"Tabu"

Rating: Dewasa

Genre: Family, Angst, Drama, Romance & Fantasy

Peringatan: Self-cest, tensi seksual, eksplisit, incest, angst, One-sided!Akakuro

Karakter: Akashi Seijuurou (Ore & Boku), Kuroko Tetsuya

Sinopsis: Sei & Seijuurou. Pemuda dengan manik rubi itu sadar akan perasaannya terhadap kakaknya itu adalah tabu dan ia tidak berniat untuk menyampaikan perasaannya. Terlalu berisiko? Bukan, melainkan sadar, seiring dengan pendewasaan, tentunya mereka akan berpisah dan waktu itu tidak akan lama lagi karena sang kakak sudah menginjak umur 18 tahun.

A/n: Halo, disini Kecap Merah (cap yang kali ini menggunggah)! Maaf sekali karena sibuk banget selama 2 tahun belakangan dan fic ini sudah jadi dari akhir tahun 2015, akhirnya malah tergeletak begitu saja, sampai kami juga lupa unggah. Fiksi ini kepanjangan, makanya saya dan Kyouka akhirnya sepakat untuk memenggalnya menjadi 2-3 bab. Semoga pembaca masih sabar untuk menunggu kelanjutannya.

Nah, selamat membaca!


Di Jepang kata siluman sudah tidak asing lagi. Bahkan dari jaman dahulu kala siluman bebas berkeliaran dan mengganggu manusia. Banyak sekali cerita tentang siluman yang disampaikan kepada keturunan-keturunan manusia agar mereka dapat menjaga diri. Namun, hanya dengan cerita, tidak dapat meyakinkan umat manusia.

Para dukun dan cenayang yang ada pada masa lampau memang dapat mengusir siluman, tapi hanya sampai di situ. Siluman itu tidak musnah, mereka hanya pergi beberapa saat dan akan kembali lagi ketika mereka sudah mengumpulkan kekuatan mereka. Memang kekuatan untuk berjalan di dunia manusia membutuhkan kekuatan besar tapi itu tidak masalah bagi umat siluman dan hal ini menyebabkan umat manusia harus mempertahankan diri dibentuklah sebuah kelompok kecil yang terdiri dari dua orang, khusus hanya untuk membasmi siluman.

Kakak beradik Akashi merupakan salah satu dari keluarga yang menyetujui pembentukan kelompok tersebut. Keluarga yang terkenal dengan warna surai dan manik yang senada dengan warna permata semerah darah. Putra pertama keluarga itu bernama Sei dan putra kedua bernama Seijuurou. Putra pertama keluarga Akashi itu memiliki manik Dwiwarna, merah rubi dan kuning topaz dan putra kedua memiliki manik sewarna dengan rubi, seperti yang umum dikenal dalam keluarga itu. Usia mereka terpaut empat tahun lamanya, oleh karena itu Sei lebih dulu meninggalkan rumah untuk berlatih. Sedangkan Seijuurou menyusul enam tahun setelahnya.

Berdua, Sei dan Seijuurou memiliki kekuatan spiritual yang besar semenjak mereka lahir. Mereka dibesarkan secara terpisah sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Sei yang berbakat dalam kemampuannya berpedang dan Seijuurou yang berbakat dalam merapal bertemu Seijuurou pada saat ia berusia 6 tahun, sedangkan Seijuurou berusia 2 tahun.

Kekuatan mereka besar dan beresonansi dengan ritme yang sama, karena itulah mereka dipasangkan. Mungkin salah satu sebabnya karena mereka adalah saudara kandung dan ikatan darah membuat mereka tidak bisa menolak satu sama lain. Sei yang melihat Seijuurou hanya dapat tersenyum hangat ke arah balita itu. Ia langsung menggendong dan memeluknya, sejak ia diminta untuk berlatih menjadi seorang pendekar yang bertugas untuk membasmi siluman, ia hanya fokus dalam hal itu.

Baru pertama kali ia memiliki saudara laki-laki dan itu membuatnya senang bukan kepalang. Namun dengan pengaruh lingkungan mereka dibesarkan, enam belas tahun lamanya Seiberlatih menjadi seorang pendekar, ia menjadi lebih gampangan. Wajahnya yang tampan itu kerap membuatnya selalu didekati oleh kaum adam dan hawa. Tidak jarang Sei menggunakan wajah eloknya untuk mengorek informasi mengenai rumor dan siluman-siluman yang sedang layap di daerah dimana ia bertugas.. Oleh karena itu Sei yang sejak kecil diminta untuk fokus dalam latihan berpedang dan berburu siluman, kurang mengerti arti cinta yang sesungguhnya.

Sedangkan Seijuurou sedari lahir ia adalah seorang bayi yang sangat tenang, jarang sekali menangis. Balita itu tumbuh menjadi pribadi yang sangat kalem dan lembut. Namun seiring dengan pertumbuhannya menjadi seorang lelaki, ia menyadari sesuatu yang seharusnya tidak ia rasakan kepada kakaknya. Ya, cinta.

Pemuda dengan manik rubi itu sadar akan perasaannya terhadap kakaknya itu adalah tabu dan ia tidak berniat untuk menyampaikan perasaannya. Terlalu berisiko? Bukan, melainkan sadar, seiring dengan pendewasaan, tentunya mereka akan berpisah dan waktu itu tidak akan lama lagi karena sang kakak sudah menginjak umur 18 tahun. Sekarang memang Sei terikat dengan perintah kuil utama, namun dua tahun lagi Sei sudah dapat menentukan sendiri mitranya.

