"Weirdos"

present by edelweissaaa.

.

"Hal yang paling tidak kusangka darinya adalah; merangkak seperti laba—laba diatas dinding. Sambil tersenyum lebar kearahku."

[chapter 1.

now play: bts — house of cards]

Sejak lima menit berlalu, guyuran air kamar mandi membasahi seluruh pakaiannya. Tak deras, namun cukup membuatnya separuh meringkuk karena hawa sejuk menusuk pori—pori kulit. Pipi berisinya dialiri air tanpa ada niatan ia lanjut usap. Mata sendunya bergeming menatap lamat—lamat benda kecil didalam genggaman tangan kanannya.

Jungkook menggerakkan lengan kirinya, guna untuk sedikit terangkat di udara.

Ragu, ia benar—benar ragu. Dengan keputusan besar yang akan diambilnya kini.

Untuk yang terakhir kalinya, ia memerhatikan bagaimana benda kecil tajam itu mengisi tangan hampanya. Dua mata tajam benda yang mengkilat itu, merusak kinerja otak bersihnya. Mengambil alih akal sehat dan menjerumuskannya pada obsesi tak terkira.

Rasa ingin tahunya terlalu besar.

Sebelum mendekatkan benda tajam itu agar mengambang diatas pergelangan tangan kirinya, ia setengah mendongak membiarkan air shower jatuh mengalir diatas lekukan wajahnya.

Benda tajam itu sudah sepenuhnya berada disamping pergelangan tangannya yang tercipta masih mulus tanpa cela. Jungkook menggigit pipi bagian dalam sembari meringis kala goresan panjang di pergelangan tangan mulai mengeluarkan cairan merah.

Tetesan cairan merah itu pelan—pelan mengalir sepanjang goresan, semakin ditekan area sekitar goresan semakin merah cairan kental yang memaksa keluar berulang—ulang.

Jungkook tertawa sinting.

Ia baru saja menggores pergelangan tangan kirinya dengan silet.

.

.

"Adik sepupuku memang benar—benar gila!"

Jungkook terus—menerus menggerakkan jemarinya diatas buku tulis berukuran kecil. Lembaran putih penuh garis biru tua digoresnya seni dengan tinta hitam pekat. Mengikuti garis lurus yang dilukis tangan kanannya, sesuai imajinasi terlintas dipikiran.

"Gila dalam tanda kutip atau tulisan miring?"

Ternyata logika gadis memang macet, batin Jungkook tertawa iblis.

"Entahlah, ibuku membantu mengantarkannya ke rumah sakit jiwa." Ucap gadis yang melirik Jungkook dengan intonasi meyakinkan.

Jemari Jungkook terus menuntun kemana tinta hitam itu terlukis. Benar—benar tenang tampak tak terusik. Gadis yang memulai pembicaraan tak hentinya melirik Jungkook menyadari hanya pemuda itu satu—satunya lelaki yang berada didalam kelas saat ini.

"Karena Ibuku bilang, adik sepupuku mengidap penyakit jiwa yang suka menyakiti bagian—bagian tertentu di tubuh dengan benda tajam."

Sret!

"Ah!" Seru kedua gadis itu bersamaan, dengan gestur badan khas terkejut.

Itu karena goresan kuat dari pena hitamnya dan kertas tiba—tiba beradu nyaring.

Dua gadis yang tengah membicarakan perihal sakit jiwa itu refleks menoleh kearah Jungkook; seakan—akan pemuda itu adalah pelaku yang sebenarnya. Memang, mereka yakin sekali Jungkook pelaku dari suara nyaring beberapa detik lalu, saat mendapati Jungkook menggeser kasar bangku tempat dimana ia duduk sebelumnya.

Jungkook benar—benar pergi, menyisakan lembaran putih halus di atas meja yang kini diisi dengan torehan pena bergambar tulisan dekoratif.

"Astaga, aku hampir jantungan!" Gadis yang mengaku adik sepupunya sakit jiwa itu sama sekali tak menggubris, sekalipun terpikir hampir membalas ucapan gadis satunya.

Ia hanya bergeming. Fokusnya berdiam diri mengartikan bahwa matanya tak bisa berbohong untuk tak memerhatikan hasil karya Jungkook yang tergeletak hampir robek karena tergores diatas meja.

Ia menelisik, lebih terkejut dengan apa yang seharusnya ditulis disana.

Tulisan "bitch" yang tercoret.

"Oh, fuck. That freaking boy."

.

.

