• Genie •
[ series (oneshot compilation) ; b x b ; bahasa ; bts ; various pairing (namjin) ; smut / m / nc-17 ]
A beautiful genie is either could fulfill your wish, or be the wish itself.
Or rather, be the one that wishes for you.
a/n: greetings. kembali lagi dengan tulisan saya yang mungkin bisa dibilang normal dari biasanya dan bertema nsfw. kali ini BTS yang jadi korban setelah EXO. mampus.
sama dengan judul nsfw oneshots compilation("Smutcapades") sebelumnya, judul "Divertillado" kali ini juga punya etimologi (asal-usul kata), yaitu:
Diver = diverge: menyimpang (english) (namanya juga cerita boyxboy nsfw, 'menyimpang' kan)
tillado = Amontillado: sejenis minuman beralkohol (sherry), yang namanya juga digunakan oleh sastrawan Edgar Allan Poe sebagai salah satu judul karya sastranya, "The Cask of Amontillado", yang disebut-sebut sebagai 'The world most perfect short stories'.
yha muluk-muluk si, gatau yang ini ceritanya gimana. moga bisa dinikmatin aja deh.
!(!((!dan jangan lupa untuk cek a/n di bawah okeyy.!)!)!
[!] not taking request. saya ragu jika permintaan anda dapat terpenuhi dengan baik oleh saya. nikmati tulisan saya apa adanya aja ya :").
[ WARNING ]
NSFW (duh). Alternate Universe.
(with some editing here and there.)
.
.
.
.
.
.
.
#
Sial.
Lelaki bertubuh tinggi itu menghempaskan tubuh jantannya ke kasur muatan satu tubuh. Sepasang mata tajamnya memutar, lalu terpejam, lalu terbuka lagi. Lain halnya dengan pikirannya yang berputar, terus berputar, tak tentu arah. Kepalanya bersandar di tangannya yang kekar, sekilas berharap agar tangannya itu menjadi sandaran masalahnya. Solusi atas masalahnya. Bukan berpihak pada kerugian saat memasang taruhan untuk satu kata 'jackpot' namun gagal. Bukan untuk meninju muka dan perut gempal lintah darat tua yang pernah membuatnya terjerat hutang, dan nyaris menjeratnya lagi. Si pejantan itu dibuat frustasi oleh satu hal.
Uang.
Uang adalah nyawanya. Oleh karena kalah taruhan, kini nyawanya tinggal kenangan. Jika nyawanya tinggal kenangan, artinya dia tidak hidup. Jika dia tidak hidup, artinya riwayatnya sudah tamat.
Sial, sial.
10 miliar. Semestinya angka yang tertera di peruntungan itu menjadi miliknya. Semestinya dewi fortuna tetap berkontribusi memberikan jasanya di saat penting dia butuh akan 'nyawa'-nya. Semestinya saat ini dia melaksanakan rutinitasnya di dunia malam, menenggak alkohol seperti kehendaknya, menggila bersama teman-teman sampai pagi. Menggoda mereka yang memanja mata, untuk meraihnya dalam pelukan semalam suntuk.
Habis, habis, habis.
Waktunya habis. Kesabarannya habis. Kewarasannya habis.
Gila, gila, gila.
Tak ada toleransi lagi. Jika tak ada Uang disisinya detik ini juga, dia bisa gila!
.
.
.
.
.
.
.
#
Namjoon beranjak dari tempat tidurnya, mengacak rambutnya yang tegak kekuningan. Sementara mulutnya mengeluarkan decakan tidak senang.
Benar-benar. Sepeser pun tak ada.
Dompet kulit berlogo 'Alexander McQueen'-nya kemudian dilempar sembarangan ke atas kasur, sebagai gantinya meraih Marlboro dan menyulut ujungnya dengan api. Berjalan ke arah jendela, membukanya lebar-lebar lalu menyandarkan dirinya. Membiarkan matanya menerawang. Membiarkan dirinya bebas. Pikirannya bebas. Sebebas angin yang berhembus lembut tak berarah membelai tubuhnya. Cerminan kehidupannya yang bebas, tak berarah maupun tujuan.
Benar, jika hidupnya bebas. Salah, jika hidupnya tak berarah, tak bertujuan. Dia hidup. Bermanfaat. Untuk dirinya sendiri. Tak ada keluarga. Tak ada sahabat. Yang ada diri sendiri, dan kesenangan.
Lelaki itu merasa benar untuk hidupnya yang sekarang. Hidup yang menyenangkan. Berteman dengan kriminalitas, negosiasi ilegal yang terus berjalan dengan limpahan keuntungan di balik topeng profesionalisme. Maka jangan sekali-kali terlibat, jika tak ingin menanggung akibat. Prinsip hidupnya yang masih bertahan hingga saat ini.
Hidup yang sempurna. Jika dengan Uang.
.
.
.
.
.
.
.
Setelah hisapan yang kesepuluh, laki-laki itu merasa otaknya kembali pulih. Telah tersusun rencana rapi di dalamnya. Begitu cepat. Tangan besarnya mengambil 6S-nya, mengetik sejumlah kata.
"Grab your things and get ready. We'll be having a long journey."
sent to: prickman.
Namjoon hanya meliputi tubuhnya dengan wifebeater dan cargo pants, dengan dukungan leather jacket hitam yang hanya ditaruh dalam bawaan, berangkat untuk tujuan selanjutnya. Mengambil kunci mobil dan berjalan menuju garasi tempat Lamborghini Reventon-nya terparkir. Tak ketinggalan rekannya yang paling setia, Marlboro.
Di langkahnya yang kelima belas berjalan keluar dari pintu, lelaki itu berhenti.
Berhenti secara tiba-tiba oleh suatu benda yang tergeletak di depan kakinya.
Benda yang berbentuk seperti bejana yang memanjang kesamping. Berwarna kuning keemasan.
Namjoon menatapnya. Benda itu sekilas mengingatkannya tentang dongeng masa kecil. Yang seingatnya dinamakan 'lampu aladin'.
Lelaki yang masih menjepit Marlboro di bibirnya itu lalu membuang puntungnya ke tanah, mematikan jejak asapnya. Sedikit heran dengan sikapnya yang terlalu peduli dengan benda mati itu.
Sesuatu yang tak diketahui darimana asalnya, seperti membisik ke dirinya untuk mencari tahu. Diikuti oleh bisikan konyol yang berbunyi 'Siapa tahu benda emas itu dapat memberikannya 'nyawa'; Uang yang berlimpah dari jin di dalamnya yang bersedia memenuhi permohonannya.
Namjoon memosisikan dirinya berjongkok, mengambil benda itu. Setelahnya mendengus kecil. Satu alisnya terangkat menelitinya.
Akhirnya dia memutuskan untuk bertindak seperti dalam dongeng, menggosoknya tiga kali. Mengharapkan datangnya keajaiban.
Namjoon menunggu.
Jika memang benda ini nyata untuk harapannya.
Akan ada kepulan asap mengebul.
Lalu muncul satu sosok.
Tentu dirinya belum sepenuhnya percaya. Masih menunggu sesuatu yang akan terjadi sebelum tertawa atas kebodohannya ini.
Dan sesaat kemudian, Namjoon tersentak.
Tersentak karena apa yang dibayangkannya benar-benar terjadi.
Satu menit berlalu, muncul kepulan asap mengebul.
Dua menit berlalu, perlahan-lahan muncul satu sosok.
Sosok yang...
.
.
.
.
.
.
.
Tidak berlebihan baginya untuk merasa seperti di negeri dongeng kali ini. Melihat parasnya. Tubuhnya.
"Hello, gentleman."
Suaranya.
Sosok yang indah.
Setelah tiga menit berlalu, begitu Namjoon menyimpulkan pemandangan yang dia dapatkan di depan mata kepalanya.
Laki-laki itu mulai serius bertanya jika mungkinkah yang dihadapannya ini hanyalah lelucon.
Juga dia tidak mengerti mana bisikan yang harus dituruti. Dari akal yang seperti memerintahkannya untuk menyapanya, mengenalnya lebih jauh. Atau nafsu yang memberi mandat untuk saat itu juga menikmatinya, menggantikan pakaian yang melekat di tubuhnya dengan mulutnya. Tangannya.
"Hey."
Namjoon bersyukur masih bisa menuruti permintaan akalnya.