Seijuurou tahu akan hubungan semalam Sei, namun ia tidak mengatakan apapun. Kedok kakaknya tidak sengaja terbuka pada saat mereka sedang ditugaskan di desa tetangga. Seijuurou mendapati Sei sedang bersetubuh dengan seorang gadis yang bekerja di toko perkakas. Saat itu pertama kalinya Seijuurou menyadari perasaannya. Dadanya berdebar tidak karuan, nafasnya memburu, ia tidak menyukai pemandangan itu dan hatinya serasa ditusuk-tusuk jarum, kecil namun perih dan pilu.

Namun betapa senangnya ia ketika ia melihat kakaknya menolak untuk menjadikan gadis itu sebagai kekasihnya. Saat itu ia tersadar, kakaknya hanya melakukannya demi nafsu semata dan tidak ada kilat cinta di dalam pandangan itu, hanya hubungan badan. Seijuurou sadar, bahwa selain perpisahan, ia juga takut akan kehilangan kasih sayang sang kakak.


Sei sudah menginjak umur 18 tahun dan Seijuurou berumur 14 tahun. Mereka sudah dipercayai untuk melaksanakan tugas seperti pasangan kelompok dewasa. Jika bukan karena kekuatan dan kecerdasan mereka dalam menyerap ajaran para guru, mungkin mereka akan terbebas dari kuil tersebut dua tahun kemudian. Setiap eksorsisme yang mereka lakukan tidak dilakukan secara cuma-cuma, mereka meminta bayaran. Bayarannya dapat berupa apapun, sesuai dengan negosiasi.

Sekarang, kedua kakak beradik Akashi itu akan singgah di desa X. Mereka sedang menghabiskan waktu di sebuah toko kecil tempat persinggahan sebelum memasuki kawasan desa itu. Seijuurou memesan dua cangkir the dan sepiring kudapan, Sedangkan Sei menggosok pedangnya menggunakan kain yang telah dilumuri minyak khusus. Sekali-kali ia mencuri-curi pandang ke arah wanita yang bekerja di toko itu dan hanya tersenyum simpul, namun cukup untuk menaklukkan wanita itu. Setelah selesai merawat pedangnya ia memasukkannya kembali ke dalam sarungnya. Tepat setelah ia memasukkan pedangnya, Seijuurou muncul dengan membawa nampan berisi dua cangkir, satu teko teh dan sepiring kudapan.

"Seijuurou, ada apa? Kenapa kau lama sekali di dalam?"

"Maaf, kak. Tadi aku diceritakan tentang desa yang akan kita singgahi. Aku mendapatkan beberapa informasi karena sepertinya kita akan bekerja." Seijuurou tersenyum tipis.

Tanpa harus membaca pikiran Seijuurou, Sei langsung membantu adiknya menyingkirkan barang bawaannya dan meletakkannya di sisi yang berbeda, memberikan Seijuurou ruang untuk duduk dan meletakkan suguhan mereka. Seijuurou meletakkan nampan dan segera menyeduh teh untuk mereka berdua.

"Berdasarkan informasi yang kudapat, sepertinya desa X diganggu oleh siluman." Tutur sang adik. Gamit yang ditunjukkan Seijuurou selalu membuat Sei terpesona, gerakannya yang lembut dan hati-hati itu secara tidak langsung memperlihatkan karakter adiknnya itu. Setelah menuangkan teh ke dalam cangkir, Seijuurou menyuguhkan secangkir untuk kakaknya dan Sei menerimanya.

"Hn." Respon Sei sembari ia menyisap teh suguhan adiknya.

"Ya, tapi..." Seijuurou terdiam sebentar, namun ia melanjutkan. "Ibu pemilik toko ini hanya ingin menjawab lebih jauh jika kakak yang menghampirinya." Seijuurou berusaha tidak menggeram. Ia tahu kemana arah pembicaraannya, tapi ia berusaha untuk tidak melepaskan emosinya.

Manik Sei melebar dan ia tersenyum menyeringai. Ah, betapa ia menyukai kemana arah pembicaraan ini. Setelah ia menyesap teh yang disuguhkan Seijuurou padanya, ia menghampiri wanita itu. Seijuurou hanya bisa mengeratkan kepalannya dan melihat bagaimana wanita itu memandang kakaknya. Pemandangan itu begitu sesak baginya, melihat kakaknya berbicara dengan wanita yang sudah pasti akan mengerang dibawah sentuhan kakaknya, membuatnya mual. Ada perasaan jungkir balik yang dirasakan olehnya dan membuat darahnya mendidih. Seharusnya ia baik-baik saja, seharusnya hanya berbicara saja tidak masalah.. 'Tapi kenapa, kak? Kenapa bukan aku?'


Mereka tiba di desa X pada sore hari. Keadaan di sana terlihat agak intens, tetapi bangat hilang ketika mendengar teriakan salah satu penduduk desa. Para warga segera berkumpul untuk mendengarkan apa yang sedang terjadi. Pemuda yang tadinya berteriak menceritakan bahwa ia menemukan mayat pria separuh baya di dekat sungai. Kedua kakak beradik Akashi itu segera menatap satu sama lain, sepertinya pekerjaan kali ini akan memakan waktu.

"Maaf, apakah ada yang bisa menceritakannya lebih jauh?" Seijuurou mengangkat tangannya dan tersenyum kalem. Suaranya membelalakkan puluhan mata yang sedang berkumpul di alun-alun itu.

