Sebuah usaha bunuh diri (Latin: tentamen suicidii) merupakan upaya di mana seseorang mencoba untuk bunuh diri tapi bertahan. Hal ini sering disebut sebagai gagal usaha bunuh diri atau nonfatal usaha bunuh diri.
.
.
.
Apabila kau ingin bertanya seperti apa rasa racun serangga, maka bertanyalah kepada Heiwajima Shizuo. Kemungkinan besar ia akan sudi menjawab, sekalipun diiringi oleh dengusan kasar dan suruhan untuk segera minggat sesudahnya. Kecuali, apabila kau rela menghabiskan seratus atau dua ratus yen uang jajanmu pada mesin penjual otomatis di koridor, lalu mengiming-imingi Shizuo dengan sekotak susu stroberi. Paling tidak, begitulah kata anak-anak kelas sebelah.
Apa?
Ini bukan bercanda, ya. Karena Shizuo benar-benar sudah pernah mengonsumsi benda tak lazim itu. Bukan hanya sekali, malahan, tetapi berulang kali. Dan pada setiap usahanya, Shizuo selalu berhasil bertahan hidup, sehat seperti sedia kala, seakan bahan kimia yang seharusnya merusak setiap sel tubuhnya menguap tak berbekas.
Apakah itu artinya Shizuo manusia super? Apakah berbagai media mewawancara Shizuo dan memintanya tampil di TV untuk memperlihatkan bakat luar biasanya tersebut?
Tidak juga.
Sebab satu hal lagi yang perlu kau ketahui, adalah bahwa setiap kali Shizuo membiarkan zat-zat berbahaya tadi memasuki tubuhnya, semuanya dilakukan dalam keadaan sadar. Sadar kalau cairan pembunuh hama itu sejatinya sanggup membawa dirinya lebih cepat ke depan pintu ajal. Sadar bahwa benda itu akan mengantarnya menuju tujuan utama, yakni mengakhiri hidup.
Nah, sekarang bayangkan betapa kesalnya Shizuo ketika setiap usahanya memakan racun berakhir dengan kegagalan; jantungnya terus berdetak dalam ritme teratur, bak mengolok Shizuo yang hendak melawan takdir Yang Maha Kuasa.
Dan semuanya,
Cuma gara-gara,
Aturan laknat itu.
Sebab di dunia tempat Shizuo hidup (dan mati, segera), Sang Semesta tak menginzinkan siapapun melarikan diri dari realita serta melawan takdir usia; kecuali dengan satu syarat: Jika tak ada seorangpun lagi yang masih tulus mengasihi si calon pembunuh-diri.
Namun menurut Shizuo, itu semua cuma omong kosong. Karena biarpun ia merasa yakin telah memenuhi persyaratan tersebut, nyatanya tak penting berapa kali pisau menyayat habis pembuluh arteri, maupun tali tambang menyumbat jalur pernapasan hingga berhenti; Shizuo akan segera kembali pada titik di mana ajal masih jauh dari pandangan.
Sebab siapa lagi sih, di Bumi ini yang masih mau mencintai Shizuo?
Teman? Semua orang menjauhinya karena perilaku yang dianggap kasar dan berbahaya. Shizuo hanya pengaruh buruk yang tersesat di tengah-tengah masyarakat normal.
Kekasih? Apalagi ini, jangan harap karena semua wanita takut kepadanya. Sekalipun ada yang terkagum pada tampilan fisik Shizuo, seharusnya hal ini tidak berlaku karena tidak termasuk ke dalam golongan 'cinta yang tulus'.
Keluarga? Mereka semua sudah lebih dulu meninggalkan Shizuo. Jangan bertanya lebih jauh lagi soal masalah ini kalau tidak ingin merasakan buku-buku jari Shizuo tepat di wajahmu.
Mereka semua ketakutan terhadap Shizuo. Dalam semesta yang situasinya begini keinginan mati tak 'kan sanggup ditutup-tutupi. Bagaimana kalau aku nanti kepingin bunuh diri juga gara-gara bergaul dengan dia? Bagaimana kalau nanti malah aku yang dibunuhnya? Tidak seorangpun mencintai monster itu. Tidak seorangpun mencintai monster itu. Tidak seorangpun mencintai monster itu.
Tidak seorangpun mencintai Heiwajima Shizuo.
Lalu mengapa, Semesta?! Rasanya Shizuo ingin berteriak murka pada entah apa di atas sana yang membuat hidup-matinya begitu merana. Aku punya alasan bagus untuk mati sekarang!
Semesta tetap tak acuh. Setiap malam Ia tidak pernah menjawab, dan setiap malam pula Shizuo kembali mengukir waktu berhias tinta merah gelap di atas kanvas pribadinya.
Sudah lima menit lebih laki-laki aneh berkacamata itu melihat ke arah sini dari meja kelas yang terletak tepat di samping posisi Shizuo. Hampir tak berkedip. Kesabaran Shizuo lama-kelamaan habis bersamaan dengan setiap detik yang berlalu. Pemuda berambut pirang itu mendecih, dan akhirnya, menggertak.
