Title: Reason
Fandom: Fire Emblem 8: Sacred Stone
Disclaimer: Intellegent System
Rating: T for monster descriptions and lame battle scene
Warning(s): Typo(s), alur tidak sesuai story line di gamenya (tapi bukan AU juga), sebisa mungkin tidak OOC dan tidak random, hyper for monster descriptions and all, etc etc
Pairing(s): JoshuaArtur
.
.
.
=Please Hit Back Button Everytime You Feel Unsafe=
.
.
.
Artur berjalan cepat-cepat melewati rimbun pepohonan. Jelas dirinya tidak ingin melewatkan malam di dalam hutan antah berantah seperti ini. Terlebih dengan adanya terror dari mahluk-mahluk aneh yang bermunculan di seluruh penjuru Magvel. Tidak, terimakasih.
Sejak beberapa bulan yang lalu mahluk-mahluk aneh kerap kali muncul di berbagai wilayah dan mengganggu para penduduk sekitar. Apalagi desa-desa yang berada tepat di pinggir hutan. Tiap kali kabut turun, pergerakan mahluk yang bagai muncul dari dunia bawah itu makin tak dapat diprediksi. Entah sudah berapa desa rata dengan tanah di depan mata Artur akibat serangan mahluk-mahluk buas itu.
'Tidak akan sempat...' Artur mulai panik. Sebentar lagi gelap dan kabut tipis mulai tampak menyelimuti Adlas Plains yang kini dilewatinya dari arah Renvall. Sebisa mungkin Artur harus tiba di Serafew sebelum hari benar-benar gelap. Bisa dipastikan jika tiba disana setelah bulan menggantung, tak akan ada seorang pun yang akan membukakan pintu untuknya.
Namun melewati Adlas Plains bukan perkara mudah. Tanpa kabut saja, hutan lebat dan perbukitan membuat orang dengan mudah tersesat. Ditambah mahluk gaib macam Zombie dan tulang benulang berjalan yang juga sering muncul kala hari masih terang. Sudah untung jika tidak bertemu dengan Tarvos dan kapak besarnya. Atau Mogall yang menjijikkan. Meski seorang Monk, Artur lebih memilih untuk tidak berpapasan dengan kumpulan creature itu.
Hari makin gelap. Dari jauh mulai terdengar suara langkah terseret dan bau aneh mulai tercium. Artur menguatkan genggamannya pada Light Tome di tangan, siap siaga jika tubuh membusuk Revenant atau Entombed muncul dari balik pepohonan. Samar terlihat bola mata lengkap dengan syarafnya melayang-layang dari arah perbukitan yang tembus ke pegunungan berbatu.
Artur menahan nafas saat seekor Revenant menerjang ke arahnya dengan buas. Dengan cepat dan tanpa suara, Artur melancarkan dua serangan light magic beruntun sambil berharap serangannya tidak menarik perhatian monster lain. Dari jauh terdengar suara derap langkah kaki kuda yang berat, terlalu berat untuk ukuran kuda biasa.
'Tarvos!' hati Artur mencelos. Kenapa di saat seperti ini keberuntungannya harus diuji?
Terpaksa Artur berlari kearah luar kumpulan hutan. Sesekali dia bersembunyi dibalik pohon besar untuk menghindari pertempuran yang tidak perlu. Lebih baik bertemu kawanan Mogall daripada bertemu seekor Tarvos. Sejak zaman batu juga semua orang tau Monk itu jauh beda dengan Knight berarmor. Selihai apapun seorang magic user di medan laga, tetap saja mereka lemah terhadap senjata dan serangan fisik.
Sesuai dugaan, setelah keluar dari areal hutan, segera saja beberapa ekor Mogall menyambut Artur. Tanpa buang waktu, beberapa serangan dari Lighting Tome Artur dengan sukses melenyapkan kawanan itu menjadi kumpulan asap ungu berbau aneh. Dari arah pegunungan berbatu dibelakang sana, terlihat sesosok mahluk besar bergerak kearahnya.
Artur langsung siap siaga. Sosok monster itu jelas bukan Mogall. Terlalu besar untuk ukuran Mogall dan tidak mengambang menggeliat menjijikkan. Monster itu mendesis berbahaya kearah Artur. Bau racun mematikan tercium dengan jelas.
Begitu wujudnya tak lagi tertutup kabut tebal, tubuh Artur langsung lemas seketika. "Demi Latona..."
Monster itu punya empat pasang kaki dan tiga pasang mata. Bagian perutnya yang jauh lebih besar dari kepalanya ditutupi bulu halus. Taring di mulutnya meneteskan cairan hijau menjijikkan. Monster itu terlihat seperti...
Laba-laba.
Laba-laba raksaksa super besar yang sedang turun gunung untuk mencari mangsa.