Kedua Akashi itu diundang ke rumah yang terletak di pusat desa, mereka diundang secara langsung oleh Kepala desa. Lelaki itu menceritakan bahwa kejadian itu bermula dari tiga bulan yang lalu, ketika seorang penduduk desa yang ditemani ayahnya pergi untuk mencari kayu bakar. Pria dan anaknya itu tidak pulang ke rumah walau hari telah berganti dan sang istri sangat khawatir. Istri pria itu segera melaporkan mengenai apa yang terjadi, lalu dari laporan itulah segera dilakukan pencarian. Mereka menemukan jasad suaminya esoknya, tanpa anaknya. Di beberapa anggota tubuh sang suami, terdapat beberapa luka bekas gigitan yang menyobek dagingnya dan suaminya ditemukan dalam keadaan basah.

Insiden itu tidak berhenti sampai di sana, beberapa hari setelahnya kejadian yang sama kembali terulang, namun sedikit berbeda, korban tidak ditemukan jasadnya, melainkan menghilang tanpa jejak. Lalu terus berlanjut hingga sekarang, tiga bulan setelahnya.

Sei dan Seijuurou memperkenalkan diri mereka sebagai pembasmi siluman. Betapa leganya wajah Kepala desa setelah mendengar hal tersebut. Ia segera memohon kepada kedua kakak beradik itu untuk mengusir apa yang telah mengganggu desa tersebut. Tentunya sebagai seorang Kepala desa, ia bertugas untuk membuat penduduknya merasa aman dan tenteram.

"Tapi kami tidak melakukan pembasmian dengan cuma-cuma, pak."Sahut Seijuurou.

"Ta-tapi desa ini tidak memiliki hanya dapat menawarkan tempat untuk bermalam, apakah cukup untuk membayarnya?"Jawab Kepala desa X. Desa itu bukan desa yang besar, bahkan toko-toko yang ada di sana hanyalah toko perkakas, penginapan, toko kelontong yang menyediakan keperluan warga dan selebihnya warga menghidupi dirinya sendiri dengan bercocok tanam ataupun pergi menangkap ikan di laut.

Baru saja Seijuurou ingin mengatakan cukup, Sei menyela pembicaraan itu. "Tidak cukup. Ini bukan kasus yang mudah, adakah hal lain yang dapat kalian tawarkan?"

Kepala desa terkejut dan bingung, ia sudah kehabisan akal. Jika ia menawarkan bahan pangan mereka itu tidak mungkin, untuk menghidupi diri setiap warga saja sudah sulit, tidak mungkin bukan?

Seorang pemuda dengan surai biru langit dengan manik yang senada sedari tadi memperhatikan seorang Akashi Sei. Ia tidak tahu apakah itu adalah cinta pada pandangan pertama atau bukan, ia tidak peduli. Ia sudah terpesona dengan paras elok lelaki bermanik dwiwarna itu. Lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Sei itu hanya memutar bola matanya secara malas ketika mendengar tawaran Kepala desa. Ia mendengar Sei menolak dan meminta bayaran lebih. Lalu tanpa berpikir panjang ia mengangkat tangannya.

"Ya, tetsuya?" Tatap Kepala desa bingung mengapa putranya mengangkat tangannya padahal tidak ada yang meminta pendapat. Kedua Akashi itu terkejut, setahu mereka tidak ada orang lain selain Kepala desa dan istrinya di dalam ruangan itu. Secara otomatis kedua kakak beradik Akashi itu menatap ke arah pemuda yang disebut Tetsuya.

"Ayah, biarkan aku menambah tawaran itu." Tetsuya menatap Sei.

Sei yang terkejut hanya melebarkan maniknya sebentar lalu ia kembali membalas tatapan pemuda yang disebut Tetsuya itu. Pancaran kehadirannya begitu tipis dan kedua Akashi itu tidak suka ada yang terlewat dari sudut pandang mereka. Tidak usah dikatakan pun Sei meminta bayaran yang setimpal dengan jasa yang akan ia berikan dan sejujurnya, ia tertarik dengan penawaran yang akan Tetsuya berikan. Kepala desa hanya dapat menghela nafas, putranya jarang sekali menunjukkan emosi, namun apa yang ia saksikan membuat pria paruh baya itu gugup mendengar putranya akan menawarkan sesuatu.

"Akashi Sei-kun, perkenalkan, aku Tetsuya. Langsung saja, aku menawarkan tubuhku sebagai bayaran tambahan akan jasa pembasmian yang akan kau lakukan." Tutur Tetsuya.

"Hm? Nilaimu?" Jawab Sei dengan mata memicing. Menurut Tetsuya, tatapan itu ibarat menelanjanginya secara tidak langsung.

"Aku belum pernah bercinta." Jawab Tetsuya datar. Bola matanya memutar, tidak ingin beradu pandang dengan sang pendekar.

Manik dwiwarna kedua kakak beradik itu langsung melebar dilanjutkan dengan sang kakak yang menampilkan senyum seringaiannya dan sang adik yang hanya dapat menghela nafas, mengetahui kearah mana pembicaraan mengenai penawaran ini akan berakhir. Ia menurunkan pandangan matanya dan menghela nafas. Capai dan pilu yang dirasakannya membuatnya mual.

"Kuanggap kau sudah menerima pengajuanku, Akashi-kun." Kuroko melanjutkan.

"Kalau begitu apakah kami dapat beristirahat sekarang? Perjalanan panjang yang kami tempuh cukup menguras tenaga." Jelas Sei, sambil melihat helaan nafas yang barusan dihembuskan oleh Seijuurou.

Seijuurou hanya dapat tersenyum tipis, tapi senyum itu berganti menjadi sebuah kernyit setelah melihat tatapan Tetsuya ke arah sang kakak. Dia mengerti arti tatapan itu, tatapan yang selama ini ia rasakan ketika para wanita dan pria yang mendekati Sei, yang berusaha untuk menangkap perhatian kakaknya. Ia menggertakkan giginya dan menundukkan kepalanya, menyembunyikan air mukanya dibalik poninya, tidak terkecuali kepalannya juga mengeras. Seijuurou tidak suka cara Tetsuya memandang kakaknya.