"Oi,"- lelaki berkacamata itu lantas mengerjap kaget, sadar dirinya ketahuan - "apa maumu lihat-lihat begitu?"
Ia tampak salah tingkah. Membenarkan letak kacamata dan terbata-bata merangkai kalimat. "Ah... Heiwajima-kun. Boleh kupanggil Shizuo saja, tidak?"
Si pemilik nama mengangkat sebelah alis. Nasib anak itu kelihatan tidak jauh beda dengan Shizuo - setidaknya di bagian 'enggak punya teman dan selalu berakhir sendirian'. Barangkali tadi bocah aneh ini melihat aneka goresan tipis yang mengintip dari bawah lengan kemeja Shizuo, atau bekas kemerahan yang tersembunyi di balik kerah seragam miliknya. Barangkali itu semua membuatnya merasa kasihan terhadap kondisi Shizuo kini.
Namun menurut Shizuo itu bodoh, bodoh. Bodoh dan menjijikkan. Tidak ada yang perlu dikasihani. Ia benci dikasihani. Toh ini pilihan yang telah ia buat, jadi apa salahnya?
"...terserah."
Cowok aneh tersebut bertepuk gembira seperti anak kecil, sepenuhnya tak acuh pada sarkasme dingin yang baru saja ia lemparkan seperti belati. "Bagus! Aku Kishitani Shinra!"
"Salam kenal, Shinra-kun." Satu kalimat (yang jelas masih bernada ragu-ragu) dan Shizuo kembali menikmati pojok pribadinya di sisi kelas. Hanya saja rupanya Shinra belum selesai berbicara.
"Kau..." Shinra berbisik, membuat Shizuo menoleh, selagi lawan bicaranya menatap dirinya lekat-lekat. Pada saat itulah Shizuo menangkap kilatan janggal, mungkin rasa penasaran, mungkin rasa bersemangat; dalam kedua netra cokelat itu. "...tidak akan mampu bunuh diri, kau tahu soal itu 'kan?"
Shizuo memicingkan mata. Rupanya Shinra sama sekali bukan tipe orang kebanyakan yang kerjanya mengasihani; tetapi ia juga tidak merasa nyaman berada di bawah pandangan si mata-empat itu. Shinra memberikan aura seakan ia sedang memerhatikan Shizuo di bawah lensa mikroskop. Membuat Shizuo tidak merasa seperti manusia, melainkan objek pemuasan rasa ingin tahu Shinra. Seakan Shinra selalu tahu terlalu banyak.
"Ya."
"Tahu alasannya kenapa?"
"Ya. Lalu apa kaitannya denganmu, hm, Shinra-kun?" Ujung bibir Shizuo nyaris secara refleks melengkung naik membentuk seringaian mengancam, memberikan penekanan pada setiap kata yang mengacu pada lelaki satunya.
"Eh? Jangan marah dulu, Shizuo-kun. Aku ini cuma menyampaikan pesan," buru-buru ditahannya tempramen Shizuo - yang tidak pernah bisa dibilang penyabar sejak awal - lalu ia menggaruk tengkuknya setengah kebingungan. "Um... bagaimana menjelaskannya ya..."
Kaki Shizuo sudah mengetuk-ngetuk sebal. "Menjelaskan apa?"
Cengiran bodohnya itu masih terpasang di atas wajahnya yang sungguh memuakkan. "Ah, begini saja," di luar ekspektasi, laki-laki itu mencondongkan tubuh mendekat, lalu mengulurkan tangan kanannya tepat ke depan Shizuo, yang mana di sisi lain otomatis mundur sambil menatap kelima jari kurus tersebut curiga. "Pegang tanganku," ia memerintah tanpa basa-basi.
"Ha...?"
"Pegang saja," Shinra kembali tersenyum miring, "kau mau lihat enggak?"
Shizuo bersiap melempar meja kalau Shinra melakukan hal aneh-aneh yang memicu amarahnya. "Maksudmu?"
"Kau mau lihat orang yang membuatmu enggak bisa mati, tidak?"
Tepat di saat kulit Shizuo berkontak dengan kulit dingin Shinra, keadaan kelas masih seperti biasa. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing dan tentu saja tidak ada satupun dari mereka yang mau menghabiskan waktu memberikan perhatian kepada kedua cowok itu. Normal, tidak ada perubahan yang signifikan.
Hingga tak lama kemudian napas Shizuo tercekat ketika ia akhirnya menangkap sebuah kejanggalan.
Ia yakin benar bahwa sedetik yang lalu, tidak ada pemuda bermata krimson dan berhelai rambut segelap malam yang berdiri dengan begitu angkuhnya di belakang punggung Shinra. Untuk pertama kalinya dalam satu periode waktu cukup lama, setiap sel dalam tubuh Shizuo berteriak 'bunuh! bunuh! bunuh!' yang bukan ditujukan terhadap dirinya sendiri, tetapi sebagai gantinya terlimpahkan seluruhnya pada figur misterius di hadapannya.
Pemuda itu menyeringai balik.