Sosok itu tersenyum seraya mendekat ke arahnya. Namjoon merasa sedikit terganggu sekaligus heran dengan setiap ketukan langkah kaki itu yang menambah tempo detak jantungnya dua kali lebih cepat.
Wangi tubuhnya yang memanja indera penciuman, lembut memikat.
Ya. Satu hal lagi yang menambah daftar tentang kesukaannya dari makhluk itu.
Setelah beberapa langkah, dia berhenti tepat di depannya. Berdiri di depan dirinya yang terduduk. Menjadikan posisinya saat itu adalah wajahnya yang menghadap tepat dengan area bawah pinggulnya.
Setidaknya dia bisa sedikit merasa bangga dengan dirinya yang masih cukup tangguh untuk tidak maju dan menyibak pantalon lebar yang menutupi kedua kakinya.
Dikarenakan teralih oleh bibir yang menggetarkan suaranya yang halus kembali.
"Ungkapkanlah satu permintaanmu."
Sama persis dengan imajinasinya. Dongeng masa kecil.
Namjoon sedari tadi ingin tertawa, namun diangkatnya alisnya terlebih dahulu. Menatap wajah itu.
"Kau tidak ingin mengenalkan diri dulu?"
Sosok itu terpana. Barisan jemarinya lalu menetap di bahu tegapnya.
"Kamu benar," jawabnya dengan senyumnya yang khas. "Sebelumnya alangkah baiknya jika kau berdiri, pemuda. Cukup tidak sopan bagiku menemukan seorang pemohon seperti ini."
"Oh, baiklah."
Sebenarnya Namjoon berpikir jika dalam cerita legenda, tidak ada sejarahnya jin yang mengenalkan namanya pada si pemohon. Hanya saja ada sebuah keinginan keras dalam hatinya untuk menggoda makhluk ini sedikit.
"Ok. Tell me your name."
Setelah berdiri, jelas bahwa tinggi sosok itu berada tepat sejajar alisnya. Dia tengadahkan kepala, memperjelas keindahannya. Memperjelas tatapannya pada miliknya. Yang kemudian teralih seketika saat bibir itu tersenyum.
Namjoon menyeringai. Posisi yang sangat bagus untuk menyatukan bibir merah jambu itu dengan miliknya. Begitu angan-angan barbarnya menyuarakan pendapat.
"...Seokjin." "Kim Seokjin."
"Itu namaku."
.
.
.
.
.
.
.
"Such a beautiful name."
Seokjin terkesiap. Selain karena sosok itu terasa memancarkan aura berbahaya yang pekat, dirinya sedikit heran dengan debar jantungnya yang diam-diam bergemuruh kecil mengamati sosok manusia di hadapannya ini.
"Katakanlah permintaanmu, pemuda."
"Kau tidak ingin tahu namaku?" Ujarnya tak menghiraukan, sedikit menundukkan wajahnya, bertanya padanya dengan raut wajah yang mengindikasikan rayuan.
Jaraknya dengan lelaki itu kini terasa lebih dekat daripada yang tadi.
Seokjin mengedipkan matanya beberapa kali, merasa salah tingkah. "Ah, maaf... kalau begitu, boleh aku tahu siapa namamu, pemuda?"
Namjoon merasa terhibur atas respon malu-malu itu.
"Namjoon." Jawabnya singkat. "But you can call me 'mine'."
Seokjin mengernyitkan alisnya, antara merasa lucu dan risih dengan gombalan dangkalnya. Sedikit tertawa kecil.
Namjoon benar-benar tertawa sekarang.
.
.
.
"Okay, tadi katamu kau akan mengabulkan satu permintaanku."
"Ya. Tentu."
"Satu permintaan saja? Bukan tiga?"
"Ah, maaf, pemuda... tapi kamu tidak sedang di negeri dongeng."
"Oh ya? Kupikir begitu."
Seokjin mengatupkan bibirnya untuk beberapa detik, merasa tidak nyaman dengan debaran jantungnya yang terasa makin kencang, terefleksikan dengan jelas oleh rona merah di wajahnya. Memutuskan untuk tidak membalas tatapannya yang seolah-olah menelanjanginya pelan-pelan.
"Ungkapkan saja permintaanmu, pemuda. Apapun itu."
"Oh. Apapun itu?" bisik Namjoon dengan senyum khasnya.
Si cantik itu mengangguk. "Apapun itu."
Tentu saja, lelaki itu tersenyum puas sama seperti dirinya saat menang besar dalam judi.
.
.
.
.
.
.
.
"Baiklah. Aku mau uang." Tatapan tajam Namjoon kemudian perlahan beralih dari wajah menuju pinggang si cantik itu. "Dan tubuhmu."
Seokjin terkesiap. "...tubuhku...?"
Samar-samar dia mendapati pancaran asing di mata sang pemuda.
"Tidak ada yang merasa tidak diundang saat kau menampakkan tubuhmu seperti itu."
Sekali lagi Namjoon meneliti makhluk asing di hadapannya ini. Masih ada ilustrasi kesopanan di setiap lekuk tubuhnya yang walaupun demikian, sekelebat imajinasi primitif tak terelakkan. Hanya tubuh atasnya yang bekerja sama dengan rompi sifon tanpa lengan terekspos dengan polos, menggambarkan dualisme antara maskulinitas otot yang memadati tubuhnya dengan tepat, dan elok kulitnya yang halus, juga hiasan anting-anting kecil di bagian pusar itu.
Sosok aladin seksi.
Sebagai seorang maskulin yang normal, selain uang dirinya menyukai segala sesuatu yang seksi. Seksi yang seksual. Namjoon menyukai aladin seksi itu secara seksual. Begitu hormonnya yang tak beradab berkata jujur.
"Pemuda." Makhluk itu kemudian mencoba mengalihkan perhatiannya. Merasakan dirinya salah tingkah sekali lagi.
"Kamu tahu permintaannya hanya satu, 'kan."
Si pemuda itu menyeringai. "Kau sendiri yang berkata akan mengabulkan apapun permintaanku apapun itu, genie." Tak lupa menekankan kata-katanya di akhir kalimat.
Seokjin diam-diam menggigit bibir, berbisik pelan.
"Yes... it is."
"But you can't... just take my body."
Lelaki itu tersenyum dalam kepuasan yang disertai satu tawa rendah. "Baiklah. Aku hanya bercanda."
Secara tidak masuk akal, Seokjin sedikit merasa kecewa mendengarnya.
"Well then genie," Namjoon menepuk pundak Seokjin pelan, "gimme the money."
Tepat saat lelaki itu merentangkan tangannya menepuk pundaknya barusan, Seokjin menangkap satu hal. Satu hal yang membuatnya secara tidak alamiah terperanjat.
Lelaki itu memiliki tato di lengannya. Tato yang jika dilihat lebih dekat...
...bertulisan inisial 'RM'. Yang dilingkari ular. Diukir sedemikian rupa.
Di lengan sebelah kiri.
Seperti yang telah diumumkan 'disana'.
Seperti permintaan-'Nya'.
.
.
.
.
.
"Genie," Seokjin tak menyadari jika beberapa detik yang lalu Namjoon memanggilnya. "Genie, you hear me?"
Seokjin kemudian tersadar. Menatap Namjoon lekat-lekat. Yang dibalas dengan lelaki itu dengan intensitas yang sama.
Seokjin kemudian berkata, "M- mohon maaf, tapi sepertinya... permohonanmu tidak bisa kukabulkan sekarang."
"Hei, apa maksudmu? Mengapa tak bisa?" Keluh Namjoon yang tak sabar.
"Sudah kukatakan pemuda, bahwa kamu tidak sedang berada di negeri dongeng." Seokjin mencoba meluruskan.
"Aku tidak bisa langsung memenuhi permohonanmu begitu saja." "Ada sesuatu yang harus kamu lakukan sebagai syaratnya."
Baik. Sekarang kenyataan bersikap kurang ajar dengan menahan permohonannya terkabulkan.
"Oh, we're playing safe now." "Kalau begitu, katakan apa yang harus aku lakukan."
"Dan aku akan mendapatkan uangku."
Dan tubuhmu.
Semangat dalam desir darahnya mulai berkobar. Namjoon sudah berkeinginan. Dalam pengalaman hidupnya, apapun yang diinginkannya, pasti akan didapatkannya. Dengan cara apapun.