Hari masih gelap dan Seijuurou terbangun dari tidurnya, ia menggosok matanya sembari menguap. Pemuda bermanik merah itu menatap ke arah kakaknya yang tidur di sebelahnya. Seijuurou tersenyum hangat, ia merasa mendapatkan keistimewaan khusus mengenai pemandangan yang tersemai di hadapannya. Betapa leganya ia dapat melihat paras kakaknya selagi ia masih berada di dunia mimpi.

Seijuurou menahan agar tidak tergelak melihat ekspresi dan pergerakan kecil kakaknya. Sei perlahan membuka matanya sedikit, mendengar suara gelak kecil yang ia dengar membuatnya terbangun dari tidur nyenyaknya.

"Seijuurou, berhenti tertawa dan kembalilah tidur, matahari belum terbit." Sei menatap adiknya malas, sungguh ia mengantuk karena perjalanan panjang mereka, tapi adiknya membuatnya terbangun dari tidur lelapnya dan tergelak kecil. Sei bangun dan mengubah posisinya menjadi duduk dan segera menjatuhkan dirinya di atas badan Seijuurou. Dengan posisi mendongak melihat ke arah Seijuurou. Sebelum sang adik sempat mengisar, Sei mengalungkan kedua lengannya untuk memeluk adiknya, tidak membiarkannya lepas. Sepasang manik merah itu terbelalak dan terdengar suaranya tergelak.

Sei hanya tersenyum melihat tanggapan adiknya. "Tidak usah khawatir, kakak akan berada di sini ketika kau bangun nanti."

"Mmnn.." Seijuurou mengangguk dan menyelusur ke posisi tidurnya. Sei tidak melepaskan pelukannya dan mereka menyongsong pagi hari dengan posisi tersimpul satu sama lain.

Cahaya mentari menembus gorden yang tersemat di atas jendela. Sei perlahan membuka matanya dan melihat sekelilingnya, Seijuurou sudah tidak berada di sampingnya. Ia mencoba untuk keluar dari kamarnya tapi suara pintu geser membuatnya berpaling.

"Kakak sudah bangun?"

Rambut yang sedikit lembab karena basah dan pakaian yang dikenakan oleh Seijuurou hanya membuat Sei mengalihkan pandangannya. Jika Seijuurou bukan adiknya pasti ia sudah menyerangnya.

"Kukira kau kemana. Aku khawatir terjadi sesuatu denganmu." Jelas Sei.

"Kak, aku baik-baik saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri dan hei!Berhenti melempariku dengan bantal."

"Dan itu ucapan selamat pagimu pada kakakmu?"

"Baiklah, selamat pagi kakak. Dasar." Seijuurou tersenyum. Ia menunduk dan mengambil bantal yang jatuh. Sei menatap belahan yang muncul dari pakaian itu ketika Seijuurou menunduk. Belahan pakaian itu memperlihatkan kulitnya yang putih mulus, sepasang kuncup puting berwarna merah muda kecoklatan tersemat di dada sang adik, juga disertai tetesan air yang jatuh dari surainya yang lembab itu membasahi ceruk lehernya. Wajah Sei memanas, sepertinya sang kakak belum bangun sepenuhnya dari tidur lelapnya, dan tentu saja cara tercepat adalah dengan mandi. Tidak ada yang lebih jitu dibanding menyegarkan tubuh dan pikirannya dengan mandi pagi.

Perjalanan ke sumur untuk menimba air membuat setiap mata pemuda pemudi yang berada di desa itu mengikuti Sei. Ia menghela nafas lalu berjalan kembali masuk ke kamar dan menggandeng pergelangan tangan adiknya. Untunglah Seijuurou telah berpakaian rapi, tapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Seijuurou terkejut dan kebingungan, bukankah kakaknya ingin pergi ke sumur untuk membersihkan diri?

"Kak? Ada apa? Aduh, pelan-pelan, pergelanganku sakit, kak." Sei langsung melonggarkan genggamannya.

"Ah, maaf. Aku hanya ingin kau tolong berjaga selagi aku mandi. Dari tadi selama berjalan, aku terus dipandangi orang-orang. Tentunya kau tidak ingin kakakmu dinodai bukan?" Goda Sei.

"Bahkan aku tidak mengkhawatirkanmu akan dinodai. Aku mengkhawatirkanmu yang akan menodai orang kak. Dasar." Geleng Seijuurou.

"Ah..." Sei tergelak. Adiknya memang paling mengerti dirinya. 'Ya... Memang ikatan darah tidak akan pernah berbohong.'

Jujur saja, semakin Seijuurou menginjak usia yang lebih matang, Sei kesulitan untuk tidak menatapnya. Lehernya yang jenjang, kulitnya yang mulus seputih susu dan gerak-gerik Seijuurou membuatnya hanya bisa mengalihkan pandangannya dan meneguk gumpalan liur yang bersarang di tenggorokannya.


Kedua kakak beradik Akashi itu mencoba mengumpulkan informasi dengan berkeliling desa. Hari pertama di desa itu berlalu dengan tenang, tidak ada insiden apapun, begitu juga dengan hari kedua. Hari ini hari ketiga dan tidak banyak informasi yang bisa didapatkan dari penduduk desa selain mereka yang menemukan korban-korban dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Hampir seluruh korban yang diperiksa diduga meninggal ketika tenggelam di dalam perairan. Seijuurou mengangguk pelan sembari menatap kakaknya. Mereka lekas menuju tepi sungai, ingin memeriksa tempat itu lebih jauh. Sungai itu merupakan tempat ditemukannya korban terakhir.

