Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Warning: AU, typos, OOC (maybe) dan sederet kesalahan lain

.

.

Waktu masih menunjukkan pukul 01.30. Saat di mana kebanyakan orang terlelap di atas ranjang yang empuk dengan selembar selimut yang nyaman. Tapi berbeda dengan pemuda ber-hoodie hitam itu. Sebilah pisau di tangannya mengilat tertimpa cahaya di ujung jalan. Di hadapannya seorang lelaki paruh baya menatapnya dengan ketakutan dan kengerian yang bercampur jadi satu.

"Ja-jangan…, " orang itu memohon.

Napasnya tersengal-sengal akibat salah satu alat pernapasannya terkoyak. Genangan darah mulai tercipta di kakinya. Darah mengalir deras, bersumber dari sebuah lubang yang menganga di batang tenggorokannya. Bisa juga karena sayatan di perutnya yang sejak tadi meneteskan cairan serupa. Atau mungkin saja dari pembuluh arterinya yang sudah terkoyak.

Pemuda itu menyeringai, kemudian menjilat darah yang menempel di ujung pisaunya seolah-olah darah itu selezat selai strawberry. Ia terlihat senang melihat korbannya mati perlahan-lahan. Seolah ekspresi kengerian berbalut kepasrahan lelaki itu memberinya kepuasan.

Desir angin malam seolah memainkan sebuah melodi kematian. Tidak, bukan itu. Pemuda itu menajamkan telinganya. Matanya melirik tiang listrik di ujung jalan. Tak ada apa-apa. Tapi pemuda itu yakin, sepersekian detik yang lalu ada seseorang, atau lebih tepatnya sesuatu di sana.

Tak mau mengambil risiko, pemuda itu mundur dan berlari seolah tahu sebuah kekuatan yang lebih besar hadir di sana dan tak merestui apa yang kini ia lakukan.

Lelaki paruh baya yang nyaris menjadi korban itu bisa sedikit lega. Lebih lega lagi saat mendengar sirene mobil polisi. Dan benar saja, seorang polisi berambut merah muncul. Seorang rekannya menyusul menggunakan sepeda motor.

"Gaara, kauurus korban. Aku akan mengejar pelakunya," kata polisi yang memiliki rambut panjang.

"Baiklah," sahut polisi yang dipanggil Gaara itu.

Itachi berlari ke arah yang dituju pemuda tadi. Sial! Ke mana larinya pemuda itu? Itachi menajamkan telinganya, mencoba melacak keberadaannya. Ah, di sana! Tapi jaraknya terlalu jauh dari sini. Ia bisa saja mengejarnya tanpa motor, tapi tentu saja akan terlalu mencolok. Manusia mana yang sanggup menempuh jarak dua puluh kilometer hanya dengan berlari? Sebaiknya ia kembali saja ke markas.

"Itachi, kau berhasil menemukannya?" Gaara menghubunginya lewat intercom.

"Tidak, aku kehilangan jejaknya," kata Itachi.

"Baiklah, kita bertemu di markas. Aku sudah dapat keterangan tentang ciri-ciri pelaku," kata Gaara.

"Baiklah," Itachi tak membantah.

Itachi memutar balik untuk menghampiri motor inventarisnya dan mengarahkannya ke markas.

.

.

.

Yang hampir menjadi korban adalah Sarutobi Asuma. Ia adalah salah satu dosen di Universitas Konoha. Setidaknya itu adalah sosoknya di mata dunia. Hanya segelintir orang yang tahu kepiawaiannya menyelundupkan mariyuana beberapa tahun alu. Dan Gaara termasuk di dalamnya. Bukannya menjebloskannya dalam sel, ia justru memanfaatkan Asuma sebagai informan. Sebagai gantinya, berulang kali Asuma membantu Gaara.

"Pelakunya memiliki rambut berwarna perak dengan mata berwarna cerah. Asuma-san tidak bisa memastikan apa warna matanya. Yang jelas pelakunya memakai hoodie bermotif awan merah," kata Gaara.

"Akatsuki," Itachi membatin.