Yang dalam langkah pertama diwujudkan oleh anggukan makhluk itu.
Namjoon tidak ingin mendalami kefrustasiannya lebih lama. Jika memang keadaannya yang masih tak ber-'nyawa' ini digantikan dengan memiliki makhluk cantik ini berada di sisinya, tidak buruk juga.
Setelahnya dia mengirimkan kembali pesan kepada identitas 'prickman'.
"Abort mission. 'Till three days later."
.
.
.
.
.
.
.
#
Seokjin belum mengatakan sesuatu yang harus dia lakukan.
Sebagai gantinya, dia berkata akan mengawasinya. Dalam tiga hari.
Jadilah saat ini dia berada dalam singgasana si pemuda. Tempat tinggal Namjoon.
Apa yang harus dia lakukan, apa yang sebenarnya akan diawasi olehnya, Namjoon tak begitu memahaminya. Tidak pula dia peduli. Mungkin saja Seokjin telah merasakan soal dirinya yang brengsek sebelum diungkapkannya terang-terangan? Tidak ada sesuatu yang gratis untuk si brengsek, nyatanya.
Yah, ikuti saja permainannya. Toh, sudah jelas siapa yang akan menang. Kalau soal percaya diri, Namjoon memang nomor satu.
Dari jauh dirinya menangkap sosok yang saat itu tengah membelah sayuran segar dalam balutan celemek. Seperti sebuah impian yang terwujud setelah menikmati mandi sore yang segar.
Namjoon berjalan ke arahnya, berdiri tepat di belakangnya, serta tangannya yang gatal untuk menyentuhnya berada di samping pinggangnya. Membuat si cantik itu tersentak dengan kehadirannya.
"Masak apa? "
Tak hanya oleh karena suara beratnya yang terdengar sedemikian jelas di telinga, Seokjin merasa indera penciumannya sekejap teralihkan oleh wangi maskulinnya. Merasa sedikit tidak terima dengan reaksi tubuhnya sendiri.
"Sup," jawabnya singkat.
Namjoon memerhatikannya dari balik punggungnya.
"Bisa masak juga rupanya."
"Aku tidak sekadar membusukkan diri di dalam botol," balas Seokjin sedikit sebal.
"Oh, bisa hidup dalam bejana sekecil itu?"
"Tentu saja. Selama kau adalah jin."
"Ya... tentu saja. Kau bukan manusia sepertiku. Baru saja aku mengingatnya."
.
.
.
.
.
.
.
"Botol itu hanyalah media."
"Media?"
"Bukan sesuatu yang penting." Seokjin secara mendadak tidak berniat meneruskan pembicaraannya.
"Tidak apa-apa. Aku ingin mendengarkan ceritamu." "Tentang duniamu, apa yang kau lakukan, dan segalanya."
"Kamu bisa mendengarkannya setelah memakai bajumu, pemuda."
"Hei... kau tidak memanggilku seperti yang kuminta."
"Oh. Tentu saja, Namjoon. Baru saja aku mengingatnya."
Namjoon terkekeh pelan. Rencananya agar si cantik itu memanggilnya 'darling' tidak berjalan lancar seperti biasanya.
.
.
.
.
.
.
.
"Masakanmu senilai dengan aku yang selalu berhasil melenceng dari target pistol FBI."
Namjoon berkomentar setelah mereka berdua duduk di meja makan, setelah mencicipi masakan perdana milik Seokjin di singgasananya. 'Jin botol' itu tersenyum.
"Apakah aku bisa menganggapnya sebagai pujian?"
"Tentu." Laki-laki itu menjawab, kembali menikmati sup daging itu dalam suapan besar. "Sepertinya daripada menjadi genie, kau lebih cocok menjadi pendampingku."
Mulai lagi. Seokjin hanya mencibir.
.
.
.
.
.
.
.
"Aku tidak percaya bisa duduk makan malam dengan santai bersama seorang kriminal."
Namjoon hanya tertawa. "Pada dasarnya aku orang yang baik hati dengan orang yang sudah menyajikanku makanan."
Seokjin hanya mengangkat alis, kembali menyantap makanannya. Berusaha menyamankan diri.
"Kenapa? Takut?" Ledek Namjoon, mengetahui arti sikapnya. Seokjin menggeleng pelan.
"Tenang saja. Aku bukan tipikal kriminal yang gampang tangan."
"Terlebih dengan makhluk cantik sepertimu."
"Yah, mungkin kau hanya perlu berhati-hati saat tidur."
Setelahnya lelaki dengan tinggi badan pria idaman itu tertawa ringan dan mengangkat mangkuknya. Seokjin hanya menghela napas pelan, seperti sudah terbiasa dengan candaannya.
.
.
.
.
.
.
.
#
Seokjin yang telah berganti pakaian duduk di sisi tempat tidur, disamping sang kriminal. Dia tidak bisa menolak permintaan lelaki itu yang tidak mengizinkannya untuk tidur di ruang terpisah. Tentu saja, Namjoon akan menjadi bahaya baginya bila dia berkata tidak untuk itu.
Saat ini pun sosoknya yang tidak mengenakan atasan telah memancarkan sedikit bahaya.
"You look so fluffy i wanna hug you."
Lelaki itu rupanya tengah menatap dirinya yang berada dalam balutan baju tidur berbahan sutra dengan kerah lebar yang memamerkan belikat. Tatapan seperti itu. Tatapan yang membuat Seokjin berpikir dua kali untuk balas menatapnya.
"You should wear this everyday." Lelaki itu mengambil posisi duduk di sebelahnya. Perlahan melarikan jemarinya, meraih pita yang berada di dadanya. Seokjin heran mengapa dia tidak bangkit menghindar saat dia tahu lelaki itu memulainya lagi.
Setelahnya lelaki itu menatap pahanya. "But I prefer no pants."
Seokjin lalu menghela napas, menyingkirkan tangannya dengan lembut. "Tidurlah," ujarnya mengalihkan wajah, perlahan merebahkan tubuhnya.
Namjoon tersenyum. Respon Seokjin selalu menorehkan senyum kepuasan di bibirnya.
"Kuperingatkan sekali lagi, sebaiknya kau berhati-hati." Namjoon kembali sok menakut-nakuti.
"Sebaiknya jangan berani macam-macam." Seokjin mulai menajamkan nada bicaranya, memeluk guling agak kuat.
Namjoon menyudahi godaannya yang kesekian kali dengan tawa rendah khasnya. Merebahkan tubuh jantannya dengan santai, meraih selimut meliputi sekujur tubuhnya.
"Good night, gorgeous."
Seokjin hanya bergumam membalas salamnya. Namjoon merasa tidak puas.
"Tidak ada balasan untuk ucapan 'selamat malam'-ku?"
Seokjin menanggapi dengan malas. "Good night."
"Nah," Namjoon masih mengelak, "better with a kiss."
Seokjin menghiraukan bisikan terakhirnya, menghiraukan wajahnya yang sedikit memanas karenanya. Pura-pura memejamkan matanya, pura-pura tidak tahu saat lelaki tampan itu tersenyum padanya dan memberikan satu kecupan lembut di bahunya.
.
.
.
.
.
.
.
#
Namjoon di hari libur ini sedang pergi. Ada urusan, katanya. Meninggalkan Seokjin seorang diri yang sedang membaca buku. Buku yang tak pernah disentuh oleh pemilik rumah, namun ada. Tertata rapi saja. Seperti pajangan.
Datang sebuah pikiran yang menghampiri benaknya. Soal Namjoon yang tinggal sendiri di rumah bak istana ini. Yang hanya diramaikan oleh para maid yang tak lebih tugasnya membersihkan dan menjalankan tugas kesehariannya. Sekelibat hawa kebersamaan yang ramah itu terbias oleh hawa dingin yang begitu kuat.
Hidup yang sangat berbeda dengan kehidupannya. Di alamnya. Dimana sekelompok 'hamba' yang merupakan rakyat biasa akan menganggap 'hamba' lainnya sebagai saudara. Dimana sekelompok 'prajurit' akan menganggap 'prajurit' lainnya sebagai rekan, pasukan yang mengabdikan hidupnya untuk melindungi dan menjaga hidup dan kehormatan 'Sang Raja', Kemuliaan Yang Tertinggi sampai mati. Ikatan kekerabatan yang begitu terjalin.