Setibanya di sana, mereka hanya disambut oleh gemericik dan arus sungai yang tidak terlalu deras. Nihil, mereka tidak menemukan apapun ketika mencari petunjuk yang dapat menuntun mereka untuk meretas siluman misteri itu. Kedua Akashi itu sepakat untuk berpencar dan berpisah, Sei tetap pada tujuan awalnya, mencari informasi, sedangkan Seijuurou mencari petunjuk di setiap daerah perairan yang ditemuinya.


KurokoTetsuya memperhatikan Sei yang sedang bercakap-cakap dengan wanita paruh baya pemilik kelontong. Pemuda bersurai biru langit itu kerap melakukan pendekatan kepada pendekar itu, namun selalu gagal karena selalu melihatnya berdua dengan Seijuurou. Tapi dewi fortuna memang sedang berada dipihaknya hari ini, betapa cerahnya ekspresi yang ditunjukkan paras seorang KurokoTetsuya ketika ia mendapati pendekar dambaannya sedang sendirian.

Dari tata perilaku yang Sei perlihatkan, Tetsuya bisa melihat jika Sei sedang berusaha untuk mengumpulkan informasi mengenai siluman yang menyerang desanya. Ia tersenyum simpul dan bergegas berjalan ke arah pemuda itu.

.

.

.

"Begitu, ya... Hanya beberapa korban yang ditemukan tenggelam. Lalu kita kelompokkan ke dalam tata perilaku yang dimiliki tiap korban yang diduga tenggelam dengan yang korban yang mendapat beberapa jejak basah pada pakaiannya..." Gumaman Sei berhenti ketika ia merasakan pundaknya diketuk oleh jari seseorang yang lebih pendek darinya. Sei menatap ke belakang, ingin melihat siapa yang mengganggunya ketika ia sedang berusaha untuk meretas kasus.

"Akashi-kun."

"Tetsuya, ada apa?" Sei tampak kebingungan. Ia belum menyelesaikan kasusnya dan sekarang bayaran yang menunggunya di ujung terowongan menemuinya.

"Tidak, hanya penasaran dengan apa yang kau lakukan." Tetsuya tersenyum tipis. "Apakah aku mengganggu Akashi-kun?"

"Jika kau mengganggu, aku sudah mengusirmu sedari tadi, Tetsuya." Jawab Sei sambil menyeringai.

Tetsuya menatap Sei dalam-dalam. Ia memperhatikan gerak-gerik Sei dengan cermat. Sei yang merasa diperhatikan merasa terganggu.

"Tetsuya.. Katakan apa maumu. Hari sudah sore, kau mau aku menghabiskan waktuku hanya untuk bermain kata denganmu?"

Tetsuya tergelak, ia tidak menyangka Sei akan mengerti maksud tatapannya. Ternyata tidak sia-sia ia menatap pendekar itu dalam-dalam.

"Jika aku mengatakan aku menginginkan Akashi-kun, apakah Akashi-kun bisa mengabulkannya?"

"Tetsuya, aku tidak sedang bercanda."

"Akashi-kun, aku serius. Aku menginginkanmu." Jawab Tetsuya sambil meletakkan tangannya di dada Sei. Leher jenjang putih yang tidak kalah dari Seijuurou itu mendongak menatap Sei tajam. Belahan pakaian yang tadinya membungkus rapat dada Tetsuya kini tersibak sedikit, memperlihatkan dasar leher yang menggoda. Sei hanya bisa meneguk liur dan Tetsuya tersenyum merekah.

"Kau mengerti maksud ucapanmu, bukan?"

"Oh, Ayolah Akashi-kun, tidakkah kau ingin mendapatkan deposit bayaran yang kutawarkan tiga hari yang lalu?" Manik Tetsuya memicing tajam. Ia tidak suka diperlakukan seperti lelaki bodoh yang tidak mengerti akan seks, terlebih lagi ia sudah berusia 16 tahun. Tetsuya sudah cukup matang untung bukannya tidak pernah dirayu, tetapi ia selalu menolak. Tidak ada wanita ataupun lelaki yang membuatnya berdebar. Namun hal itu berbeda sekarang, pemuda bersurai merah dengan manik dwiwarna membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama dan ia harus mendapatkan perhatiannya.

Jawaban Tetsuya membuat Sei terbelalak tidak percaya. Kesan pertama yang ia dapat dari pemuda bersurai biru itu adalah kehadirannya yang tipis dan kejujurannya. Sei tidak tahu kemana pemuda yang terlihat naif itu pergi, namun pemuda yang berada di depannya kini tidak lain adalah KurokoTetsuya yang menawarkan tubuhnya sebagai bayaran. Namun gairahnya sudah dipicu oleh pemuda di hadapannya, ibarat menyuluhi untai lilin.

Sei menarik lengan Tetsuya dan menyeretnya ke hutan. Ia memosisikan Tetsuya di depan pohon yang cukup besar, pendekar itu meletakkan lengannya di masing-masing sisi Tetsuya, mengunci area geraknya. Tetsuya tidak membantah, ia melingkarkan lengannya di ceruk leher Sei menatap manik dwiwarna yang memperlihatkan kilat nafsu didalamnya. Sei menatap manik biru langit Tetsuya yang sama dengannya, penuh nafsu. Tubuhnya menggeliat seakan meminta Seisegera melucuti pakaiannya dan menyetubuhinya secara langsung.