Tentu ia takkan menjelaskan apa dan bagaimana kinerja Akatsuki. Percuma, karena semua itu tak akan masuk di akal manusia sehat seperti Gaara.

"Lalu, apa motif pelakunya?" tanya Itachi.

"Entahlah. Mungkin dendam. Tapi Asuma-san bilang ia tak mengenal pelakunya," kata Gaara.

Ya, tentu saja. Alasan dendam rasanya terlalu dangkal untuk seseorang yang menjadi incaran Akatsuki. Pasti ada sesuatu yang lebih besar di balik upaya pembunuhan itu. Apa mungkin Asuma juga sama sepertinya? Ah, tidak mungkin. Itachi bisa merasakan denyut jantung dan aliran darah yang masih stabil. Asuma adalah manusia biasa, sama seperti Gaara.

"Aku akan mencari kasus yang mungkin berkaitan. Kuharap ini hanyalah kasus biasa yang bisa cepat diselesaikan," kata Itachi.

"Kuharap juga begitu," timpal Gaara.

Detektif muda yang memiliki rambut berwarna merah itu terlihat bersiap-siap akan pulang. Mungkin keluarganya sudah menunggu di rumah. Ah, menjadi manusia memang sepertinya menyenangkan. Terkadang Itachi juga merindukan saat-saat menjadi manusia yang merupakan makhluk yang tidak abadi. Dulu, tepatnya empat ratus tahun lalu, Itachi juga seorang manusia.

Sebuah rubik berukuran 9x9 yang baru saja dimasukkan Gaara dalam briefcase-nya menarik perhatian Itachi. Dilihat dari umur, sepertinya tipe seperti Gaara takkan memainkannya.

"Untuk putraku," kata Gaara seolah mengerti isi pikiran Itachi.

Detik itu juga Itachi baru tersadar. Untuk apa ia mempertanyakan hal itu lagi? Ia memilih mengemasi perlengkapannya sendiri, lalu pulang. Tentu tak ada seorang istri ataupun anak-anak yang menunggunya. Itachi sendirian. Kalaupun ada yang datang paling-paling hanya Sasuke. Itu pun hanya sekadar mampir.

Terkadang Itachi jenuh pada kehidupannya. Ia terjebak antara hidup dan mati. Secara biologis, sel-sel dan organnya sudah tak berfungsi. Tapi nyatanya ia masih bisa berjalan, berbicara bahkan berpikir. Kenapa? Karena takdir menempatkannya sebagai seorang vampire, si penghisap darah dalam dongeng anak-anak.

.

.

.

Gaara membuka pintunya perlahan. Takut membangunkan istri atau putranya yang biasa menunggunya di sofa. Layar televisi masih menyala. Mungkin mereka ketiduran saat menunggunya dan lupa mematikan televisi.

Kali ini Gaara tidak mendapati putranya di sofa. Ia memutar knob pintu kamar putranya. Seorang balita yang merupakan perpaduannya dengan sang istri terlihat lelap. Tangannya menggenggam sebuah boneka jari buatan istrinya yang mirip Gaara.

Gaara membiarkan putranya dibuai mimpi. Pandangannya tertuju pada wanita berambut indigo yang tertidur di sofa. Sepertinya bukan tidur yang nyenyak. Ia melihat istrinya terlihat gelisah dengan keringat yang mulai bercucuran.

"Hinata, Hinata! Bangunlah!" Gaara mengguncang tubuh istrinya.

Mata itu terbuka, menampilkan lavender yang selalu dikagumi Gaara.

"Ga-Gaara?" Wanita Sabaku itu terlihat lega. Ia memeluk suaminya seketika, seolah ingin menemukan rasa aman dari lelaki yang menikahinya lima tahun lalu.

Gaara membelai rambut istrinya dan berbisik, "Tenanglah. Ada aku di sini."

Tak ada sahutan dari Hinata. Hening. Gaara memberi waktu pada Hinata untuk bisa mengatur kembali detak jantungnya yang terdengar sangat cepat. Pantas saja Hinata terlihat sedikit terengah-engah.

"Mimpi buruk lagi?" tanya Gaara setelah Hinata melepas pelukannya. Gaara mengambil segelas air dan memberikannya pada Hinata, "Minumlah."