Luar kelas tepatnya di koridor tak seperti yang terbayang atmosfirnya dipikiran Jungkook. Suasana lenggang, sepi senyap, dan sunyi serupa tak berpenghuni hanyalah sebatas imajinasinya. Seolah peka dengan semua suara yang ada, dalam radius beberapa meter telinganya merasakan intonasi nada asing yang dihantar untuknya.

Benar, gadis—gadis di seberang sana menceritakannya.

Bukan menceritakan karena kagum.

"Tebak, apa yang lebih menjijikkan dari memakan sampah?"

"Melihat Jungkook akan mencekik gadis—gadis yang iseng membahas keluarga berantakannya."

Cukup, Jungkook rasanya ingin melayangkan pukulan saja.

Mengapa harus terlahir gadis dengan mulut yang digunakan hanya untuk membicarakan keburukan orang lain?

Bukankah lebih baik gadis seperti mereka punya empat tangan untuk menjelaskan semua, dibanding punya satu mulut yang teramat manis tuturnya?

Jungkook menggertak gigi.

Gadis bukan lawannya, ia hanya akan dianggap pengecut nantinya. Maka Jungkook memilih hal satu—satunya yang menurutnya paling baik.

Melewati jalan lain di arah berlawanan, yang justru berakibat fatal untuknya. Sangat.

"Oh, ternyata kau sudah besar kepala dan berani menginjak kaki senior?" Sialan, Jungkook kenal benar suara ini. "Hai, Jeon Jungkook?"

Dengan semua umpatan kasar yang melintas dibenak, Jungkook melafalkannya dengan tertunda dalam batin. Sumpah serapah bahkan makian terkasar dia punya, mengambang bebas didalam sana.

Ia yang awalnya berniat berbalik untuk memilih jalan lain tanpa tersulut emosi hingga nantinya dapat menghajar para gadis, malah menginjak kaki senior—brengsek—nya.

Kim Namjoon.

"Maaf, kau tidak punya hak untuk memarahiku. Aku hanya berbalik dan bukan sengaja menginjak kakimu," Nada Jungkook terdengar begitu datar, didominasi sirat mata yang kosong ia melanjutkan, "Tidak perlu membesarkan masalah, tolong minggir."

Mungkin koridor sekolah mereka sangat luas, bahkan bisa memuat lima orang lebih saat berjalan berdampingan. Alasan Jungkook menyuruh Namjoon minggir? Mudah saja, Jungkook sudah hafal apa yang akan Namjoon lakukan agar langkahnya berhenti saat ia tak meminta Namjoon untuk berpindah.

Seperti mencengkram bahunya kuat hingga meninggalkan bekas biru yang kentara, sampai dengan menendang tulang kering kaki kanannya membuat ia berlutut perih.

Jungkook tidak mau, sakitnya sudah biasa, tapi itu tetap terasa memuakkan bila Namjoon yang berbuat sebegitu brengsek pada dirinya.

Namjoom malah terkekeh, nyaris menjadikan Jungkook ingin melayangkan pukulan telak kearahnya. "Lucu sekali, padahal aku baru saja mengatakanmu besar kepala, dan kau mudah sekali tersulut emosi."

Sungguh, Jungkook jengah dengan basa—basi tak berujung. "Maumu apa, hah?" Tanya—nya tak sabaran.

"Kau manis, tapi sayang sudah cacat fisiknya."

Jungkook benar—benar tak percaya,

Namjoon.. tahu?

Nafas kasar Jungkook hembuskan, matanya menatap nyalang Namjoon yang tersenyum halus. "Cacat? Sekarang kau suka sekali menuduhku yang jelek—jelek." Jungkook menetralkan intonasinya. "Apa artinya kau iri dengan kecacatan fisikku? Mengagumkan sekali."

Detik selanjutnya raut Namjoon tak lagi menampilkan wajah bak malaikat penenang. Maniknya menatap obsesi diatas kilat amarah yang disembunyikannya apik. Pupil coklatnya membesar, alisnya ikut mengerut kearah luar.

"Kau mengelak dari fakta, Jeon—jungkook."

Suara Namjoon menjadi lain, serak dan terasa mencekik dikerongkongan begitu menyapa indera pendengaran Jungkook.

Bulu kuduk Jungkook meremang, entah memang fantasi atau nyata tubuhnya sedikit gemetar. Ia tidak takut pada Namjoon.

Ia hanya takut kecacatannya terungkap.

"Tidak usah sok tahu tentangku, sialan." Bantah Jungkook masih ingin mengelak.