Seokjin dulunya seorang 'hamba'. Namun dengan alasan kehidupan yang lebih sejahtera, dirinya telah menyandang gelar 'prajurit'. Yang tidak memegang senjata, namun termasuk dalam daftar untuk memenuhi titah Raja. 'Prajurit Tingkat Bawah'. 'Pasukan Anak Bawang'. Yang berada di dalamnya ialah sosok-sosok perempuan dan laki-laki berparas elok dan bertubuh molek yang seringkali menjadi target 'Prajurit Tingkat Atas'; prajurit utama pemegang senjata yang terlatih dan gagah. Bahkan 'Sang Raja' itu sendiri. Menambah satu lagi julukan mereka yang terkesan vulgar; 'Pelayan'.
Wajahnya seketika merona ketika membayangkan bilangan peristiwa yang terjadi di istana. Di kehidupan yang mengagungkan prestise dan kemewahan. Membuat bulu romanya bergidik.
.
.
.
.
.
.
.
Tak pernah terpikirkan olehnya yang hanya sebagai 'Prajurit Tingkat Bawah' akan bertemu dengan sosok Namjoon. Sosok yang berada di dalam perintah utama untuk dibawa ke hadapan Raja hidup-hidup. Yang jika seorang prajurit berhasil menangkapnya, gelar kehormatan seumur hidup sebagai 'pendamping istimewa sang Raja' resmi tersematkan.
'The Chosen One.'
'Laki-laki di dunia manusia yang memiliki tato bertuliskan inisial 'RM' di lengan sebelah kiri.'
Seokjin kira Namjoon ialah sosok yang tepat walau tak ada deskripsi lebih lanjut mengenai sang kriminal utama. Hawa yang dia dapatkan saat pertama kali bertemu dengannya sudah cukup menjelaskan. Juga sifatnya yang terang-terangan.
Sampai hari ini Seokjin mengira terlalu cepat baginya untuk bersyukur.
.
.
.
.
.
.
.
Seokjin menyimpan bukunya di tempatnya setelah selesai membaca. Sebuah novel yang sedikit menggugah perasaannya. Mengingatkannya akan saat-saat dirinya masih menjadi sosok 'hamba'.
Saat memasukkannya ke dalam laci, ada satu laci di bagian bawah yang sedikit terbuka.
Tampak tak begitu berdebu.
Dengan hati-hati, Seokjin membukanya. Bersamaan dengan rasa penasaran yang hinggap.
Sebuah tumpukan yang tertata rapi. Cukup menarik perhatiannya.
Seokjin mengambil salah satu bagian dari tumpukan tersebut. Merasa tidak asing lagi dengan bentuk yang sangat mirip dengan yang ada di tempatnya. Fungsinya pun sama. Memang secara keseluruhan, kehidupan di dunia manusia tak jauh berbeda dengan apa yang ada di dunianya. Seringkali disebut manusia 'Dunia Paralel' yang memang benar adanya. Dunia para jin.
Bertepatan dengan itu, terdengar suara bel yang berbunyi. Tanda tuan rumah telah pulang.
.
.
.
.
.
.
.
Sementara Namjoon sedang mandi, Seokjin berniat untuk melanjutkan membaca majalah. Sekadar melihat-lihat model-model pakaian yang normal dipakai di dunia manusia. Teringat saat kemarin Namjoon meminjamkan baju-bajunya. Rata-rata baju santai yang terbuka di bagian bahu.
Selesai melihat-lihat, ditaruhnya lagi majalah di atas meja. Terlihat lagi laci yang terbuka di bagian bawah.
Seokjin masih penasaran dengan apa yang tadi ditemukannya.
Tumpukan benda yang disebut CD.
Laci di bagian bawah tersebut masih dibiarkan terbuka. Perlahan diambilnya beberapa. Melihat judul-judul yang tertera.
'Major pleasure in Havana'
'Good Flings in A Hot Summer'
'Got (Ma) Milk?'
Semuanya tak bergambar. Hanya dihiasi oleh kover warna biru di bagian belakang.
.
.
.
.
.
.
.
"Dapat sesuatu yang bagus?"
Seokjin menoleh. Lelaki itu memang suka mengejutkannya dengan secara tiba-tiba sudah berada di belakangnya.
"Ah, maaf," ucapnya agak salah tingkah dan menaruhnya kembali di dalam tumpukan.
"That's quite good movie you choose." "Ayo, kita tonton itu bersama."
Seokjin berdiri dari tempatnya, mulai curiga dengan tatapan matanya. "Tidak, tidak usah."
"Ayolah, bersantai berdua denganku tidak buruk 'kan," laki-laki itu kemudian memeluk pinggangnya dengan satu tangan. Bisiknya terdengar sedikit merayu.
"No, thanks." Seokjin sedikit kagok dan berjalan hendak keluar kamar. Laki-laki itu tertawa menggumam.
"Too bad." "Kalau begitu aku akan menontonnya dengan tamuku."
Seokjin menoleh. "Tamu?"
"Ya. Sebentar lagi dia datang." "Boleh kalau mau siapkan kami minum."
Memang, sejak pertama dia datang, Seokjin menjadikan dirinya sebagai 'pelayan' pribadi Namjoon walau sesungguhnya tak perlu, namun tetap terhibahkan sebagai perwujudan rasa tidak enak karena sudah menumpang dan merepotkan. Secara otomatis saja.
Maka dari itu, karena Namjoon berkata demikian walaupun tidak serius, Seokjin tetap menyanggupinya.
"Baiklah, akan kubuatkan."
Namjoon tersenyum. "Terimakasih. Nanti taruh saja di depan pintu kamar yang ada di bawah."
"Tapi kalau mau ikut, buka saja pintunya."
Seokjin merasa sangsi dengan kata-kata dalam ucapannya barusan.
.
.
.
.
.
.
.
Beberapa saat kemudian, tamunya datang. Seorang wanita cantik berpakaian minim. Berpelukan lalu berciuman dengan Namjoon. Sedikit agresif. Hanya selang beberapa saat sebelum wanita itu dibawa oleh laki-laki itu ke kamarnya.
Seokjin pura-pura tidak tahu. Mengabaikan sesak kecil yang entah mengapa sontak menghimpit dadanya. Tugasnya hanyalah membuatkan minum. Dengan sukarela.
.
.
.
.
.
.
.
Semula hanya terdengar suara erangan manja dari balik televisi.
Namun setelah Seokjin selesai membuatkan dua gelas orange smoothie, erangan itu terdengar lebih jelas. Terdengar lebih manja. Dan kasarnya, menjijikkan.
Seokjin menggenggam tatakan sedikit lebih erat. Setelahnya menaruh minumannya di depan pintu kamar. Tidak perlu merasa repot-repot untuk mengetuk pintu.
.
.
.
.
.
.
.
"Terimakasih minumannya."
"Tidak perlu berterimakasih. Sudah semestinya."
Namjoon duduk di sebelah Seokjin yang menonton TV. Memerhatikannya sejenak.
Seokjin hanya bergeming.
"Why such face, babyboo?"
Namjoon bertanya dengan lembut. Tak ada jawaban. Hanya helaan napas tipis.
"Kenapa diam saja?"
Si cantik itu masih bergeming.
"Hey..."
Namjoon kemudian menangkup dagu Seokjin dengan beberapa baris jemarinya. Menatapnya sedikit intens. Seokjin balas menatapnya dengan intensitas yang sama. Namun dengan isyarat yang berbeda.
Namjoon tak bosan-bosan mengagumi sosok di hadapannya sampai batas dia merasa bahwa dirinya memalukan. Keindahan yang terasa tak logis. Memberitahunya untuk menjamahnya lebih dalam, namun di saat yang sama membuatnya merasa bersalah.
Seokjin lalu memalingkan muka, menepis pelan tangannya.
"Jangan sentuh aku dengan tangan itu."
Namjoon tertawa ringan. "Begitu. Cemburu dengan tamuku tadi?"
Seokjin mengernyitkan satu alisnya tanda tidak setuju. "Aku hanya tidak menyukai situasi yang kalian ciptakan sementara aku mendengarnya," ungkapnya jujur.
"Oh you're a voyeur? Nakal juga." Namjoon menyentuh dagunya sekali lagi dengan telunjuk.
"Sudah kubilang jangan sentuh." Seokjin sedikit menajamkan nada suaranya. "And i'm not a voyeur."