...Dan Artur benci laba-laba. Tak heran setelah kata 'raksasa' ditambahkannya kata 'super besar'. Dengan laba-laba berukuran normal yang mungil saja Artur bisa menjerit heboh. Apalagi dengan laba-laba yang tiga kali ukuran tubuhnya. Sudah untung tidak langsung pingsan.
.
.
.
...Setelah dipikir ulang, mungkin pingsan jauh lebih baik daripada kondisinya saat ini. Wajah Artur benar-benar pucat sekarang. Mungkin jika ada seekor Revenant yang lewat, Artur akan terhindar dari serangan. Matanya menatap horror mahluk-apapun-itu didepannya, yang kini sedang mengangkat dua pasang kakinya, siap menyerang.
Artur tidak sempat menghindar. Bukan. Lebih tepatnya tidak bisa menghindar. Bagaimana bisa dia menghindar dengan sendi lutut yang lemas bagaikan agar-agar?
Saat desisan marah monster laba-laba itu terdengar, Artur langsung memejamkan matanya dengan erat, berharap dengan sangat akurasi mahluk itu buruk- meski memiliki tiga pasang mata. Tragis sekali jika hidupnya harus berakhir dibawah cakar monster yang harus dibasminya. Monster yang merupakan kelemahan terbesarnya...
'Demi Latona Yang Agung... apa hanya sampai disini?' batin Artur pasrah.
"Hei, minggir dari sana!" sebuah teriakan dan sayatan pedang terdengar tidak seperti apa yang dibayangkan Artur. Desis kesakitan penuh amarah dari sang monster laba-laba dengan segera lenyap setelah maut menjemput melalui perantara sebuah sabetan anggun dari sebilah pedang berjenis Killing Edge.
Darah monster berwarna hijau berhamburan kesegala arah. Artur melihat kearah seonggok cakar dan tubuh mati monster laba-laba raksaksa di hadapannya dengan ekspresi kaget, takut, dan jijik yang bercampur jadi satu. Disana juga berdiri seorang pemuda bersurai merah panjang dengan setelan a la myrmidon berwarna hitam dan topi senada bertengger manis di kepalanya. Sebilah pedang dengan darah berwarna hijau menetes dari sisi mata pedang, berada dalam genggaman tangan kanannya.
"Heh. Ternyata benar dugaanku. Matanya saja banyak. Tapi akurasinya buruk," setelah berkata demikian, orang asing itu langsung menarik lengan Artur yang masih diam ditempat karena shock. Tubuh Artur kini berada dalam dekapan pemuda asing bersurai merah itu yang segera melingkarkan sebelah tangannya ke bahu Artur dengan protektif.
Sadar dari kagetnya, Artur langsung protes, "m-mau apa kau?"
Pemuda itu tidak menjawab. Pandangannya menyapu sekeliling, mengobservasi dan memantau keadaan sekitar. "Kita keluar dari sini. Ayo!"
Tanpa basa-basi, pemuda itu kembali menarik tangan Artur dan mengajaknya berlari memasuki hutan Adlas Plains yang sangat rapat. Suara geraman Bonewalker terdengar dari berbagai arah, begitu juga dengan seretan kaki para Revenant dan Entombed. Lolongan Mauthe Doog juga tidak membantu, malah membuat suasana makin mencekam.
Kabut makin tebal, namun pemuda bersurai merah itu tetap saja berlari tanpa ragu, seolah hutan lebat ini adalah arena bermain yang sering dilewatinya. Artur mulai khawatir akan tersesat. Meski kehebatan orang asing ini tak pantas untuk diragukan, namun tidak ada orang waras yang sudi berkemah di tengah hutan dengan lusinan monster mengancam jiwamu.
"H-hei, pelan-pelan!" Artur mulai protes. Pemuda yang menariknya memakai celana panjang. Wajar kalau larinya cepat. Tapi Artur kan memakai robe khusus Monk. Untuk jalan saja lama, apalagi lari.
"Tidak ada waktu untuk pelan-pelan!" Seru pemuda itu sambil mengibaskan pedangnya dan seekor Archer Bonewalker tumbang seketika.
"Memangnya kita mau kemana? Kau tau jalan pintas untuk keluar dari tempat ini?"
"Mana ada yang seperti itu!" sebuah sabetan berbahaya kembali menyapu udara. Kini seekor Revenant tumbang di sebelah kanannya.
"Lalu kita mau kemana?"
"Kita akan berkemah di dalam hutan!"
.
.
.
=To Be Continued=
.
.
.
A/N: Halo! Selfless Summoner disini! *abaikan* kali ini saya ngerandom dengan serius! Dan pertama kali juga bikin multi chapter... semoga enggak membosankan ya. Masih lemah bikin tulisan bagus, jadi mohon kritik, saran, dan kritik sarannya. Semoga alur ceritanya masih bisa ditangkap pembaca (well, duh!)