"Silet." Namjoon menatap pongah. "Aku tahu benda itu ada di saku celana kirimu," Desisnya, diakhiri senyuman tenang yang Jungkook anggap mirip dengan iblis berkedok malaikat. "Apa aku masih terlihat sok tahu, Jungkook—ah?"

"Brengsek!" Seru Jungkook marah, saat ia hampir membeo mendengar pernyataan yang bukan opini dari kakak kelasnya.

Jemarinya mengepal bersiap untuk melayangkan tinju yang keras. Jungkook maju selangkah, tinjunya hampir lolos sebelum guru konseling seenaknya datang memotong jarak omong diantara mereka.

"Jeon Jungkook, tidak ada lagi memukul senior Kim di sekolah!" Jungkook bergeming.

Lagi, ia akan dipanggil ke ruang konseling.

"Kenapa? Ayo ikut saya ke ruang konseling!"

Jungkook sama sekali tak melakukan pembelaan. Tidak, bahkan sampai guru konseling mengambil langkah lebih darinya yang akan tertinggal dibelakang. Kini kembali tersisa dirinya dan Namjoon pada luasnya koridor. Sirat mata keduanya begitu rumit dan sengit, Jungkook tak paham mengapa Namjoon suka sekali ikut campur urusannya.

Namjoon mendekat, "Wah dipanggil guru konseling. Seharusnya kau menurut saja padaku tanpa melakukan perlawanan, seperti kelinci manis yang menggemaskan." Ia menyeringai tipis, otomatis Jungkook hanya menunduk. Jungkook takut amarahnya akan meledak—ledak dan.. ia akan cacat.

"Aku—tidak akan." Lirih Jungkook dalam nada tegasnya.

Namjoon tertawa kecil dengan bahu yang mengendik tak bersalah. Dan tawa itu terasa mencekam dengan nada hambar.

"Bergabung denganku, kau bisa melukai diri sepuasnya." Bisik Namjoon, kemudian meninggalkan Jungkook dengan otaknya yang bereaksi atas kalimat yang baru saja dicernanya.

.

.

"Argh sialan! Aku tidak mau suntik itu! Aku hanya mau lem!" Pekik pemuda bersurai merah muda, sekuat yang ia mampu diimbangi gestur tubuh memberontak tidak teratur. "Aku mau lem! Beri aku lem, brengsek!"

Pemuda berjas putih khas peneliti, menelisik cermat keadaan seseorang yang berada di atas kursi khusus dalam ruangan rehabilitasinya. Injeksi ia remat dalam genggaman tangan kanan, disusul jentikan dari jari kiri ditabung cairan.

"Taehyung, si merah muda itu masih belum mau lepas dari lemnya!" Pemuda lain yang mengenakan jas putih mirip seperti pemuda itu—Taehyung, kecemasannya tampak terlalu jelas. Alisnya berkerut, bahkan ia meringis kala si pemuda bersurai merah muda diatas kursi khusus memgamuk marah.

Taehyung diam. Menjadikan pemuda yang melaporkan tentang pasien ketergantungan lem itu sedikit tak sabaran menunggu sahutan.

"Dia hanya perlu ditangani baik—baik. Katakan tentang hobinya," Akhirnya Taehyung angkat bicara, "Atau tidak, panggilkan Yoongi untuk menemaninya beberapa menit kedepan." dia selalu erat dengan simbol ketenangan, hingga pemuda disebelahnya bertanya—tanya karena alur hidupnya.

Apa Taehyung diciptakan dengan amarah berkadar nol persen?

"Such a real part of angel." Gumamnya.

Buktinya, Taehyung selalu tampil tenteram biarpun dengan wajah tanpa serinya. Pun sedikit senyuman, secuil tawa tak pernah keluar secara percuma dari belah bibirnya. Ia selalu menyiratkan tatapan tajam, tapi tak selamanya dapat diterjemahkan sebagai tanda amarah.

Seakan—akan sosok sempurna dapat dengan mudah dicerminkan dalam diri Taehyung.

"Aku mau lem.." Suara si merah muda mulai terdengar parau, memilukan saat melihatnya menggeram dengan blindfold basah diatas mata karena keringat membanjiri.

Pemuda yang kebingungan itu akhirnya tersadar. Kehilangan akal untuk berfikir kreatif, kiranya hal menarik apa lagi yang dapat ia katakan tentang hobi pada si surai merah muda; pemberontak kedua yang maniak tinggi terhadap lem. Maka, terburu ia memanggil— tepatnya memohon pada Yoongi agar pemuda itu sudi untuk menangani pasien tidak waras mereka.