Namjoon yang sudah mengerti hanya terkekeh usil. "Well, well, I'm sorry sweetie," kemudian mencium tangannya. Setelah Seokjin menepisnya untuk yang kedua kali, dirinya beranjak dari kursi masuk ke kamar.
.
.
.
.
.
.
.
#
"Afternoon, babyboo."
Seokjin menoleh sebentar ke arah Namjoon, lalu melanjutkan kegiatan menyiram bunganya seolah tak ada apa-apa. Namjoon tersenyum komikal kemudian berjalan ke arahnya.
"Sampai kapan mau kesal begitu...?" ujarnya melingkarkan tangan di pinggang Seokjin, berbisik pelan di belakang telinganya. Si cantik itu terkesiap. Dilepaskannya segera kedua tangan Namjoon.
"Aku sudah tak bermain lagi," Namjoon berbisik lembut sambil kembali menyamankan tangannya di pinggang Seokjin. "Kau tidak menyukai kedatangan mereka, 'kan?"
"Aku tak pernah berkata begitu."
Namjoon tersenyum. "Ya sudah, aku pergi dulu." kemudian berlalu setelah mencium pundak Seokjin. "Get the bathtub warm when i get home, 'kay?"
Seokjin menghela napas. Lagi, laki-laki itu pergi semaunya lagi. Seokjin ditinggal sendiri lagi.
.
.
.
.
.
.
.
#
Hanya tinggal satu hari lagi sebelum tujuan akhir yang harus terlaksana.
Walau Seokjin harus akui, waktu yang dia lalui bersama Namjoon tidak buruk.
Namjoon bukanlah orang yang seberbahaya yang dikiranya pertama kali. Dia memang kriminal (juga playboy) kelas atas di balik baju kantoran necis, namun dirinya tak pernah membuat Seokjin tak nyaman. Dalam artian yang baik.
Namjoon hanya membuat dirinya tak nyaman... dengan cara-caranya menggoda. Walau di luar Seokjin tampak sering menolak, justru itulah yang memperlihatkan wujud malu-malunya.
Karenanya Seokjin harus akui juga jika seringkali Namjoon membuatnya berdebar. Tanpa alasan. Entah saat mendengar bisikannya yang tiba-tiba. Entah saat Namjoon tersenyum, memeluk pinggangnya. Entah saat Namjoon tertidur tanpa atasan.
Laki-laki itu mengingatkannya pada seseorang yang pernah dicintainya.
Tak ingin lama-lama benaknya berkutat pada memori-memori lampau, Seokjin berjalan ke arah laci penyimpanan buku. Membuka bagian paling bawah, tempat ditaruhnya tumpukan CD yang membuatnya penasaran waktu itu.
Seokjin menyalakan salah satunya.
.
.
.
.
.
.
.
Seokjin merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Menatap langit-langit. Tak berniat melanjutkan tontonan yang sesungguhnya merupakan hal yang biasa disaksikan olehnya. Pemandangan yang biasa dia saksikan di istana yang sampai saat ini belum membuatnya terbiasa. Pemandangan pesta semalam suntuk. Prajurit yang saling bercinta. Sang Raja dengan para selirnya yang bercumbu di hadapan para prajurit seperti bukan tabu. Tenggelam dalam kesenangan semu.
Seokjin memejamkan matanya sejenak, menenangkan dirinya. Memejamkan matanya beberapa saat, sebelum dirinya kemudian jatuh terlelap.
Tanpa tahu seorang laki-laki mabuk mendobrak pintu di bawah bersama beberapa wanita.
.
.
.
.
.
.
.
Seokjin lupa bahwa tadi sempat tertidur. Saat membuka jendela, hari sudah gelap. Saat melihat jam, jarum menunjuk pukul 21.15.
Seokjin teringat satu hal lagi. Namjoon yang belum pulang.
Kemudian sehabis mandi air hangat, Seokjin turun ke lantai bawah.
Melihat sepasang sepatu dan kaus kaki Namjoon tergeletak di depan pintu. Terlihat dilepas dengan sedikit berantakan.
Terdengar riuh tawa dari kejauhan. Dari beberapa orang.
Dari arah sebuah kamar.
Dirinya mulai curiga. Pelan-pelan berjalan ke depan pintu kamar tempat Namjoon dan wanita yang dibawanya kemarin. Memasang telinga.
.
.
.
Lenguhan manja. Erangan. Seperti kemarin.
Satu orang... tidak.
Dua orang wanita. Yang berbeda.
Seokjin berjalan kembali ke kamar. Kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Kembali memejamkan mata. Melupakan lenguhan yang terdengar makin menjijikkan. Suara Namjoon yang terdengar tertawa puas. Bayangan-bayangan erotis yang membuat kening mengernyit.
Serta sesak di dada yang makin menghimpit.
.
.
.
.
.
.
.
#
Kali ini Seokjin benar-benar tak peduli dengan kedatangan Namjoon yang tiba-tiba di belakangnya, atau Namjoon yang mengajaknya bicara, atau tangan Namjoon yang tiba-tiba memeluk pinggangnya. Dianggapnya seolah tidak ada saja.
Namjoon yang seperti sudah hafal akan pola perilaku si jin botol seperti biasanya hanya menganggapnya bercanda. Mencium bahunya, cara yang dia tahu disukai olehnya.
Jelas sekali. Memang sangat jelas terbaca apa yang terjadi pada Seokjin di mata Namjoon.
"You really don't like it when I brought the girls in here, don't you."
.
.
.
.
.
Masih juga tak ada jawaban dari Seokjin yang menata bunga di halaman.
"Hei, apakah berbicara denganku itu sesuatu yang mahal bagimu?"
Seokjin masih diam. Sampai beberapa saat yang tidak membuat Namjoon menyerah.
Hingga akhirnya dia bersedia memberinya jawaban singkat untuk menyelesaikan hal yang menyebalkan ini.
"I'm tired."
.
.
.
.
.
.
.
Sejujurnya pun Namjoon tak ingin membuatnya kecewa. Sudah bagian dari hidupnya untuk bersenang-senang dan tak mungkin bisa dipungkiri hanya dalam waktu satu-dua hari. Walau dirinya akui Seokjin lima ratus kali lebih baik daripada wanita-wanita itu. Dari segi apapun.
Yang namanya mainan tetaplah mainan.
Dan Namjoon merasa Seokjin bukan sosok yang tepat untuk dijadikan mainan.
Kali ini dirinya merasa saatnya mengungkapkan apa yang tak biasa dilakukannya; sebuah pengakuan yang jujur, sekaligus untuk membuat si cantik ini lega.
.
.
.
"Whenever I make love... I get to think of you."
Diciumnya belakang telinga Seokjin setelah berbisik.
Masih ada reaksi singkat yang manis darinya.
.
.
.
Seokjin melunak secara perlahan. Diam. Ucapan laki-laki itu barusan jujur sedikit membuatnya bahagia. Entah jika Namjoon berkata yang sebenarnya atau hanya menggodanya seperti biasa. Sempat untuk tidak menyanggupinya lagi jika jawabannya adalah yang kedua.
Namun Seokjin kenyataannya tak bisa betul-betul marah terhadapnya.
Mungkin memang benar jika dia cemburu.
Namjoon membalikkan tubuh Seokjin. Kali ini seperti tak ada ruang kosong di antara tubuh mereka. Seokjin meletakkan kedua tangannya di dada laki-laki itu, ingin melepaskan dirinya, namun tatapan mata Namjoon jauh lebih kuat menahannya.
Seokjin merasa terkunci. Berbagai isyarat berkumpul di mata beningnya, dan hanya ada satu kesimpulan yang pantas bagi Namjoon untuk mendeskripsikannya.
Terlepas dari itu, dalam keadaan seperti ini Namjoon merasa seperti sedang menguji dirinya. Sama seperti saat pertama kali bertemu dengan Seokjin. Untuk menstabilkan sisi barbarnya saja terasa begitu sulit.
Dan kali ini Namjoon meragukan kemampuannya. Jarak yang ada seperti menyiksa sepuluh kali lebih berat.
Namun dia sudah tahu apa yang dia butuhkan sebelum melangkah lebih jauh.
"Kiss me, pretty."
Penyambutan dari Seokjin terlebih dahulu.
