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Jadi... inikah alasan kenapa Ichigo selalu ada didekat Rukia?

Ichigo jatuh terduduk bersamaan dengan tubuh Rukia yang akhirnya melemah dalam pelukannya. Nafas Rukia memburu kencang. Ichigo sendiri masih mendekapnya erat. Seolah memberikannya perlindungan.

"Tenanglah. Kau sudah tidak apa-apa. Ada aku..." lirih Ichigo.

Dan kalimat itu cukup membuat dada Orihime sesak bukan main.

Orihime bisa melihat, betapa leganya wajah Ichigo menyadari Rukia sudah jauh lebih tenang dari sebelumnya. Tak lama kemudian, terdengar nafas teratur Rukia. Gadis itu sudah jatuh tertidur.

.

.

*KIN*

.

.

Inoue memilih menunggu di luar sambil merenggangkan tangannya. Sepertinya ada jarinya yang keseleo karena tepisan tangan Rukia yang kuat tadi. Yang Orihime lihat terakhir tadi adalah Ichigo yang mencoba membaringkan Rukia di futon-nya. Karena gadis itu sudah jatuh tertidur. Tapi sebelumnya, Orihime sudah membantu Ichigo membereskan luka dan darah yang ada ditangan Rukia. Menurut pelayannya yang sekalian membantu tadi, Rukia ingin makan buah, tentu saja pelayannya membawakan buah itu. Tapi sepertinya pelayan itu baru, karena tidak tahu bahwa Rukia takut benda tajam. Pelayan itu membawakan pisau. Dasar bodoh!

Tentu saja Rukia mengamuk karena takut melihat pisau itu. Orihime baru tahu semua itu. Sedangkan Ichigo sudah lama tahu.

"Tanganmu masih sakit?"

Orihime reflek menyembunyikan tangannya dan melihat gugup ke sampingnya. Ada Ichigo. Kemejanya agak berantakan. Mungkin karena Rukia tadi.

"Ehh? Tidak... sebenarnya sedikit..." lirih Orihime.

"Maafkan sikap Rukia tadi. Kalau dia sedang tidak terkendali memang seperti itu. Untung ada kau... kalau tidak aku bisa kewalahan sendirian tadi." Ujar Ichigo sambil tertawa ringan.

Orihime menimbang sejenak. Menggigit bibir bawahnya. Tapi akhirnya...

"Kurosaki-kun... kalau aku boleh tahu... kenapa Kuchiki-chan begitu?"

Ichigo menoleh ke arah Orihime. Memandang lembut gadis itu.

"Rukia mengalami trauma yang cukup hebat. Karena trauma itu, mentalnya jadi terganggu. Yah bisa dibilang jika ada keadaan tertentu yang membuat Rukia kambuh, maka dia akan seperti itu. Lebih mudahnya, mental Rukia sedang terganggu. Dia akan bertindak seperti tadi kalau tiba-tiba dikejutkan akan segala sesuatu yang membuatnya teringat pada traumanya. Yang bisa menghadapinya hanya aku saja. Karena Rukia percaya padaku. Kepercayaan pasien sangat dibutuhkan oleh seorang dokter untuk mengatasi masalah pasiennya. Karena itulah aku ada di sini. Untuk Rukia."

Kata-kata itu... begitu menusuk untuk Orihime. Meski dia mengerti keadaan Rukia. Tapi tetap saja...

"Sejak kapan kau tahu... Kuchiki-chan jadi begitu?"

"Sejak aku mengenalnya."

Orihime tersenyum pahit. Apakah ini yang namanya teman?

Mendadak Orihime sedikit kesal pada Rukia. Karena tanpa sadar, Orihime menganggap Rukia memonopoli Ichigo karena sakitnya. Tapi mereka teman baik.

Dan Orihime... menyukai Ichigo sejak sembilan tahun yang lalu. Bagaimana sekarang?

.

.

*KIN*

.

.

TBC

.

.

Heheeheh silahkan protes saya... hohohhoh tapi saya udah beneran gatel pengen publish nih fic. daripada jamuran ntar... hehehehe apakah senpai pada bosen pada pair fic saya? karena semuanya hampir IchiRuki. entahlah. saya begitu cinta pada pair ini. mereka kelihatan kompak banget. belum pernah saya liat anime manapun yang bikin pair sohib yang begini dekat. walaupun nantinya mereka tetep jadi temen. karena dimana-mana komik shonen itu gak ada kisah percintaannya. kalaupun ada, pasti bukan pair utama. huuuu nyesek deh... apalagi yang bikin nyesek pas baru liat eps 342 perfect abis!

saya ambil Orihime... well bukan untuk dikatain atau apa. tapi saya butuh peran dia emang. yang cocok sih emang Orihime. sejujurnya saya suka kok sama Orihime. baik cantik seksi... wehh jadi saya ambil Orihime aja. biar feel cerita ini dapet gitu... hehehehe

saya sengaja bikin cerita baru. biar nambahin fic saya aja. wkwwkwkwk

saya tahu ini ceritanya pasaran banget dan mudah ketebak. siapa aja pasti bisa tahu kemana cerita ini nantinya. heheeh semoga ada yang suka.

ok deh...

saya bakal lanjutin fic ini kalo ada yang senpai yang minat. dan akan segera saya hapus kalo ada senpai yang gak suka cerita saya.

ok... terakhir... reviewnya yaa..

Jaa Nee!