Sei mendekatkan wajahnya ke wajah Tetsuya. Diciumnya bibir Tetsuyapelan dan pemuda bersurai biru langit itu menyambut ciuman itu dengan menutup manik biru langitnya. Terasa dari pagutan yang diterimanya, Tetsuya tidak berpengalaman dalam hal ini dan hal itu membuat Sei semakin bersemangat. Ciuman itu semakin lama semakin intens dan basah. Jalar liur mengalir dari ujung bibir Tetsuya. Tangan Sei meraba-raba bahu Tetsuya dan menurunkan atasan pakaian pemuda itu.

Ibu jarinya menekan-nekan kuncup puting Tetsuya dan pemuda itu menyalak tidak sengaja. Sei tidak melepaskan kesempatan di mana bibir Tetsuya sempat terbuka dan segera memasukkan lidahnya, mencicipi rongga mulut pemuda itu. Lidah mereka bertemu dan beradu untuk memenangkan posisi dominan. Tentu saja Sei memenangkan pertarungan lidah mereka dan ia kembali menjelajahi bibir perawan itu. Mencicipi nektar manis Tetsuya. Sei juga mencubit puting Tetsuya lembut dan membuatnya mengerang nikmat.

Sei melepaskan ciuman mereka karena kurangnya pasokan oksigen. Ia menatap Tetsuya sedari bernafas pelan. Wajah pemuda bermanik biru langit itu memerah dan peluh mulai mengalir dari pelipisnya. Tetsuya juga terengah-engah dalam bernafas dan terlihat bahwa matanya sembab, berusaha untuk menahan air matanya yang hampir jatuh karena kegiatan mereka. Bibirnya sedikit bengkak dan jalar liur di ujung bibirnya terlihat jelas.

Pendekar itu mendekatkan bibirnya ke telinga lawan bicaranya dan membisikkan, "Bersemangat sekali, eh, Tetsuya?" lalu ia menjilat cupingnya. Jemarinya meremas pantat Tetsuya dengan intens dan aksi Sei hanya membuat Tetsuya merintih, berharap lebih. Jilatan lidah pemuda bermanik dwiwarna itu tidak selesai sampai disitu, ia kembali menciumi leher putih Tetsuya dan menghisapnya pelan. Biasanya ia selalu memberikan bekas cupang yang sangat kentara, tapi tidak tahu kenapa ia memilih untuk tidak melakukannya.

Tetsuya mengerang nikmat merasakan dasar lehernya ditandai. Ciuman-ciuman dan hisapan pelan itu menjalar hingga dadanya. Sei menghembuskan nafasnya pada salah satu puting Tetsuya yang sedikit mengeras dan pemuda itu mendesah. Pendekar itu menekan-nekan selangkanganTetsuya, ia sadar, Tetsuya sudah setengah mengeras. Sei orang yang sabar, ia mendongak dan melihat ekspresi Tetsuya sebelum melanjutkan kegiatannya yang terhenti. Tetsuya yang kebingungan menunduk dan bertanya-tanya mengapa Sei tidak melanjutkan ministrasinya.

"Akashi-kun? Me-mengapa berhenti?" Tetsuya bertanya dengan suara yang bergetar. Ia tidak tahu seberapa lama lagi ia masih bisa berdiri dengan kaki yang sudah perlahan bertransformasi menjadi jeli.

"Memohonlah, Tetsuya. Memohonlah agar aku dapat memasukkan milikku ke dalam lubang perawan itu."Sei menyeringai. Terlihat bahwa ia ingin melihat Tetsuya menjadi seseorang yang tidak tahu malu di bawahnya ketika disetubuhi.

Tetsuya menggigit bibir bawahnya, seakan ia takut. Tapi hal itu hanya membuatnya lebih yakin bahwa Sei dapat memberikan apa yang ia inginkan.

"Jadi? Apa maumu Tetsuya?"

"Akashi-kun.. Setubuhi aku.."


Seijuurou tidak menemukan apapun selain suara gemericik dan arus sungai di daerah perairan yang ia hampir sedari siang hingga sore ini. Penduduk desa juga tidak memberikan banyak informasi yang dapat menambah petunjuk. Pemuda itu menghela nafas, sepertinya tidak akan ada petunjuk lagi untuk hari ini. Pikirannya masih tertambat pada beberapa bukti dan asumsi yang masih ia pertanyakan.

Korban yang ditemukan jasadnya hanyalah korban yang berumur paruh baya, sedangkan sisanya menghilang tanpa jejak. Secara tidak langsung bahwa pelaku lebih memilih korban yang umurnya lebih muda sebagai pemuas perutnya. Lalu mengapa ada bekas gigitan di anggota tubuh korban yang berusia paruh baya?

Sebelum matahari terbenam, Seijuurou yang berjalan meninggalkan daerah perairan melihat sesuatu yang berkilau di dekat bebatuan. Ia mengambil benda yang berkilau itu dan memeriksanya dengan saksama. Mencermati benda yang berkilau itu Seijuurou sudah yakin bahwa tidak bisa dipungkiri lagi pelakunya adalah siluman. Ah, Seijuurou mengerti sampai di mana petunjuk ini membawanya dalam kasus ini. Ia hanya perlu memberikan kertas yang sudah ditulisi mantra kepada setiap penduduk desa untuk menerka lokasi mereka. Dengan petunjuk tambahan yang ia dapat membuatnya tersenyum. Seijuurou ingin tahu sampai di manakah kakaknya mendapat petunjuk dengan menggunakan kemampuannya dalam mengorek informasi dari penduduk desa.

Pemuda dengan surai merah itu berjalan meninggalkan daerah perairan itu menuju ke penginapan yang disediakan oleh Kepala desa secara cuma-cuma untuknya dan kakaknya. Ia berharap dapat membagi informasi yang didapatkannya dan membaginya bersama Sei. Matahari terbenam dan langkahnya pergi menjauhi daerah itu.