Seokjin tertegun dengan permintaan blak-blakannya. Tak tahu harus bereaksi, ataupun menjawab apa. Tak juga bertanya mengapa.
Yang dia tahu, Namjoon tengah memberikan ultimatum secara implisit agar dia mau menyanggupi permintaannya, supaya tak akan ada lagi kesempatan bagi setan dalam dirinya yang bermaksud untuk menyakiti hatinya.
.
.
.
Seokjin melunak lagi. Alisnya yang semula mengernyit perlahan kembali seperti biasa. Berbagai isyarat di matanya mereda menjadi hanya satu.
Isyarat yang menimbulkan semburat rona di wajahnya.
"Never again...?"
Namjoon antara tersenyum atau menyeringai menyaksikan raut Seokjin yang seperti berharap. Senyum penuh arti. Iblis dan malaikat yang berpadu.
"You bet."
Seokjin berdebar. Debaran yang dua kali, tiga kali lebih cepat dari biasa.
Waktu serasa berjalan begitu lambat.
Setelah mengumpulkan keyakinan, Seokjin meraih wajah Namjoon dengan kedua tangannya, memiringkan kepala.
Memejamkan mata, menempelkan bibirnya ke bibir lelaki itu. Untuk beberapa saat.
Setelahnya melepaskannya perlahan. Menunduk malu seraya meletakkan tangannya di bahu lebar lelaki itu.
Waktu serasa berhenti berputar.
.
.
.
"Sudah merupakan budaya bagi kaumku... untuk menyalami pemohon dengan ciuman."
Seokjin bahkan baru mengingat hal itu sekarang. Fakta yang terdengar seperti alasan yang skeptis. Ujung bibir Namjoon terangkat lagi. Kilatan yang tak asing itu lagi, terpancar di kedua matanya.
"Kenapa tidak kamu lakukan saat kita berkenalan waktu itu?"
Lalu apa yang harus Seokjin katakan?
.
.
.
Namjoon kira juga dia tidak membutuhkan jawabannya.
"Not much of a good kiss, pretty."
Kali ini Namjoon yang mengecup bibirnya.
Seketika dunia terasa seperti ilusi. Dengan hanya terkabulnya salah satu keinginan terpendamnya pada si cantik itu membuat kesadarannya seperti terbang jauh. Namjoon bahkan merasa takjub dengan dirinya yang untuk pertama kalinya mendesah pelan dalam kegiatan berciuman.
Namun jika hanya mengaitkan bibir saja dirinya tak akan terpuaskan. Tangannya lalu mulai menyibak pakaian Seokjin, membelai kulitnya. Memijat pinggulnya pelan. Untuk kemudian sentuhan pelannya beranjak merajalela, turun meremas salah satu belahan pantatnya. Dia juga sempat berada luar ambang kesadaran seketika terbangun menepis tangan jahil Namjoon.
"Hanya mencium, tidak menyentuh."
Namjoon menyeringai jahil setelah melepaskan lidahnya dari bibir Seokjin. "Itulah balasanku untuk salammu."
.
.
.
.
.
Telunjuk Namjoon membelai pipinya. "Kau belum menunaikan janjimu."
Seokjin mengernyitkan alisnya sedikit. "Aku tak pernah berjanji."
"Kau akan menceritakan tentang duniamu."
Seokjin kemudian teringat akan obrolan singkatnya dengan Namjoon di dapur.
"Sudahlah." Seokjin menggeleng pelan sembari menatapnya. Kemudian memalingkan muka. Berbisik pelan tentang sesuatu.
"Kamu juga akan dipersembahkan nantinya."
Seokjin merasa tatapan Namjoon selanjutnya sedikit mengganggu.
.
.
.
.
.
"Tell me."
Mereka berdua hanya saling pandang. Namjoon menunggu Seokjin membalas kata-katanya, namun nihil. Seokjin mengalihkan pandangannya.
"Tell me all about it, now."
Apa daya, Namjoon bukan orang yang bisa dibohongi hanya dengan gelengan singkat atau jawaban 'tidak'. Seokjin memang tak pernah bisa berbohong padanya. Tapi dirinya tidak punya pilihan.
Saat ini bukanlah waktu yang tepat.
"Tidak." "Tak ada yang harus kukatakan padamu saat ini."
Satu alis Namjoon terangkat. Begitupun salah satu ujung bibirnya.
Seokjin berusaha untuk tidak peduli. Mungkin Namjoon bisa membuatnya bicara dengan caranya nanti. Jikapun tidak, tak akan jadi masalah karena yang Namjoon inginkan saat ini hanya satu.
Mewujudkan impian besarnya; to take this beautiful genie into his embrace.
.
.
.
"We shower together now."
Sebelum Seokjin sempat menolak untuk yang kesekian kalinya, Namjoon buru-buru mengecup lehernya. Agak dalam.
Sejujurnya Seokjin ingin marah pada dirinya yang tak ingin menyerah begitu saja, namun tubuhnya berkata lain.
Dia tak akan menyangka jika apa yang akan terjadi padanya setelah ini akan segila yang tak pernah disangkanya.
.
.
.
.
.
.
.
Sulit bagi Seokjin untuk bernafas, apalagi untuk berpikir jernih dengan tubuhnya yang nyaris telanjang ditawan oleh Namjoon yang berpakaian lengkap tengah mengusap puting merah jambunya bersamaan dengan lidah yang merajalela di punggungnya. Di bawah kucuran air hangat, jantungnya berdegup hebat.
Tangannya pasrah bersandar di dinding. Kakinya yang masih diselimuti celana dari lutut ke bawah melemas ketika merasakan telapak tangan besar milik Namjoon melingkupi area bawah pinggulnya. Menyentuh bagian tubuhnya yang paling rahasia. Membelainya pelan. Memanjakannya.
Gila. Segila yang tak pernah disangkanya sebelumnya.
Namjoon sempat mendengar si cantik itu mendesah pelan ketika ibu jarinya menekan di bagian yang paling peka.
"You like this...?"
Namjoon merasa sangat tidak biasa menyentuh tubuh Seokjin yang begitu sensitif, melahirkan antusiasme yang begitu besar, seperti kembali pada dirinya yang masih amatiran untuk memanjakan wanita.
Sangat menyenangkan. Impresif.
Bisa saja seluruh kehidupannya dihabiskan begini dengan si cantik ini.
Seokjin berusaha menyadarkan diri jika sentuhan intim macam ini juga dirasakan oleh siapapun yang dikencani Namjoon, namun di saat yang sama dia tetap merasa istimewa.
Tak ada yang pernah menjadikannya seperti ini. Yang hanya mampu menerima. Menanggapi. Berbisik lirih.
"Yes."
Kali ini Namjoon perlahan menyusupkan telunjuk dan jari tengahnya dalam ceruk di antara belahan pantatnya. Suaranya yang berat menggema di telinga si cantik itu.
"Is there anyone who ever do these things to you...?"
Seokjin menggigit bibirnya. Pandangan matanya kabur.
"No." "Not even once."
Jari-jarinya makin ditenggelamkannya dalam-dalam. Merasuk dan keluar yang berulang dengan cukup liar. Seokjin makin tersiksa dengan mengepal tangannya. Namjoon menyeringai kecil. Menggigit telinganya, berbisik serak lagi.
"Kamu bisa dapatkan lebih jika menjadi milikku."
Setelah memberi kecupan dalam sisi lehernya, Namjoon membalikkan tubuh Seokjin perlahan, mengecup bibirnya. Menyesap bibir bawahnya, menggigitnya lembut. Seokjin seperti tak berdaya. Makin tak berdaya saat Namjoon membelai lidahnya dengan miliknya.
Seokjin membuka matanya perlahan setelah Namjoon melepaskan ciumannya. Mengatur nafasnya. Menyaksikan kilatan di mata Namjoon yang sangat jelas mengisyaratkan gelora yang tak asing.
Degup hebat di jantungnya tak kunjung mereda.
Namun kemudian kilatan itu lambat laun menghilang. Digantikan oleh isyarat lain.
Namjoon terdiam di posisinya sesaat ketika menyaksikan air mata di wajah jin botol yang merona merah itu mengalir.
.
.
.
"Hey..."
Namjoon menghapus air matanya lembut, mengecup singkat mata kiri Seokjin yang terpejam.