Hinata menerimanya dan meminum isinya. Air itu seolah menjernihkan kembali pikirannya, "A-aku merasa dia dekat."

"Dia?" ulang Gaara.

"Ya. Pria yang menyelamatkanku," kata Hinata.

Seketika itu Gaara langsung paham. Hinata pernah mengalami fase terburuk dalam hidupnya. Dua puluh tahun yang lalu, keluarganya tewas dalam sebuah kebakaran besar. Hinata sendiri nyaris menjadi korbannya jika ia tidak diselamatkan oleh seorang pria.

Gaara tak pernah mempermasalahkan hal itu. Meski terkadang Hinata sering terobsesi jika melihat pria yang menurutnya mirip dengan ksatrianya. Gaara justru bersyukur pria itu telah menyelamatkan Hinata yang kini menjadi istrinya, ibu dari putranya.

"Seperti apa rasa dekat itu?" tanya Gaara.

"De-dekat, sangat dekat. Seolah-olah matanya selalu memperhatikan aku," kata Hinata. Ia memejamkan matanya sesaat lalu membukanya. Ia balas menatap Gaara yang masih memperhatikannya.

"Kau baru pulang? Ah, pasti lelah sekali. Kubuatkan teh, ya," kata Hinata.

Gaara menjawabnya dengan senyuman ringan. Senang rasanya melihat Hinata kembali memegang kendali atas dirinya. Tidak mudah memang menikahi wanita yang memiliki trauma masa lalu seperti Hinata. Tapi ia takkan pernah menyesalinya.

.

.

.

Hinata masih mengingat isi mimpinya semalam. Rasanya seperti sungguh-sungguh terjadi. Gambaran siluet pria berambut panjang itu sungguh nyata. Bola mata onyx yang menatapnya tajam. Aneh, tapi Hinata tidak merasa tertekan.

Yang membuatnya tertekan adalah gambaran saat kebakaran itu terjadi. Gambaran yang silih berganti dengan siluet pria itu. Rasa aman dan tertekan pun bergantian datang. Hinata semakin bingung. Untung saja semalam Gaara membangunkannya.

Hinata memandang ke arah Gaara dan putra mereka, Kaito yang terlihat asyik mengotak-atik rubik yang dibeli Gaara. Gaara memang serba bisa. Ia selalu berusaha meluangkan waktu untuk mereka meski pekerjaannya terkadang menuntut untuk ia selesaikan, terutama untuk kasus-kasus yang rumit.

"Okaa-chan," panggil Kaito, "Okaa-chan mau ke mana?"

"Ah, iya. Okaa-chan mau belanja. Kaito-chan mau ikut?" tanya Hinata.

"Kaito mau dirumah saja sama Otou-chan," kata Kaito.

"Ya sudah. Okaa-chan pergi dulu ya," kata Hinata. Ia menoleh sesaat pada Gaara seolah ingin meminta izin darinya.

Kaito mengangguk, begitu pula Gaara. Hinata tahu itulah yang selalu dipilih putranya. Karena Kaito adalah refleksi dari ayahnya. Masih segar dalam ingatan Hinata ekspresi Gaara saat melihat Kaito mampu menyelesaikan puzzle-puzzle yang sulit.

Hinata memilih untuk memfokuskan diri pada catatan belanjaannya. Banyak yang harus ia beli hari ini. Persediaan di rumah hampir habis, termasuk susu untuk Kaito. Beruntung ada supermarket yang tidak terlalu jauh dari rumahnya.

Slapp!

Perasaan itu muncul kembali. Ya! Hinata merasakan kehadiran pria itu lagi. Di mana dia? Hinata ingin bertemu dengannya. Dia selalu ingin bertemu untuk mengucapkan terima kasih padanya. Seperti orang linglung, Hinata memandang ke segala arah. Berharap dapat menemukan sosok lelaki itu.

Matanya menangkap siluet tubuh seorang lelaki di ujung jalan. Rambutnya berwarna hitam dan panjang. Itukah dia? Hinata bergerak cepat untuk menghampirinya. Sedikit lagi…

"Ya?" orang itu menoleh.