"Yoongi hyung, dia mengamuk lagi!" Serunya langsung. Yoongi lantas menoleh, menemukan entitas pemuda bawahannya menatap memelas.

Ia berdehem, "Biarkan, dia memang selalu seenaknya merengek dan meminta barang jahanam." Tak terduga, balasan acuh dari atasannya. Pemuda itu meringis, kesal dan putus asa mengigat disisi lain, kalau si maniak lem itu berhenti memekik tak waras; Taehyung akan memberinya gaji lebih.

"Ayolah, hyung, kali ini saja. Lihat, dia seperti ingin mengoyak tali yang mengekang kedua tangannya dan— oh, lihat!" Pemuda bawahan Yoongi itu berteriak terkejut, ia terperangah sepersekon. "Dia menggigit daging lengannya sendiri, hyung!"

Mendengar adanya ketidakberesan akal yang mulai menguar dari benak surai merah muda, Yoongi mendengus kasar. Benar kata bawahannya, si maniak lem itu mulai lagi. Bertindak gila karena memang otaknya sudah tergeser atas manipulasi lem yang mengganggu saraf. Yoongi beranjak dari kursi kerjanya gusar, agak tergesa mengetahui darah segar sudah mengalir kental diantara kulit yang terkoyak akibat gigitannya sendiri.

"Hei, maniak lem." Panggilnya nyaring, namun nyatanya tak sedikitpun mengusik aktivitas diluar kewarasan dari si surai merah muda, yang sibuk mengendus penuh suka atas darah berbau amis di lengannya.

Yoongi mencekal hati—hati surai merah muda dari belakang, menjadikan pemuda tidak waras itu seketika berhenti mengendus. Perlahan, Yoongi menyingkap blindfold lembab dari netranya sehingga maniak lem itu rupa wajah keseluruhannya menyapa manik Yoongi. Tadinya maniak lem itu hampir menatap tajam seperti siap mengajak tempur seseorang yang lancang mengganggu aktivitasnya.

Namun tatapan tajamnya melunak, mengetahui pelaku bukanlah orang asing yang selalu mencercanya.

"Yoongi?"

Ada sedikit rasa lega di hati Yoongi, surai merah muda itu masih mengingatnya.

Sumpah mati, ia belum pernah sebegini peduli diatas perubahan pasien yang di rehabilitasinya. Mau mereka jungkir balik sambil menghantam kepala ke dinding pun, semua kasus itu ia serahkan pada Taehyung; teman satu perguruannya.

Tapi, tidak dengan si surai merah muda.

Bukan Yoongi yang mencoba peduli, tetapi maniak lem itulah yang suka sekali melihat batang hidungnya muncul. Si maniak lem itu suka sekali berhenti dari aktivitas diluar dugaan manusia waras kala Yoongi datang. Sejak Yoongi memberinya suatu kejutan tak terduga; permen berbau lem dengan perisa melon, maniak lem itu tidak pernah mau bersama orang lain.

Kecuali Yoongi.

"Berhenti menggigiti lenganmu, lantaiku akan kotor dengan darahmu yang amis." Ucapnya datar. Maniak lem itu menatapnya dengan binar kosong. Seakan tidak mengerti ucapan Yoongi, bergantian dia menengok lengan berdarahnya dan entitas Yoongi.

"Amis?" Ia bertanya bingung.

Hampir, Yoongi menepuk jidatnya karena kehilangan kesabaran.

"Astaga, kemarikan tanganmu." Perintah Yoongi. Pemuda surai merah muda itu menurut begitu saja, ia menyerahkan tangan sambil menatap Yoongi intens. Ia mengira Yoongi akan menambat luka gigitan di lengan kirinya, dengan perban atau apalah yang dapat membuat darahnya membeku dan berhenti mengalir.

Tetapi dugaannya salah.

"Y—yoongi!"

Yoongi menghisap darah itu dengan mulutnya sendiri tanpa jijik, membuangnya ke lantai seakan—akan lantai itu tidak apa—apa kotor; padahal sebelumnya ia melarang keras.

"Ini darah.." Surai merah muda itu berbisik lirih, menjadikan benak Yoongi sedikit terhibur mengetahui Jimin mulai paham dengan cairan kental merah yang berbeda dari minuman manapun.

"Siapa bilang ini jus tomat? Ini memang darah. Tidak boleh—diminum. Mengerti?" Penekanan ucapan "diminum" oleh Yoongi terdengar imperatif. Nada peringatannya mengemudikan kepala Jimin untuk mengangguk mengiyakan walau tak seutuhnya mengerti layaknya orang waras.