"I'm sorry." Kecupan yang kedua diberikannya lagi di mata kanan. "I'm sorry, okay..."
Tatapan mata laki-laki di hadapannya yang menyiratkan rasa bersalah.
Seokjin masih diam di tempatnya. Tak terkira oleh Namjoon bahwa dia sesungguhnya merasa menyesal karena terlalu lemah menyambut apa yang dia berikan terhadapnya.
Tanpa berniat melanjutkan, Namjoon menyelimuti Seokjin dengan kimono mandi, menggendongnya ke kamar, mencium keningnya.
.
.
.
.
.
.
.
#
Beberapa jam lagi, tiga hari akan berlalu. Tiga hari akan berlalu, dan Seokjin harus melaksanakan tugasnya. Tugas yang berat. Menghitung menit-menit yang berlalu dengan hati kalut di atas tempat tidur dengan Namjoon yang berada di sampingnya. Namjoon yang tak menggodanya. Tak menyentuhnya. Sejak kemarin.
Jujur Seokjin merasa kehilangan.
Jujur, Seokjin tak ingin 'kehilangan' lagi untuk kedua kalinya. Setelah sosok yang dicintainya untuk pertama kali. Sang Raja. Cinta yang tak akan pernah terbalas, yang sudah dimengerti olehnya dari dulu.
Seokjin tak akan memaafkan dirinya jika dia menyerah pada imajinasi semunya sendiri. Jikapun nantinya dia mendapatkan hukuman, maka itu telah menjadi hal yang pantas untuknya.
Tak sedikitpun dia akan merasa keberatan. Pun untuk bersikap egois mempersembahkan dirinya untuk seorang manusia.
Walau harus berakhir dengan pengusiran dirinya dari dunianya. Untuk selamanya.
.
.
.
Seokjin tertegun. Merasa takjub akan pertemuannya dengan Namjoon yang menciptakan banyak hal yang terjadi. Menjadikan dirinya sedemikian rupa.
Untuk pertama kalinya dia membayangkan jika Tuhan tak menciptakannya sebagai genie.
Betul. Tidakkah dia bukan 'genie' yang sebenarnya, jika dia menaruh harapannya agar terkabulkan pada Namjoon?
.
.
.
.
.
.
.
"Belum tidur?"
Seokjin menoleh, membalikkan badannya mengarah ke Namjoon.
Laki-laki itu tersenyum padanya seperti biasa. Kali ini senyumnya terlihat tulus, tak terlihat gelagat akan godaan atau yang lainnya.
Seokjin diam saja menatapnya.
Entah, Namjoon seperti merasa ada sesuatu yang lain yang tersirat di bola mata beningnya.
.
.
.
Seokjin merasa inilah saat yang tepat untuk menceritakan segalanya. Apa yang tengah terjadi, dan apa tujuannya.
Tak ada gunanya lagi menyimpan rahasia.
.
.
.
"Kami para prajurit menyamar dalam bentuk jin botol yang dapat memenuhi segala keinginan kalian para manusia."
"Benar, di dalam media berupa bejana seperti yang pertama kali kamu temukan."
"Banyak orang yang terhasut undangan kami, bujuk rayu kami setelah kami memenuhi harapan mereka sebelum kemudian dibawa ke Raja untuk dijadikan persembahan bagi keabadian hidupnya."
"Tapi tak ada satupun yang mampu memenuhi harapan-Nya; selain Dia yang terpilih."
"And here you are. Looking at me as The Chosen One, the most powerful amongst the customaries."
"The One that has predicted to be having the enormous energy of life, that can make you live to a prosperous 150 years in human world, even greater level in our world there."
"And here I am. To bring you to Him after three days since we met."
Ada jarak waktu sebelum Seokjin mengucapkan sesuatu sembari menatapnya lekat-lekat.
.
.
.
"Kamu benar-benar menyerupai Yang Mulia-ku."
.
.
.
.
.
"Ya Tuhan. Sepertinya hanya alam baka saja yang tidak menobatkanku sebagai buronan," Namjoon memberikan komentarnya sambil tertawa.
"Tugasku disini," Seokjin mengulangi kalimatnya lagi. "Untuk membawakanmu pada Yang Mulia setelah tiga hari."
Namjoon tertawa sekali lagi. "Ya, ya."
"Aku mengerti."
Dengan Namjoon yang tertawa, Seokjin tampak sedih.
.
.
.
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" "Memborgolku untuk dihadapkan pada Rajamu, mengeksekusiku mati lalu memindahkan rohku padanya?"
Seokjin menatapnya lamat-lamat. Membelai pipinya.
.
.
.
"No." Seokjin menggeleng pelan. "I am not letting you go."
Seokjin perlahan mendekatkan wajah laki-laki itu padanya, kemudian menyampaikan keyakinannya dengan mengecup bibirnya.
"Not to anyone anymore."
.
.
.
.
.
.
.
Namjoon merasakan fantastis yang amat sangat. Keinginannya terkabul sekali lagi. Kali ini terasa lebih gila. Kelembutan kulit Seokjin yang bertemu bibirnya, kehangatan tubuhnya di belaian tangannya. Dan Seokjin yang melenguh manja karenanya.
Terlebih saat Seokjin mengangkat kakinya ke udara, membukanya lebar. Secara alamiah menghadapkan jarak pandang Namjoon tepat ke ceruk merah jambunya yang terbuka, berkontraksi, putus asa, dengan lelehan hangat yang mengalir. Serta bibirnya yang merintih lemah.
"Please..."
Sisi primitifnya seketika terjajah.
Namjoon menyanggupinya dengan senang hati, melarikan lidahnya menyapu lelehan hangat itu, menusuk ke ceruknya. Telapak tangannya menopang sekaligus meremas pelan pantatnya yang penuh, kemudian beralih memanjakan kejantanannya yang menegang merah, menghasilkan Seokjin yang merengek dan menggeliatkan tubuhnya. Membiarkan lidah lelaki itu bersenang-senang di area keintimannya. Sementara tangannya mencengkram lembut rambut lelaki itu dengan mata terpejam. Bibir merah yang basah.
Euforia yang luar biasa.
Euforia yang makin luar biasa dirasakannya saat mempersembahkan dirinya yang lain untuk menyenangkan Namjoon. Mengecup puncak penisnya, melarikan lidah dan tangannya di bagian tubuh yang urat-urat sarafnya berada di sentivitas tingkat tinggi itu, berulang kali sampai akhirnya memerah dan memuntahkan mani yang mengalir dari dagu hingga ke belikatnya.
Dengan cara Seokjin yang demikian, Namjoon memutuskan tidak akan akan segan-segan lagi menjelajahi tubuh itu. Pahanya bagian dalam, pinggulnya, anting kecil di pusarnya, gurat otot perutnya, puting merah jambu, hingga leher jenjangnya telah dicumbu oleh mulut dan lidahnya dengan piawai.
Juga tentu, saat yang paling dinikmatinya; melibatkan spermanya yang tersisa di area bibir Seokjin dalam ciuman panasnya.
Segalanya membuat masing-masing dari mereka menjadi tak sabar. Diiringi degup jantung yang luar biasa. Keringat yang mulai menjalar. Hembusan nafas yang tak beraturan.
Segalanya terasa memabukkan, sampai tiba pada titik Namjoon mendedikasikan keahlian bercintanya dengan seluruh tubuhnya untuk Seokjin.
"Don't hold back."
Permintaan itu datang dari seseorang yang akal jernihnya telah tergantikan dengan kegelapan hawa nafsu.
Namjoon kemudian memosisikan dirinya dan Seokjin duduk berhadapan. Memegang pinggangnya sementara Seokjin membuka lebar kedua kakinya agar laki-laki ini leluasa memberikan dirinya sepenuhnya. Hingga tak ada lagi yang tersisa.
Permintaan itu dijawab dengan tenang oleh sang maestro.
"You know you don't have to ask for it."
Namjoon seperti disambut dengan kehormatan tertinggi saat menjadi tamu yang pertama kali mendatangi ruang rahasia miliknya. Saat memasuki tubuhnya. Seperti telah ditakdirkan bahwa tubuh itu sejatinya merupakan kediamannya. Miliknya. Sampai dirinya tak sadar memejamkan matanya. Merasakan kenikmatan yang menjalar di seluruh tubuh. Mendesah pelan.