Bukan. Ternyata bukan dia. Pria itu tidak memiliki mata berwarna cerah seperti laki-laki ini.

"Ma-maaf. Saya salah orang," kata Hinata kikuk.

Hinata nyaris tidak memercayai semua ini. Tadi ia merasakan keberadaan yang sangat kuat dari pria itu. Kenapa tiba-tiba lenyap begini? Apakah tadi hanya halusinasinya saja? Tapi kenapa rasanya begitu nyata? Seolah-olah sosok itu ingin menunjukkan sesuatu padanya.

Hinata tak menyadari, di atap sebuah gedung sesosok pria berambut panjang mengawasinya. Dialah Uchiha Itachi.

.

.

.

Itachi membuka lemari es dan mengambil sekantung darah segar bergolongan A rhesus positif lalu menuangkannya dalam gelas. Setelah itu, ia bergabung dengan Uchiha lain yang sedang membaca jurnal.

"Apa yang kau pikirkan, Nii-san?" tanya Sasuke.

Sasuke juga seperti Itachi. Ia adalah vampire dari zaman yang berbeda dengan Itachi. Secara fisik ia terlihat seperti pemuda berumur tujuh belas tahun meskipun sebenarnya usianya sudah lebih dari seratus tahun. Semula Sasuke mengira ia adalah satu-satunya vampire bermarga Uchiha. Sampai akhirnya ia bertemu Itachi yang berusia jauh di atasnya. Karena itulah ia memanggil Itachi dengan panggilan Nii-san.

"Aku harus menemui Akatsuki," kata Itachi.

"Oh, para vampire muda itu.? Kurasa mereka akan segera pergi dari sini jika tahu kita ada di sini," kata Sasuke.

"Hidan sudah melihatku," kata Itachi, "mereka membuat ulah lagi. Hampir saja seorang informan kepolisian mereka bunuh."

"Yang bernama Hidan itu sepertinya suka sekali membuat ulah," komentar Sasuke.

"Dulu ia seorang pembunuh bayaran. Terakhir, ia disuruh membunuh seorang pialang saham yang ternyata seorang vampire juga, Kakuzu. Kakuzu jugalah yang mengubahnya," jelas Itachi.

"Lalu tindakan apa yang akan Nii-san lakukan?" tanya Sasuke.

"Sekarang ini tidak ada. Mungkin sekadar mengawasi mereka," kata Itachi.

Sasuke angkat bahu. Ia tahu Itachi jauh lebih berpengalaman darinya. Ia vampire dari strata bangsawan yang kuat. Tak banyak vampire berumur ratusan tahun seperti Itachi. Kebanyakan sudah tewas di tangan para pemburu vampire, werewolf ataupun karena kegagalan transformasi.

"Kuperhatikan Nii-san suka sekali mengamati wanita itu. Apa karena dia mirip gadis itu?" tanya Sasuke.

"Entahlah, mungkin memang begitu," kata Itachi.

Sekali lagi Sasuke hanya angkat bahu. Ia membiarkan Itachi yang kini memfokuskan diri pada layar digital di depannya. Beberapa kasus pembunuhan menarik minatnya. Salah satunya adalah kasus pembunuhan beberapa mahasiswi Universitas Konoha. Mengingat Asuma juga seorang dosen di sana, tentu ada kemungkinan pelakunya juga Hidan. Dan jika memang begitu, mungkin Itachi akan benar-benar menghukumnya. Sebuah penjara es di kastil Itachi mungkin akan sanggup membuat Hidan jera.

Itachi mengamati data korban yang berjumlah tiga orang itu.

Yang pertama bernama Sasame. Gadis berusia sembilan belas tahun itu sehari-harinya dikenal energik dan lincah. Ditemukan tewas tiga bulan lalu dengan tulang kepala yang retak dan kondisi mayatnya yang mengenaskan. Bagian depan tubuhnya tercabik-cabik dan lidahnya dipotong sang pelaku.