.

.

.

.

.

'Kakak belum kembali?'Seijuurou mengerutkan alisnya. Hari sudah malam dan sang kakak belum juga terlihat batang hidungnya. Ia mencoba memeriksa kamar, barangkali kakaknya telah kembali sedari tadi dan sudah terlelap karena kelelahan. Cenayang itu masuk ke dalam kamar. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Sei di dalam kamar yang mereka tinggali, semua sama seperti terakhir kali mereka meninggalkan kamar itu.

Seijuurou bergegas keluar dari kamar. Ia membawa pakaian tambahan dan lentera yang sudah dinyalakan apinya. Ia menelusuri daerah yang ia hampir ketika masih bersama dengan kakaknya pagi hingga siang dini hari. Nihil, tidak ada tanda-tanda kehadiran Sei di sana. Seijuurou mulai cemas, ia berjalan cepat memeriksa tempat yang berpotensi akan didatangi oleh Sei.

Di saat Seijuurou menyerah untuk menemukan kakaknya dan berjalan kembali ke arah penginapan, ia menemukan jalan setapak yang mengiringnya ke hutan. Jalanan itu tampak asing, namun rasa penasaran jauh lebih besar dibanding dengan rasa bingungnya. Semakin Seijuurou masuk ke dalam hutan itu, terdengar sayup-sayup suara rintihan. Seijuurou segera sigap dan bersembunyi dibalik semak di dekat pohon. Ia meringkuk dan berjalan maju, menggunakan suara itu sebagai acuan tujuannya.

"...un. A...hah.."

Suara itu, bukankah suara Kuroko? Suara tepak kulit mengiringi rintihan dan erangan seorang KurokoTetsuya. Seijuurou merasakan firasat buruk akan sesuatu yang akan disaksikannya ini. Pemuda bermanik merah itu memberanikan diri untuk mengintip. Betapa terkejutnya dia melihat pemandangan yang sedang dilakukan kakaknya dengan Kuroko.

Mereka berdua setengah telanjang. Kuroko dengan posisi membelakangi dan Sei yang terus menghujam miliknya ke dalam dubur milik pemuda bersurai biru langit itu. Pakaiannya kusut dan tersingkap ke segala arah. Kuroko yang mengerang nikmat dengan jemari Sei yang memompa kelamin pasangannya malam itu. Sedangkan jemari lainnya memainkan puting Kuroko yang telah sepenuhnya mengeras. Mereka berdua tampak menikmati malam yang masih dini itu. Sei bersama senyum seringaiannya dan Kuroko yang terus merintihkan nama kakaknya, meminta untuk mempercepat gerakannya.

Seijuurou menatap horor pemandangan yang disuguhkan didepan matanya. Sakit. Hatinya sakit sekali. Seharusnya ini bukan pertama kalinya ia memergoki kakaknya sedang melakukan hubungan intim. Tetapi apa yang ia takutkan telah terjadi. Firasat buruknya akan tatapan Kuroko kepada Sei menjadi kenyataan dan Seijuurou tidak bisa menyangkalnya.

Perlahan Seijuurou mengetuk dada kirinya dengan kepalan tinjunya, menanyakan apakah ia masih berada di sana? Menyaksikan persetubuhan kakaknya? Genggamannya akan lentera yang telah di sulut api perlahan melonggar. Lentera itu jatuh dan menimbulkan suara yang cukup terdengar oleh ketiga orang itu.

Sei membelalakkan matanya. Terdengar suara dari daerah semak-semak dan ia melihat ke arah suara itu berasal.

"A..Akashi-kun?" Tanya Kuroko kebingungan. Ia memutar bola matanya dan terbelalak. Seijuurou berdiri diam di sana. Secara otomatis Kuroko langsung sigap merapikan pakaian dan menyeka jejak liur yang mengalir dari ujung bibirnya. Ia tidak lupa memakaikan pakaian Sei, walaupun pria yang baru saja menyetubuhinya hanya diam membatu di sana.

Seijuurou membungkuk dan mengambil lentera yang terjatuh.

"Maafkan aku telah mengganggu kegiatan kalian. Sebaiknya aku kembali ke penginapan. Kak, perlakukan Kuroko dengan baik." Seijuurou berusaha untuk menyembunyikan suaranya yang bergetar. Perlahan ia melangkah dan meninggalkan daerah itu.

"Seijuurou! Tunggu" Sei tidak mengacuhkan pemuda bersurai biru langit itu dan langsung mengejar adiknya yang tampaknya terburu-buru. Melihat ekspresi terkejut Seijuurou membuatnya merasa bersalah.

Langkah cepat tentu saja tidak bisa mengalahkan langkah kaki yang sedang berlari. Sei menyusulnya dengan mudah. Dicengkeramnya bahu dan ia memutar balik badan adiknya itu. Air muka Seijuurou kosong tapi perlahan ia mendongak dan menatap kakaknya.

"Seijuurou, maafkan aku. Tidak seharusnya aku menyetubuhinya sebelum menyelesaikan kasus yang se-"

"Aku mencintaimu, kak.." Seijuurou menyatakan. Emosi yang sudah ia kemas dengan topeng setiap berhadapan dengan kakaknya lepas. Ia lelah. Lelah sekali dengan seluruh topeng yang ia gunakan setiap hari untuk menyembunyikan perasaannya. Seijuurou tidak tahu bagaimana ekspresi wajah yang sedang dikenakannya sekarang.