Seokjin sedikit memajukan tubuhnya ke depan, memperlihatkan tubuhnya yang putus asa berguncang di atas paha Namjoon. Semakin putus asa saat Namjoon mengangkat salah satu kaki Seokjin untuk memperluas jangkauan kejantanannya memasuki tubuhnya, kemudian menjilat jemari kakinya yang menekuk ke dalam, menggigit gelang kakinya, dengan tatapannya yang terkunci rapat dengan milik laki-laki itu.
Puting merah jambu yang menegang. Perut kencang yang naik turun merasakan pusaran gelisah. Wajah yang memerah. Bibir yang sedikit terbuka. Mata yang berpendar.
Sangat jelas terlihat di mata Namjoon bahwa laki-laki ini telah berada di puncak kenikmatan, menjadikannya beribu kali lebih cantik, lebih seksi dari milik segala yang pernah diperlihatkan untuknya. Atau dari siapapun juga.
Bahkan saat sang lelaki bertanya, tak sanggup bagi Seokjin untuk menjawabnya.
Ingin rasanya Namjoon berteriak ke seluruh dunia, betapa beruntungnya dia. Betapa dirinya yang lemah akan keindahan mahakarya Tuhan diberikan kuasa untuk menjamahnya sepenuhnya.
Namjoon bersyukur Tuhan telah mempertemukannya dengan jin botol yang jelita ini.
.
.
.
.
.
.
.
Namjoon menatap wajah Seokjin yang memeluk lehernya, menyelami keindahannya untuk kali yang tak berujung. Keduanya saling memberi senyum yang menyejukkan dengan hidung yang saling menempel.
Sebelum Seokjin membisikkan suatu pernyataan. Penyataan yang cukup menyedihkan. Namjoon lalu mengecup matanya yang mulai tak kuasa.
Dirinya hanyalah seorang yang lemah dengan air mata yang terpahat di sebuah mahakarya Tuhan.
"It hurts me too see you cry."
.
.
.
.
.
.
.
#
Namjoon terbangun di saat matahari telah meninggi, mendapati kilau emas yang begitu bercahaya terhampar di sekitarnya.
Pun mendapati sosok jin botol yang terakhir tertidur dengan tenang di sampingnya sudah tak ada lagi.
Dia telah memenuhi janjinya. Memberikannya harta berlimpah. Juga tubuhnya. Seperti yang diinginkannya.
Namjoon sudah menang.
Kemudian dia beranjak dari tempat tidur, menyalakan sebatang rokok. Marlboro yang masih penuh.
.
.
.
.
.
.
.
Setelah hisapan yang kesepuluh, sosok itu menghela napas berat. Memandang ke jendela.
Namjoon sudah menang sekarang.
Tidak, dia tidak merasa menang sepenuhnya.
Karena sesungguhnya jauh di dasar hatinya dia menginginkan agar si cantik itu kembali di sisinya. Ingin agar perpisahan picisan macam ini hanyalah mimpi.
Entah sejak kapan dirinya melunak begini.
.
.
.
.
.
.
.
#
Dalam tidurnya di malam hari, Namjoon didatangi mimpi. Dia merasakan sebuah tangan yang halus membelai keningnya. Bibir yang memberinya bisikan lembut di telinga. Memanggil namanya.
"Namjoon..."
Setelahnya mengecup puncak hidungnya.
Namjoon tak ingin terbangun kala harapannya terasa ada, begitu nyata.
.
.
.
.
.
.
.
"Open your eyes, gentleman."
Akhirnya Namjoon menuruti bisikan lembut yang kedua kalinya datang. Pelan-pelan membuka matanya.
Hitam yang mengabur menjadi abu. Abu yang mengabur menjadi putih. Putih cahaya lampu. Langit-langit kamar.
Juga sosok itu.
Seokjin yang tersenyum, duduk di samping dirinya yang masih berbaring.
"Aku kembali."
.
.
.
Namjoon terbangun dari posisinya. Menatap Seokjin lekat-lekat. Membelai wajahnya.
Terasa nyata. Tak ada bejana keemasan di sekelilingnya. Tak pula dia ingat apakah dia sempat menggosok-gosok suatu benda hingga sosok di hadapannya ini bisa kembali.
Dan ucapan Seokjin selanjutnya menjadikan Namjoon berada di keadaan antara sedikit terkejut dan terlampau lega.
"I'm not a genie anymore."
Seokjin memeluk tubuhnya erat untuk beberapa saat. Yang bagi Namjoon tak seberapa, sebelum kemudian mengecup bibirnya.
Namjoon tak pernah merasa lebih menang dari ini.
.
.
.
.
.
.
.
"Sebenarnya tak ada yang perlu kamu lakukan agar aku bisa memenuhi permintaanmu." "Atau... ya... aku yang harus mengawasimu selama beberapa hari."
Satu ujung bibir Namjoon sedikit terangkat mendengarnya, dengan tangannya yang memijat punggung Seokjin seraya mempertemukan bibir dan lidahnya dengan miliknya. Begitu pelan, dengan tekanan yang kuat, sehingga si cantik itu menggigit bibir bawah Namjoon pelan dengan tubuh bagian bawahnya sedikit menukik ke depan.
"Aku tahu."
Seokjin terpana menatap Namjoon yang kini tersenyum setelah membisikkan beberapa kata tersebut di bibirnya. Memberikan area sekitar telinganya ciuman singkat, sebelum kembali berbisik.
"Aku tahu jika kamu hanya ingin berada di sisiku saja."
Tawa kecil yang terdengar dari Seokjin terpadu dengan desah pelan saat Namjoon menyisipkan barisan jarinya ke dalam belahan pantatnya. Jemarinya tersisip di antara helaian rambut laki-laki itu, sembari matanya terpejam.
"You maybe right..."
Bisikan terakhir dari Seokjin yang berbahagia karena telah melakukan hal yang benar, sebelum kembali menyambut Namjoon, kekasih hatinya, seluruhnya untuknya.
Dan hanya untuknya sampai nanti.
.
.
.
.
.
.
.
# end
.
.
.
.
.
.
.
# epilogue
Lelaki cantik itu menghempaskan tubuh sintalnya ke kasur berukuran muatan satu tubuh. Sepasang mata beningnya memutar, lalu terpejam, lalu terbuka lagi. Lain halnya dengan pikirannya yang berputar, terus berputar, tak tentu arah.
Dirinya tengah dibuat frustasi oleh satu hal.
Sang kekasih. Yang memberinya debaran asing. Menghaturkan prasangka-prasangka yang menggelitik akal dan nurani, yang terpusat pada dirinya seorang.
Seperti jin botol yang mengabulkan harapannya, laki-laki itulah sosok idamannya.
Sang kekasih adalah nyawanya. Di saat sepi. Disaat dirinya menginginkannya untuk berada di sisinya. Memberikan waktu-waktu yang tak akan terlupakan; dunia dimana hanya ada dia dan dirinya. Membayangkannya saja membuat seluruh tubuhnya bergemuruh dalam diam, namun hanya bisa menggigit jari. Merapatkan kedua kaki yang salah tingkah.
Sial, sial.
Seokjin merasa tak akan mampu menahan lagi lebih dari ini.
Habis, habis, habis.
Waktunya habis. Kesabarannya habis. Kewarasannya habis.
Gila, gila, gila.
Tak ada toleransi lagi. Jika tak ada Namjoon disisinya detik ini juga, dia bisa gila!
.
.
.
.
.
.
.
#
a/n: so this is the first outcome out of all I can imagine lol. hope it's good enough for you guys, and sorry if this is so bad as hell wqwq. have nice days and thankyou for coming!
oiya, satu lagi. tentang MiniMon 1st Giveaway.
kemaren itu kan ada yang ngomen di fic aku satunya (Daddy and His Beloved Triplets: Chapter 7) yang bilang pengen ikutan giveawaynya. aku pengen ngehubunginnya tapi gatau lewat apa karena ngomennya ga login username. kalo kamu ngerasa kenal dengan username di bawah ini:
- chacharaticha
- Istrinya jimin
nanti coba hubungi aku lewat twitter: bellestrangesatau langsung konfirmasi pendaftaran ke alamat email: minimonseutar (et) gmail (dod) com, dengan subject email:
(nama)_minimon1stgiveaway
contoh: chevalo_minimon1stgiveaway
demikianlah atas perhatiannya saya ucapkan tengs berat!