Korban kedua bernama Shizune. Mahasiswi Fakultas Ekonomi itu dikenal ramah dan sedikit cerewet. Mayatnya ditemukan dua bulan yang lalu dengan luka sayatan di sekujur tubuhnya. Tangan kirinya tak ditemukan di mana pun. Sepertinya si pelaku sengaja memotongnya dan membawanya pergi.

Korban ketiga bernama Tayuya. Mahasiswi yang seangkatan dengan Shizune ini sangat menyukai seni musik. Ia ditemukan tewas bulan lalu di ruang musik kampus. Tubuhnya terpotong menjadi delapan bagian saat ditemukan. Telinga sebelah kirinya pun lenyap.

Satu kesimpulan berhasil ditarik Itachi, pelakunya mengincar alat indra dari masing-masing korban. Siapa dan untuk apa pelakunya melakukan itu, itulah yang harus diselidiki Itachi. Ia terus mencari informasi yang bisa mendukung hipotesisnya. Merasa tak menemukan petunjuk yang lebih lanjut, Itachi memilih untuk menghubungi rekannya.

Telepon diangkat dua detik setelah tersambung.

"Ya?" terdengar suara Gaara diseberang.

"Kuharap kau punya file kasus pembunuhan berantai di Universitas Konoha," kata Itachi tanpa basa-basi.

"Kasus itu sudah dalam penanganan Kakashi. Jadi kurasa dia yang punya apa yang kaucari. Lagi pula apa yang membuatmu tiba-tiba tertarik pada kasus yang hampir ditutup itu?" Gaara balik bertanya.

"Intuisi," jawab Itachi singkat.

"Ya, baiklah. Tapi jangan lupa bahwa tugas kita adalah mengejar pemuda berambut perak itu," kata Gaara.

"Justru itu. Apa kau tidak merasakan adanya keterkaitan dengan kasus itu? Bukankah Sarutobi-san seorang dosen dari Universitas Konoha?" balas Itachi.

"Sepertinya kita memang harus bertemu. Kau datang saja ke rumahku. Kita diskusikan ini di rumah," kata Gaara.

"Baiklah," kata Itachi akhirnya.

Itachi menyimpan kembali ponselnya. Ia sedikit menerawang. Datang ke rumah Gaara berarti bertemu dengan Hinata. Dua puluh tahun sudah berlalu. Apa Hinata masih mengenalinya? Itachi justru berharap Hinata akan melupakan peristiwa itu. Ia lebih suka mengawasi dan menjaganya dari jauh.

Itachi menjauhkan pikiran itu dari kepalanya. Yang harus ia lakukan sekarang adalah menemui suami Hinata yang juga merupakan rekannya, Gaara. Menurut pengamatannya, detektif yang baru direkomendasikan untuk interpol itu adalah suami dan ayah yang baik. Pria yang baik untuk wanita selembut Hinata.

Entah kenapa, rasanya begitu mudah mengingat nama Hinata. Itachi seperti dikembalikan menjadi remaja berusia belasan tahun yang begitu dikendalikan feromon saja. Padahal kini usianya lebih dari sekedar tua.

Harum aroma cinnamon roll menguar begitu Itachi menginjakkan kaki di halaman keluarga Sabaku. Lewat mata vampire-nya, Itachi tahu Hinata sedang berada di dapur. Mengenakan apron berwarna krem yang serasi dengan bajunya. Di ruangan lain, Gaara sedang menemani seorang balita yang sedang menyusun tumpukan dadu menjadi sebuah menara.

Itachi memejamkan matanya sebelum memencet bel. Ia tidak mau mereka melihat matanya berwarna merah menyala. Yang harus mereka lihat adalah mata onyx-nya yang tajam, mata manusianya.

Suara langkah kaki manusia terdengar mendekat diiringi ucapan "Sebentar." Itachi yakin sang nyonya rumahlah yang datang. Pintu mulai terbuka dan…

.

.

TBC

.

.

Baru kali ini bikin genre supranatural begini. Entah kenapa lagi tertarik banget bikin yang kayak begini. Buat Shena-senpai, ini sudah saya publish fic-nya.

Review dan concrit selalu dinantikan.

Molto Grazie