Sei tidak membalas. Ia berdiri diam, mematung. Cengkeramannya di bahu Seijuurou dilepaskan secara paksa oleh sang adik. Manik dwiwarna itu terus menatap senyum getir Seijuurou.

"Mungkin sebaiknya, setelah kasus ini selesai, kita mengambil jalan masing-masing. Kakak sudah dewasa dan kakak sudah bisa memilih mitra kakak sendiri. Aku tidak yakin aku dapat menyembunyikan perasaanku lebih lama lagi jika harus terus bersamamu dan menyaksikanmu terus menyetubuhi wanita maupun pria asing seiring bergantinya hari." Sei berhenti dan menyeka air mata dengan punggung tangannya dan melanjutkan, "Selama ini aku terus menahan diri dan berharap kau akan melihatku. Tapi darah lebih kuat dibanding perasaan dan aku sadar akan hal itu. Kakak tidak mungkin mencintaiku karena faktanya aku adalah adik kandungmu, saudara sedarah denganmu." Seijuurou berbalik dan berjalan meninggalkan Sei yang masih diam mencerna apa yang baru saja ia dengar.

Langkah-langkah santai itu menjadi lari kecil. Seijuurou terus berlari dan akhirnya ia berhenti. Ia terduduk dan bak kendi yang terjatuh jika disenggol, air matanya tumpah. Seijuurou menangis terisak. Manik merah itu merutuki dirinya sendiri karena telah membuka rahasia yang disimpannya di lubuk hatinya terdalam. Topeng yang selama ini ia kenakan, hancur berkeping-keping dan yang paling ia takutkan adalah perpisahan yang tidak akan lama lagi. Namun nasi telah menjadi bubur, apa yang telah terjadi tidak dapat ia ubah.

Mengingat ekspresi Sei saat mendengar pernyataan yang dipaksa itu membuatnya cemas. 'Kakak pasti membenciku. Kakak pasti menganggapku menjijikkan. Kak Sei pasti menganggapku gila.' Suara itu terus menggema dalam benakknya. Seijuurou tidak ingin kembali ke penginapan. Hatinya belum siap untuk menerima semua penolakan beruntun yang akan diterimanya. Biarlah untuk saat ini ia menikmati kesendiriannya, luka hatinya, betapa pilunya mengingat ekspresi terkejut Sei ketika ia tidak sengaja menyatakan perasaan tabunya itu.

Seijuurou mengerti, Kuroko tidak bersalah. Ia hanya jatuh ke dalam pesona kakaknya seperti orang-orang yang selama ini berlalu lalang menghampiri Sei. Lelah menangis, Seijuurou mulai mengantuk. Ia sadar ia berada di daerah yang tidak dikenalnya. Namun ia lebih memilih untuk bermalam di dekat danau itu dibanding harus menghadapi kakaknya.

Danau itu tidak sepi, ada suara jangkrik dan cahaya kunang-kunang. Sayang, yang menemaninya bukan Sei. Seijuurou merapal mantra dan menciptakan tabir pelindung yang membungkus sekeliling dirinya dan terlelap dalam tangisannya.


Sei masih terdiam. Ia sulit sekali mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh adiknya. Seijuurou mencintainya? Bukankah hal itu terlarang? Bukankah dia adiknya? Mengapa? Pertanyaan terus muncul dalam benak Sei. Ia tidak sadar jika Kuroko telah meremas bahunya untuk ke sekian kalinya.

"Akashi-kun?" Kuroko bermandikan cahaya bulan, mengusap tubuhnya yang penuh peluh karena kegiatan panas mereka tadi.

Sei tidak membalas. Ditatapnya Tetsuya sekilas, peluh yang membasahi mereka berdua mulai mendingin. Apa yang ia lakukan? Selama ini ia tidak tahu akan perasaan Seijuurou terhadap dirinya. Apa yang Seijuurou suka darinya? Sudah berapa kali ia menyakiti hati adiknya tanpa sepengetahuannya? Berapa lama Seijuurou menahan dan memaklumi tindakannya?

"Pakai ini, aku akan mengantarmu pulang."

"Ta-tapi..Akashi-kun.. Aku..." Sei menunduk. Oh. Pinggulnya ke bawah terlihat seperti jeli. Tetsuya tentu tidak bisa berjalan setelah duburnya dicabuli seperti itu untuk pertama kalinya. Niatnya ingin cepat-cepat untuk menyelesaikan masalah, ah, mungkin sebaiknya besok saja, setelah hati dan pikiran Seijuurou tenang.

Hup

"Jangan memberontak." Sei memerintah. Ia memosisikan Tetsuya di bahu kirinya. Setidaknya hal itu yang dapat ia lakukan. Ia masih harus meretas pekerjaannya yang sempat tertunda tadi dan... Seijuurou.

"Tidak adakah cara yang lebih umum untuk menggendongku? Dengan posisi seperti pengantin misalnya?" Gerutu Tetsuya.

"Kau itu laki-laki." Mendengar itu, Tetsuya mendengus.

Suara teriakan serta langkah kaki berlari membuat Seijuurouterbangun dari tidurnya. Ia menghapus tabir pelindung yang ia ciptakan kemarin dan segera bangkit berdiri. Penasaran akan apa yang terjadi, Seijuurou keluar dari daerah danau dan berlari mengikuti penduduk desa.

"Ada sesuatu yang terjadi?"

"Katanya ada korban lagi, kali ini jasadnya ditemukan di daerah akhir sungai."

Seijuurou mengerutkan alisnya. Bukankah daerah itu sudah diperiksanya kemarin? Ia tidak menemukan apapun. Tiba-tiba ia teringat akan benda berkilau yang ditemukannya kemarin sore.

'Ah...'

.

.

tbc