Yoongi belum rela menjauhkan organ pengecapnya dari lengan berkulit cela milik si surai merah muda. Sebab, aliran darah tetap mengucur dari sana tanpa mau mengalah dan berhenti pasrah. Sigap Yoongi menghisapnya lagi, lebih keras dibanding yang lalu sehingga raga pemuda maniak lem itu bergerak kikuk karena kegelian.

"H—hentikan." Yoongi melepaskan hisapannya, lagi ia meluahkan semaunya darah kental dari dalam mulut. Bau amis masih terngiang sampai ke otak, Yoongi yakin benar kalau sisa—sisa darah maniak lem yang tertinggal sudah melebur di pangkal lidahnya.

Ini gila, Yoongi tidak tahu mengapa dirinya yang semula sebegitu jijik dengan secuil darah memancur dari koyakan kulit; malah amat enteng mengerjakan perbuatan diluar akal sehat beberapa detik lalu. Menghisap darah pada lengan orang gila berulang—ulang, menaruh harap supaya cairan merah itu lenyap dari jarak pandang netranya dan berhenti mengalir cuma—cuma.

Yoongi mengelap sudut bibir sembarangan. "Nah, sudah selesai. Kau tidak boleh menggigitnya lagi, bodoh. Kalau kau menggigitnya terus, stok lem kita akan berkurang." Yoongi mengarang cerita, lancar sekali seperti ombak pantai. Ia tergelak sumbang ketika aura ketakutan terpancar jelas dibalik manik si surai merah muda itu. "Kau mau tidak mengonsumsi lem lagi setiap hari?"

"Tidak!"

Nyaris pegawai bawahan Yoongi terlonjak karena pekikan histeris Jimin tiba—tiba memekakkan telinga. Yoongi mengamit senyum miring diantara bibir tipisnya, mengerahkan tangan untuk menepak main—main pucuk kepala bersurai merah muda lembut. Si surai merah muda menengadah, Yoongi hampir terbuai tanpa perintah diatas binar polos dari pupilnya.

Sinar lampu ruangan sialnya mulai meredup. Yoongi melilit tidak serius rambut merah muda itu diantara sela jemari, mengusir rasa aneh yang berdesir menuju otaknya.

"Kau belum punya nama, ya?"

"Nama? Apa.. itu nama?"

"Nama itu, panggilan. Kalau kau tidak punya nama, akan susah sekali untuk memanggilmu."

Ekspresi yang Yoongi temui pertama kali hanyalah maniak lem yang menelengkan kepala linglung. Dahinya mengerut terlihat berusaha membalikkan ingatan sekeras yang ia mampu, namun faktanya usaha itu seutuhnya sia—sia. Sekali pun ucapan Yoongi tidak tuntas terolah kedalam pemikirannya.

Maka, Yoongi mengambil nafas berupaya meningkatkan kesabaran.

"Oke, mulai sekarang namamu—Jimin, setuju?"

Jimin, nama panggilan baru untuk pemuda itu. Ia bukanlah orang berakal waras, tetapi ia juga bukan orang gila bodoh berkepanjangan. Ia sedikit banyak mengerti mengapa Yoongi menyebut "Jimin" sebagai panggilannya; memudahkan Yoongi untuk merapalkan namanya bila ingin memanggil saat membutuhkan.

Jimin untuk pertama kalinya membeberkan senyum, tidak terlalu tipis diimbangi matanya yang menyipit. Tetapi sukses menerbitkan kesan baru dalam dirinya untuk hari ini.

Yoongi nampaknya kini akan beranggapan sama; benar kata orang banyak, orang gila memang mudah tersenyum dengan tulus.

"Aku suka namanya, Yoongi."

Berakhirlah tatapan Yoongi dari sana. Netranya terburu menukar objek pandang. Seakan paham keadaan benaknya tidak kuat menyaksikan garis lengkung familiar yang bibir Jimin tampilkan.

Yoongi tertawa hambar, "Yah, kau harus mengingat namamu mulai sekarang." Ia berhenti. Menyudahi gesture jemarinya yang semula memainkan helaian surai Jimin, tanpa hendak menata lagi sebagaimana rupa aslinya.

Ia meninggalkan Jimin sendirian yang masih memerhatikannya.

Namamu memang Jimin, hanya saja kau tidak mengingatnya.

.

.

[to be continue.]

yoongi uke gais, saia pro minyoon:)

vkooknya belum muncul, wkwk mind to review?:))))